Catatan Arkeologi Akhir Milenium Ketiga

     Di akhir milenium ketiga, ketika manusia yang tersisa mulai merekonstruksi perjalanan panjang sejarah spesies mereka, tampaklah para arkeolog bekerja penuh kesungguhan. Di bawah terik matahari yang mulai meredup oleh atmosfer yang berubah, mereka membungkuk memeriksa fosil-fosil tengkorak yang terkubur dalam lapisan tanah seperti lembaran-lembaran buku yang menunggu dibaca. Konon, arkeologi adalah satu dari sedikit profesi yang masih bertahan dan tidak digantikan oleh kecerdasan buatan, yang pada masanya sempat dielu-elukan sebagai solusi segala permasalahan. Kecerdasan buatan ternyata tidak cukup cerdas untuk merasakan kehangatan pasir atau memahami gema keheningan sejarah yang terpendam.

     Di antara fosil-fosil itu, ditemukan tengkorak manusia yang membuat dahi para arkeolog berkerut. Fosil ini berasal dari awal milenium ketiga, sekitar abad ke-21, dari kawasan yang dahulu dikenal sebagai kepulauan khatulistiwa. Tengkorak ini sedikit berbeda—lebih tebal, lebih kokoh, dengan bentuk otak yang tampaknya lebih berfungsi sebagai bantalan penopang batok kepala ketimbang sebagai pusat pemikiran rasional. Sebuah ironi pahit, mengingat di masa itu manusia telah mencapai puncak perkembangan teknologi tetapi tampaknya gagal memanfaatkan potensi kognitif mereka.

     Catatan sejarah menunjukkan bahwa varian ini menyebut diri mereka sebagai "Netizen Plus Enam Dua." Sebuah nama yang diucapkan dengan kebanggaan besar, meskipun tanpa banyak alasan untuk itu. Mereka yakin, dengan rasa percaya diri dan keyakinan yang begitu teguh hingga sulit dibedakan dari "ketidak-tahu-dirian" akut, bahwa mereka adalah varian manusia paling unggul. Tuhan, pikir mereka, telah memberikan tempat tinggal yang serupa surga—zamrud khatulistiwa. Namun, keindahan ini bukanlah inspirasi untuk berpikir atau mencipta, melainkan latar belakang yang sempurna untuk bersantai, rebahan, dan bermain-main dengan perangkat kecil yang mereka sebut gawai.

     Netizen Plus Enam Dua ini memiliki jempol yang sangat bertenaga, jauh lebih berkembang daripada bagian lain dari tubuh atau pikiran mereka. Jempol ini digunakan untuk menggulir layar tanpa henti, dari pagi hingga malam, untuk menonton video pendek tanpa faedah. Mereka kuat, itu harus diakui. Mereka bisa menahan lapar, mengabaikan hasrat untuk ke kamar mandi—menahan pipis dan e'ek, dan bahkan memalingkan wajah dari kewajiban dasar untuk hidup, hanya demi terus rebahan menyaksikan tarian aneh di tok-Tok atau drama receh di reels sosmed.

      Di antara catatan yang ditemukan, nama-nama Arkeolog seperti kak Iwan Sumantri dan kak Muh. Fadhlan Syuaib mencuat sebagai penulis-peneliti dari masa itu. Mereka, bersama teman-teman sejawat, mencatat fenomena ini dengan rasa prihatin yang barangkali tidak pernah sampai ke hati para Netizen Plus Enam Dua. Mungkin karena otak mereka terlalu sibuk—bukan berpikir, tetapi menyangga batok kepala mereka agar tidak penyok saat rebahan.

     Saat para arkeolog menyusun bukti dan menarik kesimpulan, ada nada satire dalam laporan mereka yang dipublikasikan dalam jurnal-jurnal ilmiah. Netizen Plus Enam Dua tidak hanya menjadi simbol dari era kemunduran intelektual, tetapi juga bukti nyata betapa manusia dapat menciptakan surga tetapi memilih untuk hidup dalam limbo—wilayah ketidakpastian untuk orang-orang terbuang dilupakan. Spesies ini mungkin diciptakan sebagai lelucon kosmik. Atau mungkin, hanya mungkin, ini adalah eksperimen gagal dari evolusi, di mana otak yang dirancang untuk berpikir malah dialihkan seluruh dayanya untuk sekadar menyumpal batok kepala.

     Dan di penghujung laporan mereka, para arkeolog meninggalkan satu catatan kecil yang tersemat: "Jika tulisan ini terasa seperti fiksi, itu karena realitas di abad ke-21 memang terasa seperti karikatur yang terlalu absurd untuk menjadi kenyataan."

simbol dari era kemunduran intelektual, tetapi juga bukti nyata betapa manusia dapat menciptakan surga tetapi memilih untuk hidup dalam limbo

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.