Di suatu pagi di negeri yang langitnya seringkali berwarna kelabu, kabut tipis menyapu jalan-jalan batu yang licin oleh hujan semalam. Sepeda-sepeda kecil bersandar di pagar kayu, rantainya berderik pelan ditiup angin. Anak-anak melangkah keluar rumah dengan sepatu bot karet yang menggemeresik di atas genangan, jaket kuning mereka seperti kunang-kunang yang bergerak pelan di antara rumah-rumah bergaya Tudor. Tak ada teriakan "Cepat, nanti terlambat!", tak ada tangan dewasa yang menarik lengan mereka untuk mempercepat langkah. Mereka berjalan dalam tempo kanak-kanak: terkadang berhenti untuk mengamati cacing yang merayap di trotoar, terkadang tertawa melihat bayangan sendiri yang terpantul di lopak air. Di sekolah, guru-guru tidak mengejar target kurikulum, tetapi menunggu. Menunggu sampai setiap anak selesai mengikat tali sepatu sendiri, sampai mereka siap membuka buku—bukan karena terpaksa, tapi karena ingin tahu.
Di tempat lain, di kota yang mataharinya terik dan jalanannya dipadati motor yang mengklakson tak sabar, seorang ibu muda berdiri di depan lemari penuh seragam sekolah. Tangannya memegang jadwal les anaknya: Senin matematika, Selasa coding, Rabu renang, Kamis bahasa asing. Di laci bawah, tersembunyi lukisan anaknya yang belum selesai—gambar rumah dengan asap meliuk dari cerobong, dikerjakan tiga bulan lalu lalu terlupakan. "Ini demi masa depanmu," bisiknya setiap kali melihat si kecil mengantuk di kursi mobil sepulang les malam. Tapi di sudut hatinya, ada suara yang lebih halus: "Apa yang sebenarnya kita kejar?"
The Happiest Kids in the World—buku yang ditulis oleh dua ibu yang membesarkan anak di Belanda—seperti cermin yang memantulkan paradoks modern: semakin keras kita berusaha membuat anak "bahagia", semakin sering kita menggantikan kebahagiaan itu dengan daftar pencapaian. Di negeri kincir angin itu, anak-anak tidak diukur dari seberapa cepat mereka membaca, tapi dari seberapa leluasa mereka mengeksplorasi rasa ingin tahu. Di sekolah dasar, meja-meja kayu seringkali dipindahkan ke sudut ruangan untuk memberi tempat pada permainan peran tentang kehidupan nelayan atau dokter. Saat hujan, anak-anak justru diajak keluar: menghitung tetesan air yang jatuh di daun, atau mengejar bayangan mereka sendiri di antara rintik. Bagi mereka, belajar bukanlah lomba lari estafet, melainkan proses menyemai benih—diam-diam, tanpa perlu terburu memetik.
Di sebuah gang sempit di ibu kota, seorang anak laki-laki berusia tujuh tahun duduk di lantai kamar mandi, menatap air yang menggenang di ember. "Ayo, cepat mandi! Nanti les piano mulai!" teriak ibunya dari luar. Tapi ia masih asyik menjatuhkan mainan kapalnya ke genangan, memperhatikan bagaimana gelombang kecil itu menyentuh tepi ember. Di Belanda, seorang anak seusianya mungkin sedang berlari di tepi kanal, melemparkan batu ke air sambil menghitung berapa loncatan yang dibuat riaknya. Orang tuanya tidak khawatir ia akan jatuh—yang mereka lihat adalah bagaimana ia belajar memahami gravitasi, kecepatan, dan kesabaran, melalui percobaan yang tak tertulis di buku teks.
Malam hari, di rumah-rumah yang jendelanya masih terang oleh lampu belajar, orang tua di sini memeriksa pekerjaan rumah anak-anak sambil menyiapkan presentasi kantor untuk esok hari. Di Belanda, jam delapan malam adalah waktu ketika rumah-rumah mulai meredupkan lampu. Anak-anak tidur nyenyak tanpa mimpi tentang ujian, sementara orang tuanya duduk di ruang tamu membaca novel atau mengobrol tentang hari mereka. Bukan karena tidak peduli pada pendidikan, tapi karena mereka percaya: otak yang lelah tidak akan menyerap pengetahuan. Seorang guru di Rotterdam pernah berkata, "Kami tidak membangun istana dari kertas ujian, tapi mengajak anak-anak menyentuh tanah tempat istana itu berdiri."
Di sudut lain dunia, seorang remaja perempuan menatap layar ponselnya hingga larut. Jarinya menggulir foto-foto teman sekelas yang pesta ulang tahunnya meriah, sementara ia sendiri belum menyelesaikan laporan biologi. Ibunya mengetuk pintu: "Sudah belajar untuk tes besok?" Tapi pertanyaan yang sebenarnya ingin diajukan sang ibu—"Apa yang membuatmu bahagia hari ini?"—terkubur di balik daftar tugas yang menumpuk. Di Belanda, percakapan meja makan seringkali dimulai dengan pertanyaan sederhana: "Apa hal paling menarik yang kamu alami hari ini?" Seorang remaja mungkin bercerita tentang temannya yang curhat soal pacar, atau rencananya membuat podcast tentang hobi membuat komik. Orang tua mendengar, tertawa, dan sesekali berbagi cerita masa muda mereka—tanpa pretensi menjadi sumber kebijakan.
Ada sebuah kisah tentang pohon apel di halaman sekolah desa di provinsi Utrecht. Setiap musim gugur, anak-anak berkumpul memetik buah yang jatuh, lalu bersama-sama membuat pai di dapur sekolah. Guru tidak memberi nilai pada pai itu—tidak ada yang "A" atau "C". Yang ada adalah percakapan tentang mengapa apel yang terlalu tinggi di pohon sulit dipetik, atau bagaimana gula mengubah rasa buah asam. Sementara di sini, di laboratorium sekolah berstandar internasional, seorang siswa SMA mendapat teguran karena eksperimen kimianya "melenceng dari panduan". Padahal, di tabung reaksinya, ada reaksi tak terduga yang bisa jadi pintu penemuan baru.
Tapi buku ini tidak sedang menggambarkan surga. Di Belanda juga ada anak-anak yang menangis karena diremehkan teman, orang tua yang khawatir tentang biaya hidup, atau remaja yang frustrasi dengan aturan keluarga. Perbedaannya adalah: kecemasan itu tidak dijadikan bahan bakar untuk mendorong anak lebih keras. Seorang ibu di Amsterdam bercerita, "Kami tidak takut jika anak kami memilih sekolah kejuruan alih-alih universitas. Yang penting ia tahu apa yang membuatnya bangun pagi dengan semangat." Sementara di sini, di ruang konseling sekolah elit, seorang siswa kelas 9 berkata, "Aku tidak tahu mengapa aku harus jadi dokter. Tapi semua orang di keluarga sudah bilang itu jalan terbaik."
Mungkin kuncinya ada pada kata yang sering dilupakan: percaya. Di tepi sebuah danau di Frisia, seorang ayah mengajari anaknya berenang dengan cara melepas pelan-pelan genggamannya pada pelampung. "Ayah di sini," katanya, tetap berdiri di air yang setinggi dada, membiarkan anaknya mengayuh kaki sendiri. Di sini, di kolam renang berpemanas yang penuh dengan pelampung berbentuk unicorn dan dinosaurus, seorang pelatih berteriak: "Gerakkan tangan lebih cepat! Kamu ketinggalan dari yang lain!"
Pada akhirnya, The Happiest Kids in the World mengajak kita merenungkan arti "cukup". Di negeri tempat buku ini ditulis, "cukup" berarti memberhentikan diri dari obsesi mengisi setiap detik anak dengan aktivitas. Di teras rumah seorang nenek di Groningen, ada bangku kayu yang catnya sudah mengelupas. Setiap sore, cucunya duduk di sana, kadang mengobrol tentang mengapa bunga matahari selalu menghadap matahari, kadang diam saja sambil memandang sapi-sapi di padang sebelah. Tidak ada yang dianggap membuang waktu—karena diam pun adalah cara belajar.
Di sini, di antara gedung-gedung pencakar langit yang memantulkan cahaya lampu neon, seorang anak kecil menunjuk ke langit dan bertanya, "Ibu, bulan kenapa terlihat dekat sekali?" Sang ibu, sambil tetap mengetik di ponsel, menjawab singkat: "Nanti kita cari di YouTube, ya." Ia tidak sadar bahwa momen itu bisa jadi percakapan tentang ilusi optik, mitologi, atau puisi—sebuah kesempatan yang hanyut dalam kesibukan.
Buku ini mungkin adalah pengingat bahwa kebahagiaan anak-anak tidak memerlukan teori parenting mutakhir, melainkan keberanian untuk melambat. Seperti petani yang tahu persis kapan harus menanam dan kapan harus membiarkan tanah beristirahat. Di suatu senja di desa tepi hutan, seorang anak perempuan berdiri di atas jembatan kayu, melemparkan dedaunan kering ke sungai. Ia menatap daun-daun itu hanyut, lalu berlari ke ibunya yang sedang duduk di bangku: "Ma, lihat! Daun itu kayak perahu!" Sang ibu tidak buru-buru mengoreksi: "Bukan, daun kan bukan perahu." Ia malah tersenyum: "Coba ceritakan, seperti apa perahunya?"
Di situlah letak sihirnya: ruang untuk imajinasi yang tidak dipotong oleh koreksi, waktu yang tidak dipenggal oleh jadwal, dan kepercayaan bahwa kebahagiaan bukan tujuan yang harus dicapai dengan lari sprint—melainkan sesuatu yang mengendap pelan, seperti teh yang diseduh dengan air hangat, bukan air mendidih.
Mungkin kita perlu bertanya: Apakah kita sedang membangun anak-anak, atau sedang membangun menara pencapaian yang kita sendiri tidak yakin ujungnya? Di bawah langit yang sama, di suatu tempat, ada anak yang tertidur pulas dengan baju berlumpur, sementara di tempat lain, ada anak yang terjaga karena cemas akan nilai ujian. Keduanya bernapas, tapi hanya satu yang merasa waktu adalah sekutu, bukan musuh yang mengejar.
The Happiest Kids in the World
tidak datang dengan jawaban, tapi dengan wewangian yang mungkin sudah
asing bagi kita: aroma kesabaran. Seperti aroma tanah setelah hujan
pertama musim semi—menjanjikan pertumbuhan, asal kita mau menunggu.
UNICEF menilai bahwa anak-anak Belanda adalah yang paling bahagia di dunia. Sebuah pernyataan yang tak hanya menggugah rasa ingin tahu, tapi juga membangkitkan perenungan yang mendalam tentang cara kita memaknai kebahagiaan masa kecil. Rina Mae Acosta dan Michelle Hutchison, dua perempuan yang membesarkan anak di Belanda, menuliskannya dalam buku The Happiest Kids in the World.
Posting Komentar
...