Suasana malam itu mengendap dalam rintik hujan yang menuliskan syair-syair halus di kaca jendela kafe. Lampu temaram, seperti rahasia yang enggan sepenuhnya terungkap, memantulkan kilauan basah pada permukaan meja kayu tua yang menguapkan aroma petrichor dan kopi yang terlupakan. Di balik tirai keheningan itu, seorang lelaki bersandar, rambut tersisir rapi membingkai wajah yang diukir janggut terawat, pena bulu sepi di genggaman. Cangkir di depannya bukan tempat tinta, melainkan kubangan kopi hitam yang dingin, cermin dari kontemplasi yang jauh lebih gelap dan lebih dalam. Di sanalah, di antara aroma kayu basah dan kafein yang menguap, sang arsitek keraguan membangun istananya yang paling kokoh dari batu-bata pikiran.
Benarkah gemuruh pikiran dalam tengkorak ini, sekalipun sunyi, cukup menjadi bukti keberadaan yang tak terbantahkan? Sebuah pertanyaan yang menggelayut seperti kabut pagi, meneteskan embun keraguan pada segala yang kelihatannya padu. Descartes, sang lelaki dengan pena bulu itu, tidak sedang mengumandangkan puji-pujian bagi kesucian berpikir. Tidak. Ia menyodorkan sebuah pengakuan yang lebih mirip jeruji besi: berpikir adalah satu-satunya penjara yang sekaligus menjadi bukti tak terbantahkan bahwa kita ada di dalamnya. Segalanya bisa dirobohkan oleh palu godam skeptisisme: tubuh ini, dunia yang memikat ini, bahkan langit-langit surga tempat Sang Maha bersemayam – semuanya bisa jadi ilusi canggih, sandiwara indra yang diperankan oleh siluman licik. Namun, ketika sang peragu itu mengayunkan palunya, ketika ia berseru "Aku ragu!", di situlah, dalam dentuman logika yang paradoks, ia justru mengukuhkan dirinya. Kegiatan meragukan itu sendiri adalah pikiran. Dan jika ada pikiran, maka harus ada yang berpikir. "Aku berpikir, maka aku ada." Cogito ergo sum. Sebuah pulau batu karang yang muncul dari samudera ketidakpastian, tak tergoyahkan oleh ombak keraguan apa pun.
Bayangkan diri terlempar ke dalam pusaran mimpi yang begitu nyata hingga batas antara realitas dan fatamorgana luruh. Dunia benda-benda, wajah-wajah yang dikenal, bahkan rasa sakit sekalipun, bisa jadi hanya proyeksi pikiran yang sedang bermain-main. Dalam kekacauan itu, apa yang tersisa? Apa yang tidak bisa disangkal, sekalipun oleh mimpi yang paling meyakinkan? Hanya ini: kesadaran bahwa proses berpikir itu sendiri sedang terjadi. Kesadaran bahwa ada sesuatu yang mengalami kebingungan itu, yang merasakan keanehan itu. Dari titik nol yang hampir nihil inilah, seperti seorang Robinson Crusoe filsafat, Descartes mulai merakit rakit penyelamatnya, batu demi batu proposisi logis, untuk menjangkau kembali daratan pengetahuan yang bisa dipercaya. Sebuah rekonstruksi dunia dari dalam keheningan kesendirian kognitif.
Tapi bukankah manusia lebih dari sekadar mesin berpikir yang dingin? Bukankah kita juga gumpalan daging yang merasakan sakit ketika tersandung, jantung yang berdegup kencang oleh rindu atau ketakutan, makhluk yang tersenyum, menangis, dan meraih tangan sesamanya dalam gelap? Apakah menyempitkan eksistensi yang kaya raya ini hanya pada kilatan-kilatan kesadaran rasional? Memang terdengar seperti menyusun simfoni kehidupan hanya dengan satu nada tunggal. Descartes, dengan logikanya yang bercahaya dingin, mengakui keberatan ini. Ia memetakan alam menjadi dua wilayah yang terpisah: res cogitans, substansi yang berpikir – jiwa yang tak teraba, dan res extensa, substansi yang meluas – tubuh dan dunia materi. Ia tidak menafikan tubuh, katanya. Namun, dalam proyek ambisiusnya mencari fondasi pengetahuan yang mutlak tak tergoyahkan, tubuh dan segala sensasinya terlalu rentan tipu daya. Rasa sakit bisa ilusi, rindu bisa halusinasi, sentuhan hangat bisa fatamorgana indra yang cacat. Hanya aktivitas berpikir, terutama dalam bentuknya yang paling telanjang sebagai keraguan, yang mampu bertahan dari ujian api skeptisisme total.
Di sinilah aroma kopi yang dingin itu mungkin menyimpan sedikit ironi yang getir. Fondasi pengetahuan yang dicari Descartes seringkali dibangun oleh manusia di atas pasir kerapuhan: tradisi yang diterima bulat-bulat, otoritas yang tak pernah ditantang, dogma yang disantap tanpa dikunyah. Sang filsuf merasa jijik pada kelalaian semacam itu. Ia menginginkan satu batu pertama, satu prinsip yang begitu dasar sehingga mustahil digoyahkan, bahkan oleh kemungkinan penipuan kosmik oleh siluman jahat. Dan hanya satu hal yang lolos dari saringan keraguan ekstrem itu: fakta bahwa keraguan itu sendiri membuktikan adanya pikiran yang sedang meragukan, dan dengan demikian, membuktikan keberadaan sang pemikir. Sebuah kemenangan logika yang gemilang, tapi sekaligus meninggalkan banyak hal di luar pintu bentengnya.
Lalu, ke mana perginya denyut jantung yang berdegup kencang saat jatuh cinta? Di mana letak nestapa yang menyayat ketika kehilangan? Bagaimana dengan gelora ketakutan yang membekukan darah? Apakah gelora emosi yang begitu nyata, begitu terasa mengisi setiap ruang keberadaan ini, tidak dianggap sebagai bukti "ada" yang sahih? Pertanyaan yang menusuk langsung ke jantung kemanusiaan kita. Descartes, dalam kerangka proyek epistemologisnya yang ketat – pencariannya akan apa yang bisa diketahui dengan kepastian mutlak – terpaksa mengesampingkan ranah emosi yang liar dan tak terduga. Baginya, emosi adalah penghuni dunia indra yang menipu, bisa mengaburkan pandangan, bisa memanipulasi penilaian. "Aku tidak sedang menulis puisi," bisiknya mungkin dalam hati di tengah kesunyian kafe itu. "Aku sedang membangun fondasi ilmu pengetahuan." Dan untuk tugas monumental itu, ia harus memulai dari titik yang paling kecil, paling rapuh, namun juga paling tahan banting dalam badai keraguan: kesadaran jernih akan diri sendiri yang sedang berpikir. Titik Archimedes untuk mengungkit dunia.
Namun, kehidupan jarang dijalani hanya dari titik Archimedes yang dingin itu. Keberadaan kita yang sesungguhnya terendam dalam sungai pengalaman yang deras: rasa sakit fisik yang nyata, cinta yang membakar, solidaritas yang menghangatkan, absurditas yang membungkam. Untuk memahami keberadaan dalam kelimpahruahan dan kesedihannya yang pekat, mungkin kita memang perlu meninggalkan kafe sunyi Descartes dan mencari percakapan lain. Duduklah di bangku taman yang diterpa angin bersama Kierkegaard, merasakan getir kecemasan eksistensial dan lompatan iman yang diperlukan. Berbagi anggur yang pahit dengan Camus di bawah terik matahari Algiers, menertawakan absurditas semesta sambil memberontak dengan gigih. Atau berbincang panjang dengan Beauvoir di sebuah brasserie Paris, menelusuri jalan berliku menuju kebebasan dan tanggung jawab dalam tarian dengan Sang Lain. Descartes, sang Rene yang cermat itu, adalah fondasi rumah. Batu pertamanya kokoh, tak terbantahkan. Tapi rumah itu sendiri, dengan segala keramaian, kekacauan, kehangatan, dan penderitaan penghuninya, membutuhkan lebih dari sekadar fondasi. Ia membutuhkan dinding, atap, jendela, perapian – hal-hal yang dibangun oleh tangan-tangan lain, dengan bahan-bahan yang lebih beragam, kadang kotor, selalu manusiawi.
Maka,
ketika pena bulu itu menorehkan "Cogito, ergo sum" di atas lembaran
kesendiriannya yang pekat, Descartes memang sedang mengukir monumen bagi
kesadaran manusia yang tegak berdiri di tengah gurun keraguan. Dunia di
luar jendela kafe itu, yang dibasahi hujan, masih terasa tak bisa
dipercaya. Tapi dari kesendirian kognitif yang paling mendasar itu, ia
telah membentangkan jembatan tipis namun kuat, jualan logika yang
membentang dari pulau kesadaran diri yang terisolasi menuju daratan luas
pengetahuan yang mungkin. Sebuah pencapaian brilian, meskipun jembatan
itu, bagi banyak dari kita yang berjalan di atasnya sambil merasakan
angin, hujan, dan detak jantung sendiri, terasa agak sempit dan agak
terlalu dingin. Fondasi memang penting, bahkan esensial, tapi kehidupan,
seperti aroma kayu basah dan kopi yang tak tersentuh di kafe itu,
terjadi di lantai atas.
Posting Komentar
...