Puncak Tanpa Pendaki, Panggung Tanpa Penonton
Kesuksesan sering kita dengar sebagai mantra modern, sejenis komoditas rohani yang dijual dengan harga mahal dalam seminar motivasi, iklan investasi, atau postingan Instagram yang penuh dengan kata “hustle”. Namun, kalau dipikir dengan kepala dingin dan sedikit sinis, bukankah kesuksesan dalam definisi semacam itu hanyalah permainan ilusi? Orang bekerja mati-matian, lalu membeli jam tangan mahal supaya terlihat sukses, meski yang benar-benar sukses hanyalah perusahaan pembuat jam tangan itu.
Kita terjebak dalam lingkaran simbol, bukan makna. Nietzsche sudah mengingatkan bahwa manusia modern suka mengganti Tuhan dengan berhala baru, dan salah satunya adalah berhala kesuksesan dalam bentuk uang, popularitas, dan pengakuan. Kita berdoa pada altar algoritma, mengorbankan waktu, tenaga, bahkan identitas, hanya demi mendapat sedikit validasi dalam bentuk “like”.
Namun, apa yang terjadi jika kesuksesan didefinisikan ulang bukan sebagai “memiliki” melainkan “melepaskan”? Di sini, logika pasar berhenti bekerja, dan kita masuk ke wilayah batin. Sukses bukan soal menumpuk angka di rekening, melainkan saat kita tidak lagi diperbudak oleh keinginan untuk menumpuk. Sukses bukan soal nama kita terpampang di billboard, melainkan saat kita sudah tidak peduli lagi apakah nama itu dikenal atau tidak. Buddha akan tersenyum, karena definisi semacam ini sejalan dengan gagasan Nirvana—sebuah keadaan bebas dari kelekatan, di mana hasrat eksternal tak lagi menggiring kita ke jurang penderitaan.
Karya yang jujur pun lahir dari tempat ini: ruang batin yang bebas. Begitu kita berkarya demi pujian, demi penjualan, demi viralitas, maka karya itu bukan lagi seni, melainkan strategi pemasaran. Mungkin tetap bisa indah, tapi tidak jujur. Kierkegaard pernah bilang, keputusasaan terbesar manusia adalah hidup dalam kepura-puraan, menjadi sesuatu yang bukan dirinya.
Maka, seorang seniman yang memoles karyanya hanya demi “disukai banyak orang” sebenarnya sedang menulis epitaf keputusasannya sendiri. Sebaliknya, ketika seseorang mencipta karena ada sesuatu yang penting dan mendesak di dalam dirinya yang harus dikeluarkan, maka karya itu hidup. Bahkan bila tak ada satu pun orang yang bertepuk tangan, karya itu tetap bernyawa, dan si pencipta tetap merdeka.
Tetapi bagaimana mungkin kita merdeka bila dunia hari ini penuh dengan budaya performatif? Media sosial membentuk panggung di mana semua orang jadi aktor, dan semua aktor bersaing untuk tampil paling bahagia, paling kaya, paling sukses. Ironisnya, semakin keras orang berusaha tampak sukses, semakin jelas kegelisahan yang mereka sembunyikan.
Simone de Beauvoir menyinggung tentang “ambiguitas eksistensi manusia”—kita ingin bebas, tapi sekaligus ingin diakui. Itulah mengapa banyak orang tidak benar-benar bahagia, melainkan hanya sibuk mengedit potret kebahagiaan. Kita butuh jeda, sekadar beberapa tarikan napas, untuk bertanya: apakah tujuan hidup kita benar-benar "hanya untuk dilihat” atau "untuk dihidupi”?
Kebebasan sejati datang ketika kita berani melawan ilusi ego. Ego adalah penipu ulung, selalu lapar akan uang, pujian, dan publisitas. Ia seperti monster kecil yang setiap kali diberi makan justru makin rakus. Stoikisme menawarkan obatnya: indifferensia, kemampuan untuk bersikap netral terhadap hal-hal di luar kendali kita. Epictetus pernah bilang, bukan dunia yang mengganggu kita, tapi opini kita sendiri tentang dunia.
Begitu pula dengan kesuksesan; ia bukan realitas objektif, melainkan opini yang kita pilih untuk percayai. Jika kita berhenti tertarik pada uang atau pengakuan, kita mulai hidup dari pusat kesadaran yang lebih dalam, bukan dari bayangan ekspektasi sosial.
Pada titik ini, kita bisa berkata dengan tenang: kita bisa berkarya, hidup, bahkan berpikir tanpa harus dikendalikan oleh algoritma, uang, pujian, atau publisitas. Dan justru saat itu kita sudah sampai di tempat yang tak banyak orang ketahui. Ironisnya, banyak yang mencari surga palsu di puncak karier, sementara surga itu sendiri hadir di momen sederhana ketika kita berhenti mencari. Heidegger menyebut pengalaman semacam ini sebagai “authentic being”—keberadaan yang otentik, yang lahir saat kita berdamai dengan kefanaan dan berhenti mengejar topeng-topeng sosial.
Puncak, pada akhirnya, bukanlah panggung. Banyak orang mengira sukses adalah ketika kita disorot lampu sorotan, dikerumuni massa, atau diabadikan dalam sejarah. Padahal puncak itu justru hadir ketika kita sudah tidak peduli apakah orang tahu atau tidak. Ketika karya selesai, ketika kata-kata tertulis, ketika lagu mengalun, dan kita sendiri bisa tersenyum puas—itulah puncak.
Sisanya hanyalah gema di luar diri. Camus barangkali akan setuju: hidup absurd ini hanya bisa dijawab dengan satu sikap, yakni mencintainya apa adanya. Sukses, dalam absurditas Camus, bukan soal mengatasi dunia, melainkan soal menari bersama ketidakpastian tanpa kehilangan irama.
Dan betapa ironisnya, justru saat kita melepaskan ambisi untuk tampak sukses, kita sering kali dianggap sukses oleh orang lain. Sebuah paradoks yang agak menggelikan. Mereka akan bertanya, bagaimana mungkin engkau tampak tenang tanpa harta melimpah, tanpa pengikut jutaan, tanpa piagam penghargaan? Dan kita bisa menjawab dengan santai: karena kesuksesan yang kau cari hanyalah bayangan, sementara yang aku miliki adalah kebebasan.
Pada akhirnya, kesuksesan bukanlah garis finish yang ditempuh dengan berlari paling cepat. Ia lebih menyerupai kebiasaan duduk diam dalam diri sendiri, mendengarkan suara yang jujur, dan berani melepaskan apa yang tak lagi perlu digenggam. Dunia boleh berisik dengan pencapaian, tetapi di ruang batin yang sunyi kita menemukan puncak yang sesungguhnya—puncak yang tidak membutuhkan sorotan, tidak membutuhkan pengakuan, dan tidak membutuhkan penonton.