Hegelianisme adalah sebuah filsafat yang dikembangkan oleh filsuf Jerman, Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831). Filosofi ini sangat kompleks, namun ada beberapa konsep kunci yang bisa dijelaskan dengan sederhana.

     Hegel terkenal dengan metode dialektikanya, yang merupakan proses berpikir yang melibatkan tiga tahap: tesis, antitesis, dan sintesis. Misalnya, ada ide awal (tesis), yang akan berhadapan dengan ide yang bertentangan (antitesis). Konflik antara kedua ide ini akan menghasilkan ide baru yang merupakan gabungan atau sintesis dari keduanya. Proses ini berlanjut, dengan sintesis menjadi tesis baru yang akan dihadapkan pada antitesis lain, dan seterusnya. Ini adalah cara Hegel menjelaskan perkembangan ide, sejarah, dan bahkan realitas.

     Hegel berpendapat bahwa realitas pada dasarnya adalah perkembangan dari apa yang ia sebut sebagai "Roh" atau "Geist". Ini bukanlah roh atau jiwa individu, melainkan kesadaran kolektif atau jiwa universal yang bergerak menuju kesadaran penuh tentang dirinya sendiri. Hegel melihat sejarah sebagai proses perkembangan kesadaran ini, di mana manusia semakin menyadari kebebasan dan identitas mereka sebagai bagian dari Roh Absolut.

     Dalam karyanya yang terkenal, Fenomenologi Roh, Hegel menjelaskan perjalanan kesadaran manusia dari kesadaran individu yang sederhana menuju pemahaman tentang diri sebagai bagian dari totalitas yang lebih besar (Roh Absolut). Ini adalah perjalanan dari kebingungan dan ketidaktahuan menuju pengetahuan dan pemahaman penuh.

     Hegel juga dikenal karena logikanya yang berbeda dari logika formal tradisional. Dia mengembangkan apa yang disebut logika spekulatif, di mana kontradiksi tidak dilihat sebagai kesalahan, tetapi sebagai bagian integral dari perkembangan ide. Menurut Hegel, setiap konsep membawa dalam dirinya elemen-elemen yang bertentangan, dan melalui kontradiksi ini, konsep tersebut berkembang dan mencapai sintesis yang lebih tinggi.

     Filosofi Hegel memengaruhi banyak pemikir lain dan melahirkan berbagai aliran pemikiran, termasuk Marxisme yang dikembangkan oleh Karl Marx, yang mengadaptasi dialektika Hegel ke dalam teori materialisme historis. Meski begitu, Hegelianisme sendiri sering dianggap sulit dan abstrak, karena Hegel menggunakan bahasa yang rumit dan konsep-konsep yang mendalam.

Pengaruh Hegel dari Marxisme hingga Eksistensialisme

     Pemikiran Hegel telah memberikan pengaruh yang mendalam terhadap berbagai aliran filsafat dan teori sosial, termasuk Marxisme dan Eksistensialisme, yang keduanya mengadaptasi konsep-konsep inti dari filsafat Hegel namun dengan penekanan dan tujuan yang berbeda.

Hegelianisme dan Marxisme

     Karl Marx adalah salah satu filsuf yang paling terkenal dalam mengadaptasi dan sekaligus mengkritik Hegel. Meskipun Marx meminjam metode dialektika Hegel, ia mengubah pendekatan ini secara radikal. Jika Hegel menerapkan dialektika pada ide dan kesadaran, Marx justru menekankan bahwa dialektika harus diterapkan pada materi dan sejarah sosial. Inilah yang dikenal sebagai materialisme dialektis.

     Marx melihat sejarah sebagai perjuangan kelas yang didorong oleh kontradiksi internal dalam struktur ekonomi dan material masyarakat, bukan semata oleh perkembangan ide atau kesadaran seperti yang diyakini Hegel. Bagi Marx, perubahan sosial terjadi bukan karena perkembangan Roh Absolut, tetapi karena konflik antara kelas-kelas yang berbeda, khususnya antara kaum borjuis (pemilik modal) dan proletariat (kelas pekerja). Dialektika dalam pandangan Marx adalah alat untuk memahami bagaimana struktur ekonomi mendorong perubahan sejarah, yang pada akhirnya akan mengarah pada revolusi proletariat dan pembentukan masyarakat tanpa kelas.

     Meskipun Marx mengkritik aspek idealisme dari Hegelianisme, dia mengakui pentingnya proses dialektika sebagai cara untuk memahami perubahan sosial dan sejarah. Dialektika Marxian ini menempatkan ekonomi sebagai basis utama dari perkembangan sejarah, yang merupakan pembalikan dari sistem Hegel di mana ide dianggap sebagai dasar utama. Dengan demikian, pengaruh Hegel tetap terlihat dalam karya Marx, meskipun dalam bentuk yang telah dimodifikasi secara signifikan.

Hegelianisme dan Eksistensialisme

     Selain Marxisme, Eksistensialisme juga dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, meskipun dengan pendekatan yang berbeda. Para pemikir eksistensialis, seperti Jean-Paul Sartre, terinspirasi oleh gagasan Hegel tentang alienasi dan pengakuan (recognition), namun mereka mengembangkan konsep-konsep ini untuk mengeksplorasi isu-isu yang lebih berfokus pada kebebasan individu dan absurditas keberadaan manusia.

     Hegel membahas alienasi dalam konteks dialektika tuan-budak, di mana hubungan antara tuan dan budak menggambarkan proses di mana individu mencapai kesadaran diri melalui pengakuan dari orang lain, tetapi juga mengalami alienasi ketika pengakuan tersebut bersifat asimetris atau didasarkan pada ketundukan. Para eksistensialis mengambil konsep ini dan memperluasnya ke dalam analisis yang lebih umum tentang keberadaan manusia, di mana manusia sering merasa teralienasi dari dunia, dari orang lain, dan bahkan dari diri mereka sendiri.

     Sartre, misalnya, menggunakan gagasan alienasi untuk menjelaskan bagaimana manusia, dalam usaha untuk menemukan makna dalam dunia yang pada dasarnya absurd dan tanpa makna, sering merasa terasing dan tidak puas. Bagi Sartre, meskipun manusia bebas untuk menciptakan makna mereka sendiri, kebebasan ini juga membawa beban tanggung jawab dan kecemasan, yang dapat mengarah pada rasa alienasi yang mendalam. Di sinilah pengaruh Hegel terasa, meskipun Sartre menekankan pada subjektivitas dan kebebasan radikal yang lebih besar dibandingkan dengan pandangan Hegel yang lebih terstruktur tentang perkembangan kesadaran.

Perbedaan dalam Penekanan: Idealisme Hegel vs. Materialisme dan Subjektivitas

     Meskipun baik Marxisme maupun Eksistensialisme dipengaruhi oleh Hegelianisme, mereka berbeda secara signifikan dalam hal penekanan dan tujuan. Hegel menempatkan idealisme sebagai inti dari realitas, dengan keyakinan bahwa semua perkembangan sejarah dan kesadaran pada akhirnya adalah manifestasi dari Roh Absolut. Di sisi lain, Marx menolak idealisme ini dan menggantikannya dengan materialisme, dengan fokus pada hubungan sosial dan ekonomi sebagai dasar dari semua fenomena sejarah.

     Eksistensialisme, di sisi lain, mengambil beberapa elemen dari Hegel, terutama dalam hal pengakuan dan alienasi, tetapi menolak pandangan Hegel yang menyeluruh tentang sejarah dan kesadaran. Para eksistensialis seperti Sartre lebih tertarik pada pengalaman individu, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi, serta absurditas eksistensi yang tidak dapat dijelaskan oleh struktur dialektis sejarah seperti yang diusulkan Hegel.

Pengaruh Lanjutan dan Relevansi

     Pengaruh Hegel terus terasa dalam berbagai bidang filsafat dan teori sosial hingga hari ini. Dialektika Hegelian telah digunakan untuk memahami berbagai fenomena sosial dan sejarah, dan konsep-konsepnya tentang pengakuan dan alienasi tetap menjadi bahan diskusi penting dalam filsafat kontemporer. Meskipun pandangan Hegel tentang idealisme sering dikritik, metodologi dan pemahaman dialektisnya memberikan kerangka kerja yang kuat untuk menganalisis perubahan sosial dan perkembangan ide-ide.

     Hegelianisme telah menjadi titik awal bagi banyak pemikir untuk mengembangkan ide-ide baru, baik melalui penerimaan maupun penolakannya. Marxisme dan Eksistensialisme adalah dua contoh utama dari bagaimana filsafat Hegel telah diadaptasi dan diubah untuk memenuhi kebutuhan dan tantangan zaman mereka, menunjukkan betapa fleksibel dan luasnya pengaruh Hegel dalam sejarah pemikiran manusia.

 

Kritik terhadap Hegelianisme

     Meskipun Hegel adalah salah satu filsuf paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Barat, filsafatnya juga menghadapi berbagai kritik yang signifikan dari para pemikir yang datang setelahnya. Kritik-kritik ini menyoroti kelemahan-kelemahan dalam sistem Hegel, terutama dalam hal kecenderungan abstraksi yang berlebihan, dogmatisme, dan pandangannya yang optimistik mengenai perkembangan sejarah.

1. Abstraksi dan Kompleksitas yang Berlebihan

     Salah satu kritik utama terhadap Hegel berasal dari filsuf seperti Arthur Schopenhauer, yang menuduh Hegelianisme terlalu abstrak dan tidak relevan dengan pengalaman nyata manusia. Schopenhauer menganggap filsafat Hegel sebagai konstruksi metafisik yang rumit dan sering kali tidak jelas, yang lebih mengutamakan spekulasi daripada fakta-fakta empiris yang konkret. Ia menuduh Hegel menciptakan sebuah sistem yang "gelap dan tidak dapat dipahami," di mana konsep-konsep filosofis lebih diutamakan daripada pemahaman yang jelas tentang kenyataan.

     Bagi Schopenhauer, filsafat seharusnya memberikan pengetahuan yang jelas dan berguna tentang dunia nyata, bukan terperangkap dalam jargon metafisik yang rumit. Kritik ini menunjukkan bahwa sistem Hegel, meskipun canggih, sering kali sulit diakses oleh orang-orang yang tidak terbiasa dengan filsafat spekulatif, sehingga membatasi kegunaannya dalam memahami dunia sehari-hari.

2. Dogmatisme dan Keharusan Logis

     Friedrich Nietzsche, filsuf Jerman yang terkenal dengan pandangan-pandangannya yang radikal, juga mengkritik Hegel, terutama dalam hal dogmatisme yang melekat pada sistemnya. Nietzsche menolak ide Hegel bahwa sejarah dan realitas mengikuti suatu pola perkembangan logis dan rasional yang menuju kepada manifestasi Roh Absolut. Bagi Nietzsche, pemikiran semacam ini mencerminkan dogma yang memaksakan logika linear pada sejarah yang sebenarnya penuh dengan kekacauan, irasionalitas, dan kebetulan.

     Nietzsche menilai bahwa Hegelianisme terlalu menekankan pada rasionalitas dan progres yang tak terelakkan dalam sejarah, yang mengabaikan aspek-aspek tragis dan nihilistik dari pengalaman manusia. Nietzsche sendiri lebih menekankan pada kehendak untuk berkuasa dan dinamika kekuasaan sebagai pendorong utama dalam sejarah manusia, bukan proses rasional yang teratur seperti yang digambarkan oleh Hegel.

3. Optimisme Sejarah yang Berlebihan

     Kritik lain yang sering diajukan terhadap Hegel adalah optimismenya yang berlebihan mengenai perkembangan sejarah. Hegel percaya bahwa sejarah bergerak ke arah kemajuan rasional dan menuju kesadaran diri yang lebih tinggi dalam bentuk Roh Absolut. Namun, banyak pemikir kemudian, terutama setelah pengalaman dua Perang Dunia dan kekejaman abad ke-20, menolak pandangan ini sebagai naif dan tidak realistis.

     Pandangan Hegel yang optimistik bahwa segala sesuatu yang terjadi adalah bagian dari perkembangan rasional sering kali dianggap sebagai justifikasi terhadap status quo dan ketidakadilan yang ada. Para kritikus menuduh bahwa dengan menganggap segala sesuatu yang terjadi sebagai bagian dari "rasionalitas dunia", Hegelianisme cenderung menerima dan membenarkan kekuasaan yang ada, tanpa mempertanyakan atau menentangnya.

     Filsuf kontemporer juga menyuarakan keprihatinan bahwa filsafat Hegel dapat digunakan untuk menjustifikasi otoritarianisme dan konformitas sosial. Jika segala sesuatu dianggap sebagai bagian dari kemajuan menuju Roh Absolut, maka kritik terhadap kekuasaan dan perubahan radikal dapat dianggap sebagai tidak perlu atau bahkan berbahaya. Hal ini bertentangan dengan pandangan yang lebih pluralistik dan kritis terhadap sejarah dan masyarakat.

4. Pengaruh Kritik Terhadap Pemikiran Selanjutnya

     Kritik-kritik terhadap Hegel ini tidak hanya menolak aspek-aspek tertentu dari filsafatnya, tetapi juga memicu perkembangan aliran-aliran filsafat baru. Schopenhauer dengan pesimismenya, Nietzsche dengan filsafat kehendak, serta berbagai gerakan pasca-Hegelian lainnya, seperti Eksistensialisme dan Postmodernisme, semuanya berkembang sebagian sebagai reaksi terhadap sistem Hegelian.

     Dalam Eksistensialisme, misalnya, filsuf seperti Sartre dan Heidegger menolak gagasan Hegel tentang sejarah sebagai perkembangan rasional, dan malah menekankan pada absurditas, kebebasan radikal, dan pengalaman individual. Dalam Postmodernisme, para pemikir seperti Michel Foucault dan Jacques Derrida mengkritik totalisasi dan grand narrative yang terkandung dalam Hegelianisme, dan malah mempromosikan dekonstruksi dan pluralisme.

     Dengan demikian, meskipun Hegel memberikan kontribusi besar dalam filsafat, kritik-kritik terhadapnya telah mendorong eksplorasi baru dalam memahami manusia, sejarah, dan realitas yang lebih kompleks, dinamis, dan beragam. Hegelianisme, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, terus menjadi titik rujukan yang penting dalam filsafat, baik untuk mereka yang mengadopsinya maupun mereka yang menentangnya.

     Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang berfokus pada pengalaman individu dan kebebasan manusia. Aliran ini menekankan bahwa keberadaan manusia mendahului esensi atau makna dari hidup itu sendiri. Artinya, manusia tidak lahir dengan tujuan atau makna tertentu yang telah ditentukan sebelumnya. Sebaliknya, melalui pilihan dan tindakan, manusia menciptakan makna hidup mereka sendiri.

     Para eksistensialis percaya bahwa hidup ini penuh dengan kebebasan dan tanggung jawab, tetapi kebebasan ini juga menimbulkan kecemasan dan kebingungan. Karena tidak ada panduan atau aturan universal yang harus diikuti, manusia harus mengambil keputusan yang autentik dalam situasi yang seringkali tidak pasti. Ini membawa kepada konsep "keabsurdan," yaitu kenyataan bahwa hidup manusia sering kali tidak memiliki arti atau tujuan yang jelas, namun tetap harus dijalani.

     Tokoh-tokoh utama dalam eksistensialisme termasuk Jean-Paul Sartre, yang menekankan konsep kebebasan radikal manusia dan keharusan untuk bertindak dengan penuh tanggung jawab. Ia menyatakan bahwa manusia "dikutuk untuk bebas" karena kebebasan tersebut tidak bisa dihindari. Sementara itu, Søren Kierkegaard, seorang tokoh awal eksistensialisme, berfokus pada hubungan individu dengan Tuhan dan pentingnya mengambil "lompatan iman" untuk menemukan makna dalam hidup.

     Berikut beberapa penjelasan lebih spesifik tentang pandangan tokoh-tokoh eksistensialisme:

Søren Kierkegaard (1813–1855)

     Kierkegaard, dianggap sebagai "Bapak Eksistensialisme," adalah seorang filsuf Denmark yang fokus pada hubungan individu dengan Tuhan. Ia menekankan pentingnya "pilihan pribadi" dalam menghadapi dilema eksistensial, terutama dalam konteks iman. Bagi Kierkegaard, hidup adalah serangkaian pilihan yang tidak didikte oleh logika atau rasionalitas, melainkan oleh komitmen individu. Ia memperkenalkan konsep "lompatan iman" (leap of faith), di mana manusia harus mengambil keputusan untuk percaya kepada Tuhan tanpa bukti objektif atau rasional. Baginya, hanya melalui lompatan iman ini manusia bisa mencapai eksistensi yang autentik.

     Kierkegaard juga menulis tentang kecemasan, terutama kecemasan yang timbul dari kebebasan manusia untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihan tersebut. Ia menganggap kecemasan ini sebagai kondisi dasar eksistensi manusia.

Friedrich Nietzsche (1844–1900)

     Nietzsche dikenal dengan pandangan radikalnya tentang moralitas dan eksistensi manusia. Ia menolak konsep Tuhan tradisional dan menyatakan bahwa "Tuhan sudah mati," yang berarti bahwa nilai-nilai moral tradisional yang dibangun di atas kepercayaan agama telah kehilangan relevansi di dunia modern. Baginya, manusia harus menciptakan nilai dan makna hidupnya sendiri, daripada bergantung pada norma-norma eksternal.

     Nietzsche memperkenalkan konsep "Übermensch" (Manusia Super), yakni individu yang mampu melampaui nilai-nilai moral konvensional dan menciptakan nilai-nilai baru secara otonom. Manusia Super ini tidak terikat oleh standar masyarakat atau agama, melainkan bertindak berdasarkan kehendak bebasnya sendiri.

     Ia juga memperkenalkan gagasan "kehendak untuk berkuasa" (will to power), yang menyiratkan bahwa dorongan utama manusia adalah untuk menegaskan kekuasaan dan otoritas diri dalam menciptakan makna dan tujuan hidup.

Jean-Paul Sartre (1905–1980)

     Sartre adalah salah satu filsuf eksistensialis paling terkenal, terutama dengan gagasan bahwa "eksistensi mendahului esensi." Artinya, manusia pertama-tama ada, dan melalui pilihan serta tindakan mereka, baru kemudian membentuk esensi atau makna hidup mereka. Ia percaya bahwa manusia sepenuhnya bebas untuk membuat pilihan, dan karena itu mereka bertanggung jawab penuh atas konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut. Kebebasan ini, menurut Sartre, membawa kecemasan karena manusia tidak bisa menghindari tanggung jawab atas hidup mereka sendiri.

     Sartre juga mengembangkan konsep "bad faith" (itikad buruk), yang menggambarkan sikap di mana manusia berusaha menghindari kebebasan dan tanggung jawab mereka dengan berbohong kepada diri sendiri. Misalnya, seseorang mungkin mengklaim bahwa mereka terjebak dalam peran atau keadaan tertentu, padahal sebenarnya mereka selalu punya pilihan untuk bertindak berbeda.

     Dalam karya Being and Nothingness, Sartre mengeksplorasi konsep kebebasan, keterasingan, dan bagaimana individu berhubungan dengan dunia dan orang lain. Ia menyatakan bahwa dunia pada dasarnya tidak memiliki makna yang melekat, dan manusia harus menciptakan makna mereka sendiri dalam dunia yang absurd ini.

Simone de Beauvoir (1908–1986)

     Simone de Beauvoir, yang juga pasangan intelektual Sartre, merupakan seorang eksistensialis yang banyak berfokus pada persoalan eksistensial perempuan dan kebebasan. Dalam bukunya The Second Sex, Beauvoir mengeksplorasi bagaimana perempuan sepanjang sejarah telah diposisikan sebagai "Yang Lain" (The Other) dalam hubungan dengan laki-laki. Ini berarti bahwa perempuan tidak pernah diberi kebebasan untuk menentukan identitas mereka sendiri, melainkan selalu didefinisikan berdasarkan laki-laki.

     Beauvoir berpendapat bahwa perempuan harus berjuang untuk mendapatkan kebebasan dan otonomi mereka sendiri, dan tidak hanya menerima peran yang telah ditetapkan oleh masyarakat patriarki. Ia percaya bahwa eksistensi perempuan, seperti halnya laki-laki, adalah sebuah proyek yang harus dibangun secara aktif melalui pilihan-pilihan hidup mereka.

Albert Camus (1913–1960)

     Camus sering dikaitkan dengan eksistensialisme, meskipun ia lebih memilih disebut sebagai "absurdis." Bagi Camus, dunia ini absurd, artinya tidak memiliki tujuan atau makna yang jelas. Dalam esainya The Myth of Sisyphus, ia menggunakan mitos Sisyphus — seorang tokoh mitologi yang dihukum untuk mendorong batu ke atas bukit hanya untuk melihatnya jatuh lagi dan lagi — sebagai metafora untuk keberadaan manusia.

     Camus berpendapat bahwa meskipun hidup ini absurd dan penuh dengan penderitaan tanpa makna, manusia harus menerima kenyataan tersebut dan terus hidup dengan penuh keberanian dan ketekunan. Ia percaya bahwa satu-satunya tanggapan yang sah terhadap absurditas adalah pemberontakan, yakni melawan absurditas tersebut dengan memilih untuk hidup secara autentik dan jujur, tanpa mencari ilusi atau penghiburan dalam agama atau ideologi.

Martin Heidegger (1889–1976)

     Heidegger, meskipun tidak secara langsung mengidentifikasikan dirinya sebagai eksistensialis, memberikan kontribusi besar terhadap pemikiran eksistensial. Dalam karyanya Being and Time, Heidegger mengeksplorasi pertanyaan tentang apa artinya "berada" (being). Ia memperkenalkan konsep Dasein, yang merujuk pada eksistensi manusia sebagai entitas yang menyadari keberadaannya sendiri dan terlibat dalam dunia.

     Heidegger juga berbicara tentang konsep "kejatuhan" (fallenness), di mana manusia sering terjebak dalam rutinitas hidup sehari-hari dan mengabaikan pertanyaan-pertanyaan mendalam tentang eksistensi. Menurut Heidegger, manusia harus sadar akan "keterbatasan" mereka (bahwa mereka akan mati suatu hari) dan dengan itu menjalani hidup dengan cara yang autentik.

     Eksistensialisme berbicara tentang konsep keterasingan, di mana individu merasa terasing dari dunia, masyarakat, atau bahkan dirinya sendiri karena ketidakmampuan untuk menemukan makna yang jelas. Meskipun demikian, para eksistensialis mendorong individu untuk tetap mencari makna melalui pengalaman pribadi, interaksi dengan orang lain, dan pilihan-pilihan hidup yang berani.

     Para filsuf eksistensialisme berbagi tema sentral: kebebasan individu, tanggung jawab atas pilihan pribadi, dan pencarian makna kehidupan yang sering kali tidak jelas. Hidup manusia adalah proses menciptakan diri sendiri dalam menghadapi ketidakpastian dan absurditas.

     Eksistensialisme mengajarkan bahwa hidup tidak datang dengan instruksi bawaan, dan makna harus ditemukan melalui pengalaman, kebebasan, dan tindakan manusia itu sendiri.

     Chauvinis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap atau pandangan yang sangat fanatik dan berlebihan terhadap kelompok, negara, atau ideologi tertentu, sering kali disertai dengan merendahkan atau meremehkan kelompok lain. Chauvinisme berasal dari nama seorang prajurit Prancis yang setia buta kepada Napoleon Bonaparte, yaitu Nicolas Chauvin, kemudian menjadi simbol kesetiaan yang berlebihan kepada negara atau pemimpin meskipun disertai bukti yang bertentangan.

     Walaupun awalnya istilah ini merujuk pada nasionalisme ekstrem, namun seiring waktu istilah chauvinisme berkembang menjadi konsep yang lebih luas, menggambarkan pandangan fanatik dan tidak rasional terhadap kelompok atau keyakinan tertentu, disertai penolakan atau penghinaan terhadap kelompok lain, termasuk untuk menggambarkan sikap seksis atau bias gender, seperti dalam istilah "chauvinisme laki-laki," yang merujuk pada pandangan bahwa laki-laki lebih unggul dari perempuan.

Ada beberapa bentuk chauvinisme yang dikenal:

     Chauvinisme Nasionalis: Ini merupakan bentuk chauvinisme yang paling awal dan berhubungan dengan nasionalisme ekstrem. Penganutnya memiliki kebanggaan berlebihan terhadap negaranya sendiri, sering kali meremehkan negara lain. Sikap ini sering menjadi bahan bakar konflik antarbangsa, karena chauvinisme nasionalis mendorong pandangan bahwa negara sendiri lebih unggul dari yang lain tanpa dasar rasional.

     Chauvinisme Gender (Seksisme): Istilah ini sering digunakan untuk merujuk pada dominasi satu gender atas yang lain, biasanya mengacu pada chauvinisme laki-laki, yang menganggap laki-laki lebih unggul dari perempuan. Ini mencakup segala bentuk diskriminasi atau tindakan merendahkan perempuan dengan anggapan bahwa mereka secara alami lebih rendah daripada laki-laki.

     Chauvinisme Rasial: Ini merujuk pada sikap yang mendukung keunggulan satu ras atas ras lainnya, sering kali menjadi dasar rasisme. Chauvinisme rasial mempromosikan pandangan bahwa ras tertentu lebih baik, lebih pintar, atau lebih berhak atas hak-hak sosial, ekonomi, dan politik daripada ras lain.

     Chauvinisme Budaya: Bentuk chauvinisme ini terjadi ketika seseorang atau kelompok merasa bahwa budayanya lebih unggul daripada budaya lain. Hal ini dapat menyebabkan intoleransi budaya dan penolakan terhadap nilai-nilai atau kebiasaan yang berbeda dari yang dimiliki oleh kelompok tersebut.

     Chauvinisme Politik: Ini merujuk pada keyakinan fanatik terhadap ideologi politik tertentu dan penolakan terhadap pandangan politik yang berbeda. Pendukung chauvinisme politik menganggap ideologi mereka paling benar dan tidak terbuka terhadap debat atau perspektif berbeda.

     Chauvinisme Sosial-Ekonomi: Bentuk ini dapat terjadi ketika seseorang atau kelompok merasa bahwa kelas sosial atau status ekonomi mereka lebih superior dibandingkan yang lain, sering kali mengarah pada ketidakadilan dalam sistem sosial atau ekonomi.

     Chauvinisme Agama terjadi ketika seseorang atau sekelompok orang meyakini bahwa agama atau keyakinan mereka adalah satu-satunya kebenaran absolut dan dengan demikian merasa berhak meremehkan atau mendiskriminasi penganut agama lain. Ini mirip dengan fanatisme agama, di mana penganutnya tidak hanya merasa superior secara spiritual, tetapi juga menolak atau menganggap hina keyakinan lain. Dalam chauvinisme agama, kelompok yang berbeda dipandang sebagai ancaman, salah, atau sesat, dan pendekatan dialog atau pemahaman antaragama sering diabaikan.

Ciri-ciri chauvinisme agama meliputi:

Penolakan terhadap keberagaman keyakinan: Penganut chauvinisme agama sering tidak bisa menerima atau menghormati adanya berbagai macam kepercayaan, bahkan yang berada di dalam lingkup agamanya sendiri.
Tindakan diskriminatif atau intoleran: Sikap ini sering menimbulkan diskriminasi terhadap kelompok agama lain, baik secara sosial, politik, maupun hukum.
Penghinaan terhadap agama lain: Mereka sering kali meremehkan atau bahkan menyerang keyakinan agama lain, baik secara verbal maupun fisik, karena merasa agama mereka adalah yang paling benar.

     Chauvinisme cenderung menghalangi dialog yang sehat dan memperkuat perpecahan dalam masyarakat. Ini terjadi karena chauvinisme menolak keberagaman, tidak membuka diri pada kritik, dan menganggap kebenaran hanya berada di pihaknya sendiri. Akibatnya, sikap chauvinistik bisa menyebabkan ketidakadilan, diskriminasi, dan konflik sosial yang berkepanjangan.

Chauvinisme dapat mencakup berbagai dimensi kehidupan manusia, termasuk agama, politik, dan aspek sosial lainnya. Pada intinya, chauvinisme adalah fanatisme yang mendorong seseorang atau kelompok untuk mengabaikan keberagaman dan menolak pluralisme, yang bisa berujung pada konflik dan ketidakadilan.


Apakah Chauvinisme merupakan Gangguan Kejiwaan?

     Chauvinisme, meskipun pada dasarnya merupakan sikap atau keyakinan yang ekstrem dan fanatik, tidak secara langsung dianggap sebagai gangguan jiwa menurut klasifikasi psikologi modern. Namun, dalam konteks tertentu, chauvinisme bisa mengarah pada perilaku yang merusak secara sosial atau bahkan menjadi bagian dari gangguan yang lebih besar, baik secara individu maupun kolektif.

Chauvinisme sebagai Potensi Gangguan Individu

     Pada tingkat individu, chauvinisme bisa menjadi manifestasi dari pola pikir yang kaku, narsisme, atau bahkan gangguan kepribadian tertentu, seperti gangguan kepribadian narsistik atau gangguan kepribadian paranoid. Orang dengan narsisme ekstrem sering kali meyakini bahwa mereka dan kelompok mereka lebih unggul, dan mereka sulit menerima perbedaan atau kritik. Pada mereka, chauvinisme bisa muncul dalam bentuk sikap meremehkan kelompok lain, menganggap diri atau kelompok sebagai pusat segalanya, dan menolak segala hal yang berbeda.

     Namun, untuk dikategorikan sebagai gangguan jiwa, sikap chauvinis harus memenuhi beberapa kriteria seperti:

Persisten dan sulit diubah: Sikap ini harus bertahan lama dan sangat sulit untuk dikoreksi atau dibawa ke arah dialog yang rasional.
Mengganggu fungsi sosial individu: Seseorang yang begitu terobsesi dengan chauvinisme mungkin mengalami gangguan dalam relasi sosial, tidak mampu bekerja sama dengan orang lain yang berbeda, dan dapat mengisolasi diri secara sosial.

Chauvinisme sebagai Gangguan Kolektif

     Dalam konteks sosial atau kelompok, chauvinisme bisa berkembang menjadi bentuk gangguan sosial kolektif. Istilah "gangguan jiwa kolektif" biasanya digunakan secara metaforis untuk menggambarkan pola pikir atau perilaku kolektif yang destruktif dan tidak rasional. Dalam sejarah, kita telah melihat contoh di mana chauvinisme kolektif menyebabkan kekerasan, perang, diskriminasi sistemik, dan genosida. Misalnya, nasionalisme ekstrem yang didorong oleh chauvinisme telah menjadi pemicu perang dunia dan pembersihan etnis.

     Secara psikologis, ini dapat dijelaskan melalui konsep "pemikiran kelompok" (groupthink) atau "delusi massal", di mana kelompok sosial menjadi terjebak dalam pandangan yang sempit, fanatik, dan sulit untuk menerima informasi baru atau berbeda. Beberapa ciri dari chauvinisme sebagai gangguan sosial kolektif meliputi:

Penolakan terhadap kritik: Kelompok yang terjebak dalam chauvinisme kolektif cenderung menolak kritik dari luar, bahkan ketika kritik tersebut rasional dan bermanfaat.
Dehumanisasi kelompok lain: Kelompok yang berbeda sering kali dianggap sebagai ancaman atau dipandang sebagai subhuman (tidak sepenuhnya manusia), sehingga tindakan kekerasan terhadap mereka bisa dianggap wajar.
Polaritas dan radikalisasi: Semakin kuat chauvinisme dalam kelompok, semakin ekstrem tindakan yang diambil untuk mempertahankan kepercayaan mereka, sering kali berujung pada kekerasan atau kekejaman.

Dampak Sosial dan Psikologis

     Pada individu, sikap chauvinistik yang ekstrem bisa mengarah pada isolasi sosial, kebencian yang terus-menerus terhadap kelompok lain, serta konflik interpersonal. Ini juga dapat memicu rasa gelisah atau kecemasan ketika berhadapan dengan perbedaan atau situasi di mana keyakinan chauvinis mereka ditantang.
     Dalam kelompok atau masyarakat yang mengalami chauvinisme kolektif, dampaknya bisa jauh lebih luas. Chauvinisme bisa memicu kekerasan, perpecahan sosial, penindasan, dan menciptakan ketegangan antar kelompok. Ini juga bisa merusak tatanan sosial dan menghambat perkembangan yang sehat dalam masyarakat multikultural.

     Sebagai kesimpulan, chauvinisme bisa dianggap bukan gangguan jiwa yang terdefinisi dalam psikiatri, tetapi dalam bentuk ekstremnya, dapat mengarah pada pola pikir atau perilaku yang mengganggu fungsi sosial baik secara individu maupun kolektif. Dalam konteks individu, chauvinisme bisa menjadi bagian dari gangguan kepribadian yang lebih besar, sedangkan dalam konteks kolektif, chauvinisme bisa menjadi pemicu perpecahan sosial dan konflik massal yang berkepanjangan.

     Kepunahan massal adalah peristiwa dramatis dalam sejarah Bumi yang menyebabkan hilangnya banyak spesies secara bersamaan. Dalam skala waktu geologi yang sangat luas, kita melihat lima peristiwa utama yang menciptakan titik balik dalam evolusi kehidupan. Mari kita telusuri setiap kepunahan, diberi penanda penting dalam istilah geologi.
 

1. Kepunahan Ordovisium-Silur, yang terjadi sekitar 443 juta tahun yang lalu, menandai akhir dari periode Ordovisium dan merupakan salah satu peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarah Bumi. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya sekitar 85% spesies laut yang ada pada waktu itu, menjadikannya salah satu kepunahan paling signifikan dalam sejarah kehidupan di planet kita.

     Pada masa ini, kehidupan sebagian besar terkonsentrasi di lautan, dengan banyak spesies invertebrata seperti trilobit, brachiopoda, dan graptolit yang mendominasi ekosistem laut. Namun, menjelang akhir Ordovisium, planet ini mengalami perubahan lingkungan yang dramatis yang menyebabkan kepunahan massal tersebut.

     Salah satu penyebab utama kepunahan Ordovisium-Silur kemungkinan besar adalah penurunan drastis permukaan laut yang diakibatkan oleh pembekuan es besar-besaran. Saat benua-benua masa kini berada di dekat kutub selatan, kondisi iklim menyebabkan pembentukan lapisan es yang luas. Proses ini mengurung sejumlah besar air dalam bentuk es, mengakibatkan penurunan signifikan permukaan laut.

     Penurunan permukaan laut ini memiliki dampak yang dahsyat pada habitat laut, mengakibatkan hilangnya wilayah-wilayah dangkal tempat banyak organisme hidup. Ketika wilayah-wilayah ini mengering, banyak spesies kehilangan habitat mereka dan tidak mampu bertahan dalam kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat. Perubahan drastis dalam kimia air laut dan suhu juga menambah tekanan pada organisme-organisme tersebut.

     Dalam istilah geologi, kepunahan Ordovisium-Silur ditandai dengan batas Ordovisium-Silur. Batas ini menunjukkan perubahan besar dalam endapan laut yang dapat diamati di berbagai lokasi di seluruh dunia. Lapisan-lapisan batuan dari periode ini menunjukkan tanda-tanda perubahan lingkungan yang drastis, seperti variasi dalam komposisi fosil dan struktur sedimen. Kehadiran isotop oksigen dalam endapan ini juga memberikan petunjuk tentang perubahan suhu dan iklim yang menyertai peristiwa tersebut.

2. Kepunahan Devon Akhir, yang terjadi sekitar 359 juta tahun yang lalu, mengakibatkan hilangnya sekitar 75% spesies yang ada pada waktu itu, mencakup berbagai organisme laut dan darat. Devon adalah periode yang terkenal dengan "Zaman Ikan", di mana ikan berrahang pertama kali mendominasi lautan, sementara tanaman darat dan serangga juga mulai berkembang pesat.

     Penyebab utama kepunahan Devon Akhir kemungkinan besar adalah kombinasi dari beberapa faktor lingkungan yang ekstrem. Salah satunya adalah perubahan iklim yang mendadak, yang bisa disebabkan oleh perubahan besar dalam siklus karbon dioksida. Fluktuasi dalam kadar CO₂ atmosfer bisa memicu perubahan iklim global, yang berdampak pada habitat laut dan darat.

     Selain itu, letusan vulkanik besar-besaran mungkin telah melepaskan sejumlah besar debu dan gas ke atmosfer, menyebabkan penurunan suhu global dan perubahan kimia air laut. Letusan ini juga dapat menyebabkan hujan asam yang merusak lingkungan darat dan laut. Efek gabungan dari pendinginan global dan perubahan kimia air laut kemungkinan besar menekan banyak organisme, menyebabkan stres lingkungan yang parah.

     Penurunan kadar oksigen di laut, atau anoksia laut, juga diyakini berperan penting dalam kepunahan ini. Ketika laut mengalami stagnasi, yaitu ketika sirkulasi air melambat atau terhenti, kadar oksigen di dalam air bisa menurun drastis. Organisme yang hidup di laut dangkal, seperti terumbu karang dan ikan, sangat rentan terhadap kondisi anoksik ini. Penurunan kadar oksigen akan menghambat metabolisme organisme laut dan akhirnya menyebabkan kematian massal.

     Dalam rekaman geologi, kepunahan Devon Akhir ditandai oleh lapisan endapan yang menunjukkan tanda-tanda stagnasi air laut. Lapisan sedimen ini sering menunjukkan perubahan dalam komposisi mineral dan inklusi dari fosil-fosil yang mengalami stres lingkungan. Fosil-fosil ini memberikan bukti bahwa organisme pada masa itu harus bertahan dalam kondisi lingkungan yang keras sebelum akhirnya banyak dari mereka punah.
 

3. Kepunahan Perm-Trias, yang terjadi sekitar 252 juta tahun yang lalu di akhir periode Perm,  sekitar 96% spesies laut dan 70% spesies darat punah, menjadikannya kepunahan yang sangat signifikan dan merusak ekosistem global.

     Faktor penyebab utama kepunahan Perm-Trias mencakup beberapa perubahan lingkungan yang ekstrem dan peristiwa geologis besar. Salah satu penyebab utama yang sering disebut adalah aktivitas vulkanik besar-besaran di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Siberia. Letusan vulkanik ini, yang dikenal sebagai Siberian Traps, melepaskan sejumlah besar lava dan gas ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO₂) dan belerang dioksida (SO₂). Gas-gas ini menyebabkan pemanasan global yang ekstrem dan hujan asam, yang merusak ekosistem darat dan laut.

     Perubahan iklim ekstrem yang disebabkan oleh aktivitas vulkanik ini juga memainkan peran penting dalam kepunahan. Peningkatan kadar CO₂ di atmosfer menyebabkan efek rumah kaca yang memperburuk suhu global, sementara SO₂ di atmosfer menyebabkan hujan asam yang merusak tumbuhan dan ekosistem. Dampak gabungan dari pemanasan global dan hujan asam ini menciptakan kondisi lingkungan yang sangat keras, yang tidak dapat diadaptasi oleh banyak spesies.

     Selain itu, kondisi anoksia laut (kekurangan oksigen) juga merupakan faktor kunci dalam kepunahan Perm-Trias. Aktivitas vulkanik dan perubahan iklim menyebabkan stagnasi dalam sirkulasi air laut, yang mengurangi oksigen yang larut dalam air. Anoksia laut ini mengakibatkan kematian massal bagi organisme laut yang bergantung pada oksigen untuk bertahan hidup, termasuk terumbu karang, moluska, dan berbagai spesies ikan. Organisme yang tinggal di laut dangkal, yang paling rentan terhadap perubahan kadar oksigen, mengalami dampak yang paling parah.

     Secara geologi, kepunahan Perm-Trias dikenal sebagai batas Perm-Trias. Batas ini dapat diidentifikasi dalam lapisan-lapisan batuan di seluruh dunia dan ditandai oleh perubahan dramatis dalam komposisi fosil dan endapan sedimen. Lapisan-lapisan ini menunjukkan penurunan tiba-tiba dalam keberagaman fosil dan adanya lapisan abu vulkanik yang tebal, yang menjadi saksi bisu dari aktivitas vulkanik besar-besaran pada masa itu.

     Batas Perm-Trias juga menunjukkan perubahan besar dalam kimia batuan, termasuk peningkatan signifikan dalam isotop karbon yang menunjukkan fluktuasi besar dalam siklus karbon global. Data isotop ini memberikan bukti bahwa perubahan iklim dan kondisi lingkungan selama periode ini sangat ekstrem dan berdampak besar pada kehidupan di Bumi.
 

4. Kepunahan Trias-Jura, yang terjadi sekitar 201 juta tahun yang lalu di akhir periode Trias, mengakibatkan hilangnya sekitar 80% spesies yang ada pada waktu itu, termasuk banyak spesies reptil besar dan organisme laut. Kepunahan ini menciptakan landasan bagi dinosaurus untuk mendominasi ekosistem darat selama periode Jura yang mengikuti.

     Faktor penyebab utama kepunahan Trias-Jura kemungkinan besar melibatkan aktivitas vulkanik yang intens dari Pematang Tengah Atlantik. Pematang Tengah Atlantik adalah zona rift di tengah Samudera Atlantik di mana lempeng tektonik saling menjauh, menciptakan letusan vulkanik yang masif. Letusan ini melepaskan sejumlah besar gas ke atmosfer, termasuk karbon dioksida (CO₂) dan metana (CH₄), yang menyebabkan peningkatan signifikan dalam efek rumah kaca dan pemanasan global.

     Perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik ini berkontribusi pada kepunahan massal dengan menciptakan kondisi lingkungan yang sangat tidak stabil. Suhu global yang meningkat menyebabkan perubahan besar dalam habitat yang ada, merusak ekosistem darat dan laut. Selain itu, pelepasan gas vulkanik juga dapat menyebabkan hujan asam, yang lebih lanjut merusak tumbuhan dan organisme laut.

     Dalam rekaman geologi, kepunahan Trias-Jura ditandai dengan batas Trias-Jura. Batas ini dapat dilihat dalam lapisan-lapisan sedimen yang menunjukkan perubahan besar dalam jenis fosil dan endapan. Lapisan ini menunjukkan hilangnya tiba-tiba banyak spesies dan perubahan dalam komposisi fosil yang menandakan adanya stres lingkungan. Perubahan besar dalam endapan sedimen juga menunjukkan adanya gangguan lingkungan yang signifikan, seperti perubahan dalam kimia air laut dan struktur sedimen.

     Batas Trias-Jura juga menunjukkan adanya peningkatan dalam isotop karbon yang mencerminkan perubahan dalam siklus karbon global. Data isotop ini memberikan bukti bahwa perubahan lingkungan yang terjadi selama periode ini sangat ekstrem dan berdampak besar pada kehidupan di Bumi. Peristiwa ini menunjukkan bagaimana aktivitas geologis yang intens dapat menyebabkan perubahan besar dalam ekosistem global dan memicu kepunahan massal.

5. Kepunahan Kapur-Paleogen, yang terjadi sekitar 66 juta tahun yang lalu, mungkin adalah peristiwa kepunahan massal paling terkenal dalam sejarah Bumi karena mengakhiri era dinosaurus. Peristiwa ini mengakibatkan hilangnya sekitar 75% spesies di Bumi, termasuk banyak spesies yang mendominasi daratan dan lautan. Kepunahan ini menciptakan perubahan besar dalam ekosistem global dan membuka jalan bagi evolusi mamalia dan akhirnya manusia.

     Penyebab utama kepunahan Kapur-Paleogen adalah tumbukan asteroid besar yang menciptakan kawah Chicxulub di Yucatán, Meksiko. Tumbukan ini melepaskan energi yang sangat besar, setara dengan miliaran bom atom, yang menyebabkan kebakaran hutan global, gelombang tsunami, dan pelepasan partikel debu dan gas ke atmosfer. Partikel-partikel ini menghalangi sinar matahari, menyebabkan penurunan suhu global yang drastis, dan memicu efek rumah kaca yang signifikan.

     Akibat dari tumbukan ini adalah gangguan besar dalam rantai makanan. Tanaman tidak dapat melakukan fotosintesis karena kurangnya sinar matahari, yang menyebabkan keruntuhan ekosistem darat dan laut. Banyak spesies dinosaurus, baik karnivora maupun herbivora, tidak dapat bertahan hidup dalam kondisi lingkungan yang berubah dengan cepat ini. Selain itu, hewan-hewan kecil yang bergantung pada tumbuhan dan hewan lainnya juga terdampak parah.

     Selain tumbukan asteroid, aktivitas vulkanik di Deccan Traps, India, juga berperan dalam kepunahan ini. Letusan vulkanik ini melepaskan sejumlah besar gas seperti belerang dioksida (SO₂) dan karbon dioksida (CO₂) ke atmosfer. Gas-gas ini berkontribusi pada hujan asam dan pemanasan global, yang lebih lanjut merusak lingkungan darat dan laut. Kombinasi dari tumbukan asteroid dan aktivitas vulkanik menciptakan kondisi lingkungan yang sangat tidak stabil dan tidak bersahabat bagi banyak spesies.

     Dalam rekaman geologi, batas geologi ini dikenal sebagai batas Kapur-Paleogen (K-Pg), yang sebelumnya disebut batas Kapur-Tersier (K-T). Batas ini ditandai dengan lapisan tipis iridium yang sangat tinggi dibandingkan dengan lapisan batuan di sekitarnya. Iridium adalah unsur yang jarang ditemukan di kerak bumi tetapi umum di meteorit, memberikan bukti kuat tentang tumbukan asteroid. Selain itu, perubahan mendadak dalam fosil plankton juga menjadi indikator penting dari kepunahan ini. Di bawah batas K-Pg, fosil plankton menunjukkan keanekaragaman yang tinggi, tetapi di atas batas ini, keanekaragaman fosil plankton menurun tajam.

     Dengan memahami kepunahan massal ini, kita dapat melihat bagaimana perubahan besar dalam lingkungan Bumi dapat memicu transformasi dramatis dalam evolusi kehidupan. Setiap peristiwa kepunahan membuka jalan bagi munculnya spesies baru dan mengatur panggung bagi evolusi berikutnya, menunjukkan ketahanan dan adaptasi kehidupan di planet kita.

 

Rujukan:

George R. McGhee, The Late Devonian mass extinction: the Frasnian/Famennian crisis (1996). Columbia University Press

T.J. Algeo, "Terrestrial-marine teleconnections in the Devonian: links between the evolution of land plants, weathering processes, and marine anoxic events" (1998)

Michael J. Benton, When Life Nearly Died: The Greatest Mass Extinction of All Time (2003). Thames & Hudson.

Douglas H. Erwin, Extinction: How Life on Earth Nearly Ended 250 Million Years Ago (2006). Princeton University Press.

Peter D. Ward dan Joe Kirschvink, A New History of Life: The Radical New Discoveries about the Origins and Evolution of Life on Earth (2015). Bloomsbury Publishing.

Robert M. DeConto dan David Pollard, "The Role of CO2 and Ocean Acidification in the End-Cretaceous Extinction" (2003). Science.

     Menjelang 2016 berakhir, saya tiba-tiba dihubungi oleh Ucup, tentang rencana reuni dengan teman-teman semasa sekolah dasar dulu. Sekolah Dasar Negeri Pembangunan I Bawakaraeng dimana Ucup dan saya bersekolah dulu. Sekolah yang masih berdiri tegak hingga saat ini, terletak di jalan G.Bawakaraeng Makassar tepat di hadapan Jalan Terong.
     Niat untuk ngumpul dengan teman-teman semasa SD itu sebenarnya telah lama disampaikan Ucup. Kira-kira sekitar 2012 lalu. Beberapa nama sering disebut-sebutnya, namun di memori saya yang sudah agak rapuh, tidak banyak nama yang mampu muncul dengan segar. Ucup sendiri tidak terlalu detail mendeskripsikan bila ada satu nama yang disebutkannya. Ditambah lagi, aktifitas Ucup yang berpindah dari satu propinsi ke propinsi lain, membuat frekwensi kami bertemu menjadi tidak intensif.
berdiri: Munandar, Muksin, saya, Ucup, Astuti, Khairil dan Muzakkir
duduk: Rosnawati, Rahmawati, Irma, Nuraeni, Marwani, Salma, Vertrani, Maipa dan Fadliah
 
     Sehingga informasi tentang akan segera ngumpulnya kami, yang saya ketahui seminggu sebelumnya, alumni 1977 dari SD Bawakaraeng, menjadi sesuatu yang begitu menggairahkan. Harap-harap cemas tentu saja, jangan sampai tidak mampu segera mengenali teman yang akan ditemui nanti.
     Syukur sekali, di tengah puncak musim penghujan, 12 Desember 2016 kami 16 orang berkumpul di restoran Pualam Makassar. Seperti yang saya kuatirkan sebelumnya, beberapa nama yang sebeanarnya dulu begitu akrab, ketika kami masih sama-sama bocah, sama sekali hilang tertimbun di kedalaman memori saya. Mau bagaimana lagi, saya tidak seberuntung teman-teman lain, yang masih mampu mengingat hampir setiap teman yang ada.
     Sebagai rasa terimakasih, dan rasa-rasa lain yang saling campur aduk di reuni itu, berikut saya dedikasikan sebuah rangkaian gambar sederhana untuk kalian saudara-saudaraku. Banyak kegiatan, kesibukan dan keterbatasan lain yang mungkin saja menghambat kita untuk sering bertemu dan bertemu lagi di masa-masa akan datang. Dan rangkaian gambar-gambar ini semoga bisa menjembatani rasa rindu diantara kita, yang mungkin saja tiba-tiba menyeruak ketika kita berada jauh di rentang jarak dan waktu..
     Very big thanks to all You Guys and Sista.. untuk semua keramahan, keakraban dan kehangatan silaturahmi di saat itu. Saling sabar dalam membantu merajut keping-keping memori yang berserakan entah kemana, diselingi canda segar sedikit usil dan nakal, sungguh merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, semoga limpahan kesehatan, berkah dan keselamatan selalu menyertaikan kalian.

Updating Extra Notes, April 2017:
     Setelah pertemuan Desember 2016 tersebut, maka pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi lagi, antara lain di bulan Februari 2017 yang lalu di Cafe Gigi Jalan Pengayoman Makassar. Berikut rangkaian gambarnya saya buat menjadi video, bisa dilihat di link berikut.
     Beberapa teman yang tidak hadir di Desember 2016, berjumpa di Cafe Gigi tersebut. Mereka antara lain adalah Martini, Ratna Boti, Erna, Maryam, Rohani, Putra, Abdi Rahmat, Makmur, Halwiyah dan Iswati.
belakang: Astuti, Maipa, Rosnawati, Rahmawati, Iswati, Isma, Vetrani, Maryam.
tengah: Ratna, Salmah, Martini, Erna, Marwani, Rohani, Halwiyah
depan: saya, Makmur, Munandar, Abdi dan Putra

     Selanjut di akhir Februari di Clarion Makassar, bertemu lagi, dengan dua wajah baru yaitu Juanda dan Baharuddin. Video berupa rangkaian gambar-gambar ketika bertemu tersebut bisa dilihat di link berikut.
berdiri: Marwani, Maipa, Salmah, Vetrani, Rahwa, Fadliah
depan: Munandar, Baharuddin, Mukhsin, Abdi Rahmat, Juanda, Hero Fitrianto
Afif, Ratna, Vetrani, Maipa, Salmah Hasan, Salmah Syamsuddin, Munandar.
Berkunjung ke kediaman Salmah Hasan bersana new comer dr.Afif.

     Yang paling menarik untukku dalam aktifitas street photography, adalah rasa was-was kalau saja objek yang menjadi fokus saya sampai bereaksi menolak apalagi kalau minta hapus hasil jepretan saya. Begitu juga di Jumat pagi itu, melangkah perlahan di keramaian pasar dusun Kalimporo' saya berkeliling mengamati spot yang sekiranya sesuai dengan ruang imaji di kapala, sambil terus mencoba menguatkan rasa percaya diri untuk mulai mengambil gambar.
      Setelah berasa cukup familiar dengan suasana sekitar, dan orang-orang sudah mulai terbiasa melihat saya lalu lalang, maka saya mulai membidik. Satu demi satu objek saya abadikan, sambil menebar senyum seramah mungkin bisa ada yang tiba-tiba menatap tajam ke benda di genggaman, lalu beralih menatap ke wajah saya. Hampir tidak ada hambatan sama sekali, mungkin karena jauh sebelum saya, sudah banyak yang silih berganti mengabadikan aktifitas mereka.
      Kalimporo adalah dusun yang terletak di Desa Tambangan Kecamatann Kajang Kabupaten Bulukumba. Wilayah yang beraneka warna oleh campur aduk budaya Kajang Dalam dan masyarakat sekitarnya. Wilayah Kajang Dalam sendiri dipimpin oleh seorang Amma Toa, terletak di Dusun Benteng, berjarak sekitar lima kilometer dari Kalimporo. Warga Kajang Dalam pun dengan mudah dikenali, mereka menggunakan pakaian serba hitam.
      Lalu seperti budaya-budaya lain di seluruh dunia, pasar menjadi ajang interaksi melumernya tepi-tepi budaya yang semula tegas menjadi adaptif dan samar. Dan warna kehidupan pun berkembang menjadi sangat bervariasi. Nah, selanjutnya saya tidak berpanjang lebar lagi mengulas tentang Kajang dan sekitarnya, langsung saja kita nikmati beberapa gambar yang terekam di saat jumat pagi Agustus 2016 hari pasar di Kalimporo.
      Berikut beberapa moment yang melintas di sensor kamera saya :
tembakau merupakan komoditi yang banyak diperjual belikan di pasar ini. Duduk berkeliling sambil mencicipinya sebelum bertransaksi menjadi ritual tersendiri.
beberapa perempuan berkeliling berbelanja dengan hanya mengenakan sarung, tanpa baju. Ini adalah simbol kalau mereka sedang dalam suasana berkabung. Salah satu anggota keluarga telah meninggal dunia, dan hingga 40 hari setelahnya mereka tidak memakai baju.
atas: penjual camilan cepat saji. Gorengan, panggangan, fresh langsung dari atas kompor.
bawah: membawa belanjaan untuk pulang
 atas : masih berkeliling atau beristirahat, di tengah hiruk pikuk transaksi
bawah : Penjual panganan kecil, tape singkong, apam, tenteng dan lain-lain.
atas : ikan ukuran besar, diiris tipis lalu diasapi.
bawah :  menyiapkan ikan segar yang dipotong melintang setebal 2-3 cm
perempuan Kajang pembuat sarung, mencelup material ke dalam pewarna tanpa mengenakan sarung tangan, sehingga pewarna tertinggal di tangan.
menunggu transaksi berikutnya

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.