Di era ini, manusia berdiri di antara layar dan algoritma, mencoba memetakan kebahagiaan di dunia yang semakin kabur batas realitasnya. Seperti penjelajah yang memegang kompas di tengah badai magnetik, Homo sapiens terombang-ambing dalam labirin informasi, inovasi, dan ilusi yang mereka ciptakan sendiri. Era 4.0 telah memberikan banyak hal: keajaiban teknologi, konektivitas tanpa batas, dan akses tak berujung ke pengetahuan. Namun, bersama semua itu, datang kecemasan yang melelahkan, seperti suara latar yang terus-menerus berbisik di telinga, mengingatkan bahwa semua yang kita bangun mungkin hanyalah fatamorgana.
Kebahagiaan kini bukan sekadar pengalaman, melainkan data yang diukur, dipilah, dan dibandingkan. Indeks kebahagiaan bermunculan di setiap sudut dunia, membawa variabel yang begitu rumit sehingga bahkan algoritma paling canggih pun terkadang tersendat. Tapi apakah angka-angka ini benar-benar mewakili apa yang dirasakan manusia? Apakah kebahagiaan bisa direduksi menjadi grafik, tabel, dan laporan tahunan? Kita menyaksikan paradoks yang mencengangkan: dalam upaya mendefinisikan kebahagiaan, kita kehilangan keintiman dengannya. Kebahagiaan yang dulu sederhana dan pribadi kini menjadi proyek publik yang dihiasi lampu sorot, seperti bintang yang dipaksa bersinar di panggung yang salah.
Obsesi terhadap kebahagiaan tidak muncul begitu saja. Ia adalah buah dari era yang menjanjikan segalanya dalam genggaman, namun sering kali meninggalkan manusia dengan tangan kosong. Harari menulis bahwa manusia modern telah menjadi pemburu kebahagiaan, tetapi seperti setiap pemburu, mereka terperangkap dalam kelelahan mengejar sesuatu yang selalu lebih cepat dari langkah mereka. Dalam perburuan ini, sapiens tidak hanya mengukur kebahagiaan mereka, tetapi juga membandingkannya dengan tetangga, kolega, dan bahkan selebritas yang tak pernah mereka temui. Media sosial menjadi arena di mana kebahagiaan dipamerkan, namun juga dikoyak-koyak oleh komentar dan algoritma yang haus perhatian.
Ironi semakin tajam ketika kita menyadari bahwa semua inovasi yang dirancang untuk membawa kenyamanan justru menciptakan bentuk baru dari ketidaknyamanan. Kehidupan yang seharusnya menjadi lebih ringan justru terasa seperti simulasi tanpa akhir, di mana manusia terus-menerus memainkan peran yang tidak mereka pilih. Beberapa, seperti Nick Bostrom, bahkan berspekulasi bahwa kita mungkin hidup dalam modul simulasi yang dirancang oleh entitas yang lebih cerdas. Jika ini benar, maka kebahagiaan kita hanyalah variabel dalam eksperimen besar yang tak pernah kita pahami. Namun, apa bedanya jika hidup adalah simulasi? Bukankah sapiens telah lama hidup dalam narasi yang mereka buat sendiri—agama, ideologi, dan sistem ekonomi?
Lihatlah ke masa lalu, ketika Galileo berdiri di hadapan Inkuisisi, ketika suara logika dan bukti ditindas demi otoritas dogma. Apakah Galileo merasa bahagia saat memperjuangkan kebenaran? Atau apakah kebahagiaan itu hanya melintas sesaat, saat ia menatap bintang-bintang melalui teleskopnya? Begitu pula dengan Stephen Hawking, yang meskipun tubuhnya terbatas, pikirannya melayang di antara bintang-bintang, mencoba memahami asal-usul alam semesta. Dalam kecemerlangannya, ia memberi kebahagiaan kepada jutaan orang yang terinspirasi oleh pemikirannya, namun juga menimbulkan kecemasan bagi mereka yang merasa bahwa Tuhan mulai kehilangan tempat dalam kosmos.
Di sisi lain, revolusi industri mengajarkan kita bahwa setiap kemajuan memiliki bayangan. Mesin-mesin yang menggantikan kerja manusia memang membawa efisiensi, tetapi juga menciptakan alienasi. Para pekerja kehilangan identitas mereka, menjadi roda kecil dalam mesin besar kapitalisme. Di dunia modern, bayangan ini tidak menghilang; ia hanya berubah bentuk. Manusia hari ini bukan lagi pekerja pabrik yang menghadap mesin, tetapi pengguna ponsel yang terus-menerus terpaku pada layar, menjadikan mereka bagian dari ekosistem digital yang tidak pernah berhenti bergerak.
Dan kini, di ambang transformasi menjadi Homo Deus, sapiens menghadapi dilema eksistensial yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jika segelintir manusia berhasil melampaui keterbatasan biologis mereka melalui teknologi, apa yang akan terjadi pada mayoritas lainnya? Apakah transformasi ini akan menjadi jalan menuju kebahagiaan baru, atau hanya menciptakan jurang yang lebih dalam antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak? Kita sudah melihat awal dari ketimpangan ini dalam bentuk akses terhadap pendidikan, teknologi, dan sumber daya, tetapi masa depan menjanjikan ketegangan yang jauh lebih besar.
Mungkin, pada akhirnya, kebahagiaan adalah kebohongan yang kita pilih untuk percaya. Seperti bintang di langit malam, ia tampak dekat namun selalu di luar jangkauan. Mungkin sapiens tidak pernah benar-benar mencari kebahagiaan, melainkan alasan untuk terus bergerak. Dan jika hidup kita adalah modul simulasi, maka entitas yang menciptakannya mungkin hanya tertawa kecil melihat kita mengejar sesuatu yang sudah ditentukan sejak awal.
Namun, di balik semua ironi ini, ada sesuatu yang tidak bisa dihapus: keberanian sapiens untuk terus mencoba. Mereka mungkin jatuh, tetapi mereka bangkit. Mereka mungkin salah, tetapi mereka belajar. Dan meskipun kebahagiaan sering kali melintas sesaat, ia cukup untuk memberi alasan bagi sapiens untuk melangkah maju, menembus kabut ketidakpastian, dan mencari cahaya baru di balik cakrawala. (part 4 of 5)
Posting Komentar
...