Pendidikan yang Menggugat

     Dalam sebuah dunia yang mengklaim diri sebagai puncak peradaban, di mana informasi mengalir deras seperti sungai yang meluap-luap, manusia justru tenggelam dalam genangan jawaban instan. Setiap hari, kita disuguhi algoritma yang membaca hasrat kita lebih baik daripada ibu kita sendiri, media sosial yang menggantikan fungsi altar pengakuan dosa, dan sistem pendidikan yang lebih mirip pabrik perakitan burung beo—hewan yang fasih menirukan suara majikannya tanpa pernah memahami maknanya. Di tengah banjir data ini, Neil Postman dan Charles Weingartner muncul seperti dua penjaga mercusuar di tengah kabut, berteriak lantang: Pendidikan bukanlah ritual pasif, melainkan seni subversi!

     Guru, dalam narasi modern, sering dianggap sebagai operator mesin fotokopi intelektual—menyalin kurikulum usang ke dalam kepala murid dengan presisi yang membosankan. Tapi bayangkan sejenak: apa jadinya jika Socrates, sang pengacau pikiran yang legendaris, dipekerjakan di sekolah kita hari ini? Mungkin ia akan dipecat pada minggu pertama karena terlalu banyak bertanya, atau dijuluki "provokator" oleh kepala sekolah yang lebih takut pada pertanyaan daripada jawaban salah. Inilah paradoks zaman kita: kita membanggakan kemajuan teknologi, tapi membiarkan ruang kelas menjadi kuburan imajinasi, tempat di mana pertanyaan-pertanyaan besar dikubur hidup-hidup di bawah tumpukan lembar kerja dan ujian pilihan ganda.

     Postman dan Weingartner menelanjangi mitos netralitas pendidikan dengan kejam. Setiap keputusan guru—dari buku yang dipilih hingga topik yang sengaja dihindari—adalah sebentuk manifesto politik. Ketika seorang guru sejarah mengajarkan Perang Dunia II sebagai rangkaian tanggal dan peristiwa tanpa menyentuh kolonialisme yang membayang-bayanginya, ia bukan sedang "netral", melainkan menjadi algojo yang membunuh konteks. Ketika pelajaran sains berubah menjadi hafalan rumus tanpa mempertanyakan etika di balik penemuan nuklir, ia telah mengubah laboratorium menjadi kuil dogma. Netralitas dalam pendidikan adalah ilusi berbahaya—seperti mengaku tak memilih pihak saat duduk di antara penjajah dan terjajah.

     Tapi bagaimana mungkin kita mengharapkan perubahan jika sekolah-sekolah kita masih menyembah jawaban seperti dewa-dewa purba? Sistem pendidikan modern, dengan obsesinya pada "kunci jawaban", telah menciptakan generasi yang terampil mengisi titik-titik kosong tapi gagap ketika diminta menggambar garisnya sendiri. Di kelas matematika, murid diajari bahwa 2 + 2 = 4, tapi jarang diajak bertanya: Mengapa kita percaya pada angka? Apa yang terjadi jika suatu peradaban memilih sistem bilangan berbasis 12? Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap mengganggu "efisiensi" pembelajaran—sebuah kata sakti yang sering digunakan untuk membenarkan pembunuhan rasa ingin tahu. Postman mengingatkan: jawaban adalah mumi pengetahuan, sementara pertanyaan adalah benih yang bisa tumbuh menjadi pohon pemikiran.

     Guru sejati bukanlah tukang sulap yang memamerkan trik-trik kurikulum, melainkan arsonis intelektual yang menyalakan korek api di tengah gudang asumsi usang. Ia tidak datang untuk memberi petunjuk, melainkan untuk meracuni murid dengan kegelisahan. Bayangkan seorang guru sastra yang tak hanya mengajarkan struktur soneta Shakespeare, tapi juga memprovokasi: Mengapa kita lebih menghafal monolog Hamlet daripada mendebatnya? Bagaimana jika Ophelia sebenarnya bukan korban melankolia, melainkan pemberontak yang sengaja memilih tenggelam sebagai protes terhadap patriarki? Di sini, ruang kelas berubah menjadi medan perang ide—tempat di mana setiap kata bisa menjadi granat yang meledakkan kepasifan.

     Konsep "crap detection" Postman mungkin terdengar kasar, tapi justru di situlah kecerdikannya. Dalam dunia di mana politisi berkhotbah tentang "perdamaian abadi" sambil menambah anggaran militer, di mana iklan menjual sabun mandi seolah-olah itu air mancur awet muda, dan di mana jargon pendidikan seperti "kecakapan abad 21" digunakan untuk menutupi ketakutan akan pemikiran kritis, kemampuan menyaring omong kosong bukan lagi keterampilan—itu senjata bertahan hidup. Tapi bagaimana mungkin kita mengharapkan murid menjadi detektif kebohongan jika gurunya sendiri takut membuka kotak Pandora pertanyaan? Seorang guru biologi yang hanya mengajarkan fotosintesis tanpa menggugat mengapa hutan hujan—laboratorium alami fotosintesis—ditebang untuk kelapa sawit, ibarat dokter yang meresepkan obat tanpa memberitahu pasien bahwa air minumnya beracun.

     Kita terjebak dalam paradoks pengetahuan: sekolah mengisi kepala murid dengan data sampai meluap, tapi lupa memberi mereka kacamata untuk melihat makna di baliknya. Seorang anak bisa menghafal tanggal Proklamasi, tapi tak diajari bertanya: Mengapa kemerdekaan selalu diceritakan sebagai drama heroik para elit, bukan sebagai jerih payah jutaan nama tak tercatat? Pengetahuan tanpa kesadaran adalah seperti pisau tanpa gagang—bisa melukai pemegangnya. Postman menawarkan solusi radikal: alih-alih menjejali murid dengan apa yang dipikirkan orang lain, ajari mereka bagaimana berpikir. Bukan daftar teori ekonomi, tapi keberanian mempertanyakan mengapa kelaparan masih ada di tengah kelimpahan. Bukan hafalan nama filsuf, tapi keterampilan mengunyah gagasan mereka seperti sapi memamah biak—dikeluarkan lagi sebagai susu pemikiran orisinal.

     Kurikulum, dalam banyak sistem pendidikan, telah menjadi kitab suci yang tak boleh dikritik—padahal, sejarah mengajarkan bahwa setiap kitab suci suatu hari akan menjadi usang jika tak ada nabi baru yang berani menafsir ulang. Postman menertawakan guru-guru yang bersembunyi di balik kurikulum seperti anak kecil bersembunyi di balik jubah ibunya. "Lihat, saya hanya menjalankan perintah!" seru mereka, seolah-olah kurikulum itu wahyu yang turun dari langit, bukan produk komite birokrat yang mungkin sarat kepentingan. Tapi bukankah setiap zaman butuh penafsir ulang? Jika Galileo takut mengkritik kurikulum kosmologi gereja, kita mungkin masih percaya bumi datar. Jika Kartini patuh pada "kurikulum" tradisi yang melarang perempuan bersekolah, kesetaraan mungkin masih mimpi.

     Bahasa adalah medan perang yang paling halus. Di ruang kelas, setiap kata adalah cermin ideologi: ketika guru berkata "kita harus menghormati pahlawan", siapa yang mendefinisikan pahlawan? Ketika pelajaran ekonomi menyebut "pertumbuhan GDP" sebagai indikator kemajuan, pertumbuhan untuk siapa? Postman mengajak guru menjadi penyair-pembongkar yang mengajari murid membaca kata-kata sebagai jejak kekuasaan. Seperti arkeolog yang menyikat debu dari artefak, murid perlu belajar membedakan antara "pembangunan" yang sebenarnya berarti penggusuran, atau "reformasi" yang ternyata sekadar ganti baju tirani.

     Sekolah yang membunuh kegelisahan sama dengan rumah sakit yang membunuh demam—gejala yang justru menunjukkan tubuh sedang melawan infeksi. Kegelisahan intelektual adalah demamnya pikiran, tanda bahwa sistem imun kesadaran sedang bekerja. Tapi kita terlalu sering memberi murid "parasetamol pedagogis"—nilai bagus, pujian, stiker bintang—untuk menenangkan demam ini. Hasilnya? Generasi yang tenang secara artifisial, patuh seperti bonsai yang akarnya dipangkas agar tak tumbuh terlalu besar. Postman menawarkan metafora mengerikan: sekolah semacam ini adalah pemadam kebakaran yang menyemprotkan air ke setiap percik api pemikiran.

     Di ujung esai ini, kita tiba pada jantung argumen Postman: mengajar adalah seni pembangkangan yang beradab. Guru yang baik bukanlah yang paling disiplin dalam mengikuti silabus, melainkan yang paling jago melanggar aturan tak tertulis. Ia mungkin dianggap pengacau karena mempersilakan murid meragukan teori Einstein, atau karena menjadikan kasus korupsi sebagai studi kasus pelajaran kewarganegaraan. Tapi dalam ketidaknyamanan inilah pendidikan menemukan nadinya: setiap pertanyaan yang mengganggu, setiap keraguan yang dipelihara, setiap asumsi yang dibakar, adalah ritual inisiasi menuju kedewasaan sejati.

     Postman dan Weingartner tidak menawarkan resep ajaib atau kurikulum mutakhir. Mereka menyerukan revolusi diam-diam: bahwa setiap ruang kelas bisa menjadi markas gerilya pemikiran, setiap guru bisa menjadi mata-mata yang menyusup ke benteng kebodohan, dan setiap murid bisa menjadi pemberontak yang menolak menerima dunia sebagaimana adanya. Di era ketika AI bisa menjawab semua pertanyaan, tugas guru justru semakin vital: memastikan bahwa manusia tetap mampu bertanya—bahkan (atau terutama) pada mesin-mesin yang mereka ciptakan.

     Akhir kata, pendidikan subversif bukanlah tentang mengganti pemerintah atau merusak tatanan. Ini tentang pembebasan yang lebih radikal: membebaskan pikiran dari penjara "sudah biasa", membakar jembatan "tidak mungkin", dan menenggelamkan kapal "memang dari sananya begitu". Seperti api kecil yang dinyalakan Socrates di Athena ribuan tahun lalu, nyala ini harus terus dipelihara—walau harus membakar jari-jari yang berusaha mematikannya. Karena di situlah letak ironi terbesar: kadang, untuk mempertahankan peradaban, kita harus berani menjadi biadab dalam berpikir.

Mengajar adalah seni pembangkangan yang beradab. Guru yang baik bukanlah yang paling disiplin dalam mengikuti silabus, melainkan yang paling jago mela

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.