Sir Arthur Conan Doyle
Suatu senja di tahun 1895 ketika kami menginap di sebuah losmen di kota universitas terkenal di negeri kami, datanglah Tuan Hilton Soames, seorang dosen dan lektor di Universitas St. Luke. Ia adalah seorang pria yang bertubuh kurus jangkung dan bersifat penggugup. Tetapi kali ini kegugupannya lebih kelihatan sebingga dengan cepat aku menduga ia pasti sedang mengalami sesuatu yang mengguncangkan perasaannya.
"Tuan Holmes," katanya dengan tergagap-gagap. "Ada suatu kejadian yang amat rumit, sehingga aku tak tahu harus berbuat apa. Untunglah aku mendengar berita bahwa kau sedang berada di kota ini. Tolonglah!"
Holmes mengangkat bahunya. Tamu kami ini terus saja menerangkan persoalannya.
"Demikianlah, Tuan Holmes. Demi nama baik universitas kami, tolonglah. Besok pagi adalah hari ujian pertama, dan soal pertama yang diajukan adalah terjemahan bahasa Yunani itu!" kata Tuan Hilton Soames selanjutnya.
Kemudian kami bertiga menuju ke asrama Tuan Soames. Kamar tamunya mempunyai sebuah jendela yang panjang, rendah serta berterali, menghadap ke taman kuno yang ditumbuhi lumut, milik universitas. Sebuah tangga batu yang sudah rusak dimakan zaman, dihubungkan dengan sebuah pintu yang berbentuk melengkung dan mempunyai ciri khas Gothic. Kamar Tuan Soames terletak di tingkat paling bawah. Selain dia, masih ada tiga mahasiswa yang masing-masing menempati sebuah kamar di tingkat kedua.
Holmes berhenti sejenak mengawasi jendela kamar tamu itu. Lalu ia mendekatinya sambil berdiri berjingkat lalu melongok ke dalam kamar itu.
"Kukira ia pasti masuk melalui pintu, tak mungkin melalui jendela yang berterali ini," kata Tuan Soames dengan gugup, lantas cepat-cepat mengajak kami masuk.
"Oo," seru Holmes sambil tersenyum misterius mendengar perkataan Tuan Soames itu. "Kita masuk ke dalam saja, bila kau mengira tidak ada apa-apa yang penting di sini."
Ia membuka pintu kamarnya dan mempersilakan kami masuk. Sementara aku berdiri di ambang pintu, Holmes memeriksa karpet yang terbentang di lantai.
"Tidak ada tanda jejak yang mencurigakan di sini," kata Holmes." Pada hari yang cerah ini, sukar sekali untuk memperoleh jejak kaki. Ehm, rupanya pelayanmu, si Bannister, sudah siuman. Tadi kaubilang, bahwa ia masih tak sadar dan direbahkan di sebuah kursi, aku ingin tahu, kursi mana yang didudukinya?"
"Yang berada di dekat jendela itu."
"Mari kita lihat, apa yang telah terjadi amat jelas. Orang itu masuk, mengambil soal-soal ujian sehelai demi sehelai dari atas meja tulis yang terletak di tengah-tengah kamar. Ia memindahkannya ke meja dinding di dekat jendela itu, sebab dari sana ia dapat melihat kedatanganmu melintasi taman sehingga dengan demikian ia dapat pergi sebelum kau tiba di sini."
"Sebenarnya hal itu sia-sia saja," kata Tuan Soames," Sebab kau masuk lewat pintu samping."
"Ehm, tetapi setidak-tidaknya itulah jalan pikirannya. Aku ingin melihat naskah-naskah ujian itu.. Jangan khawatir, aku tidak ikut ujian. Lihatlah, Watson, ia menulis dengan gugup. Sehingga pensilnya patah dan harus diasah lagi. Sayatan kayu pensil yang tercecer di lantai ini cukup menarik. lni bukan pensil biasa. Jenisnya lunak. Kayu pembalutnya berwarna putih. Capnya tercetak dengan warna perak. Panjang pensil ini kira-kira kini hanya setengah inci saja. Carilah pensil itu, Tuan Soames, kalau kau ingin menemukan si pencuri soal ujianmu. Dan perlu kutambahkan, bahwa ia menggunakan sebilah pisau yang besar dan tumpul."
"Dari mana kau tahu panjang pensil itu?" tanya Tuan Soames heran. Holmes mengambil sebilah kayu sayatan pensil tempat tertera huruf NN.
"Aku tak mengerti, apa maksudnya?" Tuan Soames menggeleng bingung. Holmes menoleh kepadaku.
“Watson, maaf, aku sering mengejekmu. Tetapi ternyata masih banyak orang lain yang berada di bawahmu. Bahkan ia adalah seorang lektor sebuah universitas. Coba lihat huruf NN ini. Ini adalah nama dari Johann Faber, yakni seorang pembuat pensil yang terkenal dan membuat pabrik pensil dengan merek namanya sendiri." Holmes mengangkat meja kecil itu dan menghadapkan permukaannya ke arah cahaya lampu.
"Kuharap kertas yang dibuat menyalin naskah ujian itu demikian tipisnya, hingga ia akan meninggalkan bekas-bekas pada permukaan meja yang dipelitur rapi ini. Sayang, aku tak melihat apa-apa di sini. Mari kita beralih ke meja yang di tengah itu."
Kami pindah ke meja tengah yang dilapisi dengan kulit halus berwarna merah.
"Lihat , permukaan meja ini tergores seperti disayat. Ujungnya membentuk suatu goresan tipis, sedangkan pangkalnya membentuk suatu sudut. 0 ya, pintu itu menuju ke mana?"
"Itu pintu ke kamar tidurku "Apakah tadi kau sudah masuk ke sana?"
"Belum, karena aku terus saja pergi ke losmenmu."
"Kalau begitu, aku ingin melihatnya sekarang!"
Tuan Soames membukakan pintu kamar tidurnya yang tak terkunci dan mempersilakan kami masuk.
"Wah, sebuah kamar kuno yang indah, Sabarlah, aku ingin melihat karpetnya dulu. Tidak, tidak ada apa-apa. Ehm, tirai itu, kau tentu menggantungkan pakaianmu di belakangnya, bukan? Kalau ada orang yang terpaksa bersembunyi di dalam kamar tidurmu ini, maka ia akan memilih tempat itu, sebab kolong ranjang dan lemarimu terlalu rendah. Apakah tidak ada orang yang bersembunyi di situ?"
Melihat sikapnya, aku segera tahu, bahwa ia telah bersiap sedia untuk menghadapi sesuatu. Mungkinkah ada seseorang yang sedang bersembunyi di balik tirai itu? Aku menjadi tegang sendiri.
Dengan cepat Holmes menyingkapkan tirai itu. Kosong! Tidak ada seorang pun di sana, kecuali empat-lima potong pakaian yang bergantungan. Holmes membungkukkan badannya dan mengambil sesuatu di lantai.
Kembali ia mengambil sesuatu di lantai, seperti segumpal kecil tanah liat yang bentuknya menyerupai piramid kecil, persis seperti yang tadi ditemukan di atas meja berlapis kulit merah. Holmes menimang-nimang secuwil tanah liat itu di telapak tangannya.
"Tuan Soames menjadi pucat wajahnya.
"Apa yang telah dilakukannya di dalam kamar tidurku ini?" pekiknya.
"Semuanya sudah jelas. Karena kau kembali dengan amat tak diduganya, sehingga ia baru tahu setelah kau berada di ambang pintu, maka ia segera masuk ke kamar tidur ini dan menyembunyikan diri di balik tirai itu."
"Ya Tuhan, jadi pada waktu aku sedang berbicara dengan Bannister, ia sebenarnya sudah tersembunyi di dalam kamar tidurku ini? Ah, kalau saja aku tahu, aku pasti akan menangkapnya saat itu juga!" Tuan Soames menjadi amat resah dan mundar-mandir. Holmes menenangkannya.
"Marilah kita memulai penyelidikan kita," kata Holmes. "Seperti pernah kaukatakan, bahwa di sini ada tiga orang mahasiswa yang biasa lewat di depan pintumu, bukan?"
"Ya, mereka bertiga tinggal di tingkat atas."
"Apakah ketiganya akan menempuh ujian pelajaranmu besok?"
"Apakah kau mencurigai salah seorang di antaranya?"
"Sulit sekali menjawabnya. Aku tidak mau menuduh seseorang sebelum mempunyai bukti-bukti.
"Bila begitu, ceritakan saja mengenai mereka. Agar aku dapat mengetahui latar belakang kehidupannya dan sifat-sifatnya, kemudian mencari bukti-buktinya."
"Baiklah. Secara singkat saja. Yang menempati kamar pertama bernama Gilchrist. Seorang atlet yang baik. la pemain rugby dan cricket regu universitas. Selain itu ia pelari gawang dan lompat jauh. Ayahnya seorang bangsawan bernama Sir Jabez Gilchrist, yang kemudian bangkrut karena judi pacuan kuda, sehingga akhirnya ia meninggal dunia. Gilchrist menjadi yatim piatu dan melarat, ditambah dengan keuletan dan kerajinannya ia berusaha dengan sekuat tenaga, sehingga ia berhasil mencapai tingkatan seperti sekarang ini.
Kamar kedua ditempati oleh seorang mahasiswa dari India bernama Daulat Ras. Ia adalah seorang pendiam dan misterius. Sukar diselidiki sifatnya, sama seperti kebanyakan orang India yang kita kenal. Walau begitu, ia tergolong seorang siswa yang pandai. Kelemahannya cuma satu, yakni dalam mata pelajaran bahasa Yunani. Selain itu, ia adalah orang yang amat sabar, ramah-tamah dan sopan-santun.
Kamar yang terakhir ditempati oleh Miles McLaren. Sebenarnya ia adalah seorang mahasiswa yang memiliki IQ luar biasa. Sayangnya, ia kurang mempunyai pendirian, keras kepala dan kurang beriman. Tahun lalu, ia hampir dikeluarkan sebab terlibat dalam suatu perjudian. Belakangan ini ia santai-santai saja, sehingga aku dapat membayangkan betapa takutnya ia menghadapi ujian besok pagi."
"Apakah kau mencurigainya?"
"Aku tidak mengatakan demikian. Namun, bila dibandingkan dengan yang lain, kukira dialah yang paling mungkin melakukannya."
"Terima kasih, Tuan Soames. Marilah kita sekarang menjenguk pelayanmu".
Bannister adalah seorang laki-laki tua, usianya lebih dari 50 tahun. Tubuhnya kecil dan wajahnya bersih kepucatan. Tampaknya ia masih merasa amat terpukul karena peristiwa tadi. Wajahnya yang berkerut-kerut dan jari-jari tangannya gemetaran karena gugup.
"Kami sedang menyelidiki kasus ini, Bannister, "Tuan Soames menjelaskannya.
"Kata majikanmu, kau telah lupa mengunci pintu kamarnya dan meninggalkan Kuncinya tetap tergantung di pintunya, benar?" kata Holmes kepada Bannister.
"Ya, Tuan."
"Apakah kau lupa bahwa pada waktu itu ada soal-soal ujian di dalam kamar itu?"
"Kelalaian saya itu memang berakibat jelek sekali. Namun, hal-hal seperti itu sering terjadi pada masa-masa yang lalu."
"Kapan kau masuk ke dalam kamar itu?"
"Kira-kira pukul 16.40, waktu minum teh Tuan Soames."
"Berapa lama kau berada di dalam kamar itu?"
"Begitu Tuan Soames saya lihat, maka saya keluar lagi."
"Apakah kau melihat soal-soal ujian yang terletak di meja tulis?"
"Tidak, saya tak melihatnya, Tuan." "Mengapa kautinggalkan kuncinya di pintu?"
"Pada waktu itu, saya membawa baki teh. Saya pikir, saya akan mencabutnya kemudian setelah mengembalikan baki teh. Tetapi ternyata saya lupa."
"Apakah selama kau berada di dalam, pintu kaubiarkan tetap terbuka?"
"Ya."
"Ketika Tuan Soames kembali dan memanggilmu, tentunya kau amat terkejut , bukan?"
"Selama bertahun-tahun saya bekerja di sini, belum pernah terjadi yang seper ti itu. Waktu itu, saya hampir saja jatuh pingsan."
"Ehm, di mana kau berdiri ketika kau mulai merasa tidak enak badan?"
"Saya berdiri di sebelah mana? Mengapa? Saya berdiri di sini, di dekat pintu ini."
"Aneh sekali, lalu mengapa kau duduk di kursi yang justru berada di sudut sana? Mengapa kaulewati kursi-kursi yang lainnya dan duduk di sana?" "Entahlah. Saya tidak memedulikan benar hal-hal itu,Tuan."
Tuan Soames cepat-cepat memotong pertanyaan Holmes yang gencar.
"Tuan Holmes, kukira ia tak tahu banyak tentang peristiwa ini. Lihatlah, wajahnya menjadi semakin pucat, karena masih shock."
Holmes mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh arti.
"Baiklah, tetapi ketika tadi Tuan Soames pergi, apakah kau menunggunya di sini?" tanyanya lagi kepada Bannister.
"Hanya satu dua menit. Kemudian saya menutup pintu kamar dan kembali ke kamar saya."
"Coba, siapakah yang pantas kaucurigai?"
"Ah, saya tidak berani. Saya tidak percaya, bahwa di dalam universitas ini, ada yang mau bertindak seperti itu. Tidak, Tuan, saya tidak tahu apa-apa!"
"Baiklah. Kau belum menceritakan mengenai hal ini kepada ketiga mahasiswa di atas dan orang lain, bukan?" Kami bertiga keluar dari kamar itu dan berjalan menuju ke tanah lapang di belakang asrama. Tampaknya ketiga jendela mahasiswa yang berdiam di tingkat atas itu bersinar terang. Holmes berkata kepada Tuan Soames.
"Hai, lihatlah agaknya salah seorang di antaranya sedang merasa gelisah." Aku mengawasi jendela-jendela itu dan melihat sebentuk bayangan yang berjalan mundar-mandir di dalam kamarnya dengan langkah-langkah cepat. Menurut keterangan Tuan Soames kamar itu didiami oleh mahasiswa dari India.
"Aku ingin menjumpai mereka satu demi satu," bisik Holmes. "Bisa?"
"Bisa saja," sahut Tuan Soames cepat.
"Tetapi ingat, jangan sebut-sebut nama kami," ujar Holmes.
Pertama kali kami menuju pintu kamar yang pertama. Kamar Gilchrist. Tuan Soames mengetuk pintunya.
Seorang pemuda yang jangkung, berdada bidang dan berambut pirang, membukakan pintu lantas mempersilakan kami masuk begitu mengetahui maksud kedatangan kami.
Di dalam kamar ini, terdapat beberapa bagian yang merupakan hasil arsitektur abad pertengahan yang jarang ditemukan di tempat lain. Rupanya Holmes menjadi tertarik sekali sehingga ia ingin melukis model-model itu di dalam buku catatannya. Sayang sekali, ia telah mematahkan pensilnya, sehingga ia terpaksa meminjam pensil tuan rumah dan kemudian karena merasa kurang enak, meminjam lagi sebilah pisau untuk meraut pensilnya sendiri.
Hal yang sama dilakukannya di dalam kamar mahasiswa India yang tenang, pendiam dan berhidung bengkok itu. Ia merasa curiga kepada kami. Tetapi
kelihatan gembira sekali, setelah Holmes selesai melukis bangunan kuno itu. Sedemikian jauh, aku belum melihat hasil penyelidikan Holmes. Entah apa yang telah ditemukannya, aku masih belum dapat merabanya. Namun, di kamar yang ketiga, kami ditolak. Ketukan Tuan Soames tak mendapat jawaban yang sewajarnya. Mahasiswa itu menyambut dengan bentakan-bentakan kasar dari dalam kamarnya.
Holmes hanya tersenyum saja melihat sikap Tuan Soames yang mendapat sambutan yang kurang ramah itu. Lalu Holmes mengajukan pertanyaan yang aneh kepadanya.
"Bisakah kau mengatakan kepadaku, berapakah kira-kira tinggi badannya?" Tuan Soames tercengang.
"Kira-kira 180 cm, mengapa?"
"Terima kasih, Nah, selamat malam, Tuan Soames, "kata Holmes tetap tersenyum.
Tuan Soames yang penggugup itu berseru keras sekali karena terperanjatnya.
"Kau mau pergi? Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Tetaplah tenang, jangan khawatir. Besok pagi-pagi sekali, kami akan kemari lagi. Kupikir sekarang lebih baik aku berdiam diri dulu. Dan kuminta kau jangan bertindak apa-apa dulu. Oke?"
"Yah aku percayakan hal ini kepadamu."
"Jangan khawatir. Tanah liat dan keratan pensil ini akan kubawa. Sampai besok pagi, selamat malam."
Kami berjalan berdua di dalam kegelapan di tanah lapang. Aku memperhatikan jendela-jendela di asrama itu. Mahasiswa India masih tetap berjalan mundar-mandir, sedang dua yang lainnya tidak kelihatan. Mungkin mereka sedang duduk belajar atau tiduran.
"Watson, bagaimana pendapatmu?" tanya Holmes ketika kami telah sampai di jalan raya.
"Aku teringat pada suatu permainan teka-teki yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Ada tiga buah kartu. Sebuah di antaranya adalah kartu As. Sedang yang lainnya, adalah kartu-kartu angka. Orang harus menebak kartu As-nya!"
"Ah, apa tidak ada orang keempat?"
"Siapa?"
"Bannister!"
"Mengapa?"
"Mengapa?" Holmes mengulangi pertanyaanku sambil tersenyum misterius, "Itu ada sebuah toko buku yang menjual alat-alat tulis."
Ada empat buah toko buku di kota ini. Kami memasuki setiap toko. Holmes menunjukkan keratan pensil yang dibawanya kepada setiap penjaga toko dan mengatakan ingin membeli pensil yang sejenis itu. Sayang sekali, tidak ada toko yang menjualnya. Aku sendiri menjadi heran.
Keesokan paginya, menjelang pukul delapan, ketika aku baru saja mengenakan pakaian, Holmes telah mengetuk pintu kamarku.
"Watson," sapanya riang. "Selamat pagi, sudah waktunya kita pergi ke St. Luke. Teman kita Tuan Soames, tentu sudah gelisah sekali. Maaf, tentunya kau bisa pergi tanpa sarapan dulu, bukan?"
Aku hanya tersenyum saja.
"Apakah kau telah menemukan jalan ke luar teka-teki itu?"
"Ya," jawab Holmes mantap.
"Ya?"
"Tidak percuma aku tadi bangun sebelum pukul enam pagi. Aku telah bekerja keras selama dua jam dan telah menempuh lima mil bulak-balik. Lihatlah, apakah ini!"
Holmes membuka telapak tangannya. Dan tampak tiga buah piramid tanah liat kecil.
"Bukankah kemarin hanya ada dua?"
"Inilah suatu barang bukti yang paling nyata, karena dari mana yang ketiga ini berasal. Watson, marilah kita pergi, jangan banyak tanya dulu!"
Tuan Soames sedang berada dalam kegelisahan yang mengharukan ketika kami menjumpainya di dalam kamarnya. Beberapa jam lagi ujian sudah akan dimulai dan ia masih berada dalam kebimbangan apakah akan membuka ujian atau mem¬batalkannya sebab mencurigai salah seorang mahasiswanya telah membocorkan soal-soal ujiannya.
Ia hampir-hampir tidak dapat berdiri dengan tenang. Ia demikian gelisahnya sehingga begitu melihat kedatangan kami, ia tents saja berlari-lari menyambut sambil merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
"Demi Tuhan. Aku sudah merasa khawatir sekali. Syukurlah kalian telah datang. Coba, apakah yang mesti kita lakukan sekarang? Apakah ujian ini akan dilakukan atau dibatalkan saja?"
"Tentu saja, tidak baik jika dibatalkan!"
"Tetapi bagaimana dengan bocornya soal-soal ujian itu?"
"Jangan khawatir, ia tidak akan ikut menempuh ujian itu."
"Maksudmu?"
"Kasus ini tak baik diketahui oleh umum. Nah, kuminta kau berdiri di sana, Tuan Soames. Dan Watson, kau berdiri di sini. Aku sendiri akan mengambil kursi malas yang di tengah ini. Sekarang juga kita mengambil tindakan tegas dengan membuka suatu sidang pengadilan darurat yang sederhana. Kupikir, sekarang tibalah waktunya untuk mengejutkan hati orang yang bersalah itu dengan suatu cara. Ayo, bunyikan bel pelayan itu."
Walaupun masih belum memahami maksud Holmes, namun Tuan Soames menurut saja. Ia menarik bel untuk memanggil pelayannya. Pintu terbuka dan masuklah Bannister. la tampak keheranan melihat kami yang berdiri terpisah-pisah.
"Tutuplah pintunya dengan baik, Bannister," perintah Holmes," Lalu, tolong katakan kepada kami dengan sejujur-jujurnya peristiwa yang telah terjadi kemarin itu."
Wajah pelayan tua itu menjadi pucat pasi. Ia menatap Holmes dan berkata dengan gagap.
"Bukankah telah kukatakan semuanya?"
"Sungguh? Tak ada lagi tambahannya?"
"Tidak ada," jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apakah aku yang mesti mengingatkannya? Ketika kemarin kau duduk di kursi yang di sudut itu, bukankah kau bermaksud menyembunyikan sesuatu yang dapat membuktikan siapa sebenarnya yang telah masuk ke dalam kamar ini?"
Tubuh Bannister tampak menggigil. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan?"
"Dengan terus terang kukatakan kepadamu, bahwa aku tak dapat membuktikan tuduhanku tadi, karena aku juga belum tahu benda apa yang kau duduki itu. Tetapi aku merasa yakin, bahwa ketika tuanmu pergi mencari kami, maka kau lalu melepaskan orang yang bersembunyi di dalam kamar tidur itu! " Bannister membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Di sana tidak ada siapa-siapa!"
"Ah, jangan berdusta, Bannister. Aku selalu percaya bahwa kau adalah orang yang jujur dan selalu berkata apa adanya. Tetapi, sekarang terbukti, kau telah berdusta!"
Wajah Bannister menjadi merah padam karena tampak merasa tersinggung. Merasa tersindir.
"Sungguh, aku telah berkata apa adanya."
"Aku percaya. Tapi tenanglah, Bannister. Diamlah saja dan berdiri ditempatmu di dekat pintu kamar tidur itu. Tuan Soames, sekarang, tolonglah un¬dang Gilchrist datang kemari."
Tanpa banyak komentar, Tuan Soames keluar. Beberapa menit kemudian, ia telah kembali bersama seorang pemuda yang tertubuh atletis. Pemuda itu bertubuh jangkung, tegap, gerak-geriknya tangkas, langkahnya enteng, wajahnya bersih dan simpatik. Namun matanya yang biru itu memancarkan kesedihan. Ia memandang kami satu per satu dan akhirnya memandang Bannister yang berdiri agak jauh di sudut, dengan rasa heran bercampur kecewa.
"Tutuplah pintunya," kata Holmes. Tuan Soames segera menutup pintu kamarnya, lalu mengiringi Gilchrist menuju ke tengah kamar.
"Tuan Gilchrist, sekarang kita berada di dalam kamar tertutup. Hanya kita yang akan membicarakan hal ini. Tiada orang lain diperkenankan untuk men¬dengarkannya. Kita bisa berbicara terus terang satu sama lain. Tuan Gilchrist, sungguh aku ingin tahu, bagaimana Anda, seorang pemuda yang terhormat, sampai hati melakukan perbuatan tercela seperti kemarin?"
Pemuda yang gagah itu kaget dan pucat lalu memandang dengan penuh kebencian kepada Bannister serta memaki-makinya. Bannister berteriak-teriak membela diri.
"Sungguh, bukan aku yang mengatakannya. Tidak sepatah kata pun!"
"Ya, bukan kau yang mengatakannya tetapi berterus-teranglah," Sela Holmes lalu menoleh kepada Gilchrist dan katanya, "Tuan, sekarang Anda sendiri tahu bahwa setelah Bannister bercerita, maka pembelaan Anda akan sia-sia belaka. Satu-satunya harapan Anda, terletak kepada pengakuan yang jujur!" Gilchrist menyembunyikan wajahnya dalam tekapan kedua telapak tangannya. Lalu menjatuhkan dirinya di atas lututnya di samping meja tulis dan mulai menangis tersedu-sedu, penuh penasaran.
"Kami yakin Anda melakukannya coma karena kekhilafan belaka. Mungkin perasaan akan lega bila aku yang menceritakan apa yang telah terjadi. Apakah Anda mengizinkannya? Percayalah, kami tak akan bersikap kejam atau tak adil. Sejak Tuan Soames mengatakan bahwa tak seorang pun bahkan Bannister juga tidak, maka aku membayangkan apa yang terjadi di dalam otakku.
Si pencetak jelas bukanlah si pencuri. Si Mahasiswa India juga tak menimbulkan kecurigaanku. Karena kalau soal-soal itu masih dalam keadaan tergulung, jelas ia tidak mengetahuinya.
Di samping itu, tidak masuk akal, kalau ada orang yang berani menyelinap masuk ke dalam kamar Tuan Soames, jus¬tru tepat pada saat soal-soal ujian itu tergeletak di meja tulis. Jadi, si penyelinap sudah merasa yakin benar bahwa soal-soal ujian itu ada di dalam kamar.
Tetapi dari mana ia tahu?
Kemarin, sebelum masuk ke dalam kamar, aku telah melihat jendelanya. Mengukur berapa tinggi badan seseorang agar dapat melihat ke dalam melalui jendela itu. Tinggi badanku sendiri 1,80 meter dan aku dapat melihat ke dalam kamar itu, dapat melihat ke atas meja yang terletak di tengah kamar. Siapa pun yang tinggi badannya 1,80 meter, pasti dapat melihat ke dalam kamar lewat jendela itu dengan mudah. Jadi kesimpulannya, si pencuri adalah seseorang yang mempunyai tinggi badan yang lumayan.
Sebelumnya, Tuan Soames telah menceritakan tentang mahasiswa Gilchrist yang menjadi wakil universitas dalam cabang olah raga lompat jauh. Maka aku segera membayangkan apa yang terjadi berikutnya.
Pemuda ini setiap sore berlatih di lapangan olah raga. Kemarin sore, ia berlatih lompat jauh. Setelah selesai, ia kembali sambil menjinjing sepatu khusus untuk olah raga. Ketika lewat di dekat jendela Tuan Soames, ia melihat naskah-naskah soal ujian itu.
Jadi, timbullah pikirannya untuk masuk ke dalam serta membaca naskah itu. Ya, tidak akan terjadi suatu kejahatan, apabila ketika ia melewati pintu kamar Tuan Soames ia tidak melihat kunci yang masih tetap tergantung di daun pintunya, itu karena kelalaian Bannister.
Kalau sampai diketahui nanti, ia bisa saja mengatakan, bahwa ia cuma bermaksud untuk mengunjungi dosennya karena ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, setelah berada di dalam kamar dan mengetahui bahwa kertas-kertas itu memang benar-benar soal-soal ujian yang akan dilakukan besok pagi, maka ia tak dapat menahan dirinya lagi. Ia tergoda untuk menyalinnya. Maka, ia meletakkan sepatu olah raganya di atas meja yang berlapis kulit merah itu. Eh, lalu apakah yang Anda letakkan di atas kursi di dekat itu, Tuan Gilchrist?"
"Sarung tanganku," jawab Gilchrist terus terang.
Holmes berganti memandang Bannister dengan penuh kemenangan.
Ia meletakkan sarung tangannya di atas kursi itu dan mengambil soal-soal ujian itu halaman demi hala¬man untuk disalinnya. Ia mengira, kalau Tuan Soames pulang, pasti lewat pintu gerbang utama, sehingga ia dapat melihatnya dari jendela. Namun sayang, dugaannya meleset. Tuan Soames pulang melalui jalan pintu gerbang samping. Dengan mendadak, ia mendengar Tuan Soames telah tiba di ambang pintu. Sudah tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri. Ia lupa mengambil sarung tangannya, namun masih sempat menyambar sepatunya dan lari masuk ke dalam kamar tidur.
Seperti dapat dilihat buktinya, goresan yang terdapat di meja itu, dangkal pada awalnya tetapi mengarah ke jurusan kamar tidur berubah menjadi agak dalam. lni saja sudah cukup menunjukkan, bahwa sepatu itu telah diseret kejurusan itu dan si pencuri bersembunyi di dalam kamar tidur.
Segumpal tanah hat yang melekat di sekitar paku-paku sepatu telah tertinggal di atas meja, segumpal lagi jatuh di dalam kamar tidur, di balik tirai tempat gantungan pakaian.
Perlu kutambahkan, bahwa tadi pagi, aku sengaja berjalan-jalan di lapangan olah raga. Aku melihat, bahwa tempat latihan lompat jauh, diisi dengan tanah liat yang pekat dan serbuk gergaji disebarkan di atas lapisan tanah liat itu, untuk melindungi para atlet agar jangan sampai tergelincir.
Nah, Tuan Gilchrist, apakah aku telah mengungkapkan kebenaran?"
Mahasiswa itu tertunduk dengan wajah merah.
"Ya, memang benar," katanya dab kemudian pandangan matanya terangkat menatap Tuan Soames. "Tuan Soames, aku merasa takjub karena Tuan ini telah mengungkapkan semua perbuatanku kemarin, seperti bayanganku saja. Sepanjang malam tadi aku merasa gelisah dan tak dapat tidur. Lewat tengah malam, aku menulis sepucuk surat. Itu keputusanku. Aku telah memutuskan, seperti yang telah aku tulis di dalam surat itu dan akan kuserahkan kepada Anda, Tuan Soames, bahwa aku tak akan mengikuti ujian karena telah mendapat tawaran untuk masuk Angkatan Kepolisian Rhodesia. Aku akan segera berangkat ke Afrika Selatan!"
"Ya, Tuhan!" seru Tuan Soames takjub." Betapapun, aku merasa senang. Tetapi, mengapa Anda memutuskan begitu?"
"Dialah yang telah menyadarkan aku," kata Gilchrist sambil menunjukkan kepada Bannister.
"Ehm, Bannister," ujar Holmes." Memang telah kuduga, bahwa hanya kaulah yang dapat menolongnya. Kemarin aku sengaja memberi kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri dari kamar tidur itu. Tetapi mengapa kaulakukan hal ini?"
"Sederhana saja,Tuan. Meskipun Anda terkenal amat teliti dan pandai namun ada satu hal yang belum Anda ketahui. Yakni, bahwa saya adalah bekas mandor Sir Jabez Gilchrist, yakni ayah pemuda ini. Setelah beliau bangkrut, saya bekerja di sini sebagai pelayan. Walaupun demikian, saya tak pernah melupakan kebaikan budi almarhum.
Tak kusangka, saya bertemu kembali dengan putranya. Saya mengawasi dan merawatnya demi kepentingan dirinya kelak. Lalu, ketika kemarin Tuan Soames memanggilku, begitu masuk, saya segera melihat sarung tangan cokelat berada di atas kursi itu. Saya kenal sekali siapa pemiliknya. Bila saja Tuan Soames melihatnya, maka tamatlah riwayatnya. Saya menjadi gelisah sekali dan untung-untungan menjatuhkan diri ke kursi itu. Saya berhasil mendudukinya, tanpa diketahui Tuan Soames, sampai ia pergi menemui Anda.
Setelah Tuan Soames pergi, keluarlah tuan muda Gilchrist dari dalam kamar tidur. Ia mengakui segala kesalahannya kepadaku. Tuan, saya sungguh tidak pantas untuk menyelamatkan atau menasihatinya. Namun, saya telah mencobanya. Apakah Tuan tetap memandang saya sebagai orang yang melakukan kejahatan juga?"
"Tentu saja tidak!" kata Holmes riang.
Posting Komentar
...