Salah satu destinasi wisata yang terletak di kota Tomohon adalah Danau Linow. Lokasinya yang sangat dekat dengan pusat kota Tomohon menjadikannya sebagai destinasi yang paling mudah untuk dicapai. Keberadaan tepatnya kita bisa langsung googling saja, dengan mengetik 'danau linow'.
     Konon danau ini bisa memunculkan tiga warna di permukaan airnya. Biru, hijau dan kemerahan. Sayang sekali, dari dua kali mengunjungi kawasan danau ini, saya hanya bisa mendapati dua warna saja, hijau dan biru. Untuk mendapatkan warna yang merah kecoklatan maka saya disarankan untuk mampir lagi di waktu yang lebih pagi.
     Ada dua entry untuk masuk menikmati keindahan danau ini. Entry sebelah kiri dengan tebusan tiket yang lebih mahal, sebagai kompensasi untuk biaya parkir dan biaya segelas kopi di cafe. Sedangkan di entry sebelah kanan hanya memungut biaya pas masuk pintu seharga lima ribu rupiah.
     Indah tentu saja ketika sudah berada di bibir air danau. Apalagi bila bermaksud untuk mengabadikan spot-spot menarik untuk menjadi gambar foto. Rasanya sepanjang hari tidak cukup untuk menikmati semua moment yang disajikan danau ini. Mata benar-benar dimanjakan oleh alam yang indah. Kopi hitam dan pisang goroho menjadi camilan yang pas sambil bersenda menikmati suasana danau.
 hampir setiap hal di tepian danau Linow adalah inspirasi untuk foto-foto indah.
 bahkan wajah-wajah pas-pasan pun menjadi indah oleh aura teduh danau Linow
 hoping someday you'll join us..
for more lough, more friend, more sincerity..
     Danau Linow masih menyisakan sedikit penasaran, karena sampai saat ini belum berkesempatan menikmati warna kemerahan airnya. Semoga, suatu hari nanti.. :)

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Pertama menjejak bumi Tondano, tidak terlintas sama sekali untuk melakukan penghitungan apalagi pendataan tentang mesjid yang ada di Tondano. Namun setelah beberapa waktu, saya menyadari bahwa pengunjung mesjid untuk beribadah adalah minoritas di tengah masyarakat Minahasa. Lalu tergelitiklah inisiatif reportase tentang keberadaan mesjid-mesjid tersebut, yang setidaknya bisa menjadi panduan untuk yang bermaksud mengunjungi Tondano agar mudah mengakses tempat ibadah tersebut.
     Total ada lima mesjid di kawasan Tondano. Tiga diantaranya saling berdekatan, dua buah di Kampung Jawa dan satu lagi di Tonsea Lama. Ketiganya hanya terpisah jarak beberapa ratus meter. Satu mesjid lagi berada di Kampung Gorontalo yang berlokasi di samping pasar Tondano. Lalu satu mesjid lainnya berada di daerah Sumalangka, kawasan pengembangan masa depan Tondano.
     Untuk wisata religi dengan mengunjungi semua mesjid tersebut, tidak sulit sama sekali. Kota Tondano yang tidak terlalu besar kalau tidak mau dikatakan kecil, dapat dikelilingi bahkan dengan berjalan kaki. Dengan menggenggam google map, maka semua mesjid yang saya maksudkan itu bisa dicapai dengan sangat mudah.

     Berikut, deskripsi masing-masing mesjid yang terletak di wilayah Tondano.
1. Mesjid Nurul Falah Kyai Modjo
     Inilah mesjid kedua yang hadir di Tondano, dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya. Mesjid termegah yang ada di Tondano itu terletak di Jalan Kampung Jawa, jalan yang sekaligus menjadi akses bila hendak berziarah ke makam Kyai Modjo.

2. Mesjid Nurul Yaqin Kampung Gorontalo
     Mesjid termegah kedua setelah mesjid Kyai Modjo adalah mesjid di Kampung Gorontalo ini. Letak yang strategis tentu saja, karena terletak persis di tepi pasar induk Tondano. Meskipun jalan depan mesjid tidak luas, namun menara yang tinggi memudahkan untuk menemukan mesjid ini meski dari jarak yang jauh.
     Mesjid ini lahir oleh banyaknya pedagang yang berasal dari Gorontalo yang beraktifitas di pasar Tondano.

3. Mesjid Al-Hikmah Sumalangka
     Sepertinya mesjid ini adalah mesjid yang termuda dari lima mesjid yang ada. Sengaja dibangun di area masa depan kota Tondano, sementara menjadi akses ibadah untuk karyawan dan pns yang berkantor di sepanjang jalan utama Sumalangka.

4. Mesjid Diponegoro Tonsea Lama
      Mesjid pertama di Minahasa? Yang pasti, inilah tempat ibadah pertama yang dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya bersama Pangeran Diponegoro. Kawasan Tonsea Lama yang oleh Kyai Modjo dan kawan-kawan diberi nama Tegajredjo, menjadi tempat berdirinya mesjid ini.
     Jejak Diponegoro yang adalah sepupu dari Kyai Modjo diabadikan dengan keberadaan mesjid ini. Diponegoro menyusul sebagai orang yang diasingkan oleh Belanda, setahun kemudian setelah Kyai Modjo mendahului di Minahasa tahun 1829. Saat ini mesjid Diponegoro sedang menggeliat untuk merenovasi bangunannya yang sudah tua.

5. Mesjid Jami Kampung Jawa
     Kampung Jawa yang seluruh penghuninya adalah Muslim, memiliki satu mesjid lagi yang kecil, di tepi perkampungan mereka. Mesjid yang diperuntukkan bagi pekerja di sawah dan kebun untuk bisa segera menunaikan ibadah, karena letaknya dekat dengan persawahan.

if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Waktu dhuhur telah berlalu, ketika rombongan kami menapaki gerbang menuju makam salah seorang Kyai besar yang pernah dimiliki pertiwi ini. Kyai Modjo yang lahir di tahun 1764 sebagai kerabat kesultanan Jogja, menghabiskan 20 tahun sisa usianya di bumi Tondano. Beliau menjadi salah satu korban 'pembuangan' oleh kompeni yang menjajah nusantara.
     Siang menjelang sore itu, adalah untuk kedua kalinya saya menjejakkan kaki di kawasan makam Kyai Modjo yang juga merupakan cagar budaya. Beda dengan waktu pertama kali mengunjungi makam ini empat bulan lalu, maka kali ini saya sudah menggenggam canon d30 sebagai bekal untuk jepret-jepret situasi sekitar.
 makam Kyai Modjo yang berwarna coklat keemasan dengan kain putih membebat nisan
      Menyempatkan beberapa saat, duduk menikmati teduhnya suasana sekitar makam sambil menerawang bagaimana sang Kyai bersama 62 orang pengikutnya sebagai orang buangan, bertahan hidup yang kemudian melahirkan generasi baru yang hingga hari ini dikenal sebagai suku Jawa Tondano. Berbaur dengan masyarakat sekitar dan mempertahankan budaya serta keyakinan sebagai muslin di tengah masyarakat non-muslim (ada yang mengatakan masyarakat sekitar beliau masih penganut animisme, ada juga yang mengatakan sudah menjadi penganut Kristen), bukanlah hal yang mudah. Apalagi hingga beranak pinak dengan identitas yang tetap terjaga oleh keturunannya hingga saat ini.
     Maka hari ini di tengah masyarakat Minahasa (Tondano sebagai ibukotanya) yang lebih 90 persen adalah non muslim, ada satu wilayah yang disebut sebagai Kampung Jawa. Wilayah yang didiami oleh orang Jawa Tondano (Jaton) yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan para pengikutnya. Mereka teguh dengan identitas sendiri, menjaga tradisi dari tanah leluhur di Jawa dan tetap istiqamah dalam kepercayaan sebagai muslim.
      rombongan kecil peziarah di siang hari jelang sore 1 maret 2015
      Duduk di kerindangan sekitar makam sore itu, sambil menatap Tondano di kejauhan bawah sana, saya mencoba menyelami pilu hati seorang kyai yang jauh dari tanah kelahirannya. Beliau dengan tegar mengarungi sisa hidupnya menyebarkan ajaran dan keyakinan yang dianutnya hingga akhir hayat.

     Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk melewatkan pergantian tahun ke 2015 di kota Tomohon. Jauh hari sebelumnya, mumpung sedang di Sulawesi Utara, maka Manado sudah menjadi destinasi idaman. Berbagai tutur yang 'wah' tentang apapun ketika malam pergantian tahun di Manado, sudah membentur-bentur dinding telinga saya.
     Namun angan-angan tinggallah angan-angan, karena akhirnya Tomohon lah yang secara tak sengaja yang menjadi tempat melewatkan 2014. Hujan gerimis mengiringi putaran roda perlahan menyusuri basahnya aspal dari Tondano. Masih sekitar pukul 22, namun suara petasan dan pijar kembang api sudah nampak marak.
     Beberapa kelompok orang, bergerombol di pinggir jalan, dengan bermacam petasan di dalam genggaman. Ada juga yang berkumpul di teras rumah, dengan dentuman musik yang lumayan bising bersaing dengan ledakan petasan. Tentu saja semuanya berwajah ceria, penuh canda di latar nuansa semarak.
     Ketika melintasi pemakaman yang di malam Natal beberapa malam lalu begitu meriahnya, saya melambatkan laju kendaraan. Rupanya masih ada juga yang 'berziarah' di saat jelang pergantian tahun itu. Petasan tentu saja juga terdengar dari gelapnya pemakaman, diselingi pijar kembang api yang berseliweran di gelapnya langit. Namun kemeriahannya tidak seheboh ketika malam Natal itu.
     Saya kemudian sampai di Tomohon. Depan rumah sakit Bethesda saya pilih untuk memarkirkan kendaraan, selanjutnya berjalan menuju panggung yang telah disiapkan oleh pemerintah kota Tomohon untuk hajatan malam itu. Masih sepi, hanya pembawa acara yang hilir mudik mengatur ini dan itu. Saya kemudian melangkah ke arah Pasar Kuliher kota Tomohon.
     Sepanjang jalan menuju bangunan induk pasar, malam itu disesaki oleh pedagang kaki lima yang menawarkan aneka petasan dan kembang api. Bisa dikatakan tiga perempat dari barang dagangan yang terlihat adalah dua macam benda itu, mercon dan kembang api. Terselip diantaranya adalah penjual bunga segar dan juga penjual buah.
     Rupanya bunga segar adalah dagangan yang cukup laris di malam itu.
 suasana pasar Kuliner Tomohon jelang pergantian tahun 2014 ke 2015. Jalanan yang masih basah oleh sisa hujan yang baru saja reda, dengan rinai yang masih membayang di bias sinar lampu. Masyarakat yang ramai lalu lalang ditimpali tawaran aneka mercon dan kembang apai oleh para pedagang kaki lima yang mendominasi sepanjang jalan menuju pasar dan di dalam pasar sendiri.
 Aneka jenis petasan dan kembang api, menyesaki lapak-lapak pedagang. Saling berebut tempat dengan pedagang makanan, pedagang bunga dan pedagang panganan lainnya.
     Setelah berkeliling dan menganbil beberapa gambar di dalam pasar kuliner, saya kembali ke depan panggung. Rupanya acara sudah dimulai. Sambutan-sambutan, lalu do'a-do'a silih berganti dilantunkan, tentu saja oleh para pemimpin agama. Ada pendeta dan juga ada Imam mesjid raya Tomohon.
     Ketika sesi doa selesai, Bupati Tomohon kemudian mengambil alih kendali acara. Dengan menyampaikan harapan-harapan untuk Tomohon yang lebih baik di 2015 nanti, beliau memandu hadirin untuk bersama-sama melewati pergantian tahun. Ketika semua perangkat pemerintahannya telah berkumpul di atas panggung, maka bapak Bupati juga mengajak rakyatnya, untuk turut serta ke atas panggung. Namun hanya tiga orang sebagai simbol, karena keterbatasan luas panggung.
     Jadilah momen itu, mengantarkan saya turut naik ke panggung, karena orang yang memilih 'rakyat' itu menggandeng tangan saya untuk menuju panggung. Ah.. lagi-lagi tidak terbayangkan sebelumnya..
jelang detik-detik pergantian ke tahun 2015, bupati Tomohon bersama perangkat pemerintahannya (lurah, camat dan kepala-kepala dinas), tokoh masyarakat dan masyarakat biasa (termasuk saya -bertopi dengan kemeja kotak-kotak). Doa-doa dan harapan dipanjatkan untuk 2015 yang lebih baik.
gelas di genggaman (berisi anggur merah) diangkat tinggi untuk 'toast' mengakhiri rangkaian doa yang bertepatan dengan saat pergantian tahun ke 2015
gambar atas, masyarakat berjajar di pinggir jalan memandang ke arah panggung, menantikan aneka kembang api yang petasan yang sebentar lagi akan memeriahkan saat pergantian tahun.
gambar bawah, asap yang timbul oleh petasan dan kembang api membentuk kabut asap yang lumayan pekat yang menyelimuti Tomohon hingga menjelang subuh.
     Dan begitulah, 2014 berlalu di kota Tomohon. Di kota kecil, sejuk dan bertabur bunga itu saya mulai 2015 bi asma Allah.

ps: spesial thanks untuk si Panda 'Ahmad' yang berinisiatif mengabadikan moment-moment ketika untuk beberapa saat saya melepaskan kamera dari genggaman untuk turut dalam seremoni bersama para petinggi kota Tomohon.

     Inilah Minahasa yang ibukotanya adalah Tondano. Menyongsong perayaan Natal oleh masyarakat Minahasa yang sejatinya sebahagian terbesar adalah pemeluk agama yang disebarkan oleh Nabi Isa a.s benar-benar merupakan fenomena yang sangat menarik bagiku. Mungkin karena selama ini saya melalui suasana Natal di lingkungan yang mayoritas adalah penganut Islam, sehingga hanya sedikit dari nuansa Natal yang menyerempet ke permukaan keseharianku. Namun sungguh sangat berbeda ketika hari demi hari saya habiskan di Tondano.
     Tiga minggu menjelang hari-H itu, suasananya sudah begitu hangat tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan simbol-simbol Natal. Hiasan lampu kerlap-kerlip dengan pohon berbentuk kerucut, sudah menghiasi hampir setiap rumah di sepanjang jalan-jalan yang saya lalui. Segala macam kreasi tertuang ke sana. Ornamen-ornamen yang menghias teras, halaman, pagar, gapura, bahkan trotoar dan apa saja, semuanya sangat mudah dikenali adalah sesuatu untuk menyambut perayaan kelahiran sang Nabi.
gambar atas adalah tugu 'monas' nya Tondano yang telah penuh dengan lampu aneka warna yang menyemarakkan suasana menyambut hari Natal.
gambar bawah adalah 'jalan Boulevard' nya Tondano. sepanjang kiri kanan jalan dipasang lampu hias berbentuk salib dan pohon natal warna merah dan  hijau. Beruntung kamera di genggaman saya bisa merekam suasana syahdu malam-malam menjelang hari Natal 2014.
     Ada yang menarik dan agak tidak lazim menurut saya, adalah keriuhan di pemakaman di 24 desember malam. Pemakaman yang terletak di jalan poros Tondano-Tomohon sungguh sangat riuh malam itu. Karenanya saya tertarik untuk singgah ketika melintas disana di malam natal itu. Rupanya di saat itu sangat banyak peziarah  yang mengunjungi makam. Lilin-lilin dinyalakan dan dipasang di atas nisan kuburan yang dikunjungi oleh para kerabat. Lalu doa-doa dipanjatkan.
     Yang tidak kalah menarik tentunya, hamburan kembang api disertai suara mercon yang sahut menyahut yang berasal dari area pemakaman. Rupanya sebahagian peziarah mengekspresikan perasaan mereka (yang saya tidak tau bagaimana membahasakannya) di pemakaman itu dengan keriuhan mercon dan kembang api. Jadilah di kegelapan pekuburan yang syahdu oleh nyala lilin-lilin yang mengantar doa-doa, kemeriahan mercon dan sinar aneka warna kembang api, saling berebut kuasa di tangkapan indera-indera kita.
gambar atas adalah suasana kuburan yang terekam lensa di genggamanku.
jalan-jalan yang ramai, disemarakkan oleh aneka kendaraan hias bernuansa Natal. Penumpangnya pun mengenakan kostum beraneka rupa seperti sedang karnaval.
berkeliling kota sambil berkelompok menggunakan sepeda motor, atau bahkan menggunakan 'bendi' menjadi pemandangan yang lazim. Kendaraan roda empat ditumpangi dengan membiarkan pintu belakang terangkat tinggi sehingga penumpang bisa bersantai bergerombol menikmati kendaraan yang melaju perlahan.
tidak ketinggalan bapak polisi lalulintas dengan penutup kepala 'warna merah putih' menggantikan sementara topi standar seragam sehari-harinya.
     Tiga minggu menyongsong hari Natal adalah hari-hari dimana semarak sambung menyambung menghangatkan semangat masyarakat Minahasa. Tak tampak ada lelah karenanya. Bahkan seakan sedang berlari menuju garis finish, keriuhan yang tercipta seakan support yang memacu semangat untuk meraih kemenangan ketika hari yang dinantikan telah tiba.

     Cabo adalah sebutan atau istilah untuk pakaian bekas yang diperjual belikan di daerah Tondano dan sekitarnya. Sebutan yang tentu saja terdengar sedikit aneh di telinga saya, karena untuk barang yang sama, di daerah Sulawesi Selatan disebut 'cakar'. Barang berupa pakaian bekas yang disesakkan ke dalam karung, untuk kemudian dibongkar dan digelar setiap hari pasar.
     Hari Minggu adalah hari pasar untuk si 'cabo'. Dan untuk Tondano, cabo itu digelar di sekitar pertigaan ujung jalan Tonsea Lama kampung Jawa. Itulah satu-satunya lokasi untuk gelaran dagangan itu. Dari berbagai penjuru Tondano, tukang ojek silih berganti mengantarkan penumpangnya ke tempat ini
inilah pertigaan jalan Tonsea Lama (ke kiri) dan jalan menuju Mesjid Kyai Mojo (menara mesjid terlihat di kejauhan). Halaman rumah di sekitar pertigaan jalan itu menjadi ajang gelaran 'cabo'.
 asyiknya berburu barang yang sesuai dengan kebutuhan. Butuh sedikit tenaga ekstra untuk membongkar tumpukan lalu memilah dengan teliti.
      Dan untuk yang gemar berburu cabo, yang kebetulan berada di sekitar Tondano, maka hari Minggu adalah hari yang dinantikan. Hanya sekali dalam seminggu, destinasi itu ramai menyambut pengunjungnya dari pagi hingga lewat tengah hari. Harga 'ceper' sangat sering meluncur dari mulut para pedagang. Tentu saja 'ceper' maksudnya adalah harga yang sama untuk sekumpulan item yang sama.
      "Ayo mari jo, mari.. jaket 25 ribu ceper.. dipilih-dipilih.. " begitu teriakan pedagang bersahut-sahutan. So, mari jo.. jangan sampai ketinggalan.. :-)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.