Bayangkan sebuah masa ketika kebahagiaan begitu sederhana, begitu dekat dengan napas harian. Sebuah waktu ketika kebahagiaan tidak diukur dengan angka atau indeks, melainkan dengan kemampuan menemukan makanan hari itu, menghindari predator, atau merasakan kehangatan api unggun bersama kelompok kecil yang saling berbagi cerita. Era pemburu-pengumpul membawa kita kembali ke asal, saat sapiens menjalani hidup yang begitu terhubung dengan alam, dengan satu sama lain, dan dengan diri mereka sendiri. Namun, di balik kebahagiaan sederhana itu, selalu ada kecemasan yang mengintai, seperti bayangan gelap yang tak pernah jauh.
Kebahagiaan, di masa itu, bukanlah tujuan. Ia adalah efek samping dari keberhasilan bertahan hidup. Ketika seorang pemburu berhasil menjatuhkan rusa di padang rumput yang luas atau seorang pengumpul menemukan buah liar di tengah hutan, kebahagiaan melintas seperti kilatan cahaya, cepat dan singkat. Tetapi tidak ada waktu untuk terlena. Sebab, di balik hutan itu, mungkin ada singa yang mengintai; di langit yang cerah, mungkin badai datang tiba-tiba. Kecemasan adalah penjaga yang selalu waspada, memastikan bahwa sapiens tidak pernah terlalu nyaman, tidak pernah terlalu puas.
Namun, mari kita tidak terlalu romantis. Kehidupan para pemburu-pengumpul memang memiliki keindahannya, tetapi juga keras dan penuh ketidakpastian. Ada bayi yang tidak pernah tumbuh dewasa, ada orang tua yang menyerah pada dingin malam, ada luka kecil yang berubah menjadi akhir hidup. Kebahagiaan di masa itu adalah kebahagiaan yang sadar akan kefanaan. Tidak ada ilusi tentang masa depan yang panjang dan penuh rencana. Sapiens hidup di sini dan sekarang, bukan karena mereka memilihnya, tetapi karena mereka tidak punya pilihan lain.
Ketika sapiens mulai mendomestikasi tanaman dan hewan, segalanya berubah. Di satu sisi, domestikasi membawa stabilitas. Tidak lagi harus bergantung pada perburuan yang tak pasti, sapiens mulai menetap, menanam, dan menyimpan hasil panen. Tapi, seperti perjanjian Faustian, stabilitas itu datang dengan harga. Sapiens tidak lagi bebas berkeliaran di alam liar; mereka menjadi tawanan ladang dan lumbung mereka sendiri. Mereka bekerja lebih keras daripada sebelumnya, membungkuk di bawah matahari, memeras tubuh mereka demi memastikan hasil panen cukup untuk musim dingin yang akan datang.
Apakah mereka bahagia? Sulit untuk dikatakan. Mungkin ada rasa bangga ketika melihat lumbung penuh gandum atau ketika anak-anak mereka tumbuh sehat berkat makanan yang cukup. Tapi ada juga kecemasan baru yang muncul: kecemasan tentang gagal panen, tentang serangan hama, tentang kekeringan yang tak berkesudahan. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang semakin sulit diraih, sementara kecemasan tumbuh seperti gulma di ladang yang baru saja ditanami.
Dan di tengah semua itu, narasi mulai muncul. Bahasa, yang awalnya hanya alat untuk berburu dan berbagi cerita sederhana, berkembang menjadi sesuatu yang jauh lebih kompleks. Sapiens mulai bertanya: Mengapa kita di sini? Apa tujuan hidup ini? Pertanyaan-pertanyaan itu adalah cikal bakal kebahagiaan dan kecemasan yang lebih mendalam. Sebab, ketika sapiens mulai mencari makna, mereka juga mulai menyadari betapa sulitnya menemukan jawaban yang memuaskan.
Kebahagiaan, yang sebelumnya begitu terkait dengan keberhasilan fisik dan material, mulai bergeser ke ranah yang lebih abstrak. Tetapi semakin abstrak kebahagiaan itu, semakin sulit pula mencapainya. Dan kecemasan pun menemukan lahan subur baru. Sebelum domestikasi, sapiens cemas tentang singa dan badai. Setelah domestikasi, mereka cemas tentang makna hidup, tentang dosa, tentang masa depan yang tak pasti.
Narasi-narasi besar mulai lahir. Agama-agama awal memberikan jawaban, memberikan harapan, memberikan alasan untuk bertahan di tengah kesulitan. Tetapi agama juga membawa aturan, membawa rasa takut, membawa kecemasan tentang apakah seseorang cukup baik, cukup patuh, cukup layak. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang dijanjikan, sesuatu yang ada di masa depan, di akhirat, bukan di sini dan sekarang. Sementara itu, kecemasan menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, bayangan gelap yang tak pernah benar-benar hilang.
Ketika sapiens melangkah keluar dari hutan dan mulai membangun peradaban, kebahagiaan dan kecemasan terus berevolusi. Dari ladang gandum hingga kuil megah, dari api unggun hingga istana yang menjulang, sapiens terus mencari, terus bertanya, terus gelisah. Kebahagiaan dan kecemasan menjadi dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, mengiringi perjalanan sapiens dari masa ke masa.
Mungkin di sinilah letak ironi terbesar dalam sejarah sapiens. Semakin kita mencari kebahagiaan, semakin banyak kecemasan yang kita temukan. Sebab kebahagiaan, seperti rusa di padang rumput, selalu bergerak lebih cepat daripada langkah kita. Dan kecemasan, seperti bayangan gelap, selalu mengikuti di belakang.
Namun, di tengah semua itu, ada satu pelajaran yang terus menerus diajarkan oleh sejarah. Kebahagiaan bukanlah sesuatu yang bisa dikejar atau dimiliki. Kebahagiaan adalah momen, adalah kilatan cahaya, adalah napas yang singkat tetapi penuh makna. Dan kecemasan, meskipun sering kali menyakitkan, adalah penjaga yang memastikan kita tidak pernah berhenti, tidak pernah puas, tidak pernah menyerah. Keduanya, kebahagiaan dan kecemasan, adalah bagian dari kita, bagian dari perjalanan sapiens yang terus berlanjut, dari masa lalu yang sederhana hingga masa depan yang tak pasti. (part 1 dari 5)
Posting Komentar
...