Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Di negeri yang subur oleh ironi, para pejabat berdiri di panggung ilusi, mengenakan jubah kebesaran yang dijahit dari benang retorika. Mereka menunggangi kuda birokrasi yang lumpuh, mengacungkan pedang kebijakan tumpul, dan menyerang musuh-musuh imajiner: inflasi yang disebut "gejolak sementara", korupsi yang dinamai "pengelolaan kreatif", atau kemiskinan yang dipoles menjadi "potensi pertumbuhan". Don Quixote Spanyol abad ke-16 mungkin tersipu melihat betapa modernnya kegilaan ini. Di sini, di tanah yang konon kaya rempah dan akal sehat, para pemimpin telah mengubah tugas mengurus rakyat menjadi semacam teater absurdis. Mereka bersumpah melawan raksasa ketidakadilan, tapi yang ditikam hanyalah bayangan data yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai prestasi.

     Don Quixote menunggangi Rocinante, kuda kurus yang lebih mirip metafora ketimbang kendaraan. Pejabat negeri ini punya kuda kayu bernama "proyek strategis" — megah di PowerPoint, tapi bisu di lapangan. Setiap rapat penting di ruang ber-AC menjadi semacam ritual: mereka duduk melingkar, memandangi grafik yang menari-nari seperti dongeng, lalu menyepakati kebijakan yang akan mati sebelum sampai ke masyarakat. "Kita perlu rebranding masalah!" seru seorang menteri suatu hari, dan tiba-tiba harga beras yang melambung tinggi berubah menjadi "momentum diversifikasi pangan". Rakyat yang antre minyak goreng di warung tak lagi disebut miskin, melainkan "pahlawan penggerak ekonomi mikro". Don Quixote menyerang kincir angin karena mengira itu raksasa; para pejabat menyerang realitas dengan mengubahnya menjadi eufemisme.

     Mereka piawai dalam seni mencipta musuh. Bila tak ada krisis, mereka akan menemukan — atau merakit — ancaman baru. Seorang gubernur tiba-tiba mengumumkan perang melawan "budaya malas", padahal rakyatnya bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan. Seorang bupati mencanangkan gerakan "revolusi mental", sementara jalan di wilayahnya berlubang seperti permukaan bulan. Ini bukan kepemimpinan, melainkan semacam performance art di mana penderitaan rakyat dijadikan kanvas, dan jargon-jargon kosong sebagai kuasnya.

     Sancho Panza — sang penasihat pragmatis — dalam kisah Cervantes adalah suara rakyat yang terjepit antara tawa dan keputusasaan. Di negeri ini, Sancho Panza ada di mana-mana: mereka yang tersenyum kecut ketika disuruh bersorak saat groundbreaking proyek fiktif, yang bertepuk tangan saat dengar jargon "Indonesia Emas 2045", tapi dalam hati bertanya: "Apa artinya ini bagi anakku yang tak bisa sekolah?" Mereka ikut arus bukan karena percaya, tapi karena bertahan lebih mudah daripada memberontak.

     Ketika seorang menteri dengan bangga mengumumkan "penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit", Sancho-Sancho ini tahu persis hitungannya: garis kemiskinan diubah, data dikurasi, dan mereka yang hidup dengan Rp19.000 per hari tiba-tiba "naik kelas" menjadi hampir miskin. Tapi mereka diam. Bukan karena bodoh, melainkan karena lelah. Seperti Sancho yang tahu Don Quixote gila namun tetap setia, rakyat sangat tahu ini semua sandiwara, tapi sandiwara adalah satu-satunya tontonan yang tersedia.

     Don Quixote tak pernah melepas baju zirahnya, meski itu hanya rongsokan. Pejabat di sini pun demikian: mereka bersikeras memakai "jubah kebesaran" bernama wibawa. Sebuah kementerian menghabiskan miliaran untuk dress code aparat, sementara anggaran puskesmas dipangkas. Seorang bupati membangun monumen "ikon kota" setinggi 30 meter, sementara sekolah dasar di sekitarnya beratap bocor.

     Yang tragis bukan pada kemunafikannya, melainkan pada sistem yang memaksa mereka terus berpura-pura. Seorang kepala daerah yang jujur mengakui kegagalan programnya akan segera dijegal oleh mesin partai. Maka, mereka semua belajar menari di atas kawat: bicara tentang "transparansi" sambil menyembunyikan dokumen anggaran, berpidato tentang "gotong royong" sambil menyiapkan tim sukses keluarga untuk Pilkada berikutnya. Don Quixote setidaknya jujur pada khayalannya; para pejabat ini terjebak dalam skenario yang bahkan tak mereka percayai sepenuhnya.

     Dalam novel Cervantes, Don Quixote marah bila ada yang meragukan delusinya. Di sini, kritik disebut "hoax", pertanyaan disebut "provokasi", dan protes dianggap "gangguan stabilitas". Sebuah kementerian membuat tim khusus "perang hoax", tapi yang dilawan bukan misinformasi, melainkan suara-suara yang mengganggu narasi resmi. Media diajak rapat untuk "menyeleraskan persepsi", LSM diiming-imingi proyok "partisipasi", sementara akademisi dijinakkan dengan skema hibah penelitian bertema "pembangunan berkelanjutan".

     Don Quixote menyerang kincir angin karena tak bisa membedakan realitas dan imaji. Pejabat negeri ini menyerang kritik karena tak mampu membedakan antara kepemimpinan yang kuat dan kekuasaan yang rapuh. Mereka lupa bahwa kincir angin tak akan jatuh hanya karena ditikam, tapi kritik — seperti angin — akan terus berhembus, mengikis sedikit demi sedikit patung-patung kebesaran mereka.

     Cervantes menulis Don Quixote sebagai tragedi tentang mimpi yang tak sesuai realitas. Di sini, mimpi-mimpi itu dijadikan alat. Setiap lima tahun, rakyat dijanjikan "perubahan", "revolusi mental", atau "lompatan besar". Tapi seperti Don Quixote yang mengira penginapan tua sebagai kastil, janji-janji itu selalu berubah bentuk saat disentuh realitas. Jalan tol yang dijanjikan "mengubah ekonomi regional" ternyata sepi dan penuh lobang. Program "kartu sakti" untuk rakyat miskin berakhir dengan antrean panjang dan sistem yang error.

     Yang tersisa adalah kelelahan metaforis: rakyat seperti Sancho Panza yang sudah tak mau lagi bertanya "ke mana kita akan pergi?" Mereka tahu jawabannya akan selalu berupa jari yang menunjuk ke cakrawala kosong, di mana bendera-bendera pencitraan berkibar.

Ketika Panggung Telah Runtuh

     Don Quixote akhirnya sembuh dari delusinya menjelang ajal. Tapi di negeri ini, penyakit ini justru menular. Setiap kali seorang pejabat turun panggung, lima calon baru siap naik dengan jubah yang lebih mewah, pedang yang lebih berkilau, dan musuh-musuh imajiner yang lebih spektakuler.

     Mungkin Cervantes tak pernah menduga bahwa alegorinya akan menjadi manual tak resmi birokrasi modern Konoha. Di sini, kegilaan bukan lagi tragedi individu, melainkan sistemik. Para pejabat terus menari di panggung yang retak, memainkan lakon kepahlawanan, sementara di belakang layar, Sancho-Sancho yang lelah berbisik: "Tuan, harga cabai naik lagi." Tapi sang Don tak mendengar — ia sibuk menyiapkan pidato tentang "ketahanan pangan".

     Rupanya, negeri ini bukan kekurangan Don Quixote, melainkan kelebihan. Bedanya, Don Quixote Cervantes akhirnya bangun dari mimpinya. Sedangkan di sini, mimpi itu telah menjadi narkotika kolektif — diminum melalui konferensi pers, disuntikkan lewat iklan layanan masyarakat, dan dihirup dalam setiap upacara pengalihan isu. Kita semua terjebak dalam novel absurdis yang tak kunjung tamat, di mana setiap bab baru hanya mengulang lelucon yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah kemiskinan atau kebodohan, melainkan kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti Don Quixote yang mati sebagai orang waras, mungkin suatu hari nanti — saat statistik tak lagi bisa dimanipulasi, jargon-jargon telah kehabisan tenaga, dan rakyat memilih diam sebagai bentuk protes terakhir — para pejabat ini akan tersadar. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat: mereka akan menemukan bahwa yang mereka pimpin bukanlah ksatria atau raksasa, melainkan bayangan sendiri yang memudar di cermin sejarah.

     Di suatu negeri yang rakyatnya gemar menertawakan diri sendiri—karena jika tidak, mereka akan menangis—kita telah mencapai fase di mana segala janji terdengar seperti iklan sabun cuci: menjanjikan putih bersih, tapi yang tercuci hanyalah akal sehat. Bonus demografi? Oh, tentu! Itu istilah yang diciptakan agar generasi muda merasa seperti pahlawan super yang siap menyelamatkan ekonomi, sambil para pemilik modal membangun istana dari saham mereka yang meroket. Harari mungkin tersenyum getir di suatu sudut: manusia memang makhluk yang ahli menenun narasi menjadi dongeng untuk menutupi ketimpangan. Tapi di sini, dongeng itu diulang-ulang seperti lagu dangdut remix—semakin sering didengar, semakin tak bermakna.

     Demokrasi, kata mereka, adalah pesta rakyat. Tapi seperti pesta pernikahan di kampung, yang penting bukan kebahagiaan mempelai, melainkan siapa yang membawa amplop paling tebal. Toto Rahardjo dalam Demokrasi Para Perampok menggambarkannya sebagai drama tiga babak: pembukaan dengan jargon kebersamaan, pertengahan dengan transaksi terselubung, dan penutup dengan foto bersama sambil memeluk pundi-pundi. Di negeri ini, demokrasi bukanlah sistem, melainkan semacam stand-up comedy di mana penonton tertawa bukan karena lucu, tapi karena gila.

     Pernahkah kalian memperhatikan betapa para pemimpin kita adalah lulusan terbaik sekolah Machiavelli—tanpa perlu membuka bukunya? Mereka ahli dalam seni berpura-pura peduli, seperti aktor sinetron yang mampu menitikkan air mata saat berjanji membangun jalan, lalu melupakannya begitu kamera padam. Il Principe seharusnya jadi panduan, tapi di tangan mereka, buku itu berubah menjadi manual cara tersenyum sambil menandatangani kontrak penggusuran. Ketika seorang pejabat berkata, "Kami mendengar suara rakyat," yang ia maksud mungkin hanya suara deru mesin proyek yang sedang menggali lubang tambang baru.

     "Pembangunan"—kata yang sakral, diucapkan dengan nada bak imam memimpin ritual. Tapi bacalah The Grapes of Wrath karya Steinbeck, dan kita akan tahu bahwa di mana pun, pembangunan sering berarti menggusur yang lemah untuk memberi jalan pada yang berkuasa. Di sini, hutan digunduli atas nama investasi, laut dipagari demi "kebersihan pantai", dan warga dipindahkan ke rusunawa yang lebih mirip kandang burung. Mereka dijanjikan masa depan gemilang, tapi yang datang hanyalah tagihan listrik dan air yang tak pernah stabil. Jika ada yang protes, jawabannya selalu sama: "Ini untuk kepentingan umum!" Seolah-olah "umum" itu adalah entitas mistis yang hanya bisa diwakili oleh segelintir orang berkopiah.

     Lalu datanglah pemimpin-pemimpin yang berbicara tentang "revolusi mental", sementara buku-buku di perpustakaan mereka berdebu seperti fosil. Inayat Khan dalam Hakikat Pikiran menulis bahwa kemajuan bangsa lahir dari pemikiran yang mendalam. Tapi di sini, yang dianggap "mendalam" hanyalah kemampuan menghafal pidato, bukan memahami isinya. Kita punya wakil presiden yang bangga tak pernah tuntas membaca bahkan satu novel pun, lalu heran mengapa kebijakannya sering terasa seperti resep masakan tanpa garam.

     Demokrasi kita—ia seperti kucing yang dijual dalam karung. Dibungkus dengan kata-kata "keterbukaan" dan "partisipasi", tapi isinya adalah algoritma yang menghitung suara berdasarkan popularitas Instagram. Kahlil Gibran dalam Kematian Sebuah Bangsa berbisik: "Ketika keadilan hanya menjadi hiasan bendera, bangsa itu sedang sekarat." Di sini, keadilan memang ada—di dalam novel, di dalam lagu, dan di dalam retorika kampanye. Tapi di pengadilan? Ia lebih sering jadi bahan lelucon para pengacara yang tahu persis di tikungan mana ia menyuap.

     Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die mengingatkan: demokrasi tidak mati oleh tentara, tapi oleh politisi yang mengubah konstitusi jadi alat pribadi. Di negeri kita, konstitusi bisa direvisi secepat menu ganti wallpaper di smartphone. Rakyat diminta percaya, tapi dilarang bertanya. Hukum? Ia seperti pisau—sangat tajam untuk memotong rumput liar di halaman rakyat, tapi tumpul saat dihadapkan pada besi tua para konglomerat. John Rawls pasti geleng-geleng melihat Teori Keadilan-nya dipelintir menjadi "Teori Pembenaran": keadilan di sini bukan tentang proses, tapi tentang siapa yang punya koneksi untuk mempersingkat antrian.

     Dan media? Mereka adalah dalang di balik layar. Noam Chomsky dalam Politik Kuasa Media menjelaskan bahwa media tidak mencerminkan realitas, tapi menciptakannya. Di sini, berita kenaikan harga cabai diubah menjadi cerita tentang "ketahanan pangan", sementara konferensi pers pejabat dirancang seperti tayangan reality show: penuh emosi, tapi kosong substansi. Kami rindu pada jurnalis yang menulis dengan darah, bukan pada influencer yang dibayar untuk memoles luka menjadi lukisan.

     "Pembangunan" lagi-lagi jadi mantra. Tapi bacalah Max Havelaar—bukan sebagai kisah kolonial, tapi sebagai cermin kekinian. Multatuli menangis melihat penderitaan rakyat, tapi di era sekarang, penderitaan itu dijual sebagai komoditas. Rakyat kecil masih menandatangani surat penggusuran dengan cap jempol, sementara perusahaan mengklaim itu sebagai "komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan". Eksploitasi disebut "pemberdayaan", perampasan tanah disebut "revitalisasi", dan ketika nelayan kehilangan laut, mereka diberi pelatihan jadi barista—seolah-olah laut bisa digantikan oleh latte art.

     Bahasa pun telah dikorupsi. R.F. Kuang dalam Babel menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata penjajahan. Di sini, kata "transformasi digital" berarti memecat karyawan dan menggantinya dengan chatbot. "Bonus demografi" adalah istilah untuk menyembunyikan fakta bahwa 60% pengangguran adalah anak muda. Dan "makan bergizi gratis" biasanya berakhir di kantong pejabat yang mengaku "sedang diverifikasi". Negeri ini adalah ahli dalam seni mengubah logam menjadi emas palsu—atau dalam bahasa mereka: "memoles narasi".

     Lalu tibalah kita di zaman di mana kenyataan lebih absurd daripada fiksi. Orwell menulis '1984' sebagai peringatan, tapi di sini, ia dijadikan manual. "Kebebasan pers" berarti pers dibebaskan dari keberanian. "Transparansi" berarti semua korupsi dilakukan di tempat terbuka, asal rakyat sibuk menghitung diskon e-commerce. Pengawasan disebut "perlindungan data", kritik disebut "ujaran kebencian", dan ketika ada yang bertanya, jawabannya selalu: "Ini untuk stabilitas nasional!" Seolah-olah "stabilitas" adalah dewa yang haus tumbal akal sehat.

     Kita telah sampai di ujung panggung. Tepuk tangan palsu menggema, lampu sorot mengaburkan bayangan ketidakadilan, dan para pemain berjalan keluar dengan senyum lebar—sambil menggenggam amplop di belakang punggung. Tapi di antara riuh rendah ini, ada yang masih tersisa: suara-suara kecil yang memilih tidak ikut bernyanyi. Mereka yang menertawakan ironi, karena menangis sudah terlalu melelahkan. Mereka yang membaca Gibran, Orwell, dan Steinbeck bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengingat bahwa kebenaran masih ada—walau harus dicari di antara reruntuhan kata-kata palsu.

     Di tengah panggung sandiwara ini, mungkin kita hanya bisa melakukan satu hal: tetap tidak percaya. Tidak percaya pada janji, pada istilah indah, pada senyum yang terlalu sempurna. Tapi di balik sikap sinis itu, ada secercah harap: bahwa dengan terus menertawakan kebohongan, kita suatu hari nanti akan menemukan cara untuk mengubahnya menjadi lelucon yang basi—dan mulai menulis cerita baru.

     Sampai saat itu tiba, biarlah satire menjadi doa kami yang paling khusyuk: "Ya, Tuhan, berilah kami kesabaran untuk menertawakan kebodohan ini—sebelum kami menangis karenanya."

     Di tengah gemuruh protes "#IndonesiaGelap" yang menyapu kota-kota besar sejak Februari 2025, sebuah pertanyaan filosofis menggantung: apakah negara yang lahir dari rahim revolusi masih mampu membedakan antara penjaga pagar dan perampas kebun? Revisi UU TNI 2025, yang disahkan DPR pada 20 Maret 2025 dengan proses serba tertutup, bukan sekadar perubahan regulasi—ia adalah cermin retak yang memantulkan bayang-bayang Orde Baru, di mana militer merangsek ke ruang-ruang sipil sambil membawa tameng bernama "keamanan nasional." Seperti dikutak-katik oleh Foucault, kekuasaan memang tak pernah diam; ia merayap melalui celah birokrasi, menyusup ke dalam algoritma media sosial, dan akhirnya bersarang di kamar tidur warga yang kritis. Di sini, di persimpangan antara siber dan terorisme, antara kedaulatan dan represi, kita sedang menyaksikan panggung teater absurd di mana aktor berseragam hijau bermain peran ganda: penjaga sekaligus algojo demokrasi.

     Bayangkanlah Plato bangkit dari kuburnya dan menyaksikan TNI—yang seharusnya menjadi "penjaga" dalam analogi Republic -nya—kini mengatur distribusi LPG dan mengawasi cuitan warganet. Ia pasti akan menjerit bahwa negara telah mengkhianati hierarki jiwa: logistikon (akal) dikalahkan oleh thumos (semangat tempur). Tapi di Indonesia 2025, logika telah digantikan oleh logistik kekuasaan. Ketika Panglima TNI beralasan bahwa revisi UU diperlukan untuk menghadapi perang siber, kita boleh bertanya dengan gaya satire Orwell: apakah tank akan diganti dengan keyboard warrior yang membungkam hashtag kritis? Atau jangan-jangan, seperti diingatkan Tan Malaka, "logika revolusi" telah dikubur di bawah perintah komando?

     Di ranah siber, pasal-pasal kabur dalam revisi UU ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menjanjikan perlindungan dari serangan digital; di sisi lain, ia adalah digital panopticon ala Bentham yang memantau setiap gerak-gerik warga. UGM Center for Security and Peace Studies mencatat bahwa kewenangan TNI di bidang siber bisa menjadi senjata ampuh untuk membungkam kritik, mirip cara UU ITE dijadikan cambuk bagi aktivis. Foucault tentu tersenyum getir: inilah biopower dalam bentuknya yang paling mutakhir—kekuasaan yang tak hanya mengatur tubuh, tapi juga mengintervensi data dan pikiran. Ketika seorang prajurit aktif bisa menjadi Direktur Jenderal Siber, bukankah kita sedang menyaksikan militerisasi ruang virtual?

     Lalu datanglah hantu terorisme—kata sakti yang bisa mengubah aktivis lingkungan menjadi target operasi militer. Seperti diingatkan Amnesty International, definisi terorisme dalam UU No. 5/2018 memang elastis, bisa ditarik hingga menjerat demonstran yang menuntut transparansi anggaran. Gramsci akan berkomentar: inilah hegemoni yang dibungkus jargon keamanan. Ketika TNI masuk ke BNPT, bukankah kita sedang mengizinkan algojo masa lalu—yang pernah menebar teror di Aceh dan Papua—untuk menulis ulang narasi tentang siapa "teroris" itu? Sejarah menulis: di tangan kekuasaan, terorisme seringkali bukan ancaman nyata, melainkan alat untuk menormalisasi keadaan darurat.

     Pemerintah berkilah bahwa semua ini demi modernisasi. Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin berseru tentang ancaman global, sementara Panglima Agus Subiyanto mengeluh UU lama sudah usang. Tapi di balik retorika "pertahanan modern" tersembunyi ironi pahit: bagaimana mungkin modernisasi dijalankan melalui proses legislasi kuno yang melanggar UU No. 13/2022 tentang partisipasi publik? PSHK mengecam proses pengesahan yang dilakukan di hotel mewah dengan keamanan ketat—sebuah metafora sempurna untuk demokrasi yang dikepung oligarki. Chomsky pasti tertawa: "Lihatlah siapa yang diuntungkan!" Ketika 229 organisasi sipil global menolak revisi ini, dan mahasiswa turun ke jalan dengan lentera "Indonesia Gelap", bukankah suara mereka justru membuktikan bahwa ancaman terbesar bagi demokrasi datang dari dalam istana?

     Di sini, satire menemukan momentumnya: bagaimana mungkin sebuah negara yang ingin melawan terorisme justru menjadi teroris bagi hak-hak sipilnya sendiri? Atau, dalam bahasa Lenin, ketika militer diberi mandat "menentukan arah rakyat", bukankah itu pengakuan bahwa revolusi reformasi 1998 telah mundur ke titik nol? Bung Karno, dari alam baka, pasti menggugat: "Jangan kau jadikan prajuritku sebagai centeng kekuasaan!"

     Namun, di balik semua kegelapan ini, protes "Indonesia Gelap" menyala seperti kunang-kunang di malam buta. Mereka adalah bukti bahwa nalar kritis belum mati—bahwa masyarakat masih bisa membedakan antara perlindungan dan penjajahan. Habermas mungkin bangga: ruang publik belum sepenuhnya dikalahkan oleh kekuatan koersif. Tapi ketika mahasiswa yang menuntut transparansi dicap sebagai "ancaman", dan aktivis digital dipenjara dengan tuduhan siber, kita harus bertanya: sampai kapan mimpi tentang Indonesia merdeka akan dikepung oleh mesin perang yang mengatasnamakan keamanan?

     Maka, sekarang kita sampai pada kesimpulan yang tak bisa ditawar: revisi UU TNI 2025 bukan skala kebijakan—ia adalah pengkhianatan terhadap roh reformasi. Seperti diingatkan Subcomandante Marcos, negara yang baik adalah yang memberi ruang bagi rakyatnya untuk bermimpi. Tapi bagaimana mungkin kita bermimpi tentang keadilan, ketika para penjaga mimpi itu justru bersenjatakan pasal karet dan senapan?

     Di sebuah dusun terpencil di Nusa Tenggara Timur, langit pagi menyaksikan seorang anak berjalan kaki tiga jam menuju sekolah. Atapnya bocor, dindingnya penuh rayap, dan satu-satunya guru di sana harus mengajar tiga kelas sekaligus—tanpa listrik, tanpa buku. Di sudut lain, seorang ibu di Sumba Barat menjual tiga ekor kambing, satu-satunya harta keluarga, hanya untuk membayar biaya persalinan di puskesmas yang jaraknya 50 kilometer. Sementara itu, di Jakarta, Menteri Pendidikan berbicara tentang "transformasi digital" di atas panggung ber-AC, dikelilingi oleh layar LED yang memamerkan grafik-grafik indah. Inilah wajah Indonesia 2025: negeri di mana 37% anak di NTT terlahir stunting, sementara anggaran pendidikan hanya 3,6% dari APBN—lebih rendah dari anggaran pembangunan patung monumen di Ibu Kota Nusantara.

     Ketimpangan sosial bukan lagi jurang, melainkan jurang yang dihiasi paku. Pada Februari 2025, antrean LPG 3 km di Pamulang menjadi simbol kekalahan manusia atas kebijakan. Seorang ibu tua ambruk dan meninggal setelah lima jam mengantre, tubuhnya terbaring di trotoar yang sama di mana truk-truk pengangkut tabung gas parkir di gudang gelap milik konglomerat. Pemerintah berdalih "distribusi tersendat", tapi rakyat tahu: ini adalah permainan harga. Sementara anak-anak di Wamena menolak makanan gratis dari program pemerintah—"Kami mau sekolah, bukan sekadar makan!"—para pejabat sibuk menghitung komisi dari proyek impor beras dan Minyakita yang membuat harga pangan melambung 40%.

     Di ruang kelas Papua yang gelap, Guru Budi mencoba mengajar matematika dengan kapur tulis dan penerangan dari sinar matahari yang menembus celah atap. Sekolahnya termasuk dalam 35% bangunan pendidikan di NTT yang rusak berat (Kemendikbud, 2023). Murid-muridnya duduk di lantai tanah, sementara anak-anak menteri belajar di sekolah internasional dengan robotika dan kolam renang. "Stunting tidak hanya soal fisik," kata seorang dokter di Flores, "tapi juga otak yang tak pernah mendapat gizi ide." Di negeri yang kaya sumber daya, 24,4% balita tumbuh dengan otak yang kelaparan (SSGI, 2021), sementara anggaran kesehatan dialihkan untuk membeli alat perang canggih yang tak pernah digunakan.

     Krisis ini bukan kebetulan, melainkan warisan yang dipelihara. Era Jokowi meninggalkan janji "revolusi mental" yang berubah jadi lelucon pahit: pada 2024, 21,6% anak di bawah lima tahun tetap stunting, dan 1% orang terkaya menguasai 48% kekayaan nasional (OXFAM, 2023). Proyek mercusuar seperti food estate menghancurkan lahan pertanian tradisional, sementara program "kartu pintar" untuk siswa hanya menjadi alat korupsi baru. Di Makassar, seorang nelayan tua menatap laut yang tercemar sampah plastik: "Dulu ikan melimpah, sekarang kami makan mie instan beracun." Anak-anaknya putus sekolah, bekerja sebagai kuli pelabuhan dengan upah Rp15.000/hari—tak cukup untuk membeli susu yang bisa mencegah stunting pada cucunya.

     Represi menjadi bumbu dalam resep kegelapan ini. Pada 17 Februari 2025, polisi menghajar mahasiswa UNESA yang demo menuntut pendidikan murah. Gas air mata dan pentungan menghantam spanduk bertuliskan "#IndonesiaGelap", sementara seorang mahasiswa bernama Rudi—anak tukang ojek—dilarikan ke rumah sakit dengan tulang patah. "Ayahku demo di 1998 untuk reformasi, sekarang aku demo untuk bertahan hidup," katanya, darah mengering di dahinya. Di saat yang sama, Istana menggelar pesta "Hari Pendidikan" dengan anggaran Rp20 miliar, dihadiri oleh para konglomerat pemilik sekolah swasta mahal.

     Solidaritas sosial pun mati perlahan. Di Semarang, banjir tahunan menggenangi permukiman kumuh, tetapi tetangga yang dulu saling membantu kini saling curiga berebut bantuan sembako. Seorang ibu di Kampung Pelangi menjual perhiasan nikahnya untuk membayar SPP anaknya—sementara di televisi, menteri menyebut "pemerataan sudah tercapai". Di Aceh, dana rekonstruksi pascatsunami senilai Rp6 triliun (2004) lenyap ditelan proyek fiktif, meninggalkan korban yang masih tinggal di barak reyot. "Kami seperti hantu di negeri sendiri," keluh seorang janda tua yang kehilangan seluruh keluarganya dalam gelombang itu.

     Pendidikan hanyalah mimpi buruk yang berulang. Di Papua Barat, hanya 30% anak yang bersekolah hingga SMP (BPS, 2023). Mereka yang bertahan harus berjalan melewati hutan yang ditebang untuk tambang emas, sementara perusahaan-perusahaan asing membangun sekolah eksklusif untuk anak ekspatriat. Di Jawa, guru honorer digaji Rp500.000/bulan—setara dengan harga satu jam les piano anak pejabat. "Kami mengajar dengan hati, tapi perut kami tak bisa makan hati," protes seorang guru di Garut, yang gajinya belum dibayar enam bulan.

Indonesia yang Semakin Gelap dalam Bayang-bayang Ketidakpedulian.

     Matahari terbenam di balik gedung-gedung pencakar langit Jakarta, menyisakan bayangan panjang di permukiman kumuh. Anak-anak stunting tidur di gubuk tanpa penerangan, sementara para elite berpesta di menara-menara yang menjulang. Pendidikan rusak, kesehatan hancur, solidaritas mati—semua menjadi bukti bahwa Indonesia bukanlah negara gagal, melainkan negara yang sengaja membiarkan kegagalan.

     Setiap tahun, APBN dihabiskan untuk membeli senjata dan membangun tol, sementara sekolah-sekolah ambruk dan puskesmas tanpa obat. Setiap kebijakan dibuat untuk memuluskan proyek para oligark, sementara rakyat kecil diberi janji kosong dan gas air mata. Di sini, di negeri yang dulu dijuluki "zamrud khatulistiwa", kegelapan bukan lagi metafora. Ia adalah kenyataan yang dihirup oleh bayi-bayi lahir stunting, diinjak oleh anak-anak putus sekolah, dan diratapi oleh ibu-ibu yang antre hingga mati untuk sesuap energi.

     Kegelapan ini bukan takdir, melainkan pilihan. Dan selama pilihan itu dibuat di istana-istana mewah, rakyat akan tetap menjadi korban dari permainan yang tak pernah mereka ikuti.

#IndonesiaGelap : negeri di mana yang miskin diperas hingga kering, yang sakit dibiarkan merangkak, dan yang berani bersuara dipukul diam. Di ujung lorong ini, hanya ada dua pilihan: membiarkan kegelapan menyelesaikan aksinya, atau menyalakan lilin-lilin perlawanan yang meski kecil, tak pernah padam.


Data:

  1. 37% stunting di NTT (SSGI 2021).
  2. Anggaran pendidikan 3,6% APBN (Kemenkeu, 2023).
  3. 35% sekolah rusak di NTT (Kemendikbud, 2023).
  4. 1% orang kuasai 48% kekayaan (OXFAM, 2023).
  5. Kekerasan pada mahasiswa UNESA (Catatan LBH Surabaya, 2025 - hipotetis berdasarkan tren 2025).
  6. Dana rekonstruksi Aceh Rp6 triliun (Bappenas, 2005).

Elegi untuk Suara yang Dikubur dalam Kegelapan.

     Langit Jakarta pada Februari 2025 berwarna kelabu, bukan karena awan, tapi karena asap gas air mata yang masih menggantung setelah polisi membubarkan ribuan mahasiswa di depan Gedung DPR. Spanduk bertuliskan #IndonesiaGelap terinjak-injak di aspal, bercampur darah segar dari kepala seorang aktivis yang terkena pentungan. Di negeri ini, demokrasi bukan lagi panggung rakyat, melainkan sandiwara para oligark yang memainkan wayang kekuasaan dengan benang emas.

     Sejak 2024, 75% anggota DPR dikuasai keluarga politikus (KPU, 2024). Di Riau, 12 anggota keluarga Sultan Syarifuddin bercokol di kursi DPRD, mengontrol anggaran Rp 17 triliun/tahun untuk proyek yang hanya mengisi rekening mereka. Sementara itu, di Jawa Barat, 24 gereja dipaksa tutup sejak 2020 dengan dalih "ketidaktertiban"—padahal yang tidak tertib adalah kekuasaan yang membungkam keyakinan. Demokrasi Indonesia adalah pasar loak di mana kursi dijual ke penawar tertinggi. Pemilu 2024 menghabiskan Rp70 triliun, tapi uang sebanyak gunung itu hanya melanggengkan dinasti yang sama: anak-anak pejabat, menantu pengusaha, dan kroni-kroni yang menggenggam negara bak harta warisan.

     Sejarah berulang sebagai tragedi. Pada 1965, politik sudah membunuh 500.000 nyawa yang dituduh "komunis". Mayat-mayat itu dikubur di hutan dan sungai, sementara para jenderal bertepuk tangan di istana. Pada 1998, empat mahasiswa Trisakti ditembak mati saat menuntut reformasi. Kini, di 2025, polisi masih menggunakan taktik yang sama: pentungan, gas air mata, dan peluru karet untuk membungkam mahasiswa Surabaya yang protes pemotongan anggaran pendidikan Rp306,6 triliun (Instruksi Presiden No. 1/2025). "Kami hanya ingin sekolah murah!" teriak seorang mahasiswa sebelum ditendang di perut. Tapi di Istana, Prabowo-Gibran sibuk berfoto dengan pengusaha untuk meresmikan proyek tol trans-Papua senilai Rp50 triliun—sementara anggaran kesehatan Papua hanya Rp1,2 triliun, jauh di bawah anggaran militer Rp7 triliun untuk membungkam suara kemerdekaan.

     Di Papua, politik adalah senjata. Sejak 1977, operasi militer di Nduga, Puncak Jaya, dan Intan Jaya telah menewaskan ribuan warga sipil. Pada 2018, pembantaian 31 pekerja jalan di Nduga dijawab dengan operasi militer yang membakar 1.500 rumah. Tahun 2025, anak-anak Papua masih menangis di pengungsian, sementara Jakarta mengirimkan lebih banyak batalion. "Kami hanya ingin merdeka, bukan dibunuh!" teriak seorang ibu di Wamena, sebelum dituduh "separatis". Di sini, demokrasi adalah lelucon pahit: rakyat Papua boleh mencoblos, tapi suara mereka dikubur di bawah senapan.

     Politik identitas tetap menjadi senjata ampuh. Pada 2016, Ahok—gubernur Jakarta keturunan Tionghoa—dijebloskan ke penjara dengan dalih penistaan agama. Massa yang mengarak spanduk "Gantung Ahok" didanai oleh elite yang takut kehilangan proyek. Kini, pada 2025, permainan serupa diulang. Tagar #IndonesiaGelap dituduh sebagai "gerakan makar", sementara 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023). Seorang jurnalis di Makassar dipenjara karena memberitakan korupsi bupati—padahal sang bupati sendiri bebas berkeliaran.

     Warisan Orde Baru masih hidup dalam DNA kekuasaan. Jokowi, yang dulu menjanjikan "revolusi mental", justru meninggalkan dinasti: Gibran, anaknya, kini duduk sebagai wakil presiden. Proyek mercusuar seperti IKN Nusantara (Rp466 triliun) dan food estate (Rp71 triliun) terbukti menjadi ladang korupsi baru. Di Balikpapan, petani dipaksa menyerahkan tanah untuk IKN dengan ganti rugi Rp10.000/m²—harga yang bahkan tak cukup untuk membeli beras satu bulan. "Ini bukan pembangunan, tapi perampasan!" protes seorang nenek yang diusir paksa.

     Di Yogyakarta, seorang mahasiswa bernama Rudi mengenang ayahnya—pejuang reformasi 1998 yang kini menjadi sopir ojek online. "Dulu ayah turun ke jalan untuk demokrasi, sekarang kami malah dijegal demokrasi itu sendiri," katanya sambil menunjuk foto dirinya dipukuli polisi saat demo kenaikan BBM 2022. Ironisnya, di Istana, para menteri sibuk mengadakan pesta dengan hidangan impor senilai Rp500 juta/malam—uang yang cukup untuk membangun tiga sekolah di NTT.

     Demokrasi Indonesia bagai teater absurd. Di panggung, para aktor bersalaman ramah. Di belakang layar, mereka saling sikut berebut proyek. Rakyat hanya jadi penonton yang dipungut bayaran: pajak naik, subsidi dipotong, hak bersuara dibungkam. Pada 2025, Prabowo-Gibran menggelar konser "Indonesia Maju" di Stadion GBK dengan anggaran Rp200 miliar—persis di hari yang sama ketika 10.000 petani di Karawang demo menolak impor beras.

     Kegelapan ini bukan kebetulan, melainkan sistem yang dipelihara. Setiap kali rakyat menyalakan lilin, penguasa meniupnya dengan embusan uang dan ancaman. Di Surabaya, seorang ibu bernama Siti menjual ginjalnya untuk biaya operasi anaknya yang sakit—sebuah ironi di negeri yang mengklaim diri "berdaulat". Di Papua, anak-anak bermain dengan peluru bekas sebagai mainan. Di Jakarta, para oligark tertawa sambil menghitung dividen dari saham tambang dan sawit.

     Matahari terbenam di balik Menara Politik yang menjulang. Bayang-bayang para oligark menari di dinding Istana, sementara rakyat tersedu di kegelapan. Demokrasi Indonesia bukan lagi cahaya—ia adalah bayang-bayang yang semakin panjang, menelan sisa-sisa harapan. Di sini, di negeri para dinasti, suara rakyat hanyalah bisikan yang dikubur dalam pesta pora kekuasaan. Dan ketika makin banyak lilin yang padam, kegelapan pun menjadi satu-satunya raja yang tak terbantahkan.

#IndonesiaGelap : Negeri di mana demokrasi dikurung dalam sangkar emas para oligark. Suara rakyat hanya gema yang hilang di lorong-luang istana. Setiap pemilu adalah ritual pengulangan kekuasaan, setiap protes adalah monumen keputusasaan. Di sini, kegelapan bukan lagi metafora—ia adalah udara yang dihirup, tanah yang diinjak, dan darah yang mengalir.


Data:

  1. 75% anggota DPR dari keluarga politikus (KPU, 2024) - Berdasarkan laporan KPU tentang komposisi calon legislatif.
  2. Anggaran militer Papua Rp7 triliun vs kesehatan Rp1,2 triliun (Kemenkes & Kemenhan, 2023).
  3. 150 aktivis dikriminalisasi via UU ITE (LBH Jakarta, 2023).
  4. Instruksi Presiden No.1/2025 tentang pemotongan anggaran - Hipotetis, merujuk tren efisiensi anggaran 2024.
  5. Operasi militer di Nduga (2018) - Laporan Komnas HAM dan Amnesty International.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.