Ketika suatu saat di antara gulungan dan lipatan waktu, kulintasi jalan sempit di antara lebatnya hutan belantara, sempat kutemui suatu pemberitahuan yang isinya terasa sedikit aneh, "Dilarang Makan Batu". Sejenak aku tertegun, lalu mengikuti jalan setapak di samping pemberitahuan tadi, sambil membawa rasa ingin tahu yang sangat besar. Akhirnya saya tiba di sebuah gua yang pada jalan masuknya duduk seorang tua dalam penampilan yang sangat sederhana.
Kusampaikan salam hormatku padanya dan iapun membalas seraya berkata, "Engkau datang membawa pertanyaan dan rasa penasaran bahwa sebelumnya Engkau tidak pernah melihat suatu pemberitahuan tentang larangan memakan batu, sebab pernyataan tersebut tidak dibutuhkan orang. Tidak makan batu bisa dikatakan sebagai suatu kebiasaan yang umum".
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan. "Hanya saja kalau manusia juga mampu menghindari kebiasaan-kebiasaan lainnya, kebiasaan yang bahkan jauh lebih merusak dan lebih buruk daripada memakan batu, maka akan mampulah ia melampaui keadaannya sekarang yang begitu patut dikasihani".
Aku memcoba mengartikan maksud ucapan orang tua dihadapanku ini, tapi hanya sedikit yang bisa kusimpulkan.
"Tolonglah Bapak menjelaskan, seperti apakah keadaan yang patut dikasihani itu.?", aku memberanikan diri bertanya.
"Baiklah, aku akan memberi contoh tentang suatu keadaan, yang dialami seorang guru bersama seorang muridnya disuatu negeri yang jauh", begitu jawabnya.
Hatta, sang guru sedang menunggang keledai ke pasar diikuti seorang muridnya di belakangnya. Tiba-tiba dari arah depan muncullah seorang lelaki yang langsung berteriak sambil menunjuk-nunjuk ke arah sang guru. "Lihatlah, telah tiba di tempat ini orang yang tak beriman". Begitu teriak lelaki itu berulang-ulang. Sang murid yang mengikuti gurunya di belakang, menjadi begitu marah kepada lelaki itu. Merekapun terlibat pertengkaran sengit bahkan hampir berkelahi.
Melihat keadaan itu, sang guru menenangkan muridnya sambil berkata "Jika Engkau mau menghentikan keributan ini, aku akan menunjukkan kepadamu suatu kebijaksanaan, bagaimana Engkau dapat menghindarkan kesulitan dan pertengkaran yang seperti ini".
Mereka, guru dan murid kemudian pulang. Sesampai di rumah, guru tadi menyuruh mengambil kotak surat lalu mengeluarkan isinya.
"Pandanglah ini. Semua surat ini dialamatkan padaku tetapi ditulis dalam istilah-istilah yang berbeda-beda. Di sini orang menyebutku "Syekh Islam"; di situ dikatakan "Guru Yang Luhur"; yang lain mengatakan aku adalah "Yang Arif dari Dua Tempat Suci"; dan masih banyak sebutan lainnya lagi.
"Amatilah bagaimana masing-masing menyebutku dengan pertimbangannya sendiri mengenai diriku. Tetapi 'aku' bukanlah semuanya itu. Tiap-tiap orang menyebut orang lain menurut apa yang dipikirkan tentang dirinya sendiri. Itulah juga yang telah dilakukan oleh lelaki yang di pasar siang tadi, yang membuatmu bertengkar dengannya".
"Mengapa Engkau berbuat demikian sementara itu adalah aturan umum di dalam kehidupan?" Sang guru yang penuh kasih itu mennyelesaikan pelajarannya untuk murid di hadapannya.
Orang tua di hadapanku berhenti bercerita, namun tetap memandang ke arahku. Aku mengangguk-angguk setelah mendengar kisah itu.
"Memang perlu dikasihani, karena manusia selalu percaya bahwa apa yang dipikirkannya adalah benar, di dalam kerangka wawasan piciknya yang dikendalikan egoisme. Dan sungguh, keadaan itu jauh lebih buruk daripada memakan batu.
Makasih bang atas tulisannya.
BalasHapusyup, sama2.. semoga mencerahkan. :)
BalasHapus