Dia Sudah Mati Sejak Tadi Sore

KISAH NYATA !!
     Fatimah merasa badannya kurang sehat malam itu. Sudah dikatakannya kepada suaminya tentang hal itu ketika suaminya akan pergi menagih utang kepada seorang kawannya. Tetapi berhubung keadaan Fatimah dilihatnya tak begitu mengkhawatirkan, hanya demam sedikit saja, maka Yono pergu juga dengan hanji akan pulang secepatnya.
     Fatimah juga mengerti, jika Yono tidak menagih uang itu sekarang, besok mereka tidak mempunyai uang yang cukup buat belanja mereka. Tanpa banyak rewel Fatimah mengizinkan Yono pergi malam itu. Hanya pergi beberapa jam saja, tak akan lama dia menunggu, pikirnya. Sedangkan anak-anaknya sudah sedari tadi tertidur. Dia akan tidur-tiduran di tempat tidur dalam menanti kedatanngan suaminya itu. Apa sebenarnya yang ditakuti? Sedangkan mereka tinggal bukannya di daerah yang terpencil melainkan di jantung kota Jakarta yang padat oleh penduduknya.
     Minumlah obat, Fat! Aku akan pergi sebentar saja, tak akan lama," kata suaminya kepada Fatimah. Fatimah mengangguk tanpa menjawab. Diantarnya Yono sampai ke muka pintu. Angin dingin malam itu menyembut tubuh Fatimah. Sehingga ia sedikit menggigil. Cepat-cepat ditutupnya pintu dan dikuncinya rapat-rapat.
     Setelah kepergian suaminya Fatimah mengambil sebutir obat yang biasanya akan dapat meredakan demam setelah diminum. Setelah itu ia langsung merebahkan dirinya di tempat tidur di sebelah kedua orang anaknya yang sedang dibuai mimpi. Dirasanya tubuhnya semakin menggigil, dan dengan tangan yang gemetar dirabanya dahinya sendiri. Begitu panas membara. Kepalanya berdenyut-denyut. Dirasanya tempat tidurnya bergoyang-goyang seperti ada yang menggerak-gerakkan. Dipejamkannya matanya. Tetapi itu tak dapat mengurangi rasa sakitnya.
     Entah berapa lama dia memejamkan matanya dalam penderitaan itu. Mungkin karena pengaruh obat sudah memasuki tubuhnya, sehingga Fatimah akhirnya dapat tertidur juga.
     Di dalam tidurnya Fatimah seperti mendengar ada yang mengetuk pintu depan. Terdengar pula oleh telinganya desau angin yang merintih di luar sana. Didengar pula lolongan seekor anjing yang sangat memilukan di kejauhan. Tetapi suara-suara itu tak dapat mengalahkan suara ketukan pintu yang tambah lama bertambah keras.
     Dengan malas-malasan Fatimah bangkit dari tempat tidurnya. Mungkin suaminya yang pulang. Tetapi kenapa Yono tidak memanggil-manggilnya seperti basa? Kemungkinan besar Yono sudah memanggil-manggilnya ketika ia sedang tidur pulas tadi, jadi Fatimah tidak mendengarnya.
     "Bang Yono! Kaukah yang di luar itu?" tanya Fatimah sebelum dia membukakan pintu. Sepi. Hanya terdengar desah angin mendatangkan kesan seram di hati Fatimah.
     "Bang Yono!! Kau yang datang?!" Fatimah bertanya lagi dengan suara bergetar, karena dirasanya tubuhnya begitu menderita dengan rasa sakit di kepalanya.
     "Bukan! Aku Marta!" jawab yang ditanya. Fatimah menarik napas lega mendengar jawaban dari luar. Kiranya yang datang adalah Marta kawan karib suaminya. Maka tanpa ragu-ragu dibukanya pintu. Marta masuk dengan wajah lesu. Tetapi Fatimah tidak memperhatikan hal itu. Dia membiarkan tamunya duduk di kursi tamu. Fatimah sendiri duduk di kursi panjang dan menyenderkan kepalanya yang terasa sangat berat tanpa memandang tamunya. Tetapi tiba-tiba ia teringat kepergian suaminya itu bermaksud untuk ke rumah Marta. Tetapi kenapa Marta tiba-tiba ada di rumahnya? Lalu ke mana suaminya sampai saat ini belum juga datang? Apakah suaminya sudah mulai tega membohonginya? Ah, mungkinkah? Selama ini suaminya tak pernahmembohonginya.
     "Tetapi kata suamiku aka ingin ke rumahmu, Ta!" kata Fatimah kepada Marta yang kelihatannya sedang mabuk.
     "Mungkin, soalnya aku sedari sore tidak berada di rumah. Kapan dia pergi, Fat?" tanyanya tanpa menoleh kepada Fatimah.
     "Kira-kira pukul tujuh," jawab Fatimah sambil menguap karena begitu mengantuk.
     "Mungkin Yono ingin menagih utang. Kasihan dia, aku belum juga mampu membayarnya!" kata Marta dengan sedih. Fatimah agak heran melihat Marta yang seperti sedang menghadapi persoalan. Tetapi Fatimah tak ingin lebih banyak bertanya kalau Marta tidak menceritakan kesusahannya lebih dahulu. Fatimah hanya ingin Marta cepat-cepat berlalu dari rumahnya. Sebaba jika tak ada suaminya dia akan merasa tidak enak juga berduaan dengan seorang laki-laki. Walupun tetangga mereka mengetahui bahwa Marta adalah kawan dekat suaminya. Tetapi setidak-tidanya dia merasa tak enak pada dirinya sendiri. Apalagi hari sudah begini malam.
     "Apakah kau ada keperluan yang sangat penting sehingga tidak biasanya kau datang malam-malam begini?" tanya Fatimah. Marta menggelengkan kepalanya dengan malas. Laki-laki itu seperti sedang dalam kesukaran. Buktinya dia enggan untuk menyahut banyak segala pertanyaan Fatimah. Fatimah juga tidak memedulikan itu. Dia menganggap Marta kebetulan sedang mabuk berat sehingga malas untuk banyak bicara kepadanya. Tetapi, ah..dia begitu mengantuk sekali! Untuk meninggalkan Marta sendirian saja di kursi itu, rasanya kurang sopan. Lalu dipejamkannya matanya sambil tetap duduk di kursinya. Tiba-tiba dia dikejutkan oleh perasaannya sendiri! Hidungnya mencium sesuatu bau wangi yang biasanya mengharumi suasana rumah yang sedang ditimpa suatu kematian.
     Yah, bau itu adalah bau yang tidak aneh lagi bagi Fatimah. Bau setanggi yang dibakar! Mengingat semua itu Fatimah membuka matanya yang tadi terpejam. Pandangannya tepat terjatuh ke wajah Marta yang sedang tertunduk menatap lantai. Seketika Fatimah terpana dengan kenyataan ini. Wajah Marta begitu pucat. Dan adal lagi yang menjadi tanda tanya di dalam hatinya. Mengapa selalu tak mau menatap matanya jika sedang berbicara? Marta selalu memandang ke arah lain jika sedang berbicara dengannya. Itu bukan kebiasaan Marta. Fatimah mengenal Marta sudah sangat lama dan dia tahu Marta adalah seorang laki-laki yang jujur. Seorang yang jujur selalu menatap orang yang sedang diajaknya bicara. Tetapi Marta tidak melakukan itu. Itu bukan kebiasaan Marta.

     Sedang sibuknya Fatimah berperang melawan kata hatinya dengan meyakinkan dirinya bahwa Marta berubah atau meninggalkan kebiasaannya karena pikirannya yang sedang kalut, laki-laki itu memulai lagi pembicaraannya.
     "Fat! Pernahkah kau mendengar tentang kematian yang dipaksakan? Maksudku, bukan suatu kematian yang wajar? Misalnya, seseorang yang mati terbunuh. Apakah arwah-arwah orang seperti itu dapat diterima di sisi Tuhan?" Marta bertanya dengan masih menundukkan kepalanya ke lantai.
     "Apa maksudmu, Marta?" tanya Fatimah dengan wajah pucat. Dia tak mengerti mengapa Marta berbicara seperti itu.
     "Maksudku.. jika sekali waktu kita terbunuh dengan paksa oleh seseorang, akan bisakah arwah kita diterima oleh Tuhan Yang Mahaesa? Sedang kita belum lagi menyiapkan diri untuk bertemu dengannya? Misalnya aku mati dibunuh orang dengan usus terburai keluar dan kematian itu disebabkan oleh sebuah perkelahian yang bukan atas kemauanku. Apakah arwahku akan gentayangan mencari pembunuhku untuk melakukan pembalasan dendam atas perbuatannya itu?" kata Marta dengan sungguh-sungguh kepada Fatimah. Fatimah memandangi wajah Marta penuh selidik. Tetapi dia menjawab juga sedapat-dapatnya.
     "Itu tergantung, Marta.! Jika orang itu mati dengan pasrah walaupun ia dibunuh, dia tak akan menjadi setan pengganggu bagi manusia, juga tak akan menuntut balas kepada yang membunuhnya. Persoalan diterimanya manusia di sisi Tuhan, aku sama sekali tak mengerti. Aku hanya tahu Tuhan menerima siapa pun dia adanya jika sudah waktunya dia menghadapNya! Hanya itu yang kuketahui." Marta terdiam mendengar jawaban Fatimah. Dia seperti sedang memikirkan sesuatu. Fatimah juga tak mau mengganggu Marta. Dia hanya mengharapkan agar Marta mengerti bahwa dia sebenarnya sudah sangat mengantuk.
     "Hari sudah larut malam, Marta! Pulanglah ke rumahmu, pasti istrimu merasa khawatir dengan kepergianmu ini," akhirnya Fatimah tega juga berkata begitu. Fatimah juga menyesali suaminya yang belum pulang juga sampai selarut ini.
     "Tidak! Istriku pergi sejak tadi pagi. Dia marah kepadaku dan pulang ke rumah orang tuanya. Mungkin dia tak akan kembali lagi kepadaku! Itu yang telah dikatakannya kepadaku!" jawab Marta dengan sedih.
     "Percayalah Marta! Perempuan memang sering berbicara menuruti nafsunya saja tanpa berpikir lebih lanjut lagi akan keputusan yang telah diambilnya. Istrimu akan kembali. Itu pasti!" Fatimah berusaha menghibur Marta. Tetapi Marta seperti tak mendengarkan semua kata-kata Fatimah. Dia tetap terpekur memandangi lantai.
     "Dia perempuan yang keras kepala, Fat! Rasanya memang sebaiknya kami berpisah saja."
     "Pikirkanlah olehmu baik-baik, Marta! Ingatlah kedua anakmu! Mereka masih terlalu kecil, mereka butuh sekali kasih sayang dari kedua orang tuanya," kata Fatimah sambil menguap lagi.
     Melihat Fatimah menguap lagi, Marta menjadi merasa tidak enak untuk tinggal lebih lama di rumah itu. Dengan mengucapkan terimakasih ia berpamitan untuk pulang.
     "Terimakash, Fat! Aku pergi dulu. Sampaikan salamku kepada Yono. Dan, sampai jumpa!" kata Marta dengan lesu. Setelah kepergian Marta, Fatimah tetap duduk di kursinya dengan kepala yang mulai lagi terasa sakit. Tetapi ketika dilihatnya jam sudah menunjukkan pukul satu lewat lima belas menit, Fatimah bangkit dari duduknya untuk mengunci pintu. Masih tercium olehnya bau setanggi yang dibakar. Fatimah ingat, malam ini malam Jumat, mungkin saja salah seorang tetangganya membakar kemenyan  atau setanggi sehingga bau itu sampai ke rumahnya.
     Angin di luar masih bertiup keras seperti tadi. Fatimah sudah merebahkan tubuhnya di tempat tidur melepaskan kantuk yang menggodanya sejak tadi. Hujan mulan turun rintik-tintik menemani malam yang semakin larut. Lolong anjing sudah menghilang sejak tadi. Mungkin bnatang itu sudah tertidur pulas dalam cuaca yang sesejuk ini.
     Belum lagi satu jam Fatimah terlelap dalam tidurnya, sudah didengarnya lagi suara ketukan dan teriakan Yono yang memanggil-manggilnya. Fatimah terkejut sesaat. Tetapi dia cepat bangun dan berjalan ke luar untuk membukakan pintu bagi suaminya.
     "Maafkan aku, Fat! Aku terlambat pulang malam ini," kata suaminya dengan penuh rasa sesal pada wajahnya. Fatimah tak memedulikan kata-kata Yono. Dia langsung saja kembali ke kamarnya untuk melanjutkan tidurnya. Dia sangat lelah dan mengantuk, ditambah lagi dengan sakit kepalanya yang tak kunjung hilang. Maka dari itu Fatimah tak begitu memedulikan suaminya yang sebenarnya takut disesali oleh ang istri karena pulang terlalu malam.
     Sikap Fatimah yang seperti itu mendatangkan dugaan di hati Yono bahwa istrinya betul-betul jengkel kepadanya. Yono menjadi tak enak hati. Lalu didekatinya Fatimah yang sudah tertidur kembali. Dipeluknya tubuh istrinya dengan penuh kasih sayang. Fatimah diam saja. Dia bukannya marah karena suaminya pulang terlambat tetapi dia merasa tubuhnya begitu lelah dan kepalanya sakit.
     "Badanmu panas, Fat? Masih sakitkah kau?" tanya Yono lembut sambil meraba kening istrinya.
     "Ya, kepalaku masih saja sakit. Sungguh hera, padahal aku sudah meminum obat tadi sebelum tidur. Biasanya setelah minum obat itu kepalaku akan sembuh dengan cepat, tetapi kenapa sekarang tidak, ya?" keluh Fatimah kepada suaminya.
     "Apakah ada yang datang mencariku, Fat? Aku lupa kalau tadi malam telah berjanji ingin pergi ke rumah Toni untuk membawakan radio yang dipesannya," tanyanya pada Fatimah.
     "Bukan Toni yang mencarimu, tetapi Marta!" jawab istrinya.
     "Hah?? Marta katamu, Fat?" Yono berteriak kecil. Wajahnya tiba-tiba menjadi pucat pasi. Tetapi Fatimah tak melihat perubahan wajah suaminya itu. Dia hanya heran mendengar suaminya begitu terkejut ketika dia menyebutkan nama Marta. Fatimah tersenyum sendiri. Soalnya sebelum pergi Yono berkata akan ke rumah Marta, tetapi nyatanya malahan Marta yang datang ke rumah mereka ketika Yono berada di sana. Mungkin Yono kebingungan untuk mencari alasan lain setelah diketahuinya Marta datang ke rumah mereka.
     "Ya! Kenapa terkejut?" tanya istrinya tanpa melihat ke wajah suaminya.
     "Marta? Marta Saroh? Kapan dia datang? Jam berapa?" tanya Yono dengan suara meninggi seperti orang berteriak. Fatimah heran melihat suaminya begitu kaget.
     "Marta datang kira-kira pukul satu malam di saat aku sedang enak-enaknya tidur. Wajahnya kelihatan begitu sedih. Ada yang kuherankan, dia berbiara tentang suatu kematian," jelas istrinya.
     "Lalu.. apa lagi yang dibicarakannya?" tanya Yono gugup.
     "Dia juga menceritakan tentang utangnya kepadamu. Katanya dia sangat menyesal karena belum bisa membayarnya. Dia juga bercerita tentang pertengkarannya dengan istrinya. Kasihan! Marta kelihatannya begitu sedih dan berduka waktu dia berkata istrinya pergi meninggalkan rumah." Yono terdiam mendengar penjelasan istrinya dengan raut wajah tetap pucat dan penuh kekagetan. Fatimah menolehkan wajahnya memandangi suaminya. Hatinya bertanya-tanya mengapa suaminya menjadi seperti itu.
     "Yono! Ada apa? Kenapa tiba-tiba wajahmu menjadi sepucat itu?" tanya Fatimah penasaran.
     Yono memandang istrinya sejenak, lalu menatap langit-langit kamar dengan alis yang berkerut.
     "Kenapa kau Yono? Ada apa?" Fatimah mengguncang-guncangkan tubuh suaminya. Setelah lama berdiam diri akhirnya dengan susah payah dapat juga Yono dengan susah payah dapat juga Yono menjelaskan keterkejutannya ketika mendengar kedatangan Marta di tengah malam itu.
     "Fat! kuharap kau jangan terkejut mendengar semua ini. Sebenarnya.. Ah, kau pasti akan terkejut! Tetapi aku harus berterus terang kepadamu. Karena biarpun hal ini kurahasiakan kau pasti akan segera tahu! Dengarlah Fat, Marta Saroh sebenarnya sudah mati tadi sore! Ya, pukul lima sore tadi. Dia ditikam orang pada perutnya sehingga ususnya terburai ke luar! Marta dibwa ke rumah sakit dari tempat kejadian di Mangga Besar. Tetapi tak lama kemudian Marta menghembuskan napas terakhirnya di rumah sakit. Aku tak mengerti mengapa Marta bisa datang kemari tadi? Padahal dia sudah mati sejak tadi sore. Apakah kedatangan Marta tidak hanya di dalam mimpimu saja, Fat? Kau ini kan sedang sakit, jadi aku berpendapat kau berjumpa dengan Marta hanya dalam ilusimu saja." Yono mencoba meneliti wajah istrinya yang sekarang pucat juga.
     "Tidak! Aku betul-betul sadar bahwa Marta datang dan berbicara denganku dengan wajah sedih. Aku membukakan pintu untuknya. Dia duduk dengan wajah terpekur ke lantai seperti tak ingin memandang wajahku. Dia tak mau memandang mataku! Ya, aku baru ingat! Ya Tuhan! Kalau begitu semalam aku berbicara dengan arwah Marta! Semoga tenanglah arwahnya di sisi Tuhan. SEmoga terampunkanlah semua dosa-dosanya selama dia hidup!" kata Fatimah sambil memeluk suaminya. Yono membalas pelukan istrinya.
     "Semalam aku ikut mengambil mayat Marta di rumah sakit Husada dan membawanya pulang ke rumahnya. Memang benar, aku tidak menjumpai istrinya di sana. Ibu Marta berkata istri Marta sedang pulang ke rumah orang tuanya," kata Yono.
     "Aku sudah tahu hal itu lebih dulu, bukan?" Fatimah berkata dalam dekapan suaminya yang hangat.
     "Kau hanya berbicara dengan arwahnya saja. Padahal dia sudah mati sejat sore!" Yono mengulangi kata-kata yang sudah diucapkannya tadi. Dia hanya ingin istrinya mempererat pelukannya saja. Sebaa Yono tahu bahwa Fatimah begitu takut mengingat peristiwa yang baru dialaminya.
     cerita : Widya Cristianti
     Majalah Senang 00533 thn 1982

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.