Ketika aku memasuki kamar itu, Tuan Mills sedang memandang ke arah pintu dengan pandangan yang tidak sabar. Tetapi ketika dia tahu yang datang adalah aku, perawatnya, ia segera mengalihkan pandangannya. Aku langsung menekankan stetoskop ke dadanya dan mendengarkan.
Keras, pelan . . . bahkan berdebar-debar. Ada petunjuk bahwa dia baru saja mengalami serangan jantung ringan beberapa saat yang lalu.
Dia memandang ke 'langit-langit, air mata menggenangi kedua pelupuk matanya, berkaca-kaca. Kusentuh tangannya, dan aku menunggu.
"Maukah Anda memanggilkan anak perempuanku?" akhirnya dia berkata, "Anda tahu, aku ini hidup sendiri dan dia, dia adalah satu-satunya keluargaku yang kumiliki," pernapasanku tiba-tiba menjadi cepat.
Aku menambah persediaan oksigennya. "Tentu, Tuan Mills. Aku akan memanggilnya," jawabku.
Tuan Mills mencengkeram ujung selimutnya untuk membetulkan letak selimut itu di atas badannya. "Maukah Anda memanggilkan anakku sesegera mungkin?" napasnya cepat, terlalu cepat.
"Aku akan memanggilnya sesegera mungkin," kataku seraya menepuk-nepuk pundaknya. "Sekarang Tuan beristirahatlah dahulu."
Dia menutup kedua matanya. Rasa enggan aku untuk pergi meninggalkan kamar ini. Lalu melangkah menuju ke jendela kaca yang suram dan beku. Kaca terasa dingin. Di bawah, kabut tebal bergulung-gulung melintasi tempat parkir rumah sakit. Malam ini awan tebal menyelimuti langit.
"Perawat," dia memanggil, "tolong carikan aku kertas dan pensil," katanya.
Aku mengambil secarik kertas berwarna kuning dan pulpen dari saku bajuku, lalu menaruhnya di meja kecil di samping tempat tidurnya..
"Terima kasih," katanya.
Aku tersenyum kepadanya dan terus pergi berlalu.
Di dalam catatan, anak Tuan Mills itu tertulis sebagai keluarganya yang paling dekat. Dan aku memperoleh nomor teleponnya dari bagian penerangan.
"Hallo . . . Nona Jennie Mills, di sini Sundari, juru rawat rumah sakit. Sebagaimana pesan ayah Anda, Anda diminta segera datang ke rumah sakit. Beliau mengakui bahwa malam ini beliau mendapat serangan jantung dan dia..
"Tidak!" dia memekik di pesawat teleponnya, mengejutkan aku. "Dia tidak kritis, kan?" kata-katanya itu terdengar lebih merupakan suatu tuntutan daripada pertanyaan.
"Keadaannya stabil saat ini," kataku, yang berusaha untuk bersuara meyakinkan.
"Anda tidak boleh membiarkan dia meninggal," katanya. Suaranya begitu memaksakan sehingga tanganku yang memegang tangkai telepon gemetar.
"Beliau sekarang sedang mendapatkan perawatan yang terbaik”.
"Tetapi Anda kan tidak mengerti," katanya. "Ayah dan aku menyimpan dendam percekcokan sudah hampir setahun ini. Aku . aku tidak pernah mengunjungi beliau sejak itu. Tetapi beberapa bulan belakangan ini aku ingin menemuinya, menghadapnya untuk mohon ampun. Aku masih ingat, kata-kata terakhir yang kuucapkan kepada ayah sebelum aku pergi waktu itu ialah 'Aku benci kepadamu, Ayah!"
Suaranya pecah dan terdengar gelombang tangis kesedihan yang dalam. Aku terharu sehingga air mata menghangati pelupuk mataku. Seorang ayah dan seorang anak perempuan, masing-masing menganggap dirinya begitu benar, yang akhirnya mengakibatkan perpisahan yang tidak wajar. Yah, inilah gambaran bentuk hati manusia yang tidak terisi dengan iman dan budi pekerti. Hati yang tidak mendapat petunjuk-Nya yang telah disampaikan oleh Muhammad utusan-Nya. Dan memang begitulah hati manusia yang mempertuhankan nafsu. Kemudian aku teringat kepada ayahku sendiri yang kini berada ribuan mil jauhnya di tanah air. Kembali terngiang di telingaku pesan beliau kepadaku sebelum aku berangkat untuk melanjutkan studiku di Amerika ini. "Anakku, ingatlah selalu akan Tuhanmu. Dirikanlah sholat pada waktunya dan seringlah membaca Al-Quran dengan memahami maknanya. Amalkan apa yang diperintah dan tinggalkan apa yang dilarang-Nya. Insya Allah engkau akan merasa aman dan bahagia di mana pun engkau berada.”
"Aku akan segera datang! Aku akan sampai dalam waktu tiga puluh menit," Jennie berkata, dan menaruh tangkai telepon pada tempatnya.
Aku menyibukkan diriku dengan kertas-kertas catatan yang menumpuk di meja, tetapi aku tidak dapat mengonsentrasikan pikiranku. Kamar No. 712! Aku merasa aku harus kembali ke kamar itu. Aku bergegas pergi setengah berlari. Tuan Mills berbaring tenang tanpa bergerak. Aku memegang nadinya, tidak ada denyutan.
"Kode 99. Kamar No. 712. Kode 99. Kamar No. 712." Sinyal itu disampaikan ke segala penjuru rumah sakit setelah operator telepon diberi tahu.
Tuan Mills telah mengalami perhentian jantung. Aku membenahi tempat tidur dan membungkuk di atas mulutnya, mencoba untuk membuat pernapasan buatan. Kuletakkan kedua tanganku di atas dadanya dan menekankannya. Satu, dua, tiga. Pada hitungan ke lima belas aku mulai membuat pernapasan buatan dengan meniup mulutnya sekuat aku mampu, dan sekali lagi kuulangi.
"Ya Allah, aku memohon. Anaknya akan datang. Janganlah Engkau panggil hambamu ini pada saat ini.”
Pintu terbuka keras. Dokter-dokter dan perawat lain datang dan segera mengatur peralatan darurat. Seorang dokter mengambil alat penekan jantung. Sebuah selang dimasukkan ke dalam mulut pasien sebagai jalan udara. Para perawat memasang semprotan obat ke dalam tabung pembuluh darah.
Aku memperhatikan pesawat monitor jantung. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada denyutan sekali pun. "Mundur!" teriak, seorang dokter. Aku menyerahkan kepadanya alat pengejut jantung, dan dia menaruhnya di atas dada Tuan Mills. Berkali-kali kami coba alat itu, namun sia-sia. Tidak ada reaksinya. Seorang perawat menutup tabung persediaan oksigen, degukan pun berhenti. Satu demi satu orang-orang itu pergi, muram dan diam. Aku berdiri di samping tempat tidurnya, terpana. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Angin menyentak-nyentak jendela kaca, melempari kaca itu dengan salju. Bagaimanakah aku akan menghadapi anak perempuannya'?
Ketika aku meninggalkan kamar itu, aku melihat Jennie. Seorang dokter yang tadi memasuki kamar No. 712 hanya sebentar saja berdiri dan berbicara dengannya sambil memegangi siku Jennie. Begitu dokter itu berlalu, Jennie yang ditinggalkan merosot ke dinding. Ada semacam kesedihan yang dalam meronai wajahnya, begitu pula yang terhunjam di kedua matanya.
Aku memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke dalam ruang duduk perawat. Kami duduk, tidak ada di antara kami yang mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan, wajahnya kaku, dan pandangannya kosong.
"Jennie, maafkanlah aku," aku mulai berkata. Tetapi tidak tega rasanya aku untuk melanjutkannya.
"Aku tidak pernah membencinya, Anda tahu? Aku mencintainya," dia berkata. Kemudian berpaling kepadaku. "Aku ingin melihatnya.”
Apa yang pertama-tama terlintas di kepalaku ialah, 'mengapa engkau ingin membuat dirimu sendiri semakin sedih, Jennie?' Tetapi aku bangkit juga dan mengantarnya. Kami berjalan melewati koridor menuju ke kamar No. 712. Dia mendorong pintu, melangkah menuju ke tempat tidur, lalu membenamkan muka¬nya ke dalam selimut.
Aku berusaha untuk tidak menyaksikan adegan perpisahan yang menyedihkan ini. Aku melangkah ke meja kecil di samping tempat tidur sebagaimana yang biasa kulakukan. Tiba-tiba tanganku menyentuh secarik kertas berwarna kuning. Aku memungut dan membacanya.
"Jennie anakku tersayang, aku maaf
kan segala kesalahanmu. Aku berdoa
semoga engkau pun sudah memaafkan
aku. Aku tahu bahwa engkau mencintai
ku. Dan aku pun sangat mencintaimu".
Ayah
Catatan itu bergetar di tanganku ketika aku menyampaikannya kepada Jennie. Dia langsung membacanya, dan diulanginya sekali lagi. Kedamaian mulai membayang di kedua matanya. Didekapnya catatan itu di dadanya.
"Alhamdulillahi robbil 'alamin', aku mendesis sambil memandang ke jendela kaca. Beberapa bintang telah tampak bersinar di langit malam. Sekeping salju dilemparkan angin mengenai jendela kaca dan remuk, hilang untuk selama¬nya.
Segala puji bagi-Mu, ya Allah. Dan sesungguhnya hubungan kekeluargaan itu kadang-kadang serapuh kepingan salju itu, walau dapat disambung lagi tetapi kesempatannya sangatlah singkat.
Aku berjalan pelan-pelan meninggalkan kamar itu untuk menuju ke ruang tunggu perawat. Tiba-tiba aku merasa didesak rindu kepada ayah di tanah air. Ingin menulis surat kepada beliau dan mengatakan, "Aku mencintaimu, Ayah. Ananda mohon doa restu"
cerita : M.Nasir
Posting Komentar
...