April 2015

     Tersebutlah seorang gadis Minahasa yang cantik jelita yang sangat gemar pada berbagai macam kesenian. Di wilayah Tonsea, dia dikenal bernama Lintang, bunga diantara bunga yang ada di sana. Setiap hari ia bersenandung sambil mamainkan alat musik yang ada di masanya.
     Kecantikan Lintang yang begitu luar biasa, tentu saja menarik minat pemuda-pemuda Minahasa untuk mempersuntingnya menjadi istri. Sayembara pun digelar. Barang siapa yang bisa menghibur hati Lintang dengan memainkan alat musik yang indah, apalagi yang belum pernah terlihat oleh Lintang, maka dialah yang akan mendapatkan Lintang untuk dijadikan istri.
Alat musik tradisional

melody kolintang ~ pic: kolintang[dot]co[dot]id
     Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda yang ada di Minahasa, pamer kemampuan di hadapan Lintang. Namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Keriuhan berakhir, semuanya kembali dengan kecewa karena tidak satupun yang berhasil mendapatkan hati Lintang.
     Salah satu dari antaranya, karena begitu kecewa, melampiaskan kekecewaannya ke gunung Klabat. Ia mendaki menembus lebatnya belantara Klabat. Ko, begitu pemuda itu disapa. Sesampai di puncak, ia merenung, bagaimana caranya bisa mendapatkan hati Lintang. Namun semakin lama berpikir, otaknya terasa semakin mampet saja.
     Karena kesal tidak menemukan ide, Ko membanting tongkatnya yang terbuat dari kayu Wenang. Tongkat Ko membentur batu, terpental ke sana sini dengan suara nyaring. Sesaat Ko tertegun. Suara yang timbul dari tongkatnya terdengar indah berirama. 
     Ko bergegas pulang, sambil membawa beberapa potongan kayu Wenang yang lain. Ia kemudian menyusun beberapa potong kayu Wenang, lalu diketuk-ketuknya dengan batu. Suara denting yang indah terdengar oleh ketukan-ketukannya. Setelah melalui beberapa purnama, Ko sudah mahir memainkan melodi ciptaannya dari susunan kayu Wenang tersebut.
     Ia kemudian menemui Lintang di Tonsea. Ko memperdengarkan irama ciptaannya sambil mengetuk potongan-potongan kayunya. Seketika itu juga Lintang jatuh hati dan kemudian dipersunting menjadi istri Ko. Beberapa waktu kemudian, mereka menjadi terkenal karena alat musik ciptaan Ko yang mereka mainkan berdua. Orang-orang mengenal dan menyebut pasangan suami istri itu dengan menyatukan mana mereka, Ko Lintang.
kolintang raksasa, tercatat di guinness book of record. Kolintang ini terdapat di desa Pinabetengan Tomohon.
     Alat musik kolintang kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal selama ini.
~terimakasih yang khusus untuk bapak Venty yang telah menuturkan folklore tentang Kolintang tersebut.

     Waktu baru saja bergeser meninggalkan ashar ketika kami tiba di pelataran depan makam. Bentuk yang khas Sumatera Barat, menjadi unik sendiri di tengah negeri nyiur melambai ini. Bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol nampak asri ketika memasuki halaman depannya. Taman yang teratur rapi terasa sejuk sehingga mengimbangi gerahnya kota Manado.
     Makam yang sebenarnya tidak terletak di pusat kota, tetapi di jalur tepi ring road menuju kota Tomohon. Jalan yang lengang menuju makam, di kiri kanan masih bersemak belukar seperti tepi hutan. Ah, langsung terbayang bagaimana sepinya suasana di tahun-tahun pengasingan sang Imam dulu. Di saat sekarang saja, suasana sekitar makam masih begitu sepi.
Makam Imam Bonjol
lukisan di dinding bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol
     Sejenak menyalami yang empunya makam, selanjutnya saya melanjutkan ke arah belakang bangunan. Di sana ada jalan kecil menuju kali di bawah sana. Kali yang di tepinya ada sebongkah batu yang konon adalah batu tempat Imam Bonjol melakukan ritual shalatnya sehari-hari.
     Gemuruh air sungai terdengar indah mengiringi belaian sepoi yang menyelusup di sela-sela pohon bambu di sepanjang jalan kecil yang telah dibentuk menjadi anak tangga. Dari atas, nampak ada kubah kecil berwarna perak mengkilat di tepi sungai sana. Saya mempercepat langkah, setengah berlari karena tidak sabar ingin segera tiba.
     di dalam bangunan sederhana itu, terletak batu yang menjadi tempat Imam Bonjol melakukan shalat sehari-hari
celah kecil berupa mata air di samping batu itu, untuk berwudhu sebelum shalat
     Luar biasa sekali rasanya berkesempatan bersujud di atas batu itu. Saya merasakan kekuatan auranya yang menenangkan suasana hati dan pikiran. Khusyuk tentu saja karenanya. Sungguh rasa yang saya rasakan menggelitik kerinduan untuk kembali dan kembali bersujud di atas batu itu.
     Di pintu makam, saya sempat bertemu dengan seseorang, Ibu Salindri. Beliau berceritera tentang Imam Bonjol dan seorang pengikutnya bernama Apolos, satu-satunya orang yang mengikuti sang Imam di tanah pengasingan. Apolos kemudian menikah dengan seorang putri Minahasa bernama Katrintje. Sedangkan Imam Bonjol sendiri tidak menikah di tanah Minahasa ini hingga akhir hayatnya.
     Ibu Salindri adalah generasi keenam dari Apolos. Di sekitar makam Imam Bonjol sekarang ini selain didiami oleh keluarga Ibu Salindri, juga oleh sekitar 50 orang lainnya sebagai kerabat keturunan Apolos, si pengikut sang Imam.
     Mengakhiri ziarah di sore hari penghujung bulan Maret 2015 itu, saya sampaikan terimakasih yang tak terhingga untuk Bapak Raymond J.Liaw yang telah menunjukkan jalan sekaligus mengantarkan hingga saya berkesempatan mampir di makam salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Kebaikan hati beliau yang tulus yang membuat saya merasa tidak pernah cukup bila hanya sekadar menyampaikan ucapan untuk rasa terimakasih yang tak terhingga. Semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh-Nya dengan limpahan kesehatan dan kebaikan di perjalanan hidup beliau selanjutnya.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.