Sawunggaling

     Nama yang sebenarnya bukan Sawunggaling. Pada waktu kecilnya dia bernama Jaka Bereg. Setelah menjelang dewasa, Jaka Bereg sangat gemar menyabung ayam. Dan ayamnya selalu menggondol kemenangan. Ayamnya itu setiap hari oleh ibunya, Rara Blengoh, selalu memberikan makanan yang sangat bermanfaat kepada ayam itu menyebabkan ayam itu selalu unggul dalam pertarungan. Tubuh ayam itu besar dan gagah, sehingga kekuatannya melebihi ayam-ayam lain.
     Jaka Bereg sangat bangga. Apalagi setelah orang-orang di dusunnya, desa Wlidah, menyebut namanya bukan lagi Jaka Bereg, tetapi Sawunggaling. Sawung artinya ayam jantan dan galing adalah makanan yang tiap hari diberikan kepadanya. Jaka Bereg sendiri lebih senang dengan nama Sawunggaling.
     Sesungguhnya pula, Sawunggaling adalah putra seorang bangsawan dari Surabaya, Adipati Jayengrana. Karena sejak kecil dia tinggal bersama ibunya, Rara Blengoh, maka setelah besar Sawunggaling pergi ke Surabaya menyusul ayahnya. Sawunggaling mempunyai kepribadian yang menarik, cerdas, berbudi luhur dan tangkas dalam olah keprajuritan. Maka Adipati Jayengrana mengangkat Sawunggaling menjadi calon penggantinya, meskipun Sawunggaling sebenarnya masih mempunyai lima saudara dari lain ibu.

     Pada tahun 1707, keadaan di dalam negeri Surabaya sedang suram. Kompeni Belanda yang sudah mencengkeramkan kukunya di berbagai daerah di tanah Jawa, mulai merembes juga ke Surabaya. Demikianlah Adipati Jayengrana juga selalu mendidik anak-anaknya tetap waspada menghadapi pihak kompeni. Sawunggaling yang sudah dewasa, ikut membantu ayahnya mengatur pemerintahan. Dan ternyata dia memang cerdas dalam menghadapi segala kesulitan di dalam negeri. Kompeni belum puas, kalau Jayengrana belum dapat dimusnahkan, karena dia dianggap sebagai duri penghalang. Segala usaha tidak berhasil untuk menjebaknya, karena Jayengrana memang cerdik juga dalam siasatnya menghadapi Belanda.
     Akhirnya Belanda minta pertolongan dari raja Kartasura, Pakubuwana I. Dengan kata-kata manis Belanda mengadu, bahwa Adipati Jayengrana telah berkhianat kepada Belanda, tidak mau memberi setoran hasil tanaman perdagangan dengan jumlah yang semestinya. Belanda meminta agar Jayengrana dijatuhi hukuman mati. Permintaan itu sebenarnya sangat mengejutkan Pakubuwana I, karena Jayengrana adalah salah seorang Adipati yang banyakjasanya, sangat taat kepada Sunan Pakubuwana I.
     Tetapi, karena Pakubuwana I juga sangat takut kepada kompeni, maka kemudian dia segera memberi perintah untuk membuat surat y ang ditujukan kepada Jayengrana, agar secepatnya menghadap ke Kartasura. Jayengrana memenuhi panggilan itu. Kemudian dia dianggap bersalah dan dijatuhi hukuman dengan lehernya diikat dengan 'lawe', kedua ujungnya ditarik oleh dua orang, sehingga dia tercekik dan menemui ajalnya. Jenazahnya dimakamkan di kampung Laweyan di dalam kota Surakarta sekarang, yang asalnya dari perkataan lawe.
     Kemudian sebagai penggantinya, Sawunggaling diangkat menjadi Bupati Surabaya, untuk menggantikan ayahnya. Sawunggaling tahu, bahwa ayahnya telah difitnah oleh Belanda, sehingga kebenciannya kepada kompeni semakin bertambah meluap. Juga dengan Sawunggaling ini, kompeni ingin mengadakan berbagai persetujuan untuk bekerja sama. Tiap usaha akan dipergunakan untuk dapat melunakkan hatinya. Tetapi Sawunggaling tetap waspada. Dibicarakannyalah masalah kelicikan Belanda ini denagn patihnya yang setia, Raden Suderma.
     "Paman Patin," katanya. "Dengan meninggalnya ayahanda, tahulah kita betapa licinnya musuh yang kita hadapi. Licin dan rendah budinya."
     Patih Suderma mengerti, bahwa kematian Jayengrana sangat melukai hati Sawunggaling. Biarpun sekarang dia yang diangkat menjadi Bupati, namun Sawunggaling sedikitpun tidak merasa senang. "Memang demikian, Gusti Adipati," jawab Patih Suderma. "Untuk mencapai kehendaknya, mereka tidak peduli apakah cara yang mereka lakukan itu bersifat pengecut atau penipu."
     Sawunggaling bertambah sedih ketika mengetahui bahwa pamannya yang menjadi Bupati di Semarang, Adipati Sasradiningrat, ternyata juga telah memihak kepada Belanda. Bahkan dengan tidak disadarinya, Belanda telah menggunakan akal liciknya, memperalat Adipati Sasradiningrat untuk membujuknya agar mau memerangi Raja Maulana dari Tambaskelingan (Madura).
     Adipati Sasradiningrat mengatakan bahwa kedudukan Raja Maulana sangat membahayakan bagi keamanan di Pulau Jawa sebelah timur, karena Maulana hendak menyerbu ke Jawa.
     Akhirnya Sawunggaling menyanggupi permintaan pamannya itu, tanpa menyadari bahwa yang menjadi dalangnya adalah Belanda juga. Belanda merasa dihalang-halangi oleh Raja Maulana dalam usahanya untuk mendirikan benteng-benteng di daerah Tambaskelingan dan selalu mendapat perlawanan yang hebat.
     Dengan membawa pasukan yang cukup besar, Sawunggaling menujuke Tembaskelingan. Pertempuran di Tambaskelingan seru sekali. Memang Raja Maulana mempunyai prajurit yang kuat. Belanda sendiri tidak mampu memadamkan perlawanan itu. Oleh karenanya Belanda mengatur siasat untuk mengajukan Adipati Sawunggaling. Maksudnya agar Sawunggaling gugur di medan pertempuran melawan Raja Maulana karena Sawunggaling merupakan duri di mata kompeni. Belanda sudah yakin Sawunggaling pasti akan tewas dalam pertempuran itu.
     Harapan Belanda meleset. Sawunggaling ternyata memperoleh kemenangan di dalam peperangannya melawan Raja Maulana. Namun kekecewaan Belanda itu mendapatkan ganti, karena selama Sawunggaling mengadu nyawa di Tambaskelingan, kompeni Belanda dengan pasukannya yang besar menyerbu Surabaya. Dengan kejamnya mereka membasmi habis semua pasukan Sawunggaling yang masih tinggal di Surabaya. Belanda menduduki Surabaya dalam waktu sangat singkat.
     Pulang dari Tambaskelingan, Sawunggaling sangat kaget mengetahui bahwa Surabaya telah jatuh ke tangan Belanda. Sadarlah ia bahwa Belanda telah menipu dirinya dengan licik dan mentah-mentah. Sawunggaling merasa mendongkol dan hatinya menangis. Namun begitu, semangatnya untuk mengusir Belanda dari Jawa tidak pernah padam sama sekali.
     Dengan sisa pasukannya yang masih lemah karena baru selesai berperang, Sawunggaling berusaha melawan pasukan Belanda yang menghadangnya. Pertempuran terjadi lagi. Bunyi senapan, keris, tombak dan rintihan serdadu yang sekarat menjadi satu. Belanda terus mendatangkan bala bantuan. Serdadu kompeni sangat kuat dan jauh lebih banyak dari prajurit Sawunggaling. Peperangan berhasil dimenangkan oleh Belanda. Korban di pihak Sawunggaling sangat banyak.
     Sawunggaling dengan didampingi sisa pasukannya yang semakin bertambah susut berhasil meloloskan diri, menyeberang menuju ke Sampang, di Madura. Sampai di Sampang, dia diterima dengan baik. Bupati Sampang yang masih sekeluarga dengannya, meminta supaya dia tinggal beberapa hari di situ untuk beristirahat dengan tenang.
     Sebenarnya Adipati Sampang ini pun telah bekerja sama dengan kompeni Belanda. Malah beberapa hari sebelumnya dia telah mendapat perintah dari Belanda untuk menangkap Sawunggaling, apabila Sawunggaling mengundurkan diri sampai di Sampang. Hal ini sama sekali tidak diduga oleh Sawunggaling. Adipati Sampang kemudian mengusulkan agas Sawunggaling menujuke Kartasura meminta perlindungan kepada Sunan Pakubuwana I.
     Maka dengan diantarkan oleh Adipati Sampang, Sawunggaling berangkat ke Kartasura. Tetapi ketika mereka sampai di Surabaya, ternyata Adipati Sampang menyerahkan Sawunggaling kepada Belanda. Sawunggaling tidak dapat berbuat apa-apa lagi, kecuali hanya menyerah. Dia kemudian dimasukkan ke dalam sebuah kamar di penjara dengan penjagaan kuat.
     Karena pertolongan seorang penjaganya yang ternyata simpati kepada perjuangan Sawunggaling yang tanpa mengenal pamrih, maka Sawunggaling berhasil lolos dari penjara. Sawunggaling bebas, lalu menggabungkan diri dengan para prajuritnya yang masih tetap setia meneruskan perlawanan terhadap Belanda di bawah pimpinan Patih Suderma. Mengetahui bahwa Sawunggaling lolos dari penjara dan menggabungkandiri lagi dengan sisa-sisa pasukannya, Belanda menjadi sangat gusar. Mereka menyiapkan pasukan untuk menumpas pemberontakan itu.
     Pertempuran dahsyat terjadi lagi di sekitar Surabaya. Para prajurit Sawunggaling melawan dengan sekuat tenaga. Tetapi Belanda mendatangkan banyak bala bantuan dari Batavia, dari Madura dan dari Sulawesi.
     Pasukan Sawunggaling terpaksa mengundurkan diri karena kekurangan persenjataan. Mereka tidak mau menyerah, biarpun banyak sekali korban yang berjatuhan. Sawunggaling melihat, memang tidak ada gunanya untuk melawan terus, karena pasukan kompeni jauh lebih besar, lebih kuat dan lengkap persenjataannya.
     Para prajuritnya diberi perintah untuk menghentikan perlawanan, karena mereka hanya akanmenjadi umpan peluru saja kalau terus bertempur. Tetapi Sawunggaling sendiri, secara diam-diam tanpa sepengetahuan para prajuritnya, menghunus kerisnya. Dan dengan dada terbuka dia menerobos ke tengah-tengah barisan musuh. Sawunggaling mengamuk bagaikan 'banteng ketaton'. Dengan kerisnya yang ampuh dia menusuk ke kiri dan kanan, sehingga banyak sekali serdadu musuh yang menemui ajalnya di ujung keris Sawunggaling.
     Sawunggaling sudah bertekad bulat, sebelum gugur di medan pertempuran - kematian yang selalu menjadi impiannya - dia harus terlebih dahulu menewaskan serdadu musuh sebanyak-banyaknya.
     Serdadu musuh menjadi kalang kabut, karena menyaksikan tubuh teman-temannya terkapar dan menggelepar di tanah yang basah oleh darah segar. Namun mungkin sudah sampai pada saatnya. Ketika Sawunggaling sedikit lengah, maka dia kena sebuah tembakan dari samping. Badannya segera basah oleh darah.
     Dan setelah dirasanya bahwa kekuatannya makin menyusut, maka ditusukkannya keris yang dipegangnya ke dalam perutnya sendiri. Lebih baik mati karena keris sendiri, daripada mati oleh tangan musuh. Namun impiannya telah terkabus, yakni gugur di medan pertempuran!
     Perlahan-lahan tubuh Sawunggaling jatuh ke tanah, sementara darah merah mengucur semakin deras dari luka di perutnya. Sawunggaling gugur sebagai pembela bangsa, sebagai seorang pahlawan besar, tetapi hingga kini tidak ada seorangpun yang mengetahui di mana makamnya.

diceritakan oleh Sudibyo Eswe
majalah Senang 00533 thn 1982

Posting Komentar

  1. Bacaan menarik pak!
    Makamnya di surabaya, di daerah wiyung. Kl engak salah, Udh diresmikan sama walikota surabaya dulu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih infonya Pak.
      Berharap suatu hari nanti bisa mampir di sana. (o)

      Hapus

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.