Di tengah panorama luas sejarah Sapiens, kebahagiaan pernah menjadi entitas yang sederhana. Ia seperti angin yang berhembus di ladang, mudah dirasakan namun sukar ditangkap. Dalam era berburu dan mengumpul, kebahagiaan hadir sebagai harmoni sederhana antara manusia, alam, dan kebutuhan biologis. Namun, ketika Sapiens mulai menjinakkan biji-bijian, membangun kota-kota pertama, dan menemukan roda, kebahagiaan mulai terbungkus dalam lapisan-lapisan baru yang penuh ironi.
Di awal peradaban, ada harapan bahwa domestikasi akan membawa kemakmuran dan keamanan. Tetapi, lihatlah bagaimana biji-bijian, yang awalnya menjadi solusi kelaparan, justru mendomestikasi manusia itu sendiri. Para petani pertama bekerja lebih keras daripada leluhur pemburu-pengumpul mereka, hidup dengan diet yang lebih miskin, dan tunduk pada ritme musim dan kalender yang tak kenal kompromi. Kebahagiaan yang dulunya bersifat instingtual kini tergantikan oleh kegelisahan baru: kecemasan akan hasil panen, ancaman kelaparan, dan ketakutan pada tetangga yang menginginkan lahan subur.
Seiring waktu, peradaban tumbuh menjadi jaringan yang semakin kompleks. Kota-kota muncul, kerajaan dibangun, dan narasi besar mulai diciptakan. Narasi ini—baik berupa mitos, agama, atau hukum—berfungsi untuk mengatur, menyatukan, dan memberikan makna. Namun, narasi ini juga membawa paradoks: kebahagiaan individu mulai tunduk pada kebahagiaan kolektif. Manusia diajari untuk percaya bahwa hidup mereka bermakna hanya jika mereka mematuhi aturan, memenuhi tugas sosial, dan menyembah entitas yang sering kali abstrak.
Bayangkan para petani yang dipaksa membayar pajak dalam bentuk gandum kepada raja mereka, atau tentara yang diminta mengorbankan nyawanya demi kejayaan sebuah imperium. Kebahagiaan mereka tak lagi menjadi hak pribadi, melainkan bagian dari mekanisme besar yang mendukung kelangsungan peradaban. Sementara itu, para penguasa dan imam besar menyebut pengorbanan ini sebagai bentuk kebajikan. Satire pedih dari situasi ini adalah bahwa banyak dari mereka yang paling sedikit berkontribusi justru yang paling banyak menikmati hasilnya.
Ketika agama-agama mulai terlembagakan, kebahagiaan mendapat dimensi baru: janji akan kebahagiaan abadi di dunia lain. Agama menawarkan narasi yang menghibur sekaligus membebani. Di satu sisi, ia memberikan pelipur lara bagi mereka yang menderita di dunia ini. Di sisi lain, ia sering kali menciptakan kecemasan tambahan, seperti rasa takut akan dosa, neraka, atau penghakiman ilahi. Dalam narasi ini, kebahagiaan menjadi sesuatu yang bersifat transenden, tidak dapat dicapai sepenuhnya di dunia ini. Dalam logika yang aneh namun efektif, kebahagiaan di dunia sering kali dikorbankan demi kebahagiaan di akhirat.
Namun, agama bukan satu-satunya narasi besar yang memengaruhi kebahagiaan Sapiens. Filsafat, yang muncul di Yunani kuno dan menyebar ke seluruh dunia, menawarkan alternatif yang lebih rasional. Para filsuf berusaha mendefinisikan kebahagiaan dalam kerangka logis: Aristoteles dengan eudaimonia-nya, Epicurus dengan hedonismenya yang penuh kehati-hatian, dan Stoik dengan ketenangan jiwa mereka. Namun, di balik logika dan kebijaksanaan ini, ada ironi yang mendalam: semakin manusia berusaha memahami kebahagiaan, semakin sulit rasanya untuk mencapainya.
Filsafat membuka pintu menuju refleksi mendalam, tetapi juga menciptakan kelelahan mental. Sebuah hentakan retorika mungkin diperlukan di sini: apakah kita benar-benar membutuhkan filsafat untuk hidup bahagia, atau justru filsafat itu sendiri yang mencuri kebahagiaan kita? Seorang petani sederhana yang bekerja di ladang tanpa memikirkan makna hidup mungkin lebih bahagia daripada seorang filsuf yang menghabiskan malamnya merenungkan absurditas keberadaan.
Lalu datanglah abad-abad di mana penguasa dan tentara menjadi aktor utama dalam panggung sejarah. Mereka memperluas wilayah, menaklukkan bangsa-bangsa, dan membangun monumen-monumen megah sebagai simbol kejayaan. Namun, di balik kemegahan ini, ada lautan penderitaan. Kebahagiaan para raja sering kali dibayar dengan darah rakyatnya. Perang membawa kehancuran, kelaparan, dan penyakit, menciptakan kecemasan yang terus-menerus menghantui masyarakat. Namun, ironi terbesar mungkin adalah bahwa perang juga memberikan kesempatan bagi kebahagiaan yang singkat dan aneh: kemenangan dalam pertempuran, persatuan melawan musuh bersama, atau bahkan kesadaran akan kematian yang mendorong manusia untuk hidup lebih intens.
Sebelum era Pencerahan, kebahagiaan manusia masih terjebak dalam tarik-menarik antara tradisi, dogma, dan realitas sosial. Para raja, imam, dan filsuf menciptakan narasi-narasi besar yang mengarahkan hidup manusia, tetapi juga membatasi mereka. Kebahagiaan menjadi sesuatu yang bersifat hierarkis, sering kali hanya dapat dinikmati oleh segelintir elit yang berada di puncak piramida sosial. Sementara itu, mayoritas manusia menjalani hidup dalam kecemasan yang tak berkesudahan, entah itu kecemasan akan gagal panen, serangan musuh, atau penghakiman Tuhan.
Namun, meskipun kebahagiaan sering kali menjadi komoditas langka, manusia tidak pernah berhenti mencarinya. Mereka menciptakan seni, musik, dan sastra sebagai pelarian dari kerasnya hidup. Mereka membangun komunitas-komunitas kecil di mana kebahagiaan dapat ditemukan dalam cinta, persahabatan, dan solidaritas. Mereka bermimpi tentang dunia yang lebih baik, bahkan ketika kenyataan tampaknya terus mengecewakan mereka.
Di akhir era ini, sebelum Pencerahan menyinari dunia dengan ide-ide baru, kebahagiaan manusia masih merupakan paradoks besar. Ia adalah sesuatu yang dicari, tetapi sering kali tak dapat ditemukan. Ia adalah sesuatu yang diinginkan, tetapi sering kali dihalangi oleh sistem yang mereka ciptakan sendiri. Dalam ironi yang pahit, kebahagiaan menjadi salah satu misteri terbesar yang terus mendefinisikan perjalanan Sapiens di bumi. (part 2 of 5)
Posting Komentar
...