Hipokrisi Standar Ganda dalam Teater Kemanusiaan

     Layar ponsel menyala bagai panggung darurat yang memantulkan cahaya kecemasan. Sebuah video pendek bergulir: serombongan remaja berseragam sekolah—wajah-wajah keras melebihi usia, mata memandang dingin ke kamera—diangkut truk dinas menuju kamp pelatihan militer. Sang gubernur, dengan raut lelah pejabat yang kehabisan akal, menyebut ini "tindakan darurat bagi yang sudah mengganggu ketertiban umum." 

     Langit media sosial mendadak petir. Aktivis hak anak bersenjatakan pasal Konvensi Hak Anak dan UU Perlindungan Anak menyerbu kolom komentar. Influencer pendidikan berpidato tentang pedagogi kritis ala Freire. Warganet berkicau tentang "dehumanisasi" dan "trauma masa depan". Padahal, di feed yang sama seminggu sebelumnya, video remaja itu menghajar tukang becak hingga babak belur hanya mendapat 43 like dan dua komentar pendek: "bangsat lu" dan "anak jaman now kok kaya preman". Tak ada petisi, tak ada tagar, tak ada webinar darurat. Kekerasan remaja adalah hantu yang kita akui keberadaannya hanya ketika hantu itu dipenjara oleh negara.

     Di luar gelombang kemarahan digital, epidemi sunyi terus merayap. Tawuran pelajar di pinggiran Jakarta, perundungan sistematis di sekolah favorit, pemalakan anak SMP terhadap kawan sekelasnya—semua adalah berita hujan sore yang kita baca sambil menyeruput kopi, lalu bergulir seperti gorengan basi keesokan harinya. LSM pendidikan menggelar seminar bertajuk "Pendidikan Ramah Anak" di ballroom hotel berbintang, sementara di kolong jembatan tepat di bawah hotel itu, anak-anak jalanan berebut lem aibon tanpa pernah disentuh oleh kurikulum "ramah" tadi. Ada satir getir dalam kemewahan ini: kita lebih getol mengutuk rendang basi di kantin sekolah daripada kebusukan sistem yang membiarkan remaja tumbuh menjadi predator kecil. Ironinya: ketika seorang guru di Simalungun melerai murid berkelahi dan justru ditahan polisi karena dituduh menganiaya—tidak ada ribut-ribut aktivis. Tapi begitu gubernur bertindak, kita tiba-tiba jadi ahli pendidikan progresif.

     Di tengah debat yang memanas, paradoks paling telanjang menguak: masyarakat kita memeluk standar ganda yang elastis seperti karet gelang. Di pesantren-pesantren tertentu, latihan fisik ala militer—lari pagi dengan batu di punggung, push-up di atas kerikil—disebut "riyadhah ruhiyah". Orang tua memuji: "Anak saya jadi disiplin, lebih khusyuk salat." Di sekolah berbasis agama, program "mental jihad" menerapkan disiplin tentara: baris-berbaris hingga malam, hukuman fisik untuk kesalahan kecil. Tak ada kecaman. Tak ada tagar #StopKekerasan. Tapi begitu negara—lewat gubernur—mengadopsi metode serupa untuk remaja yang mencopet dan menjambret, seluruh negeri berteriak "FASISME!". Logika ini berbau munafik: kekerasan jadi suci bila dibungkus agama, tapi jadi keji bila diberi stempel negara. Padahal sama-sama memakai pentungan, beda hanya di labelnya.

     Media sosial pun menjelma mesin penghasil amnesia kolektif. Polanya ritualistik: video remaja menganiaya kucing atau memukuli guru akan viral 1-2 hari, disertai komentar "Dasar anak setan!" lalu tenggelam. Ketika kebijakan gubernur muncul, banjirlah analisis tentang trauma psikologis dan pendidikan Finlandia. Setelah puas mencaci, kita beralih ke isu berikutnya—seperti menteri yang pakai jam mewah atau artis yang selingkuh. Ritual ini adalah pencucian dosa. Dengan mengutuk kebijakan gubernur, kita menikmati moral superiority—ilusi bahwa kita lebih manusiawi daripada negara yang otoriter. Padahal, teriakan kita justru mengaburkan diam kita yang panjang. Kita bagai pramusaji di restoran bangkrut: sibuk menghidangkan kritik pedas pada piring kebijakan gubernur, tapi lupa dapur kita sendiri penuh tikus yang menggerogoti bahan-bahan solusi.

     Di sudut kota dekat lokasi remaja "nakal" itu ditangkap, sebuah warung kopi kecil tetap buka. Ibu penjaganya—perempuan lima puluh tahun dengan mata lelah dan tangan pecah-pecah—memandang video kecaman aktivis di hape yang retak layarnya. "Mereka baru datang pas anaknya dibawa pak gubernur," bisiknya pada pelanggan. "Tapi kemarin-kemarin, waktu Farel mencopet uang jajan anak saya di depan warung, tak satu pun yang nongol. Polisi? Laporan saya malah ditertawakan. ‘Kebanyakan baca berita,’ kata pak RT." Di meja sebelah, seorang bapak menyeruput kopinya pahit: "Saya dukung pak gubernur. Anak saya pernah dipukuli mereka karena tidak mau kasih rokok. LSM mana peduli? Tapi sekarang mereka ribut seolah-olah anak itu malaikat yang dituduh sebagai iblis."

     Kita ibarat koin-koin receh dalam celengan retak: sibuk berdebat cara merapikan kepingan logam, tapi tak sadar celengannya bocor di mana-mana. Kebisingan tentang "pendidikan manusiawi" terdengar hampa—bak seminar diet sehat di tengah kelaparan. Kita marah pada solusi darurat, tapi bisu pada akar masalah: keluarga berantakan tanpa pendampingan, sekolah yang hanya mengejar nilai ujian, lingkungan kumuh yang jadi sarang kekerasan. Esai ini bukan pembenaran bagi militerisasi pendidikan. Ini adalah cermin retak bagi kita semua: masyarakat yang sibuk menjadi pahlawan di teater virtual, sementara di panggung nyata, kita membiarkan remaja-remaja itu jatuh ke jurang—lalu berteriak kencang ketika negara mengangkat mereka dengan cara yang kasar.

Kita mengutuk gubernur karena
mengirim anak ke kamp militer,
tapi tuli pada jeritan mereka
saat kamp bernama ‘kehidupan’
telah lama menjerumuskan mereka
ke medan perang tanpa seragam.
     Kritik paling pedas bukan untuk gubernur yang kebingungan, melainkan untuk kita—penonton yang bertepuk tangan saat panggung kebakaran, lalu menyalahkan pemadam karena membasahi kursi velvet kita. Ketika lampu teater padam, yang tersisa hanyalah bayang-bayang remaja yang terlupakan dan gema hipokrisi kita yang menggema di ruang hampa.

      Tak sulit menemukan senyum seorang guru yang tulus saat menyampaikan materi. Tetapi sering kali, di balik senyum itu, tersembunyi hasrat lama yang diwariskan sejarah: hasrat untuk menundukkan, menaklukkan, membentuk manusia bukan sebagai makhluk sadar, tetapi sebagai makhluk jinak. Pendidikan, yang dalam utopia filsuf selalu dibayangkan sebagai cahaya pembebas, dalam praktiknya terlalu sering menjadi lorong gelap tempat gema cambuk terdengar lebih nyaring daripada suara dialog.

     Warisan kekerasan dalam pendidikan Indonesia sering dipetakan pada masa kolonial Belanda, dan itu benar. Namun akar-akarnya jauh lebih tua—menjulur melewati Eropa abad ke-17, menembus Romawi dan Sparta, hingga ke kebijaksanaan Timur yang tampaknya lembut, tetapi menyimpan disiplin sekeras batu. Bahkan Konfusius, sang nabi moral dari Tiongkok Kuno, meletakkan dasar bagi ketaatan absolut dalam relasi orang tua-anak dan guru-murid, yang menumbuhkan sistem sosial yang hirarkis dan rigid. Di titik inilah, kita perlu bertanya ulang: mungkinkah kekerasan telah lama ditanamkan bukan hanya dalam institusi, tetapi juga dalam memori genetik manusia sebagai cara untuk bertahan dalam tatanan sosial?

     Dalam masyarakat agraris kuno, anak-anak sering dipandang seperti ternak liar—harus "dipatahkan" sebelum menjadi berguna. Analogi kuda bukanlah hiperbola. Di banyak tempat, mendidik anak berarti "melatih" tubuh dan pikirannya agar patuh pada peran sosial. Di Sparta, bocah-bocah dilempar ke medan keras sejak dini agar menjadi prajurit. Di Cina, anak-anak yang keras kepala dipaksa taat dengan bambu. Di Romawi, hukuman adalah jalan menuju moralitas. Pendidikan adalah alat domestikasi.

     Kekerasan dalam sistem seperti ini bukanlah penyimpangan. Ia adalah norma. Ia dilembagakan, dinarasikan, bahkan disucikan. Dalam banyak kitab dan tradisi agama, pukulan pada anak sering dilukiskan sebagai bentuk cinta. "Siapa yang mencintai anaknya akan menghajarnya," kata sebuah petuah lama. Kekerasan dijadikan ritual suci untuk membentuk moral. Lihat bagaimana frasa seperti “rotan tak mematahkan tulang” hidup subur bahkan di ruang-ruang keluarga modern. Di sini cinta dan kekerasan menikah secara ideologis. Dan hasilnya? Generasi yang menyamakan kasih sayang dengan rasa takut.

     Ketika kolonialisme datang, ia tidak memperkenalkan kekerasan dalam pendidikan. Ia hanya memodernisasi dan menginstitusikannya. Di Hindia Belanda, pendidikan dibentuk bukan untuk mencerdaskan atau memerdekakan, tetapi untuk menjinakkan. Sekolah-sekolah rakyat (HIS, MULO, dll.) hanyalah pabrik untuk mencetak pelayan setia bagi sistem kolonial: tertib, diam, bekerja keras, dan tidak banyak bertanya. Tubuh anak adalah medan tempur: siapa yang tidak patuh, harus dikendalikan. Siapa yang terlalu aktif, harus “didinginkan”. Dan siapa yang bertanya terlalu banyak, harus diam.

     Konsep ini selaras dengan gagasan disciplinary society yang dikemukakan oleh Foucault: sekolah menjadi semacam panoptikon—ruang pengawasan konstan—di mana murid belajar bahwa mereka selalu diawasi, dinilai, dan diberi peringkat. Guru tidak lagi menjadi pemandu, tetapi algojo kecil yang menjalankan logika kekuasaan. Maka jangan heran, jika hingga kini, murid Indonesia sering kali hanya menghafal, bukan memahami. Bertanya menjadi tindakan politis yang mencurigakan. Dan diam adalah kebijakan hidup yang aman.

     Setelah kemerdekaan, kekerasan dalam pendidikan tidak dibongkar—ia diwarisi. Negara baru membutuhkan aparatus yang bisa mencetak warga negara yang tertib. Sistem kolonial tetap menjadi cetakan dasar. Hanya lukisannya yang berganti. Jika dulu atas nama "peradaban", kini atas nama "karakter bangsa". Jika dulu untuk "memelihara ketertiban", kini untuk "membangun disiplin nasional". Tapi struktur dasarnya tetap: pendidikan adalah proses penjinakan. Tubuh dan pikiran anak harus dibentuk, bukan dibebaskan.

     Yang lebih ironis: masyarakat mendukungnya. Kita mencintai sekolah-sekolah yang “keras” karena percaya bahwa penderitaan mendidik. Kita bangga jika anak kita pulang dengan cerita tentang hukuman, karena berarti mereka “dibentuk”. Kita mengirim anak-anak ke pesantren keras atau pelatihan semi-militer, berharap mereka kembali sebagai manusia kuat, bukan sebagai manusia sadar. Kita telah menjadikan kekerasan sebagai metode cinta dan ketakutan sebagai pondasi moralitas.

     Padahal, kekerasan tidak pernah menghasilkan kesadaran. Ia menghasilkan dua hal: trauma dan kepatuhan kosong. Anak yang dipukul bisa jadi akan tertib, tetapi itu bukan karena ia mengerti mengapa harus tertib, melainkan karena ia takut. Dan ketertiban yang lahir dari rasa takut hanya menunda ledakan pembangkangan di masa depan. Di ruang kelas, anak-anak belajar menyembunyikan pikiran, bukan menyuarakannya. Mereka belajar untuk patuh saat diawasi, dan memberontak saat bebas. Pendidikan semacam ini tidak menciptakan warga negara. Ia menciptakan dua jenis manusia: penakut dan munafik.

     Tak bisa tidak, kita harus menyebutkan satu aktor penting lain: militer. Model pendidikan militeristik—yang berbasis perintah, hukuman, dan disiplin refleksif—sebenarnya masuk akal dalam konteks perang. Di medan tempur, berpikir bisa berarti mati. Tetapi ketika model ini diimpor ke ruang sipil—ke sekolah, madrasah, bahkan taman kanak-kanak—maka yang terjadi adalah bencana diam-diam. Sekolah berubah menjadi barak, guru menjadi komandan, dan murid menjadi prajurit yang harus belajar menurut sebelum tahu mengapa mereka menurut.

Lalu bagaimana kita bisa keluar dari lingkaran ini?

     Paulo Freire, dalam Pedagogy of the Oppressed, menyebut pendidikan tradisional sebagai “banking model”—murid dianggap celengan kosong yang harus diisi. Tidak ada dialog. Tidak ada pengalaman. Hanya transfer informasi dari yang kuat ke yang lemah. Solusinya? Pendidikan dialogis: menghormati pengalaman hidup murid, menjadikan mereka subjek pembelajar yang aktif. Guru bukan pemilik pengetahuan, tetapi mitra dalam pencarian makna.

     Montessori, dengan pendekatan yang hampir bertolak belakang dari model militeristik, menekankan kebebasan bertanggung jawab dan stimulasi sensorik. Anak bukan prajurit yang harus dilatih, tetapi organisme hidup yang tumbuh. Pendidikan adalah pendampingan, bukan pemaksaan.

     Namun perubahan model saja tidak cukup. Yang harus dibongkar adalah struktur relasi dan kesadaran kolektif. Kita harus mengubah pandangan bahwa mendidik berarti menaklukkan. Bahwa mendisiplinkan berarti menakuti. Dan bahwa cinta berarti menghukum.

     Kemerdekaan Indonesia belum masuk ke ruang kelas. Ia tertahan di pagar sekolah, dicegat oleh buku pelajaran yang kaku, silabus yang membosankan, dan guru yang dididik untuk mengajar seperti tukang cetak. Kita tidak hanya mewarisi gedung dan kurikulum dari kolonialisme. Kita mewarisi cara pandang—bahwa murid adalah objek, bukan subjek.

     Maka, jika kita ingin mendidik generasi yang merdeka, kita harus mulai dengan mengenali bahwa sebagian besar dari cara kita mendidik hari ini adalah bentuk penindasan halus. Kita harus punya keberanian untuk mengatakan: kekerasan, sekecil apapun, bukan cara untuk mendidik. Ia adalah cara untuk menjinakkan. Dan bangsa yang besar tidak dibentuk oleh anak-anak jinak, tetapi oleh manusia yang sadar akan hak, tanggung jawab, dan martabatnya.

     Pendidikan bukan hanya proyek masa depan. Ia juga pertaruhan atas bagaimana kita memaknai masa lalu. Jika kita terus mewarisi kekerasan sebagai cara, maka kita bukan sedang mendidik generasi mendatang, tetapi sedang membentuk kembali rantai perbudakan dalam bentuk yang lebih sopan.

     Dan dalam hal ini, sejarah tidak akan memaafkan kita.

     Di ruang tunggu abad ke-21, kita duduk bersama mayat pendidikan yang terbaring kaku. Mayat itu dikelilingi oleh para dokter—teknokrat dengan stetoskop data, ekonom dengan pisau bedah kurikulum standar, dan politisi yang menyuntikkan mantra “daya saing global” ke dalam nadinya. Tubuh pendidikan dibedah: otaknya diganti dengan algoritma, jantungnya dipompa oleh target kapital, dan jiwanya dikubur di bawah bendera efisiensi. Tapi tak seorang pun bertanya: Untuk apa semua ini? Neil Postman, sang nabi pesimis yang berani, berbisik dari balik halaman bukunya: Kita lupa bahwa pendidikan butuh jiwa, bukan sekadar tubuh yang terlatih.

     Postman bukan penentang kemajuan. Ia hanya ingin kita berhenti sejenak, mencium bau formalin yang menyengat dari ruang bedah ini, dan bertanya: Apa yang sebenarnya kita obati? Pendidikan, katanya, telah kehilangan narasi besar—cerita-cerita yang memberi makna pada angka-angka di rapor, pada gelar yang digantung di dinding, pada kelas-kelas yang dipenuhi layar komputer. Tanpa narasi itu, pendidikan hanyalah ritual kosong: murid-murid menari di atas panggung ujian standar, dosen-dosen menjadi DJ yang memutar slide presentasi, dan kurikulum berubah jadi menu fast food yang memuaskan selera pasar, tapi meracuni pikiran.

     Di sini, Postman menawarkan pisau bedah yang berbeda. Bukan untuk mengeluarkan organ, tapi untuk menanamkan jiwa. Katanya, pendidikan harus menjadi taman filsafat tempat manusia belajar bertanya: Siapa aku? Apa arti hidup yang baik? Bagaimana aku berdiri di tengah hiruk-pikuk sejarah dan alam semesta? Tapi lihatlah: taman-taman itu kini diganti oleh pabrik. Di pabrik-pabrik bernama institusi pendidikan, siswa dijuluki “SDM”—Sumber Daya Manusia—sebuah istilah yang lebih pantas disematkan pada mesin fotokopi ketimbang makhluk berpikir. Mereka diproses dalam ban berjalan: TK ke SD, SD ke SMP, SMP ke kampus, lalu ke pasar kerja. Di setiap tahap, mereka diberi stempel “kompeten” berdasarkan kemampuan menjawab soal pilihan ganda, bukan kemampuan menjawab pertanyaan hidup.

     Lalu datanglah para penyelamat dengan jubah teknologi. “Digitalisasi!” seru mereka, seolah-olah tablet dan AI bisa menggantikan seorang guru yang duduk diam-diam mendengarkan kegelisahan muridnya tentang makna keadilan. Postman tertawa getir: Teknologi adalah tamu yang sopan, tapi tuan rumah yang buruk. Ia mengingatkan kita bahwa komputer bisa menjawab “bagaimana”, tapi tak pernah bisa menjawab “mengapa”. Di kelas-kelas virtual, mahasiswa mungkin menguasai coding, tapi siapa yang mengajarkan mereka mengkode etika? Di balik webinar interaktif, siapa yang mendorong mereka untuk berdialog dengan diri sendiri?

     Inilah tragedi terbesar: pendidikan yang seharusnya menjadi laboratorium kebijaksanaan, direduksi jadi bengkel keterampilan. Postman menunjuk lima hantu yang menggerogoti jiwa pendidikan:

     Pertama, Hantu Ekonomi yang berbisik: “Ajari mereka jadi pekerja, bukan pemikir!” Kedua, Hantu Teknofilia yang memuja layar sentuh lebih dari sentuhan manusia. Ketiga, Hantu Konsumerisme yang menjual gelar seperti produk diskonan. Keempat, Hantu Nasionalisme Sempit yang mengubah ruang kelas jadi pabrik bendera. Kelima, Hantu Birokrasi yang mengukur keberhasilan dengan angka, bukan dengan kedalaman pertanyaan yang diajukan siswa.

     Tapi Postman bukan pesimis tanpa harapan. Ia menawarkan lima mantra penangkal—lima narasi yang bisa menghidupkan kembali jiwa pendidikan:

  1. Bumi sebagai Pesawat Luar Angkasa: Bayangkan jika setiap pelajaran—fisika, sastra, ekonomi—diikat oleh kesadaran bahwa kita hanyalah penumpang sementara di kapal bernama Bumi. Seorang guru kimia tak hanya mengajarkan tabel periodik, tapi juga bertanya: Bagaimana reaksi kimia kita terhadap laut yang tercemar? Seorang dosen arsitektur tak hanya menggambar gedung, tapi merenung: Bagaimana membangun tanpa merusak rumah semut di tanah?

  2. Manusia yang Tersandung: Pendidikan harusnya ruang untuk gagal, bukan pabrik kesempurnaan. Postman ingin kita mengajari mahasiswa bahwa Socrates mati karena bertanya, Galileo dihukum karena ragu, dan Einstein tersandung ratusan kali sebelum menemukan relativitas. Di kampus-kampus, kita perlu lebih banyak ruang kesalahan ketimbang ruang penghakiman.

  3. Demokrasi sebagai Pertanyaan, Bukan Jawaban: Di kelas filsafat politik, seorang profesor bukanlah dewa yang memberi kuliah tentang teori Rousseau. Ia adalah pemandu yang membawa mahasiswa ke tengah hutan pertanyaan: Apakah voting cukup disebut demokrasi? Bagaimana jika kebebasan berbenturan dengan keadilan? Pendidikan demokrasi bukan tentang hafalan UUD, tapi tentang latihan mendengar suara yang tak sejalan dengan kita.

  4. Keragaman sebagai Bahasa Universal: Sebuah universitas yang hanya mengajarkan “kebenaran tunggal” adalah penjara pikiran. Postman membayangkan ruang diskusi tempat mahasiswa teknik duduk berdampingan dengan seniman, tempat teori ekonomi neoliberal digugat oleh puisi Rendra, tempat data statistik berdialog dengan mitos kuno.

  5. Kata-kata sebagai Cermin Diri: Di era banjir informasi, Postman ingin pendidikan mengajarkan literasi tragis—kemampuan membaca dunia sambil menyadari bahwa setiap kata bisa jadi pedang atau bunga. Seorang guru bahasa bukan hanya mengoreksi tata kalimat, tapi menggali: Kata-kata apa yang kaupilih untuk menggambarkan cinta? Apakah algoritma media sosial telah mencuri bahasamu?

     Di tengah semua narasi ini, ada sosok yang sering dilupakan: guru sebagai pemandu filosofis. Postman menangis melihat guru-guru yang terpenjara oleh administrasi, dikejar target kurikulum, dan dipaksa jadi operator PowerPoint. Ia membayangkan guru yang berani tidak tahu, yang lebih bangga mengajak muridnya tersesat di hutan pertanyaan daripada cepat sampai di tujuan. Seorang pemandu filosofis bukanlah penceramah di podium, tapi pendengar yang duduk di lantai bersama murid-muridnya, membuka peta-peta kuno kebijaksanaan, dan berkata: Mari kita berjalan bersama. Aku tak tahu jalan keluarnya, tapi mari kita cari sambil bertanya.

     Di perguruan tinggi, dosen-dosen seharusnya menjadi penjaga api intelektual, bukan pengawas sistem kredit semester. Postman membayangkan ruang kuliah tanpa silabus ketat—tempat mahasiswa kedokteran bisa mendiskusikan novel The Plague karya Camus untuk memahami sisi manusiawi dari wabah, atau mahasiswa teknik mesin yang membaca puisi T.S. Eliot untuk merenungkan makna kemajuan teknologi.

     Tapi lihatlah realitas: guru-guru hebat terengah-engah di bawah beban mengoreksi 300 lembar ujian esai. Dosen-dosen brilian terjebak dalam pertarungan publikasi jurnal internasional. Di sini, Postman mungkin akan menyindir dengan lembut: Kita sibuk mengukur ketinggian menara gading, sampai lupa bahwa menara itu dibangun di atas rawa-rawa makna.

     Lantas, bagaimana? Postman tak memberi manual praktis. Ia hanya menyalakan lilin di kegelapan. Pendidikan, katanya, harus kembali ke pertanyaan-pertanyaan yang membuat Plato tak bisa tidur: Apa itu kebenaran? Bagaimana hidup yang adil? Apa arti menjadi manusia? Ini bukan tugas ringan. Tapi lihatlah anak-anak kecil yang tak henti bertanya “mengapa?”—mereka adalah ahli filosofi alami yang pendidikannya belum terkontaminasi oleh jawaban-jawaban instan.

     Mungkin inilah saatnya mengembalikan “mengapa?” sebagai mantra suci di setiap ruang kelas. Seorang guru matematika bisa mengubah pelajaran aljabar menjadi petualangan: Mengapa angka-angka ini bersikeras mengikuti pola? Apa hubungannya dengan simetri di sayap kupu-kupu? Seorang dosen hukum bisa menggugat: Mengapa kita patuh pada aturan? Bagaimana jika aturan itu sendiri tak adil?

     Di akhir bukunya, Postman seperti berbisik: Pendidikan bukan tentang mencetak manusia yang bisa menjawab semua soal ujian, tapi tentang menciptakan manusia yang berani menggugat semua jawaban. Tugas kita sekarang adalah merobek plastik pembungkus mayat pendidikan itu, membiarkannya bernapas kembali dengan udara segar pertanyaan-pertanyaan liar.

     Mungkin, di suatu pagi, seorang mahasiswa akan bertanya kepada dosennya: Jika Einstein bisa membengkokkan waktu dengan relativitas, bisakah kita membengkokkan sistem pendidikan yang kaku ini? Dan sang dosen, alih-alih memberi nilai, akan tersenyum: Mari kita cari jawabannya sambil tersesat bersama.

     Di situlah pendidikan kembali menjadi hidup.


book: The End of Education  Neil Postman

     Di bawah lampu neon dunia maya, di mana cuitan-cuitan di X beterbangan seperti nyamuk di musim hujan, politik Indonesia adalah teater absurd yang tak pernah tutup. Para aktornya, dengan jubah kebesaran dan senyum yang terlalu rapi, memainkan drama penuh intrik, di mana kebohongan kadang lebih manis daripada kebenaran. Seorang warganet, dengan jari lincah di layar ponsel, menulis: “Politik adalah satu-satunya profesi di mana Anda bisa berbohong, mencuri, menipu, dan tetap dihormati.” Kalimat itu, bagai pisau yang tersenyum, memotong tirai kemunafikan, mengundang tawa sekaligus kepedihan. Tapi, di balik sorak-sorai digital ini, apa yang sebenarnya kita saksikan? Sandiwara murahan, atau cermin jiwa bangsa yang resah, menolak diam di tengah janji-janji yang menguap?

     Bayangkan sebuah pasar malam di X, di mana kios-kios virtual berjejer, menjajakan harapan dengan harga satu suara. Di satu sudut, seorang politisi, dengan ijazah yang mungkin asli tapi nurani yang patut diragukan, berorasi tentang “keadilan sosial” sambil mengantongi dana dari sumber yang samar. @thePeople______, dengan nada sarkastik yang tajam, mencuit: “Ijazah boleh asli, tapi kalau kebijakan bikin rakyat miskin dan elit kaya, yang palsu itu ijazahnya atau nuraninya?” Cuitan ini bukan sekadar lelucon; ia adalah nyanyian protes, sebuah jeritan yang dibungkus humor untuk menahan air mata. Friedrich Nietzsche, yang pernah menertawakan kelemahan manusia, mungkin akan mengangguk setuju. “Bercanda tentang sesuatu adalah mekanisme pertahanan untuk mengatasi ketakutan terhadapnya,” katanya. Di Indonesia, di mana skandal korupsi seperti e-KTP atau Hambalang menjadi legenda, satire adalah perisai rakyat, mereduksi para dewa politik menjadi badut yang bisa diejek.

     Panggung politik ini penuh kontradiksi, seperti lukisan yang indah dari kejauhan tapi retak-retak saat dilihat dekat. Para politisi, dengan gelar “Yang Terhormat,” sering kali bertingkah seperti penututup botol—istilah sinis untuk mereka yang dianggap tak berguna. Namun, rakyat, yang seharusnya menjadi sutradara dalam demokrasi, justru merasa seperti penonton yang ditipu, diberi tiket mahal untuk pertunjukan yang buruk. @bahanasugeng62 menulis di X: “Semakin besar kekuasaan, semakin besar potensi bahaya penyalahgunaannya.” Kalimat itu, sederhana namun menusuk, menggema seperti peringatan Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup, dan kekuasaan absolut korup secara absolut.” Di negeri ini, di mana kepercayaan publik terhadap DPR sering merosot di bawah 50% menurut survei LSI, satire bukan lagi sekadar hiburan—ia adalah cermin buram yang memaksa kita melihat wajah kita sendiri.

     Voltaire, sang maestro satire dari abad Pencerahan, pasti akan bersorak melihat kreativitas warganet Indonesia. “Saya tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tapi saya akan mempertahankan sampai mati hak Anda untuk mengatakannya,” katanya. Di X, kebebasan ini hidup dalam meme, cuitan, dan parodi yang absurd. @lalilupanama, misalnya, menyamakan politisi dengan “bakul obat kadas” yang lucu tapi tak perlu ular sanca untuk menarik perhatian. Bayangkan seorang calon senator, berdiri di panggung kampanye, menjajakan “obat mujarab” berupa proyek jalan yang entah kapan selesai, sementara rakyat hanya bisa tertawa pahit. Satire seperti ini adalah kebenaran yang disampaikan dengan jubah humor, sebuah cara untuk membongkar propaganda tanpa perlu darah. Voltaire akan melihatnya sebagai seni, sebuah tarian kata yang mengungkap kebusukan di balik topeng kebesaran.

     Namun, di balik tawa, ada kepedihan yang merayap. Satire di X lahir dari luka kolektif: ketimpangan sosial, janji politik yang menguap seperti asap, dan institusi yang kehilangan kepercayaan. @jan_marem menulis: “Politik Indonesia makin hari makin konyol, bukan bikin tertawa, tapi bikin kesal.” Kalimat ini adalah renungan filosofis, sebuah pengakuan bahwa politik adalah teater absurd yang melelahkan. Albert Camus, yang merenungkan absurditas hidup, mungkin akan melihat politik Indonesia sebagai Sisifus modern: rakyat terus mendorong batu demokrasi ke atas bukit, hanya untuk melihatnya menggelinding kembali karena korupsi atau pengkhianatan. Tapi, dalam tawa getir itu, ada pemberontakan—sebuah penolakan untuk menyerah, sebuah cara untuk tetap hidup di tengah keputusasaan.

     Apakah satire ini cukup untuk mengubah panggung? Mungkin tidak. Cuitan-cuitan lucu di X adalah katarsis, sebuah pelepasan emosi yang membuat kita merasa sedikit lebih ringan di tengah beratnya realitas. Namun, seperti yang pernah dikatakan George Orwell, “Jika kebebasan berarti apa pun, itu berarti hak untuk memberi tahu orang-orang apa yang tidak ingin mereka dengar.” Satire adalah kebebasan ini, sebuah cara untuk berbicara kebenaran kepada kekuasaan tanpa takut—setidaknya, selama akun Anda belum diblokir. Kasus seperti hilangnya akun nurhadi_aldo di Instagram, yang memicu spekulasi tentang tekanan pihak berwenang, adalah pengingat bahwa panggung satire tidak selalu bebas dari bayang-bayang sensor. Namun, bahkan di tengah ancaman, rakyat terus menulis, terus menertawakan, terus bermimpi.

     Di sudut-sudut X, ada paradoks yang menyentuh. Satire, meski sinis, adalah tanda bahwa rakyat Indonesia belum menyerah. @bahanasugeng62 menulis: “Rezim boleh berganti, pemimpin bisa beralih, tapi nilai perjuangan harus tetap dijaga.” Kalimat ini, seperti nyanyian lembut di tengah badai, mengingatkan kita bahwa di balik ejekan dan tawa, ada harapan—mungkin rapuh, tapi nyata—untuk masa depan yang lebih adil. Soren Kierkegaard, filsuf yang merenungkan keberanian dalam ketidakpastian, pernah berkata, “Hidup hanya bisa dipahami dengan melihat ke belakang, tapi harus dijalani dengan melihat ke depan.” Satire adalah cara kita melihat ke belakang, menertawakan kesalahan masa lalu, sambil melangkah dengan hati penuh tanya ke depan.

     Apa yang tersisa dari panggung sandiwara politik ini, di mana tawa dan kepedihan bercampur seperti minuman pasar malam? Humor, dengan segala keabsurdannya, adalah nyawa rakyat—senjata lembut yang mampu menyingkap tabir kemunafikan tanpa pedang. Sinisme, meski berbalut getir, adalah detak jantung bangsa yang masih resah, yang menolak diam di tengah janji-janji kosong. Dan politik, dengan segala kontradiksinya, adalah cermin buram dari kita semua—rakyat yang menertawakan, pemimpin yang berjanji, dan para penututup botol yang tersesat di antaranya. Aristophanes, sang pelopor satire Yunani kuno, pernah berkisah bahwa membuat orang tertawa adalah seni, tetapi membuat mereka berpikir sambil tertawa adalah keajaiban. Di X, keajaiban ini berkelip-kelip di setiap cuitan, meme, dan ejekan, mengingatkan kita bahwa di tengah absurditas panggung politik, kita masih punya kuasa untuk menertawakan, merenungkan, dan, suatu hari, mungkin mengukir perubahan.

     Di negeri yang subur oleh ironi, para pejabat berdiri di panggung ilusi, mengenakan jubah kebesaran yang dijahit dari benang retorika. Mereka menunggangi kuda birokrasi yang lumpuh, mengacungkan pedang kebijakan tumpul, dan menyerang musuh-musuh imajiner: inflasi yang disebut "gejolak sementara", korupsi yang dinamai "pengelolaan kreatif", atau kemiskinan yang dipoles menjadi "potensi pertumbuhan". Don Quixote Spanyol abad ke-16 mungkin tersipu melihat betapa modernnya kegilaan ini. Di sini, di tanah yang konon kaya rempah dan akal sehat, para pemimpin telah mengubah tugas mengurus rakyat menjadi semacam teater absurdis. Mereka bersumpah melawan raksasa ketidakadilan, tapi yang ditikam hanyalah bayangan data yang diolah sedemikian rupa hingga menyerupai prestasi.

     Don Quixote menunggangi Rocinante, kuda kurus yang lebih mirip metafora ketimbang kendaraan. Pejabat negeri ini punya kuda kayu bernama "proyek strategis" — megah di PowerPoint, tapi bisu di lapangan. Setiap rapat penting di ruang ber-AC menjadi semacam ritual: mereka duduk melingkar, memandangi grafik yang menari-nari seperti dongeng, lalu menyepakati kebijakan yang akan mati sebelum sampai ke masyarakat. "Kita perlu rebranding masalah!" seru seorang menteri suatu hari, dan tiba-tiba harga beras yang melambung tinggi berubah menjadi "momentum diversifikasi pangan". Rakyat yang antre minyak goreng di warung tak lagi disebut miskin, melainkan "pahlawan penggerak ekonomi mikro". Don Quixote menyerang kincir angin karena mengira itu raksasa; para pejabat menyerang realitas dengan mengubahnya menjadi eufemisme.

     Mereka piawai dalam seni mencipta musuh. Bila tak ada krisis, mereka akan menemukan — atau merakit — ancaman baru. Seorang gubernur tiba-tiba mengumumkan perang melawan "budaya malas", padahal rakyatnya bekerja 12 jam sehari untuk sekadar bertahan. Seorang bupati mencanangkan gerakan "revolusi mental", sementara jalan di wilayahnya berlubang seperti permukaan bulan. Ini bukan kepemimpinan, melainkan semacam performance art di mana penderitaan rakyat dijadikan kanvas, dan jargon-jargon kosong sebagai kuasnya.

     Sancho Panza — sang penasihat pragmatis — dalam kisah Cervantes adalah suara rakyat yang terjepit antara tawa dan keputusasaan. Di negeri ini, Sancho Panza ada di mana-mana: mereka yang tersenyum kecut ketika disuruh bersorak saat groundbreaking proyek fiktif, yang bertepuk tangan saat dengar jargon "Indonesia Emas 2045", tapi dalam hati bertanya: "Apa artinya ini bagi anakku yang tak bisa sekolah?" Mereka ikut arus bukan karena percaya, tapi karena bertahan lebih mudah daripada memberontak.

     Ketika seorang menteri dengan bangga mengumumkan "penurunan angka kemiskinan menjadi satu digit", Sancho-Sancho ini tahu persis hitungannya: garis kemiskinan diubah, data dikurasi, dan mereka yang hidup dengan Rp19.000 per hari tiba-tiba "naik kelas" menjadi hampir miskin. Tapi mereka diam. Bukan karena bodoh, melainkan karena lelah. Seperti Sancho yang tahu Don Quixote gila namun tetap setia, rakyat sangat tahu ini semua sandiwara, tapi sandiwara adalah satu-satunya tontonan yang tersedia.

     Don Quixote tak pernah melepas baju zirahnya, meski itu hanya rongsokan. Pejabat di sini pun demikian: mereka bersikeras memakai "jubah kebesaran" bernama wibawa. Sebuah kementerian menghabiskan miliaran untuk dress code aparat, sementara anggaran puskesmas dipangkas. Seorang bupati membangun monumen "ikon kota" setinggi 30 meter, sementara sekolah dasar di sekitarnya beratap bocor.

     Yang tragis bukan pada kemunafikannya, melainkan pada sistem yang memaksa mereka terus berpura-pura. Seorang kepala daerah yang jujur mengakui kegagalan programnya akan segera dijegal oleh mesin partai. Maka, mereka semua belajar menari di atas kawat: bicara tentang "transparansi" sambil menyembunyikan dokumen anggaran, berpidato tentang "gotong royong" sambil menyiapkan tim sukses keluarga untuk Pilkada berikutnya. Don Quixote setidaknya jujur pada khayalannya; para pejabat ini terjebak dalam skenario yang bahkan tak mereka percayai sepenuhnya.

     Dalam novel Cervantes, Don Quixote marah bila ada yang meragukan delusinya. Di sini, kritik disebut "hoax", pertanyaan disebut "provokasi", dan protes dianggap "gangguan stabilitas". Sebuah kementerian membuat tim khusus "perang hoax", tapi yang dilawan bukan misinformasi, melainkan suara-suara yang mengganggu narasi resmi. Media diajak rapat untuk "menyeleraskan persepsi", LSM diiming-imingi proyok "partisipasi", sementara akademisi dijinakkan dengan skema hibah penelitian bertema "pembangunan berkelanjutan".

     Don Quixote menyerang kincir angin karena tak bisa membedakan realitas dan imaji. Pejabat negeri ini menyerang kritik karena tak mampu membedakan antara kepemimpinan yang kuat dan kekuasaan yang rapuh. Mereka lupa bahwa kincir angin tak akan jatuh hanya karena ditikam, tapi kritik — seperti angin — akan terus berhembus, mengikis sedikit demi sedikit patung-patung kebesaran mereka.

     Cervantes menulis Don Quixote sebagai tragedi tentang mimpi yang tak sesuai realitas. Di sini, mimpi-mimpi itu dijadikan alat. Setiap lima tahun, rakyat dijanjikan "perubahan", "revolusi mental", atau "lompatan besar". Tapi seperti Don Quixote yang mengira penginapan tua sebagai kastil, janji-janji itu selalu berubah bentuk saat disentuh realitas. Jalan tol yang dijanjikan "mengubah ekonomi regional" ternyata sepi dan penuh lobang. Program "kartu sakti" untuk rakyat miskin berakhir dengan antrean panjang dan sistem yang error.

     Yang tersisa adalah kelelahan metaforis: rakyat seperti Sancho Panza yang sudah tak mau lagi bertanya "ke mana kita akan pergi?" Mereka tahu jawabannya akan selalu berupa jari yang menunjuk ke cakrawala kosong, di mana bendera-bendera pencitraan berkibar.

Ketika Panggung Telah Runtuh

     Don Quixote akhirnya sembuh dari delusinya menjelang ajal. Tapi di negeri ini, penyakit ini justru menular. Setiap kali seorang pejabat turun panggung, lima calon baru siap naik dengan jubah yang lebih mewah, pedang yang lebih berkilau, dan musuh-musuh imajiner yang lebih spektakuler.

     Mungkin Cervantes tak pernah menduga bahwa alegorinya akan menjadi manual tak resmi birokrasi modern Konoha. Di sini, kegilaan bukan lagi tragedi individu, melainkan sistemik. Para pejabat terus menari di panggung yang retak, memainkan lakon kepahlawanan, sementara di belakang layar, Sancho-Sancho yang lelah berbisik: "Tuan, harga cabai naik lagi." Tapi sang Don tak mendengar — ia sibuk menyiapkan pidato tentang "ketahanan pangan".

     Rupanya, negeri ini bukan kekurangan Don Quixote, melainkan kelebihan. Bedanya, Don Quixote Cervantes akhirnya bangun dari mimpinya. Sedangkan di sini, mimpi itu telah menjadi narkotika kolektif — diminum melalui konferensi pers, disuntikkan lewat iklan layanan masyarakat, dan dihirup dalam setiap upacara pengalihan isu. Kita semua terjebak dalam novel absurdis yang tak kunjung tamat, di mana setiap bab baru hanya mengulang lelucon yang sama: bahwa musuh terbesar bukanlah kemiskinan atau kebodohan, melainkan kenyataan itu sendiri.

     Dan seperti Don Quixote yang mati sebagai orang waras, mungkin suatu hari nanti — saat statistik tak lagi bisa dimanipulasi, jargon-jargon telah kehabisan tenaga, dan rakyat memilih diam sebagai bentuk protes terakhir — para pejabat ini akan tersadar. Tapi saat itu, mungkin sudah terlambat: mereka akan menemukan bahwa yang mereka pimpin bukanlah ksatria atau raksasa, melainkan bayangan sendiri yang memudar di cermin sejarah.

     Di suatu negeri yang rakyatnya gemar menertawakan diri sendiri—karena jika tidak, mereka akan menangis—kita telah mencapai fase di mana segala janji terdengar seperti iklan sabun cuci: menjanjikan putih bersih, tapi yang tercuci hanyalah akal sehat. Bonus demografi? Oh, tentu! Itu istilah yang diciptakan agar generasi muda merasa seperti pahlawan super yang siap menyelamatkan ekonomi, sambil para pemilik modal membangun istana dari saham mereka yang meroket. Harari mungkin tersenyum getir di suatu sudut: manusia memang makhluk yang ahli menenun narasi menjadi dongeng untuk menutupi ketimpangan. Tapi di sini, dongeng itu diulang-ulang seperti lagu dangdut remix—semakin sering didengar, semakin tak bermakna.

     Demokrasi, kata mereka, adalah pesta rakyat. Tapi seperti pesta pernikahan di kampung, yang penting bukan kebahagiaan mempelai, melainkan siapa yang membawa amplop paling tebal. Toto Rahardjo dalam Demokrasi Para Perampok menggambarkannya sebagai drama tiga babak: pembukaan dengan jargon kebersamaan, pertengahan dengan transaksi terselubung, dan penutup dengan foto bersama sambil memeluk pundi-pundi. Di negeri ini, demokrasi bukanlah sistem, melainkan semacam stand-up comedy di mana penonton tertawa bukan karena lucu, tapi karena gila.

     Pernahkah kalian memperhatikan betapa para pemimpin kita adalah lulusan terbaik sekolah Machiavelli—tanpa perlu membuka bukunya? Mereka ahli dalam seni berpura-pura peduli, seperti aktor sinetron yang mampu menitikkan air mata saat berjanji membangun jalan, lalu melupakannya begitu kamera padam. Il Principe seharusnya jadi panduan, tapi di tangan mereka, buku itu berubah menjadi manual cara tersenyum sambil menandatangani kontrak penggusuran. Ketika seorang pejabat berkata, "Kami mendengar suara rakyat," yang ia maksud mungkin hanya suara deru mesin proyek yang sedang menggali lubang tambang baru.

     "Pembangunan"—kata yang sakral, diucapkan dengan nada bak imam memimpin ritual. Tapi bacalah The Grapes of Wrath karya Steinbeck, dan kita akan tahu bahwa di mana pun, pembangunan sering berarti menggusur yang lemah untuk memberi jalan pada yang berkuasa. Di sini, hutan digunduli atas nama investasi, laut dipagari demi "kebersihan pantai", dan warga dipindahkan ke rusunawa yang lebih mirip kandang burung. Mereka dijanjikan masa depan gemilang, tapi yang datang hanyalah tagihan listrik dan air yang tak pernah stabil. Jika ada yang protes, jawabannya selalu sama: "Ini untuk kepentingan umum!" Seolah-olah "umum" itu adalah entitas mistis yang hanya bisa diwakili oleh segelintir orang berkopiah.

     Lalu datanglah pemimpin-pemimpin yang berbicara tentang "revolusi mental", sementara buku-buku di perpustakaan mereka berdebu seperti fosil. Inayat Khan dalam Hakikat Pikiran menulis bahwa kemajuan bangsa lahir dari pemikiran yang mendalam. Tapi di sini, yang dianggap "mendalam" hanyalah kemampuan menghafal pidato, bukan memahami isinya. Kita punya wakil presiden yang bangga tak pernah tuntas membaca bahkan satu novel pun, lalu heran mengapa kebijakannya sering terasa seperti resep masakan tanpa garam.

     Demokrasi kita—ia seperti kucing yang dijual dalam karung. Dibungkus dengan kata-kata "keterbukaan" dan "partisipasi", tapi isinya adalah algoritma yang menghitung suara berdasarkan popularitas Instagram. Kahlil Gibran dalam Kematian Sebuah Bangsa berbisik: "Ketika keadilan hanya menjadi hiasan bendera, bangsa itu sedang sekarat." Di sini, keadilan memang ada—di dalam novel, di dalam lagu, dan di dalam retorika kampanye. Tapi di pengadilan? Ia lebih sering jadi bahan lelucon para pengacara yang tahu persis di tikungan mana ia menyuap.

     Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die mengingatkan: demokrasi tidak mati oleh tentara, tapi oleh politisi yang mengubah konstitusi jadi alat pribadi. Di negeri kita, konstitusi bisa direvisi secepat menu ganti wallpaper di smartphone. Rakyat diminta percaya, tapi dilarang bertanya. Hukum? Ia seperti pisau—sangat tajam untuk memotong rumput liar di halaman rakyat, tapi tumpul saat dihadapkan pada besi tua para konglomerat. John Rawls pasti geleng-geleng melihat Teori Keadilan-nya dipelintir menjadi "Teori Pembenaran": keadilan di sini bukan tentang proses, tapi tentang siapa yang punya koneksi untuk mempersingkat antrian.

     Dan media? Mereka adalah dalang di balik layar. Noam Chomsky dalam Politik Kuasa Media menjelaskan bahwa media tidak mencerminkan realitas, tapi menciptakannya. Di sini, berita kenaikan harga cabai diubah menjadi cerita tentang "ketahanan pangan", sementara konferensi pers pejabat dirancang seperti tayangan reality show: penuh emosi, tapi kosong substansi. Kami rindu pada jurnalis yang menulis dengan darah, bukan pada influencer yang dibayar untuk memoles luka menjadi lukisan.

     "Pembangunan" lagi-lagi jadi mantra. Tapi bacalah Max Havelaar—bukan sebagai kisah kolonial, tapi sebagai cermin kekinian. Multatuli menangis melihat penderitaan rakyat, tapi di era sekarang, penderitaan itu dijual sebagai komoditas. Rakyat kecil masih menandatangani surat penggusuran dengan cap jempol, sementara perusahaan mengklaim itu sebagai "komitmen terhadap pembangunan berkelanjutan". Eksploitasi disebut "pemberdayaan", perampasan tanah disebut "revitalisasi", dan ketika nelayan kehilangan laut, mereka diberi pelatihan jadi barista—seolah-olah laut bisa digantikan oleh latte art.

     Bahasa pun telah dikorupsi. R.F. Kuang dalam Babel menunjukkan bahwa kata-kata bisa menjadi senjata penjajahan. Di sini, kata "transformasi digital" berarti memecat karyawan dan menggantinya dengan chatbot. "Bonus demografi" adalah istilah untuk menyembunyikan fakta bahwa 60% pengangguran adalah anak muda. Dan "makan bergizi gratis" biasanya berakhir di kantong pejabat yang mengaku "sedang diverifikasi". Negeri ini adalah ahli dalam seni mengubah logam menjadi emas palsu—atau dalam bahasa mereka: "memoles narasi".

     Lalu tibalah kita di zaman di mana kenyataan lebih absurd daripada fiksi. Orwell menulis '1984' sebagai peringatan, tapi di sini, ia dijadikan manual. "Kebebasan pers" berarti pers dibebaskan dari keberanian. "Transparansi" berarti semua korupsi dilakukan di tempat terbuka, asal rakyat sibuk menghitung diskon e-commerce. Pengawasan disebut "perlindungan data", kritik disebut "ujaran kebencian", dan ketika ada yang bertanya, jawabannya selalu: "Ini untuk stabilitas nasional!" Seolah-olah "stabilitas" adalah dewa yang haus tumbal akal sehat.

     Kita telah sampai di ujung panggung. Tepuk tangan palsu menggema, lampu sorot mengaburkan bayangan ketidakadilan, dan para pemain berjalan keluar dengan senyum lebar—sambil menggenggam amplop di belakang punggung. Tapi di antara riuh rendah ini, ada yang masih tersisa: suara-suara kecil yang memilih tidak ikut bernyanyi. Mereka yang menertawakan ironi, karena menangis sudah terlalu melelahkan. Mereka yang membaca Gibran, Orwell, dan Steinbeck bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk mengingat bahwa kebenaran masih ada—walau harus dicari di antara reruntuhan kata-kata palsu.

     Di tengah panggung sandiwara ini, mungkin kita hanya bisa melakukan satu hal: tetap tidak percaya. Tidak percaya pada janji, pada istilah indah, pada senyum yang terlalu sempurna. Tapi di balik sikap sinis itu, ada secercah harap: bahwa dengan terus menertawakan kebohongan, kita suatu hari nanti akan menemukan cara untuk mengubahnya menjadi lelucon yang basi—dan mulai menulis cerita baru.

     Sampai saat itu tiba, biarlah satire menjadi doa kami yang paling khusyuk: "Ya, Tuhan, berilah kami kesabaran untuk menertawakan kebodohan ini—sebelum kami menangis karenanya."

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.