Articles by "Cerpen/Cerpenku"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Cerpenku. Tampilkan semua postingan

     Gerahnya udara sore tidak terasa lagi. Sepeda motor yang kukendarai melaju cepat tanpa kusadari. Menikung dari satu belokan ke belokan lain, lelu menyalib di antara ramainya lalu lintas dengan tujuan yang tidak pasti.
     Aku hanyut dalam jalan  pikiran yang kacau. Sampai entah mengapa, aku menghentikan motorku di trotoar pantai Losari. Kusentak standar samping lalu melangkah ke tembok pantai dan duduk di atasnya.
     "Mas, bakso.!", pintaku ke arah Mas Bejo, salah seorang penjual bakso yang berjejer bersama gerobaknya di sepanjang pantai.
     Sambil menunggu bakso pesananku, aku mengingat-ingat kembali peristiwa yang baru kualami. Sungguh mampus, aru kali inilah aku merasakan pukulan yang begitu menyakitkan. Pacarku yang kubangga-banggakan selama ini dan juga sangat kukasihi, memutuskan cintanya tanpa sebab musabab yang jelas.
     "Ini baksonya dik.. " tegursi Mas penjual bakso dengan ramah sambil meletakkan semangkok bakso dengan pernak-perniknya hadapanku. Sapaan lembut itu menyadarkanku dari lamunan. Akupun lalu menggeser sedikit letak duduk untuk mendapat posisi nyaman selama menyantap isi mangkok di hadapanku.
     Dengan lahap, dalam beberapa suap saja, bakso semangkok sudah mengalir melalui tenggorokanku. Aku menoleh ke penjual bakso tadi, mengacungkan satu jari ke atas dan minta tambah semangkok lagi. Porsi yang baru tiba di hadapanku ini mengalami nasib yang sama dengan porsi yang pertama tadi. Ludes dalam beberapa suap saja. Aku lalu minta tambah dan tambah lagi.
     Puas dengan empat mangkok bakso, aku sedikit menggeliatkan tubuh, memandang penuh gairah ke penjual es teler yang berada di samping penjual bakso tadi. Dengan isyarat sederhana, segera segelas besar es teler tersaji di hadapanku, menggantikan mangkok-mangkok bakso yang sudah kosong. Dua gelas, tiga gelas, mengalir begitu saja dalam hitungan beberapa menit.
     Rupanya penyakit kebiasaanku kumat lagi. Bila sedang emosi, kalut atau pikiran kacau balau, nafsu makanku meningkat berkali-kali lipat. Dan seperti sudah bersepakat dengan organ pencernaanku, perut dan lambungku pun segera dapat menyesuaikan keadaan. Daya tampungnya menjadi begitu dahsyat, menampung apa saja yang dimasukkan ke dalamnya.
     Namun yang paling konyol dari semuanya itu adalah aku tidak mau pusing sama sekali pada penyakit itu.
     Es teler gelas keempat sudah tersaji di hadapanku. Aku bersandar ke belakang, menikmati semilir 'anging mammiri' manyapu bibir pantai Losari mengantar romantisnya sore menyongsong senja. Oh.. nikmatnya..
     Namun hanya beberapa detik aku terbuai, kenangan tentang kekasihku yang baru saja memutuskan hubungan denganku membuyarkan semua rasa indah yang kurasakan tadi.
     Aku menoleh ke arah penjual es teler tadi, namun penjual nasi goreng di sebelahnya yang mengangguk sopan sambil tersenyum ramah. Ah iya, nasi goreng. Tanganku mengacung memberi tanda ke penjual nasi goreng itu, pesanan satu porsi istimewa. Sambil menunggu nasi goreng pesananku disiapkan, perlahan ku kendurkan ikat pinggang dan melepaskan kancing celana jeansku. Tentu saja zipper nya ikut terkuak sedikit, oleh desakan perutku yang sudah melar oleh bakso dan es teler tadi.
     Setelah beberapa suap nasi goreng ikut berjejal di dalam lambungku, terasa isyarat bahwa kapasitas maksimumnya sudah hampir tiba. Tapi aku tidak peduli sama sekali. Kuselesaikan porsi istimewa tersebut dengan tuntas tanpa tersisa sedikitpun.
     Kini aku benar-benar sudah kelewat kenyang. Sambil mengusap-usap perutku yang sudah menggelembung karena kekenyangan, aku menarik nafas panjang beberapa kali. Aroma laut yang khas itu begitu menyegarkan perasaanku. Meski rasa perih di perasaanku masih terasa, namun sekarang sudah jauh lebih ringan. Perlahan-lahan rasa kalut yang membuatku uring-uringan sudah sirna. Ah.. aku menghirup lagi dengan kuat ke dalam paru-paruku, aroma laut itu.
     Akupun berdiri dari duduk, meski dengan sedikit sempoyongan. Kurapikan kembali kancing celana dan zippernya, terakhir mengeratkan kembali ikat pinggang yang tadi sudah dikendurkan. Aku mau pulang tidur.
     Segera kuraba kantong belakang celanaku, untuk mengeluarkan dompet lalu membayar semua makanan yang telah kuhabiskan tadi. Refleks tanganku berpindah ke kantong sebelah kiri, karena dompet yang kucari tidak teraba. Tetapi, dompet itu juga tidak ada di sana. Segera tanganku meraba saku kemeja di depan, meski dengan sangat yakin saya tahu bahwa tidak mungkin ada dompet di saku kemeja itu.
     Akupun menjadi sadar, ternyata aku lupa membawa dompet ketika tadi bersalin dengan celana yang kupakai sekarang ini. Karena terburu-buru di genjot emosi yang hendak meledak dalam pikiran yang kacau, aku lupa mengambil dompet dari celana kotorku yang kugantung di belakang pintu kamarku .
Pantai Losari Makassar
    Kutatap garis cakrawala yang memerah di bibir laut sebelah sana. Aku melangkah kembali ke arah tembok pantai lalu duduk di atasnya. "Mas, bakso.!" Aku memesan satu mangkok lagi.
     Aku benar-benar kalut.

     Kabut tipis mengambang di permukaan tanah, menyelimuti Lembanna. Hujan baru saja reda, saat menjelang magrib ketika aku melangkah di atas tanah basah menuju rumah Mama'. Rumah yang selalu bersahaja oleh keramahan perempuan tua penghuninya, adalah rumah yang selalu kutuju sebagai 'base camp' bila akan mendaki ke Gunung Bawakaraeng. Namun kedatanganku kali ini sama sekali bukan untuk naik gunung.
     Sesampai di rumah Mama', perempuan tua itu segera menyambutku. Hanya kali ini, tidak seperti biasanya. Mama' yang biasanya mengumbar senyum, sekarang kelihatan cemas meski berusaha untuk tetap terlihat tenang. Tapi setidaknya, kehadiranku membuatnya sedikit lega.
     "Sudah tiga hari kau kutunggu. Tapi kenapa baru datang sekarang?" Mama membuka percakapan saat menyuguhkan kopi panas ke hadapanku.
     "Saya sibuk Ma'" jawabku pendek.
     "Tapi ini bukan persoalan gampang. Kau sudah kuanggap seperti anak sendiri. Saya sayang sekali kepadamu. Jadi kalau ada persoalan yang menyangkut keselamatanmu, saya tidak bisa tinggal diam dan membiarkanmu menderita sendirian. Saya tidak bisa!"
     Aku hanya menunduk, tanpa berusaha membantah sedikitpun. Ini memang kesalahan saya. Tiga hari yang lalu Mama' menghubungiku dengan kekuatan batinnya, menyuruhku untuk segera ke Lembanna. Tapi kegiatan perkuliahanku terlalu padat sehingga tidak bisa segera memenuhi panggilan itu. Lagipula, aku tidak tahu ada persoalan apa yang menyangkut diriku sehingga Mama' begitu menghendaki aku segera datang ke Lembanna.
     Aku tetap duduk diam tanpa bertanya. Padahal di dalam hati aku sudah sangat ingin untuk mengetahui persoalannya. Mama' kemudian berdiri mendekati rak pakaian. Dia mengambil sesuatu, lalu kembali duduk di depanku.
     "Coba kau lihat, benda apa ini?" Mama bertanya sambil menyodorkan sesuatu ke tanganku. Sekarang rasa ingin tahuku sudah tak tertahan lagi. Segera kuraih benda yang diberikan Mama'.
     Rupanya benda itu adalah kain putih. Aku kemudian membentangkannya. Seketika aku terperanjat, namun aku berusaha sekuat tenaga untuk menahannya dan tidak memperlihatkan kepada Mama' rasa kaget itu. Kain itu itu berbentuk segiempat bujursangkar dengan panjang sisinya sekitar 50 cm. Terbuat dari katun yang biasa digunakan untuk membungkus mayat. Dan sejengkal dari salah satu sisinya nampak satu titik sebesar kepala ujung korek api, berwarna  coklat kehitaman seperti warna darah yang telah mengering.
     "Dari mana kain ini Ma'?" tanyaku menyelidik.
     "Dari temanmu, sepuluh hari yang lalu." Mama' berhenti sejenak, sambil mengingat-ingat  peristiwa yang akan diceritakan kepadaku. Sementara saya meneguk kopi di hadapanku.
     "Waktu itu, Ulo dan Ake berdua mendaki Bawakaraeng. Seperti biasanya mereka berpamitan kepadaku. Meski cuaca tidak terlalu baik, tapi tidak kulihat tanda-tanda yang buruk pada mereka. Apalagi saya pikir mereka sudah biasa naik. Jadi saya izinkan saja mereka mendaki. Jam delapan pagi mereka sudah sampai di puncak karena mereka berangkat tengah malam.Tidak ada yang bisa dilihat. Sekeliling puncak tertutup kabut. Ulo dan Ake tinggal di puncak beberapa saat, menunggu siapa tahu kabut akan menipis dan dapat menyaksikan pemandangan sekeliling, namun harapan itu tak kunjung tiba. Bahkan kabut menggulung semakin tebal dan mulai turun hujan rintik-rintik. Keduanya terpaksa memutuskan untuk turun.
     Menjelang pos delapan hujan semakin lebat. Mereka melangkah terus, hingga pos tujuhpun kemudian dilalui meski curahan hujan masih tetap lebat. Selanjutnya mereka berlari menyusuri lereng yang licin. Ake berlari di depan dan Ulo di belakang. Mereka berkejaran terus, hingga ketika mendekati pos lima, Ake berhenti berlari. Di antara deru hujan ia mendengar suara Ulo minta tolong di belakangnya. Ake berbalik lalu berlari ke atas lagi. Ternyata Ulo terpeleset dan tidak mampu untuk berdiri lagi. Lutut kanannya terantuk keras oleh batu yang menonjol runcing di tepi jalan. Ake kemudian berusaha menolong Ulo sedapat-dapatnya.
     Namun belum sempat ia berbuat banyak ketika dari arah atas muncul dua orang berjalan ke arah mereka. Seorang lelaki dan seorang perempuan. Mereka menegur Ake dan Ulo. Yang perempuan kemudian membantu memberi pertolongan kepada Ulo dengan mengikatkan syal putih yang melilit di lehernya. Sesaat kemudian Ulo sudah dapat berdiri dan berjalan lagi.
     Tetapi merka tidak sempat mengucapkan terima kasih karena kedua penolongnya itu telah mendahului berjalan menuju pos lima. Sepintas Ulo sempat heran, dari mana datangnya kedua orang itu. Sepanjang perjalanan mereka mendaki dan turun lagi, tidak menjumpai seorangpun pendaki lain di perjalanan.
     Tapi Ulo tidak melanjutkan rasa herannya. Dingin yang menusuk sampi ke tulang di antara lebatnya hujan, segera memacu mereka untuk bisa sampai ke rumah secepat mungkin.
     Mama' berhenti sejenak untuk melinting tembakau dan mengisapnya.
     "Hujan masih lebat ketika mereka sampai di rumah. Mereka segera berganti pakaian dengan pakaian kering. Ketika itulah saya melihat sesuatu yang aneh yang diletakkan Ulo. Kain putih pembalut lututnya adalah kain yang sekarang berada di tanganmu." Aku tersentak sambil mengangkat wajah menatap tajam ke arah Mama'. Aku bermaksud bertanya, tapi Mama' segera melanjutkan.
     "Saya mengenal kain itu. Kain pembawa bencana dari Bawakaraeng. Siapa saja yang mengenakannya akan mendapat kecelakaan yang gawat, bahkan bisa sampai mati!" Aku masih memandang tajam ke arah Mama'. Sementara Mama' mengisap beberapa kali sisa tembakau di tangannya. Banyak pertanyaan yang timbul di benakku.
     Kalau memang benar apa yang dikatakan Mama', lalu mengapa Ulo tidak cedera sedikitpun? Adapun saat dia terjatuh, waktu itu dia belum mendapat kain itu. Lagipula sekarang luka gores bekas terpeleset itu, sudah sembuh. Yang lebih janggal lagi, mengapa keselamatan saya yang dikuatirkan Mama'? Apa hubungannya kain itu dengan diriku?
     Sayup-sayup kudengar adzan Magrib dikumandangkan. Kuletakkan kain tadi di atas tikar, lalu bangkit ke belakang untuk berwudhu. Sementara Mama' menyalakan lentera, aku shalat magrib sendirian. Kebetulan anak dan menantu Mama' tidak berada di rumah. Jadi segala sesuatu harus dibereskan sendiri oleh Mama'.
     Selesai berdoa, aku merasa mendapat firasat jelek. Seakan ada awan hitam panas menggantung dekat dahiku. Tanpa menunggu lebih lama, aku segera mempersiapkan diri. Setahap demi setahap, dengan kemurahan dan kasih sayang Allah, aku mengisi jalan darah dan persendianku dengan nama-nama Nya yang agung.
     Tepat ketika aku selesai dan menggulung kembali tikar yang sudah kupergunakan shalat, pintu depan diketuk orang. Mama' buru-buru mendekati pintu dan membukanya.
     "Assalamu alikum.."
     "Alaikum salam.." jawab Mama' singkat, lalu mempersilakan kedua tamu itu masuk. Setelah keduanya sudah melewati pintu, Mama' segera menutup pintu kembali. Mama' kemudian mengajak kedua tamu itu duduk di tikar berhadapan denganku.
     "Ini Daeng Bira', dan ini Daeng Kelo," Mama' memperkenalkan mereka kepadaku. Aku segera menjulurkan tangan untuk menjabat mereka berdua. Selanjutnya Mama' memperkenalkan diriku kepada mereka, sebagai orang yang telah dianggap sebagai anak sendiri.
     Mama' kemudian ke dapur menyiapkan kopi untuk tamu-tamunya. Aku sendiri merasa enggan untuk bercakap. Aku hanya diam sambil menimang-nimang dan meremas-remas kain putih yang tadi kuletakkan di sampingku. Pikiranu terus menerawang mencari hubungan peristiwa yang diceritakan Mama' dengan diriku.
     Sedang asyik membalik-balik kain di tangan, tiba-tiba tanpa sengaja saya memandang ke arah Daeng Bira'. Pandangan kami beradu. Selanjutnya kurasakan ada sesuatu yang aneh. Awan panas hitam yang tadi kurasakan sewaktu selesai shalat, kini kembali terasa di pelupuk mataku. Bersamaan dengan itu, kain di tanganku serasa berontak hendak melepaskan diri dari genggamanku. Aku kemudian tersadar akan firasatku tadi sewaktu baru selesai shalat.
     Segera kugenggam kain itu dengan semua kemampuan yang telah kupersiapkan tadi. Beberapa saat aku seperti tak sadarkan diri, hingga tiba-tiba terdengar suara kain koyak. Bersamaan dengan itu halilintar menggelegar dengan begitu kerasnya. Mama' yang sedang meletakkan gelas berisi kopi di hadapan tamu-tamunya, tersentak kaget.
     Sementara aku sendiri, merasa lega. Beban yang meronta di tanganku sudah menjadi enteng. Gelayutan awan hitam di pelupuk matakupun berangsur sirna. Aku menggenggam kain putih itu dengan tenang tanpa reaksi lagi.
     Kini aku mengangkat wajah dan memandang lagi ke arah Daeng Bira'. Dalam temaram cahaya lentera, jelas terlihat rasa sesal dan cemas yang mendalam di wajahnya. Aku terus memperhatikannya ketika ia meneguk kopi. Tidak sampai habis. Ia pun segera mengajak Daeng Kelo untuk berpamitan.
     Aku heran. Namun Mama' nampaknya membiarkan saja mereka berlalu tanpa menanyakan maksud kedatangan mereka.
     Setelah keduanya diantar Mama' keluar, Mama' kembali duduk di sebelahku. Dia menyodorkan sesuatu. Rupanya sehelai kain hitam yang telah terbakar sebahagian. Meski begitu, aku segera mengenali kain itu sebagai syal kepunyaanku.
     Pada syal itu telah kupaterikan  namaku bersama wasiat warisan Nabi Sulaiman. Goresan tanganku masih nampak jelas. Hanya saja, bagian yang memuat namaku telah hangus terbakar. Tinggal goresan wasiatnya yang tersisa.
     "Bukankah Ulo yang membawasyalmu itu waktu naik ke Bawakaraeng dua minggu yang lalu?"
     "Betul Ma'" jawabku pendek.
     "Kekuatan yang ada pada syal milikmu itu yang telah menarik kain pembawa bencana itu untuk mengikutinya." Mama' menjelaskan. Aku hanya mengangguk-angguk.
     "Syal itu terbakar sewaktu dikeringkan oleh Ulo di dekat tungku. Barangkali kurang hati-hati. Padahal waktu itu hanya ada bara di atas tunggu," lanjut Mama'.
     "Apakah bukan karena pengaruh kain pembawa bencana itu Ma;?"
     "Mungkin juga begitu. Syal itu menyala begitu berada di dekat tungku, padahal kondisinya masih begitu basah. Menyala dan menghanguskan hanya di bagian goresan namamu." Aku mengangguk-angguk lagi. Sekarang aku bisa sedikit mengerti hubungannya dengan diriku, namun masalah intinya belum juga kutemukan.
     "Apakah kau tahu kedua orang tadi?"
     "Tidak Ma''jawabku ingin tahu.
     "Dia adalah perawat kain itu. Selain sebagai perawat dia juga sebagai perantara bila seseorang hendak menggunakan kekuatan pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' berhenti sejenak untuk merapikan lintingan tembakau yang sementara disiapkannya.
     "Sudah beberapa hari ini mereka datang kepadaku untuk meminta kembali kain yang tidak sampai ke sasarannya itu. Tetapi saya tidak memberikannya. Saya ingin mereka meminta sendiri dari tanganmu." lanjut Mama' kemudian.
     "Apakah ada yang menyuruh mereka untuk mencelakakanku Ma'?" Tanyaku yang begitu penasaran.
     "Memang ada. Temanmu sendiri sesama pendaki. Hal ini kuketahui dari penjelasan Daeng Bira' sendiri waktu datang ke sini kemarin."
     "Lalu, mengapa tadi Daeng Bira' tidak meminta kain ini?" tanyaku masih penasaran.
     "Kain itu tidak bisa dipakai lagi, kaena telah kau rusakkan. Sebagai akibatnya, dia bersama orang yang menyuruhnya harus menanggung tuntutan dari pemilik kain itu di Bawakaraeng." Mama' menjelaskan.
     Rupanya tadi Daeng Bira' dan Daeng Kelo bermaksud mengambil kain itu dari tanganku dengan menggunakan kekuatan batinnya. Namun ternyata mereka gagal, bahkan sampai mengakibatkan kerusakan kain itu sendiri. Mama' kemudian mengambil lentera yang diletakkan di atas bangku, ke dekatku.
     "Sekarang coba kau periksa bagaimana keadaan kain itu." Aku segera membentangkannya. Rupanya telah koyak tepat membelah dua bintik coklat kehitaman tadi. Dan di ujung bawah robekannya ada cairan yang masih segar agak basah berwarna merah.
     "Apa ini Ma'? aku menunjuk ke arah cairan yang masih agak basah itu di ujung yang terkoyak. Mama' kemudian melihatnya lebih dekat ke arah lentera.
     "Darah.." jawab Mama' setengah berbisik.
     "Darah? Darah siapa Ma'?" tanyaku kaget dan penasaran.
     "Darah orang yang menyuruh Daeng Bira' yang telah mengalir di sini" Mama' menjelaskan.
     "Mengapa Mama' bisa begitu yakin?"
     "Memang begitulah biasanya resiko orang yang bermain-main dengan kekuatan hitam. Tunggulah dua tiga hari lagi, Daeng Bira' dan Daeng Kelo pun akan segera mendapat bagiannya sebagai tuntutan dari pemilik kain itu."
     Aku tercenung mendengar penjelasan Mama'. Dalam hati aku berdua semoga cukup di dunia ini saja orang-orang itu mendapatkan hukuman untuk perbuatannya, sehingga Allah tidak perlu mengazabnya lagi di hari kemudian nanti.
     Di luar gelap membungkus malam dengan rapat. Aku menghela nafas panjang dengan lega. Di dapur, Mama' sedang mempersiapkan piring dan panganan untuk makan malam kami berdua.
(24 desember 1990 - ketika kabut turun di Lembanna)
diterbitkan pertama kali dalam bentuk hardcopy
di bulletin Lembana Korpala Unhas edisi 002 thn 1990 
also posted at Kompasiana

     Perlahan aku melangkah turun meninggalkan Pos 6 Gunung Bawakaraeng. Aku tertinggal sendiri, sementara teman-temanku yang lain telah meninggalkan tempat ini sejam yang lalu. Mereka tidak perlu kuatir terhadapku, karena mereka tahu aku sudah mengenal dengan baik jalan turun ke Lembanna, dusun di kaki Bawakaraeng.
     Namun, kali ini aku merasa agak kurang beres dengan kondisi tubuhku. Sejak seminggu belakangan ini, aku selalu kurang tidur. Bahkan sejak meninggalkan Makassar menuju ke Lembanna, aku hanya sempat istirahat tidur selama dua jam.
     Pukul empat sore lewat sepuluh menit, sesuai arloji yang lengket di pergelanganku, dengan kepala berat, pusing dan ngantuk, aku berusaha tetap melangkah. Setengah lima, aku sampai di Pos 5.
     "Oh lelahnya..!" Aku memutuskan untuk istirahat lagi. Sayang di carrierku tidak ada lagi makanan yang tersisa. Aku meraba fieldples yang menggantung di pinggang lalu mengguncangnya sedikit. Masih ada air yang tersisa. Kulepaskan fieldples itu dari gantungannya di pinggang lalu meneguk air dari dalamnya, dan ih...dingin.
     Sesaat kemudian kuhamparkan matras lalu berbaring. Tidak lama, aku sudah terlelap.
     Hingga entah berapa lama, aku tersentak kaget. Aku merasa begitu dingin, dengan tubuh yang menggigil hebat. Sementara kepalaku masih terasa begitu berat dan pusing. Rupanya panas tubuhku banyak berkurang sementara aku tertidur tadi. Tetapi aku berusaha untuk dapat menguasai diri dan mencoba berfikir untuk melakukan yang terbaik demi menolong keadaanku.
     Aku masih terduduk di atas matras dan belum membuat keputusan apapun, ketika daun-daun di depanku tersibak. Dan seseorang muncul di sana. Hanya sekilas aku memandangnya lalu tidak memperdulikannya lagi. Tetapi berbeda dengan orang itu. Mungkin ia melihat mukaku yang pucat dengan sedikit kepanikan, sehingga ia singgah untuk menegurku. Dan ah, rupanya suara sapaan yang kudengar adalah suara seorang perempuan.
     Kamipun bercakap-cakap untuk beberapa saat. Ia menanyaiku dan aku menjawab sejujurnya mengenai kondisi tubuhku saat ini. Ia kemudian menawarkan diri untuk menolongku. Aku setuju-setuju saja.
     Terampil dan cepat sekali, ia mempersiapkan kompor parafin yang kubawa, lalu menjerang air yang tersisa dari dalama fieldplesku, ditambah air yang ia bawa sendiri. Sementara menunggu mendidih, ia membawa fieldples kosongku bersama botol airnya ke mata air yang ada di dekat pos lima ini untuk diisi kembali. Aku sendiri masih duduk menghadapi kompor parafin yang menyala, dengan harapan bisa mendapatkan sedikit kehangatan dari pancaran panasnya.
     Tidak lama ia sudah kembali dan mulai mempersiapkan dua bungkus mi instan dari dalam rimbagnya. Aku cuma mampu memandang semua yang dilakukannya tanpa bertanya atau berkomentar. Selanjutnya, aku mulai mengisi perut dengan mi instan panas itu. Ia juga ikut menyantap.
     Kurang seperempat jam enam sore, aku merasa kondisi tubuhku sudah agak baik. Kubenahi semua perlengkapanku, untuk meneruskan perjalanan pulang. Rupanya ia bermaksud mengantarku. Aku lagi-lagi setuju saja.
     Heran memang, aku yang biasanya banyak cakap, kali ini tiba-tiba seperti kehabisan kata-kata, padahal di depanku seorang perempuan yang parasnya cukup cantik - apalagi di gunung seperti ini, sedang beraksi membatu diriku yang tiba-tiba menjadi goblok bahkan untuk menolong diri sendiri. Tapi itulah keadaannya.
     Kami bersama menyusuri jalan setapak dengan perlahan. Dan ketika malam turun bersama gelap, aku mengeluarkan senter dari dalam carrierku. Ha.. rupanya ia tidak punya senter. Terpaksa kami berjalan menjadi semakin lambat, karena harus saling menunggu memanfaatkan satu senter. Sekali-sekali aku harus memegang tangannya agar ia tidak tergelincir di dalam gelap.
     Kami sampai di rumah pertama yang terpisah jauh dengan rumah-rumah lainnya di pinggir kampung Lembanna, ketika bulan mulai muncul. Teman perjalananku itu singgah di pancuran yang terletak di depan rumah, sambil menyarankan padaku untuk terus melanjutkan perjalanan sendiri. Rumah yang akan kutuju di mana teman-teman ku berkumpul, sudah tidak jauh. Ia sendiri akan singgah di rumah ini untuk menginap. Kali ini pun, tanpa banyak cakap aku menuruti saja semua yang disarankannya.
     Sesaat aku hendak pamit untuk meninggalkannya ketika aku teringat belum menanyakan siapa namanya. Oh..aku benar-benar goblok sekarang ini. Sambil tersenyum kecil, aku menghampiri dia yang masih berdiri di dekat pancuran bambu kecil. Lalu dengan semangat empat lima yang kubulat-bulatkan di dalam dada, aku bertanya siapa namanya. Sambil menyebutkan namaku sendiri, kulanjutkan dengan berbasa basi yang lain sambil pamitan untuk meneruskan langkahku.
     Ia mengangkat wajahnya memandangku lekat-lekat, sambil tersenyum. Dan ya Tuhan.. ia terlihat begitu cantik dalam siraman cahaya bulan yang baru muncul. Entah mengapa, ada getar aneh dari dalam diriku sehingga aku merasa ada yang kurang beres. Tapi aku tidak memperdulikan dan berusaha untuk tidak terbawa perasaan. Ia lalu mengulurkan tangan kearahku.
     Tanpa basa basi, tangan itu segera kusambar. Dingin sekali rasanya. Sementara angin dari hutan pinus sebelah Selatan, berhembus perlahan mengiringi lolong anjing yang berkepanjangan, membuat bulu tengkukku terasa dingin dan merinding.
     "Namaku Noni", suaranya bening, singkat sambil tersenyum. Aku balas senyumnya, selanjutnya aku tidak bertanya lagi, terus melangkah meninggalkan dia sendirian.
     Sejak malam itu, aku tidak pernah lagi berjumpa dengannya bila mendaki ke Bawakaraeng, atau sekadar mengunjungi kampung Lembanna. Namun setiap kali aku ke Lembanna, aku selalu berharap agar bisa bertemu dia lagi. Konyol memang, karena data yang aku punyai hanya namanya saja. Meski begitu aku tidak berputus asa. Aku berusaha menanyai setiap orang di Lembanna, tentu saja tentang dia, sambil menyebutkan ciri-cirinya. Tetapi tidak ada yang bisa memberikan keterangan yang memuaskan.
     Suatu hari, kutemui orang tua pemilik pondok dengan pancuran bambu kecil di depannya, yang dulu kami singgahi dimana Noni bermaksud bermalam. Tetapi orang tua ini juga tidak memberi keterangan yang memadai. Nama Noni hanya dikenalnya beberapa tahun yang lalu, sebagai seorang gadis yang pernah menggemparkan kampung Lembanna. Gadis yang suka mendaki ke Bawakaraeng seorang diri itu, ditemukan meninggal, menggantung diri di dahan sebatang pohon di Pos 3 menuju Bawakaraeng.
     Hanya itu yang diketahui oleh orang tua ini. Dan sejak peristiwa heboh itu, ia tidak pernah lagi mendengar ada orang yang menggunakan nama Noni, yang singgah di rumahnya.
     Aku masih terus mencari dan mencari. Dengan bekal rasa yang gamang, aku berharap suatu hari nanti dapat menjumpai dia. Bukan apa-apa, aku ingin menyampaikan terimakasih untuk pertolongannya dulu. Terus terang, malam itu aku belum sempat berterimakasih kepadanya.
diterbitkan dalam bentuk hardcopy
pertama kali di buletin lembanna edisi 004
April 1991
 foto Paramitha Rusady - tabloidnova.com
also linked to Kompasiana
 

     Aku mengenang indah dan cerianya hidup diantara manusia-manusia sejak masih di sekolah menengah atas dulu. Wawasan dan pengalaman itupun semakin luas setelah saya menginjakkan kaki di perguruan tinggi. Aku tahu betapa pentingnya hubungan baik yang tercipta di antara setiap manusia. Dan saya berusaha untuk memilikinya dalam pergaulanku dengan siapa saja.
     Sehingga tidak heran, meskipun modal wajah saya tidak bisa dikatakan cantik, namun dengan bekal hati dan niat suci dalam pergaulan, saya berhasil mendapatkan banyak kawan, kenalan dan sahabat. Dan tentu saja, tidak saya tutup-tutupi bahwa kenormalan biologis sebagai wanita, saya cenderung untuk ingin memperbanyak sahabat di kalangan kaum pria.
     Namun satu hal, saya hanya sampai di batas persahabatan. Tidak lebih.
     Begitulah aku tampil sehari-hari, sambil memperbanyak ilmu di bangku kuliah. Hingga pada suatu hari aku sempat berkenalan dengan seorang mahasiswa di dekat kantor pos di lingkungan PKM kampusku. Orangnya biasa saja. Dia dua tahun lebih dahulu telah bercokol di Universitas ini. Di samping kuliah, ia juga aktif dalam kelompok pencinta alam universitasku.
     Perkenalan yang sederhana itu ternyata membekas sangat dalam bagiku. Entah mengapa, simpatiku begitu besar padanya. Padahal ia kelihatan biasa-biasa saja. Tidak gagah bahkan cenderung tidak rapi dalam penampilan. Rambutnya agak panjang dengan kesan jarang tersentuh sisir. Hanya sedikit senyum di bibirnya. Tapi di matanya..oh, aku tidak kuasa melukiskan seperti apa bila aku memandangnya.
     Aku mungkin telah jatuh cinta. Tapi sungguh, kenapa saya justru berusaha untuk menyembunyikan perasaan itu. Saya ingin agar ia menjadi sahabat biasa saja seperti yang lain-lainnya. Akibatnya saya sengaja menghindarinya.
*0*0*
     Di Fakultasku, aku mempunyai seorang teman pria, Tino, yang berusaha keras mendapat perhatian lebih dariku. Mulanya memang aku memenuhi keinginannya, dengan harapan ia akan menjadi sahabat yang baik. Namun lama kelamaan ia bukannya sadar akan tujuan persahabatanku, malah menyatakan rasa cintanya kepadaku. Aku jelas tidak bisa membalasnya. Siapa sih yang bisa memaksakan cinta?
     Untuk tidak menyakiti hatinya, aku berusaha berbuat sebijak mungkin. Aku jelaskan segalanya. Tapi ternyata ia tidak bisa untuk mengerti. Bahkan aku telah diproklamirkan di antara teman-teman, sebagai pacarnya. Mulanya aku marah sekali. Namun setelah kupikir-pikir, hal itu akan membuat keretakan diantara kawan sendiri. Akhirnya kuputuskan untuk berlaku wajar seperti biasa saja, sambil berusaha menghindari dia, Tino yang tidak punya pengertian itu.
*0*0*
     Hari-hariku berjalan rutin dengan acara kuliah. Lalu di akhir semester, himpunan mahasiswa di jurusanku mengadakan acara bakti sosial. Di tempat kegiatan itu, secara kebetulan aku bertemu lagi dengan anak pencinta alam yang dulu telah merebut banyak simpatiku. Kami memang lama tidak bertemu. Aku senang sekali. Rupanya ia berada di desa itu dalam acara pendakiannya ke gunung yang menjulang di sebelah Timur sana.
     Di tempat ini, aku tidak bisa lagi menutupi rasa simpatiku padanya. Namun demikian bukan berarti aku melupakan kawan-kawan yang lain. Apalagi Tino juga ikut dalam rombongan kami. Sebenarnya aku mulai muak terhadap Tino yang belakangan ini selalu hendak memaksakan kehendaknya padaku. Tapi itulah, aku lebih menghargai nilai suatu persahabatan dibandingkan kepentingan pribadiku sendiri.
     Rombongan kami lebih dahulu meninggalkan desa itu, sehingga mau tidak mau kami berpisah dengan anak-anak pencinta alam yang masih tinggal beberapa hari lagi di sana.
     Inilah yang aneh dalam hidupku. Tanpa berfikir, tanpa pertimbangan, aku mau saja menerima begitu saja pernyataan cinta si 'dia' yang telah merebut rasa simpatiku selama ini. Di sela-sela persiapan kepulangan rombonganku, ia menemuiku sejenak sambil bercanda menyampaikan rasa hatinya padaku. Aku yang mendengarkan hanya angguk-angguk setengah sadar, karena rasa gembira dan senang yang menyeruak begitu dahsyat dari dasar hatiku.
     Sungguh lucu membayangkan, aku bisa begitu mudah menerimanya tanpa kerewelan sedikitpun di saat itu. Hanya satu hal yang kuyakini bahwa ia laki-laki yang tulus. Di teduh tatapan matanya aku melihat indahnya sinar kejujuran itu.
     Dia menyalamiku ketika aku hendak naik ke bus yang akan membawa rombonganku. Sambil menjabat tanganku ia menyelipkan lipatan kertas kecil di antara jemariku.

          di bening bola matamu
          kulihat telaga tak beriak
          aku ingin meneduh di sana
          membasuh jiwa di bening kasihmu

          lusa aku jemput ya, untuk acara di sekretariatku. jangan pake lupa.
          Aku akan langsung menjemput ke rumahmu 
          setelah meninggalkan desa ini lusa.

          -RESTU-
*0*0*
     Pukul sembilan pagi, Tino menelponku. Ia mengajak untuk makan siang. Ia kemudian menjemputku, setelah ia berjanji mengantarku pulang begitu selesai makan siang. Sebenarnya aku merasa tidak enak, tetapi tidak kutunjukkan pada Tino.
     Kami berjalan-jalan di pantai sebentar, kemudian Tino membelokkan mobilnya ke arah luar kota. Aku mengingatkannya bahwa aku ada janji sore ini. Tapi lagi-lagi ia tidak mau mengerti. Kami berputar-putar di luar kota, dan mengantar aku kembali ke rumah setelah magrib. Aku kesal sekali.
     Setibanya di rumah, adikku bilang bahwa tadi ditunggu selama hampir tiga jam oleh seseorang. Oh.. dadaku rasanya begitu sesak dan kakiku gemetaran. Itu pasti Restu yang telang menungguku. Tanpa berfikir panjang lagi, aku segera ke sekretariatnya yang juga terletak di dalam kampusku, tempat dimana ia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Tapi ia tak kutemui. Aku menunggu sampai acara selesai namun ia tak kelihatan juga. Aku pulang dengan langkah lesu.
     Sejak saat itu aku tidak pernah bertemu Restu lagi. Hingga saat ini, telah tiga tahun berlalu, dan aku tetap menunggunya. Aku ingat Restu pernah mengatakan bahwa ia belajar kesetiaan di alam. Coba lihat, betapi setianya matahari mengunjungimu setiap pagi, tanpa pernah ingkar sekalipun. Oh Restu.. akupun akan menunjukkan kesetiaanku seperti matahari itu. Cinta tulusku setia menantimu.
Makassar, Februari 1991
'ketika teknologi komunikasi belum
berkembang pesat seperti sekarang ini'
diterbitkan pertama kali 
dalam bentuk hardcopy di
bulletin lembanna Korpala Unhas
orang berakal hidup untuk masyarakatnya,
bukan untuk dirinya sendiri..

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.