Keajaiban yang Tak Berniat

     Kita sering menggunakan kata keajaiban untuk menjelaskan sesuatu yang melampaui nalar. Bayi yang lahir sehat disebut keajaiban. Seekor kupu-kupu yang keluar dari kepompong disebut keajaiban. Bahkan jantung yang terus berdetak tanpa kita sadari pun terasa seperti keajaiban. Namun kebanyakan orang, ketika menyebut kata itu, membayangkan adanya tangan tak terlihat yang merancang segalanya.

     Dawkins mengajak kita melihat dari sudut lain. Keajaiban itu nyata, tapi sumbernya bukanlah rancangan sadar, melainkan proses panjang yang buta: evolusi. Alam tidak tahu apa yang sedang ia lakukan. Ia tidak merancang bayi, tidak memikirkan kepompong, tidak punya rencana tentang jantung. Ia hanya menjalankan hukum sederhana—variasi kecil dan seleksi yang tak kenal lelah. Namun dari hukum sederhana itu, setelah jutaan tahun, muncullah simfoni kehidupan yang menggetarkan hati kita.

     Keindahan justru terasa lebih dalam ketika kita tahu bahwa tidak ada desainer agung yang duduk sambil menggambar cetak biru. Lihatlah sayap burung kolibri yang bergetar cepat, bukan karena ada yang meniatkannya untuk menjadi indah, melainkan karena hanya mereka yang bisa menggerakkan sayap secepat itu yang bertahan hidup di lingkungan tertentu. Dengarlah kicauan burung yang seolah dibuat untuk musik pagi, padahal awalnya hanyalah panggilan sederhana untuk menarik pasangan. Rasakan hangatnya pelukan, yang mungkin lahir dari kebutuhan mamalia untuk menjaga anak tetap hidup, lalu berkembang menjadi bahasa kasih sayang. Semua itu bukan hasil niat, tapi hasil sampingan dari seleksi yang sabar.

     Mungkin di sinilah letak keajaiban yang sebenarnya: bahwa kebutaan bisa melahirkan penglihatan, bahwa kebisuan bisa melahirkan nyanyian, bahwa kebetulan kecil bisa menumpuk menjadi keteraturan yang menakjubkan. Evolusi tidak menjanjikan kesempurnaan, ia hanya mengizinkan yang “cukup baik” untuk bertahan. Namun dari “cukup baik” yang terpilih berulang kali, lahirlah kesempurnaan yang kita kagumi hari ini.

     Menyadari hal ini bukan berarti mengurangi rasa takjub kita terhadap kehidupan. Justru sebaliknya, kita belajar untuk kagum pada kesabaran alam. Kita melihat dunia bukan sebagai panggung sandiwara yang diarahkan sutradara, melainkan sebagai panggung improvisasi, di mana jutaan aktor bereksperimen tanpa naskah, lalu secara ajaib menghasilkan drama yang lebih indah dari apa pun yang bisa ditulis.

     Jadi ketika kita menyebut kehidupan sebagai keajaiban, kita tidak perlu lagi mencari perancang tersembunyi di balik tirai. Keajaiban itu sudah ada di depan mata: sebuah proses yang buta, sederhana, tanpa rencana, namun berhasil menciptakan makhluk yang mampu bertanya tentang asal-usulnya sendiri. Dan mungkin, dalam ironi yang indah, itulah hadiah terbesar evolusi kepada kita.



Keajaiban itu nyata, tapi sumbernya bukanlah rancangan sadar, melainkan proses panjang yang buta: evolusi. Alam tidak tahu apa yang sedang ia lakukan.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.