Bagi orang Tionghoa, seseorang menjadi tidak berharga bila tidak mempunyai anak sarna sekali. Masih untung punya anak walaupun hanya perempuan. Banyak anak berarti banyak pula yang akan mengirim doa bila mereka nanti akan menghadap Thian, bersatu kembali dengan nenek moyangnya. Tetapi, anak laki-laki mempunyai nilai tertinggi. Anak laki-laki merupakan penerus keluarga. Dengan lahirnya anak laki-laki berarti tidak bakal putus nama keluarganya. Marga (she)-nya tidak akan dihapuskan dari muka bumi ini. Keterikatan terhadap keluarga, adat, kebudayaan dan tata kehidupan menyebabkan orang Tionghoa mempunyai ciri yang menonjol, sulit meninggalkan kebiasaannya, sulit menerima kehadiran hal-hal yang asing sehingga mereka dicap sebagai tertutup dan menyendiri.
Khong Cu dapat menanamkan ajarannya begitu kuat kokoh sehingga mampu mengalahkan aturan agama apapun yang masuk ke Tionggoan. Agama yang penuh kasih itu menarik minat banyak orang. Makin lama pengikutnya makin banyak. Tetapi percampuran dengan adat dan kebiasaan setempat tidak dapat dihindari lagi, dan sekarang sulit untuk membedakan mana yang asli mana yang bukan.
Daerah Selatan daratan Tionggoan merupakan daerah yang paling subur sehingga tampak kemakmuran rakyatnya. Berbeda dengan daerah utara yang gersang, memerlukan kekerasan kemauan untuk dapat bertahan hidup. Di daerah selatan orang dapat lebih santai bekerja, lalu mempunyai sisa waktu untuk berduka ria sebelum musim panen. Tidak heranmbila kemudian timbul kesenian serta kebudayaan yang tinggi. Bukan hanya seni sastra, serta musik saja. Juga seni lukis dan pahat berkembang baik sekali.
Banyak tokoh-tokoh yang muncul menjadi sastrawan besar, filsuf dan cendekiawan. Semuanya muncul dari daerah selatan.
Orang-orangnya cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Terbuka, dan mudah menerima sesuatu yang agak berbeda dengan yang sudah mereka miliki. Walau dalam hal ini mereka melakukan seleksi yang sangat ketat. Maka agama Budha juga masuk melalui celah di daerah selatan ini, melalui berbagai ilmu pengetahuan, pengobatan, dan kebatinan.
Timbulnya agama Budha di Tionghoa bukan tanpa guncangan. Agama Tao yang sudah lebih dulu ada terdesak. Mereka bersaing. Kadang-kadang timbul bentrokan di antara para pengikutnya. Pertumpahan darah tidak dapat dihindari lagi. Tercatat bahwa perang antara mereka timbul beberapa kali sehingga menimbulkan banyak korban yang sia sia. Namun mereka merasa bangga sebab dapat mempertahankan keyakinannya.
Di dusun Li-kuo-cun ada seorang pemuda yang saleh. Kelakuannya setiap hari cukup baik. Sopan santun serta keramahannya menjadi buah bibir banyak orang. Wajahnya yang ganteng membuat para ibu ingin mengambil menantu dan banyak gadis tergila-gila kepadanya. Namanya Siauw Liong. Orang tuanya berharap agar si anak kalau besar nanti akan dapat berlaku sebagai Naga, karena naga merupakan perwujudan watak yang luhur dan kokoh sebagai binatang surga.
Sejak kecil Siauw Liong tidak menunjukkan keistimewaan. la tumbuh wajar seperti anak-anak lainnya di kampung. Belajar membaca dan menulis, bermain-main, dan sesekali membantu kedua orang tuanya ke sawah dan kebun. Bila malam mendengarkan cerita kepahlawanan nenek moyangnya. Memang, Siauw Liong masih keturunan orang-orang terkenal, pahlawan pembela tanah air, dan banyak pula yang menjadi panglima kerajaan. Hal itu dapat dilihat makam keluarga yang sangat besar serta mewah tidak begitu jauh dari kampung. Sekali setahun, paling tidak, Siauw Liong diajak orang tuanya berziarah serta melakukan sembahyang di makam keluarga.
Siauw Liong bercita-cita untuk menjadi sastrawan. la gemar membaca tulisan para pujangga zaman dahulu. Malah telah dapat membuat sajak-sajak yang bagus. Orang-orang di kampungnya kagum serta bangga akan kepandaiannya. Malah seorang satrawan dari kota yang menjadi guru memberikan pelajaran khusus kepada Siauw Liong. Dengan cepat anak itu telah tumbuh menjadi orang terpelajar, penuh hikmat lagi pula bijaksana.
"Liong-ji, ibu ingin agar kau dapat menjadi sastrawan besar agar nama kita tetap terpelihara sepanjang zaman," katanya pada suatu saat.
“Ma, harapanmu pasti terkabul,” jawab Siauw Liong.
“Kau memang anak yang berbakti, Liong Ji. Hanya kau yang akan mampu mengangkat derajat orang tuamu yang sudah mulai payah ini,” sambung ayahnya.
“Thia, doakanlah agar anakmu ini dapat belajar dengan baik,” kata Siauw Liong lagi.
Makin lama anak itu makin tekun. Juga usianya makin bertambah. Makin banyak pula gadis yang teruka-gila padanya. Secara berbisik-bisik mereka mulai membayangkan bahwa dirinya bakal menjadi menantu Han Siang, ayah Siauw Liong. Bila mereka melihat ibu Siauw Liong lewat hendak ke pasar, sa¬lah seorang pasti ada yang mengatakan kepada temannya, "Itu mertuaku akan ke pasar." Maka berderailah tawa me¬reka.
Tetapi Siauw Liong sendiri hampir tidak memedulikan mereka. Pergaulannya tetap biasa-biasa saja. Ia menegur dan berbicara kepada siapa saja. Murah senyum dan tetap ramah. Dalam hatinya belum ada seorang gadis pun yang menambatnya. Hati dan pikirannya terus tertuju kepada pelajarannya. Siang hari ia membantu orang tuanya di sawah dan ladang, malam harinya menekuni buku pelajarannya. Sesekali ia pergi juga ke pasar ikut menjual hasil sawah dan ladangnya yang berupa sayur-sayuran, palawija, dan hasil bumi lainnya.
Pada suatu malam Han Siang memanggil anak yang semata wayang itu. Anak tunggal yang sangat dikasihinya.
"Liong-ji, menurut perhitunganku pada Sa-gwee Cap-Go nanti usiamu sudah dua puluh lima. Cukup tua bagi seorang laki-laki untuk segera menikah," kata ayahnya.
"Apakah Thia maksudkan agar anakmu segera menikah?" tanya Siauw Liong.
"Begitulah. Kami sudah tua. Ibumu ingin segera menimang cucu. Tidak lama lagi ayah sudah tidak mampu lagi ke sawah. Kaulah yang akan menggantikan kami yang tua."
"Thia, anakmu mohon waktu sedikit lagi untuk menyelesaikan pelajaran. Sabar saja sedikit," jawab Siauw Liong. Tetapi Tuhan menentukan lain. Kehidupan manusia tidak dapat diduga. Daratan Tionggoan terserang wabah. Begitu juga dusun Li-kuo-cun. Kedua orang tua Siauw Liong tidak luput dari ancaman El-Maut. Kala itu Siauw Liong sedang berada di kota memperdalam pelajarannya. Di sana ia bertemu dengan seorang pendeta Budha, dan Siauw Liong belajar tentang agama itu kepada sang Hwesio.
Berita duka itu datangnya terlambat. Betapa menyesalnya Siauw Liong tidak dapat menunggui serta merawat kedua orang tuanya yang menderita. Ia menangis di atas pusara kedua orang tua-nya. Untunglah, karena dihibur oleh Pek Bin Hwesio yang menjadi gurunya, ia sadar bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayah bundanya. Lalu ia tambah tekun belajar tentang agama yang baru saja masuk ke Tionggoan itu.
Dengan tekun Siauw Liong mempelajari buku-buku pelajaran agama Budha. Malah kini ia masuk ke dalam sangha menjadi hwesio. Karena ketekunannya ia segera dilantik setelah mengucapkan sumpahnya untuk tetap berlindung kepada sang Budha, kepada sangha dan kepada dharma. Di daerah itu ia merupakan satu-satunya pemuda yang menjadi hwesio. Orang menyebutnya sebagai Giok Bin Hwesio sebab wajahnya memang bersih bagaikan batu giok.
Selain mengamalkan dharmanya sebagai hwesio, Giok Bin Hwesio tekun membaca keng. Hati dan jiwanya seolah-olah telah lepas dari dunia ini. Ia telah men¬dapatkan kenikmatan sejati. Tidak ada keterikatan dengan dunia yang penuh duka nestapa, penuh samsara. Tujuan utama Siauw Liong yang sudah dijuluki Giok Bin Hwesio (bukan gelar) . Adapun gelarnya adalah Bhammapadha (hendak mencapai nirwana). Bahkan hendak menjadi Bodhisatwa.
Pada suatu malam, ketika ia sedang tekun mengucapkan liam-keng, masuklah seorang berwajah ganteng dengan pakaian yang indah ke dalam kamarnya yang sederhana. Giok Bin Hwesio menghentikan pembacaan Kengnya.
"Siapakah Anda?" tanyanya kepada sang tamu.
"Saya Malaikat penjaga langit," jawab si tamu.
"Maksud kedatangan Anda kemari?" "Para Dewa terkesan akan ketekunanmu. Para Dewa hendak menganugerahkan suatu tamasya kepadamu." "Tamasya? Pinto sudah tidak menginginkan hal-hal seperti itu."
"Bukan tamasya sembarang tamasya, tetapi tamasya melihat isi Surga dan Neraka."
"Kalau itu, Pinto bersedia."
"Nah, pegang tanganku, dan pejamkanlah matamu. Jangan kaubuka sebelum kuberitahukan."
Giok Bin Hwesio alias Dhammapada yang dulu bernama Siauw Liong kini dalam bimbingan Malaikat Penjaga Langit. Ia dibawa ke suatu tempat yang tidak mungkin dapat dikunjungi oleh manusia biasa. Di sana adalah tempat tinggal mereka yang sudah berada dalam alam lain. Alam kematian.
"Bukalah matamu," kata Malaikat Penjaga Langit.
Ketika Siauw Liong yang dijuluki Giok Bin Hwesio membuka matanya, ia melihat manusia yang hidup dalam kesukaan. Ada yang hidup dalam suasana pesta-pora, makan minum yang serba lezat .
"Itulah Surga. Kesenangan semu. Kesenangan yang sesungguhnya, bersifat abadi. Tidak ada perasaan apa pun. Yang ada hanyalah ketenangan serta kedamaian. Kata-kata itu pun belum dapat menggambarkan keadaan nirwana yang sesungguhnya."
Memang semuanya tampak seperti kesenangan di dunia fana saja. Hal seperti itu tidak menarik sama sekali. Lalu Siauw Liong diajak pergi ke suatu tempat. Tempat penghukuman roh yang semasa hidupnya berbuat tidak sesuai dengan hukum. Baik hukum dunia maupun hukum agama.
"Itu, tempat penebusan kesalahan mereka sewaktu di dunia. Mereka yang jahat, mencuri, menipu, memerkosa hak orang lain, menindas orang lemah, menyelewengkan ajaran agama dan kesalahan-kesalahan lain.
"Dan yang di sana, dua buah gunung baja yang selalu berputar itu, adalah tempat menggiling roh-roh orang yang akan mengalami penitisan kembali. Sesudah rohnya digiling, kemudian diturunkan kembali ke dalam dunia untuk menjelma kembali sesuai dengan dharmanya sewaktu masih hidup di dunia.
"Ada yang menjadi lebih tinggi derajatnya, kalau mereka berbuat baik, tetapi ada yang turun derajatnya bila berbuat jahat sewaktu masih hidup. Malah ada yang diturunkan menjadi binatang. Bahkan binatang yang paling hina seperti cacing, ulat, dan lain-lainnya." Keduanya berjalan melihat-lihat isi neraka.
Pada suatu tempat Siauw Liong melihat seseorang yang terikat kaki tangannya. Kakinya terikat pada ujung sebuah batang bambu tunggal. Kepalanya berada di bawah, sedang di bawah menyala api yang panas dan mahaluas. Di pangkal pohon bambu tampak seekor tikus sedang mengerat batang bambu itu.
"Siapa dia?" tanya Siauw Liong. "Tanyalah sendiri," jawab Malaikat Penjaga Langit.
"Siapakah Anda?" Dan mengapa tergantung di tempat itu?" tanya Siauw Liong.
"Aku kakek moyangmu. Aku tergantung di tempat ini karena menerima hukuman sebab keturunanku tidak mau menikah sehingga putuslah keturunanku. Tidak ada orang yang bakal bersembahyang di kuburku. Tidak ada yang meneruskan garis hidupku," jawab orang itu.
"Anda kakek moyang saya?" tanya Siauw Liong heran.
"Ya. Bukankah kau Siauw Liong, anak Han Siang dari dusun Li-kuo-cung. Engkau anak tunggal. Seharusnya engkau secepatnya menikah, memberikan cucu bagi ayah-ibumu, menjadi kepala keluarga dan memimpin upacara sembahyang di waktu Sin-cia."
"Bagaimana agar Anda dapat terlepas dari hukuman itu? Soalnya tidak lama lagi tikus itu akan menumbangkan batang bambu tempat Anda tergantung."
"Apakah kau berniat melepaskan aku dari siksaan ini?"
"Ya. Apa pun syaratnya saya bersedia, asal Anda terlepas dari sengsara itu."
"Kembalilah ke dunia dan menikahlah!"
Tertegun Siauw Liong mendengar ucapan kakek moyangnya. Ia tidak dapat berpikir terlalu lama dan harus segera bertindak demi keselamatan kakek moyangnya. Ia akan segera mengambil keputusan, maka ia minta diantar pulang ke dunia. Oleh Malaikat Penjaga Langit ia diperintahkan memejamkan matanya. Begitu ia membuka mata, ia sudah berada di kamarnya lagi. Hari sudah pagi. Ayam jantan sudah mulai berkokok. Tetapi ia belum dapat mengambil keputusan. Haruskah ia menanggalkan jubahnya dan kembali menjadi orang awam? Ataukah ia akan membiarkan kakek moyangnya tergantung di ujung batang bambu dengan nyala api di bawahnya, padahal suatu saat batang bambu itu akan tumbang sehingga kakek moyangnya terjatuh ke dalam api neraka?
Siauw Liong belum dapat mengambil keputusan. Dapatkah Anda membantunya?
Anonim
Posting Komentar
...