Karena rasa malu yang begitu besar, maka raja Mongol memutuskan untuk mengasingkan Lumimu'ut. Disiapkanlah perahu yang menjadi tumpangan Lumimu'ut mengarungi kehidupannya selanjutnya. Dan tanah Minahasa menjadi tempat berlabuhnya perahu itu, bersama Lumimu'ut yang sedang hamil.
Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua. Mereka kemudian tinggal bersama, saling membantu hingga Lumimu'ut melahirkan seorang bayi laki-laki.
patung Toar - Lumimu'ut di bukit Kasih desa Kanonang Tomohon
Sulawesi Utara
Anak laki-laki itu diberi nama Toar.
Beberapa minggu setelah melahirkan Toar, kondisi kesehatan Lumimu'ut sudah pulih. Ia memutuskan kembali ke pantai, berharap bisa kembali ke tanah leluhurnya di Mongol. Toar ditinggalkan di dalam pengasuhan Karema.
Karema yang arif kemudian membuat dua buah tongkat dari tanaman Tu'us. Tongkat yang sama panjangnya, satu diberikan kepada Lumimu'ut, dan satu lagi disiapkan untuk Toar bila sudah dewasa kelak. Tongkat yang akan menjadi penanda hubungan antara Lumimu'ut dan Toar adalah ibu dan anak.
Ketika Lumimu'ut sampai di pantai, perahunya sudah tidak ada. Ia pun menjelajah, mengikuti arah kata hatinya. Langkah kakinya membawanya mengembara menelusuri bumi Minahasa yang permai.
patung Karema, Toar dan Lumimu'ut
di Bukit Kasih
Ketika Toar sudah dewasa dan hendak mengembara menjelajah bumi Minahasa, Karema memberikan tongkat untuk Toar dengan satu amanah. Bila bertemu dengan wanita yang membawa tongkat yang sama panjangnya dengan yang ada di tangan Toar, maka dia adalah ibu dari Toar. Toar harus menjaga dan merawatnya karena dialah yang telah melahirkan Toar.
Singkat cerita, di dalam pengembaraan, Toar kemudian berjumpa dengan Lumimu'ut. Tongkat di genggaman disamakan panjangnya. Namun mungkin karena tongkat masing-masing telah digunakan di dalam pengembaraan selama ini, maka tongkat itu tidak sama panjang. Toar kemudian menjadikan Lumimu'ut sebagai istrinya yang melahirkan sembilan anak.
Kesembilan anak tersebut yang kemudian membentuk sembilan sub-etnis Minahasa yaitu:1. Babontehu > mendiami pulau Manado Tua.
2. Bantik > tersebar di Malalayang, Kalasei, Talawaan Bantik, Ratahan dan Mangondow.
3. Pasan Ratahan (Tounpakewa) > tersebar di kecamatan Pasan, Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.
4. Ponosakan > tesebar di kecamatan Belang dan Ratatotok, mendiami kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian di kampung Watulinei.
5. Tonsea > mendiami semenanjung Sulawesi Utara mulai dari Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur.
6. Tontemboan > mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, sepanjang kuala (sungai) Ranoyapo yaitu Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Madoinding, Tenga dan Sinonsayang.
7. Toulour > mendiami sekeliling danau Tondano hingga ke pantai timur Minahasa (Tondano Pante) meliputi Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken.
8. Tonsawang > berdiam di wilayah kecamatan Tombatu dan Touluaan.
9. Tombulu > tersebar di kota Tomohon, Pineleng, Wori, Likupang Barat dan Manado.
Mitos ini menjelaskan mengapa suku Minahasa mempunyai rupa yang mirip dengan bangsa Mongolia. Berkulit putih dan bermata sipit. Namun mitos ini tentu saja berbeda dengan dengan temuan ilmiah yang dijabarkan oleh para sejarawan yang telah meneliti secara mendalam tentang Minahasa dan sub etnis yang ada. Bahkan masing-masing sub etnis mempunyai mitos sendiri-sendiri tentang asal usunya.
Kesembilan sub etnis Minahasa itu membaiat kesatuan mereka di sebuah batu yang disebut Watu Pinabetengan. Tentang Watu Pinabetengan sendiri akan saya paparkan di artikel yang lain.
if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration
Posting Komentar
...