Di tengah gemuruh peradaban yang menjunjung tinggi menara-menara kekuasaan, anarkisme hadir seperti angin yang menggoyang fondasi keyakinan kita tentang apa yang disebut "normal". Ia dicap sebagai kekacauan, dianggap sebagai mimpi buruk di mana manusia saling menerkam seperti serigala. Tapi benarkah demikian? Atau justru anarkisme adalah cermin yang memantulkan kegagalan kita membayangkan dunia di luar belenggu hierarki?
"Anarkisme itu kekacauan, bukan? Kalau tidak ada pemerintah, siapa yang mengatur semuanya?" suara skeptis itu kerap menggema. Tapi mari kita bertanya balik: apakah ketiadaan pemerintah berarti ketiadaan keteraturan? Di pedesaan Nusantara, gotong royong telah mengatur irigasi, panen, dan upacara adat selama ribuan tahun tanpa campur tangan birokrasi pusat. Di kota-kota modern, kelompok arisan dan komunitas berbasis solidaritas menunjukkan bahwa manusia mampu mengorganisir diri tanpa paksaan negara. Anarkisme bukan tentang ketiadaan aturan, melainkan tentang aturan yang lahir dari bawah—bukan dari dekrit penguasa, tapi dari musyawarah kolektif. Ia adalah tarian spontan yang menemukan iramanya sendiri, bukan mars militer yang disiplin tapi kaku.
Lalu, bagaimana dengan kejahatan? "Tanpa polisi dan negara, bagaimana kita mencegah pencuri atau pembunuh?" tanya mereka yang ragu. Tapi lihatlah: penjara-penjara modern penuh sesak, namun korupsi, kemiskinan, dan kekerasan domestik tetap merajalela. Negara justru sering menjadi dalang kejahatan terstruktur—dari perang yang direkayasa hingga penggusuran paksa. Anarkisme tidak menjanjikan surga tanpa dosa, tapi ia menawarkan solusi radikal: membangun masyarakat di mana kejahatan tidak lagi punya akar subur. Bayangkan komunitas di mana setiap orang punya akses pada pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan layak. Di mana anak-anak tidak tumbuh dalam kelaparan atau dendam. Di sana, pencuri bukanlah monster, melainkan cermin retak dari sistem yang gagal.
"Tapi manusia kan egois. Bagaimana kalau ada yang malas bekerja dan hanya memanfaatkan orang lain?" sanggah suara dari kegelapan. Benarkah egoisme adalah kodrat manusia? Di lereng Gunung Merapi, ketika awan panas mengancam, warga saling menyelamatkan tanpa menunggu komando. Di tengah pandemi, relawan-relawan membagikan makanan tanpa pamrih. Kapitalisme-lah yang mengubah kita menjadi mesin penghitung untung-rugi, sementara anarkisme mengajak kita mengingat kembali naluri purba: bahwa kita bertahan bukan karena saling sikut, tapi karena saling menyusun batu bata kehidupan.
Kekhawatiran tentang "pemimpin" juga kerap mengemuka. "Kalau tidak ada pemimpin, pasti orang-orang bertindak sesuka hati!" seru mereka. Tapi anarkisme tidak menolak kepemimpinan—ia menolak pemaksaan. Di suku Baduy Dalam, pemimpin dipilih bukan karena kekayaan atau keturunan, tapi karena kebijaksanaan dan pengabdian. Di komunitas hacker open-source, seseorang menjadi "pemimpin" karena kontribusi kode, bukan titah dari atas. Kepemimpinan dalam anarkisme adalah sungai yang mengalir—dinamis, cair, dan selalu memberi ruang pada anak sungai baru.
Lalu, bagaimana dengan skala besar? "Apakah anarkisme berarti kita harus hidup dalam komunitas kecil terpencil?" tanya mereka yang membayangkan suku-suku primitif. Tapi lihatlah Koperasi Mondragon di Spanyol: 80.000 pekerja mengelola pabrik, universitas, dan bank tanpa bos bergaji fantastis. Atau Rojava di Suriah utara: tiga juta orang membangun sistem pendidikan feminis, ekonomi partisipatif, dan pertahanan kolektif di tengah perang. Mereka tidak menolak teknologi atau kompleksitas—mereka menolak logika kekuasaan yang memusat.
"Tapi kalau semua orang bebas, siapa yang bertanggung jawab?" desak suara yang tak percaya. Jawabannya sederhana: setiap orang. Di masyarakat anarkis, tanggung jawab bukan beban yang didelegasikan pada polisi atau hakim, tapi kain tenun yang dirajut bersama. Seperti nelayan Lamalera yang membagi hasil tangkapan secara adil, atau komunitas Zapatista di Meksiko yang mengambil keputusan melalui majelis desa berjam-jam. Di sana, kebebasan bukan berarti melanggar batas tetangga, tapi menyadari bahwa kebahagiaan sendiri terikat pada kebahagiaan bersama.
"Jadi anarkisme itu utopis?" ejek mereka. Tapi mana yang lebih utopis: mempercayai bahwa sistem kapitalis yang merusak bumi dan menciptakan kesenjangan bisa bertahan selamanya, atau berani membayangkan alternatif? Revolusi Prancis, gerakan abolisi perbudakan, hingga perjuangan hak perempuan—semua dianggap utopis sebelum menjadi nyata. Anarkisme adalah anak panah yang selalu tertuju pada cakrawala—bukan karena ingin mencapainya, tapi karena tahu bahwa berjalan menujulah yang membuat kita tetap manusia.
Mengapa anarkisme kerap dikaitkan dengan kekerasan? Karena penguasa selalu membutuhkan musuh untuk mengalihkan perhatian. Ketika buruh Patagonia mogok mendirikan pabrik mandiri, media menyebut mereka perusuh. Ketika masyarakat adat mempertahankan hutan dari tambang, negara mencap mereka anti-pembangunan. Tapi lihatlah lebih dekat: kekerasan sejati ada dalam sistem yang membiarkan anak-anak kelaparan sementara segelintir orang mengumpulkan kekayaan setara anggaran negara.
Lantas, mengapa dunia masih bertahan dengan negara dan pemerintahan? Karena kita seperti ikan yang tak menyadari air di sekitarnya. Sejak kecil, kita diajari bahwa demokrasi adalah puncak peradaban—padahal dalam demokrasi liberal, suara seorang CEO minyak sama beratnya dengan suara nelayan yang tanahnya tercemar limbah. Tapi lihatlah ke luar jendela: di gang-gang sempit, ibu-ibu PKK mengatur posyandu tanpa menunggu instruksi walikota. Di pelosok desa, petani membagi benih berdasarkan musim, bukan perintah menteri.
Anarkisme bukanlah akhir perjalanan, tapi langkah pertama untuk bertanya: "Haruskah segalanya seperti ini?" Ia adalah nyala api yang mengingatkan kita bahwa sebelum ada raja, sebelum ada penjara, sebelum ada uang—manusia pernah hidup sebagai komunitas yang saling menjaga. Bukan nostalgia akan masa lalu, melainkan peta untuk masa depan di mana kebebasan dan tanggung jawab bukan lagi dikotomi, melainkan dua sisi mata uang yang sama.
Di ujung senja,
ketika bayangan menara pengawas mulai memanjang, anarkisme berbisik:
"Kita bisa berbeda tanpa saling memangsa. Kita bisa teratur tanpa
diperintah. Kita bisa—jika berani mencoba."
Posting Komentar
...