Copernicus, dengan segenap keberaniannya, mengguncang fondasi kosmologi abad pertengahan ketika ia menyatakan bahwa Bumi bukanlah pusat semesta. Baginya, heliosentrisme bukan sekadar gagasan matematis tetapi juga sebuah pembebasan intelektual. Namun, tanggapan dunia tak seindah visi bintang-bintang yang ia lihat. Gereja, dengan otoritas tak terbantahkan pada zamannya, mencambuk gagasan itu dengan ancaman dan kutukan. "Bagaimana mungkin manusia, makhluk ciptaan Tuhan yang sempurna, tidak ditempatkan di pusat segala sesuatu?" demikian suara dogma, menolak keras ide bahwa matahari adalah pusat tata surya. Copernicus, meski tidak dihukum langsung, menjadi saksi betapa gagasan-gagasan radikal sering kali dianggap dosa yang tak terampuni.
Lalu datang Galileo, sang penantang langit dan bumi. Dengan teleskop yang dirakit oleh tangannya sendiri, ia menatap bulan yang berkerut dan menemukan Jupiter yang dikelilingi satelit-satelit kecil. Bukti-bukti itu merobohkan keyakinan kuno. Tetapi, alih-alih disambut dengan perayaan atas pengetahuan baru, ia dihadapkan pada pengadilan inkvisisi. Institusi gereja, yang merasa terguncang, berteriak: "Tarik kembali! Atau terima nasibmu di bawah bayang tiang gantung." Galileo, seorang ilmuwan sekaligus manusia fana, akhirnya berbisik dalam penyesalan palsunya, "Eppur si muove" (Namun, ia tetap bergerak). Ironi melengkung di langit itu. Dogma dan otoritas agama, yang seharusnya menyemai keimanan, malah menjadi belenggu bagi kebenaran.
Namun ironi tak hanya bersemayam di sana. Ketika abad-abad berlalu, sains mulai menemukan tempatnya, dan kedokteran mencatat kemajuan yang luar biasa. Tubuh manusia, yang dahulu dipahami sebagai "wadah roh" dalam kosmologi mistis, kini dipetakan melalui anatomi, biokimia, dan teknologi. Penyakit yang dahulu dianggap kutukan, kini didiagnosis dan diobati dengan presisi. Namun, apa yang terjadi? Di pelosok-pelosok dunia, para dukun masih sibuk merapal mantra. Orang-orang yang merasa dirinya tercerahkan tak segan-segan menyodorkan tubuhnya untuk "disembuhkan" oleh ramuan klenik atau sapu lidi keramat. Bagaimana mungkin dunia yang sama yang merayakan vaksin dan MRI, masih memuja asap dupa dan doa-doa tanpa bukti?
Sementara itu di abad ke-20, Stephen Hawking dengan tubuhnya yang lumpuh total, berbicara melalui suara mesin dan membimbing dunia menuju pemahaman tentang lubang hitam, singularitas, dan asal-usul alam semesta. Hawking, dengan ironi tajamnya, menyebut bahwa "surga adalah dongeng bagi mereka yang takut pada kegelapan." Pernyataannya menggemparkan dunia, dan bukan sedikit yang berusaha membantahnya dengan mengutip kitab suci. Hawking, yang tubuhnya rapuh namun pikirannya melesat seperti foton, menunjukkan kekuatan sains di tengah keyakinan yang masih bergantung pada metafor kuno. Namun, pertanyaannya, apakah kita benar-benar mendengarkan?
Friedrich Nietzsche di sudut lain, dengan palu filsafatnya, mengumumkan kematian Tuhan. Bukan dalam arti literal, tetapi sebagai pernyataan tentang kehilangan makna dalam dunia modern. Nietzsche, dengan lirih sekaligus penuh kemarahan, menatap zaman yang dipenuhi dengan penguasa-penguasa kecil yang berlindung di balik jubah moralitas. Ia menyerukan agar manusia melampaui dirinya sendiri, menjadi “Übermensch” yang mendefinisikan ulang nilai-nilai. Tetapi ironinya, dunia yang Nietzsche prediksi akan menggantikan agama dengan kebebasan justru menciptakan dewa-dewa baru: kapitalisme, teknologi, dan hedonisme.
Di tengah benturan ini, para filsuf dan agamawan sibuk berdialog — atau saling melempar batu — tentang makna hidup. Para ilmuwan, dengan dinginnya data, mencoba menjelaskan bahwa kebahagiaan hanyalah reaksi kimia di otak. Sementara itu, sastrawan dan seniman terus mengolah perasaan manusia dalam narasi cinta, perang, dan kegelisahan eksistensial. Dunia ini, dengan segala peradabannya, seperti berada dalam pertunjukan teater absurd, di mana setiap aktor bermain dengan naskahnya sendiri. Ada yang tertawa, ada yang menangis, tetapi tak satu pun yang tahu akhir cerita.
Ironi terbesar mungkin terletak pada manusia modern itu sendiri. Kita, yang begitu bangga dengan akal dan kemajuan, kini menjadi budak dari layar-layar kecil di tangan kita. Kita, yang berbicara tentang kebebasan dan individualitas, justru membiarkan algoritma menentukan apa yang harus kita baca, beli, atau pikirkan. Kita, yang berjuang untuk melawan dogma lama, menciptakan dogma baru dalam bentuk ideologi, konsumerisme, atau tren media sosial. Stephen Hawking mungkin benar bahwa surga adalah dongeng, tetapi mungkin kita sedang menciptakan dongeng baru yang lebih destruktif.
Galileo, Copernicus, Hawking, Nietzsche — mereka semua adalah suara-suara yang menantang narasi dominan. Mereka mengingatkan kita bahwa kebahagiaan dan kebenaran tidak pernah datang tanpa perjuangan. Namun, di tengah segala kemajuan dan konflik, kita perlu bertanya: Apakah kita masih mampu mendengar suara-suara itu? Ataukah kita terlalu sibuk mengejar kebahagiaan instan, hingga lupa bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam kegelisahan, perjuangan, dan keberanian untuk mempertanyakan?
Esai ini adalah cermin yang memantulkan ironi zaman. Kita, Homo sapiens, yang pernah mengangkat kepala untuk menatap bintang, kini lebih sering menunduk untuk menggulir layar ponsel. Kita, yang pernah menantang dewa-dewa, kini menciptakan dewa-dewa baru yang lebih subtil tetapi tak kalah menuntut. Pertanyaannya, apakah kita akan melanjutkan perjalanan ini dengan kesadaran penuh, atau hanya menjadi pion dalam permainan yang bahkan tidak kita pahami?
Di akhir narasi ini, kita tidak hanya membutuhkan jawaban, tetapi juga keberanian untuk bertanya lebih jauh. Karena, seperti kata Nietzsche, "Manusia adalah sesuatu yang harus diatasi." Tapi, siapa yang akan melakukannya jika kita bahkan tidak tahu apa yang sedang kita tuju? (part 3 of 5)
Posting Komentar
...