Burong Tujoh

     Kesal sungguh hati Utoh Berahim. Kehilangan alat-alat pertukangan yang selama ini selalu menemaninya dalam mencari nafkah hidupnya sehari-hari, membuat ia merasa seperti orang yang kehilangan sepasang tangan saja. Alat-alat itu begitu dibutuhkannya, karena tanpa benda-benda itu dia tak dapat bekerja dan tak bisa menerima upahan dari orang-orang yang membutuhkan keahliannya dalam membuat rumah.
     Telah tiga hari lebih ia mencari alat-alat pertukangannya itu di mana-mana, sampai-sampai seluruh isi rumahnya terobrak-abrik. Tetapi sampai letih ia mencari, alat-alat itu tidak juga berhasil ditemukannya. Bagaikan telah raib saja dari rumahnya.
     Sebagai seorang 'utoh', panggilan untuk seseorang yang mahir dan ahli dalam soal membuat rumah di daerah Aceh, Utoh Berahim benar-benar merasa kesal dengan kehilangan benda-benda itu. Sudah dapat dipastikan, selama ia tak memiliki alat-alat pertukangannya itu, dia tak akan mampu dan tak dapat bekerja. Hal inilah yang membuatnya menjadi kesal setengah mati. Mau rasanya ia marah, tetapi kepada siapa? Karena yang menimpan peti alat-alat pertukangannya itu adalah istrinya Halimah, yang baru sebulan meninggalkannya dan dua anak mereka yang masih kecil, bernama Usman dan Latif.
     Dan kematian Halimah selalu membuat Utoh Berahim menggeram ketika setiap kali ia mengingatnya.
     Halimah mati secara tidak wajar. Mati karena kena tenung. Ditenung oleh orang-orang yang tak diketahui entah siapa. Tetapi Utoh Berahim yakin, bahwa istrinya ditenung oleh utoh-utoh lain yang merasa tersaingi olehnya dalam hal membuat rumah. Karena dia sangat laris dan selalu mau menerima ongkos yang lebih murah sedikit dan rumah-rumah buatannya pun agak lebih baik dan bagus bila dibandingkan dengan hasil karya utoh-utoh lain.
     Maka mereka melakukan hal itu terhadap keluarganya. Sebenarnya yang menjadi sasaran usaha mereka itu adalah dirinya. Tetapi, entah bagaimana, ternyata yang kena Halimah, istrinya.
     Namun beitu ia tak tahu dengan pasti, siapa orangnya yang telah melakukan perbuatan terkutuk itu terhadap istrinya yang begitu dicintainya. Kalau saja ia tahu, mau rasanya ia membunuh orang keparat itu dengan rencongnya.
     Utoh Berahim menghela napasnya panjang-panjang. Rasa marah dan kesal mengitari dirinya kala ia mengingat semua itu. Dan yang membuat ia betul-betul kesal adalah alat-alat pertukangannya yang telah hilang entah ke mana, yang hingga kini belum juga berhasil ditemuinya.
     Kemudian Utoh Berahim mengambil sebatang rokok dan segera menyulutnya dengan korek api. Asap rokok yang segera memnuhi seluruh rongga dadanya, membuat rasa kesal di dalam dirinya hilang dengan perlahan-lahan, dan kemudian membuat ia menjadi tenang kembali.
     Akhirnya Utoh Berahim memutuskan untuk melupakan saja alat-alat pertukangan yang telah hilang itu, dengan harapan akan ada orang yang berbaik hati kepadanya dengan meminjaminya sejumlah uang, agar ia dapat membeli seperangkat alat-alat beru untuk keperluan utohnya.
     Magri baru saja berlalu. Kelamnya malam karena bulan masih sekecil sabit, membuat suasana di sekitar Utoh Berahim menjadi gelap gulita. Angin yang berhembus kencang menimbulkan suara yang gemuruh, karena sang bayu bergalau dengan ayunan dahan-dahan kayu yang berdaun rindang yang tumbuh dengan liarnya di kampung itu.
     Usman dan Latif telah berangkat tidur ke kamar mereka dengan ditemani oleh ibu Utoh Berahim. Maka tinggallah Utoh berahim sendiri dalam kesunyian yang terasa merambat hatinya di balai-balai rumah.
     Karena malam belum larut, Utoh Berahim memutuskan untuk pergi ke Meunasah (suatu bangunan ruah yang bertiang tinggi tempat orang-orang kampung berkumpul untuk mengadakan rapat, musyawarah, dan bermacam-macam lagi keperluan sosial masyarakat kampung), untuk sekedar menghibur dirinya dengan mengobrol bersama orang-orang sekampungnya.
     Tak banyak orang yang ditemuinya di sana. Suar beberapa orang anak-anak yang sedang mengaji di atas meunasah, membuat keheningan malam terasa pecah. Hanya beberapa orang saja laki-laki dewasa duduk di pojok meunasah yang dilihat Utoh Berahim.
     Di balai-balai meunasah, Utoh Berahim melihat Toke Suman, seorang laki-laki berumur limapuluhan bekas pedagang keliling di kampung itu, duduk sendiri dalam keremangan cahaya lampu teplok yang dipergunakan untuk menerangi anak-anak mengaji di atas meunasah. Laki-laki itu sedang melenting sebatang rokok daun nipah ketika Utoh Berahim berjalan ke tempat duduk orang itu.
     Setelah memberi salam, ia segera duduk di sampingnya. Kemudian kedua orang sekampung itu pun tenggelam dalam percakapan yang cukup mengasyikkan. Percakapan itu kadang-kadang mereka selingi dengan tawa terbahak yang tertahan, karena takut akan mengganggu anak-anak yang sedang mengaji di atas sana.
      "Ah, kebetulan sekali Utoh Berahim," kata Toke Suman tiba-tiba mengalihkan percakapan mereka yang tak tentu arah tujuannya itu.
     "Aku ada rencana untuk memperbaiki dinding rumahku yang sebelah barat. Dinding itu ingin kuganti dengan papan baru, karena papan yang lama telah sangat lapuk. Kapan kira-kira kamu punya waktu untuk menggantinya?"
     Utoh Berahim menariknapas panjang ketika mendengar tawaran Toke Suman itu. "Aku tak dapat bekerja lagi, Toke Suman," katanya kemudian. "Alat-alat pertukanganku hilang dari rumahku. Tak tahu aku entah di mana alat-alat itu disimpan oleh istriku."
     "Kasihan sekali kamu, Utoh Berahim," kata Toke Suman mendengar jawaban dari Utoh Berahim, "Tetapi, masakan bisa hilang begitu saja dari rumahmu. Berdusta kamu barangkali ya? Mungkin kamu lagi malas bekerja, ya Utoh?"
     "Aku tidak berbohong, Toke Suman. Lagi pula apa gunanya aku membohongimu. Bukankah kamu akan membayarku?" kata Utoh Berahim, membantah tuduhan Toke Suman.
     Toke Suman terdiam sejenak mendengar kata-kata Utoh Berahim. Dahinya berkerut, seperti ada sesuatu yang sedang dipikirkannya. Setelah agak lama merenung, kemudian Toke Suman menatap wajah Utoh Berahim dengan tatapan yang serius. Lalu ia berkata, "Mengapa tak kau tanyakan saja kepada istrimu di mana ia menyimpan alat-alat keperluanmu itu?"
     "Apa? Bertanya pada istriku yang telah mati itu?" tanya Utoh Berahim, sambil tertawa terbahak-bahak, sehingga beberapa orang laki-laki yang duduk di pojok meunasah, serta beberapa orang anak-anak yang sedang asyik mengaji, menoleh ke arah mereka duduk.
     "Sudah gila agaknya kamu, Toke Suman. Masak aku kau suruh bertanya kepada orang yang telah lama meninggal. Ada-ada saja humormu ini. Sungguh menggelikan."
     "Jangan tertawa dulu, Utoh," kata Toke Suman semakin serius.
     "Kalau kamu mau dan berani melakukan apa yang kuajarkan kepadamu, kamu akan dapat berbicara langsung dengan mendiang istrimu yang telah mati itu."
     "Apa katamu? Kau punya cara supaya aku bisa bertemu dengan roh istriku?" tanya Utoh Berahim lagi, sambil masih tertawa karena tak percaya kepada kata-kata Toke Suman itu.
     Toke Suman menganggukkan kepalanya dengan yakin. "Syarat yang pertama, kamu harus berani. Sedangkan syarat-syarat lain sangat gampang dan mudah. Bagaimana, Utoh? Ada minat untuk mencobanya?"
     Utoh Berahim menjadi terpaku mendengar pertanyaan Toke Suman. Ia menjadi ragu-ragu kini. Benarkah ada cara untuk melakukan hal-hal yang sedemikian itu? Timbul pertanyaan dalam hatinya. Lalu ia mencoba memikirkan tentang persoalan itu, tentang tawran Toke Suman tadi. Kemudian, setelah berpikir masak-masak, akhirnya Utoh Berahim memutuskan untuk menerima tawaran Toke Suman. Siapa tahu, mungkin dengan cara yang akan dikatakan oleh Toke Suman kepadanya, ia bisa mendapatkankembali alat-alat yang sangat dibutuhkannya itu.
     "Baiklah," kata Utoh Berahim kemudian.
     "Coba katakan, apa yang harus kulakukan supaya aku bisa bertanya kepada istriku, agar alat-alat itu dapat kutemukan kembali."
     Toke Suman kemudian menuturkan suatu cara kepada Utoh Berahim, agar laki-laki itu dapat langsung bertemu dengan roh istrinya. Tak lupa pula ia mengajar Utoh Berahim dengan beberapa doa dan mantera yang diperlukan dalam melaksanakan pekerjaan itu. Dengan penuh perhatian Utoh Berahim mendengarkan semua penjelasan Toke Suman.
     "Nah, Utoh, itulah cara-cara yang harus kau lakukan," kata Toke Suman, setelah ia menjelaskna semuanya.
     "Jika semua syarat-syarat itu kau lakukan, kujamin kamu akan berhasil menjumpai istrimu."
     "Jadi aku harus melakukannya dengan telanjang bulat?" tanya Utoh Berahim, yang kini telah tertarik dengan penuturan Toke Suman.
     "Ya! Tetapi ingat, Utoh Berahim. Jangan ada sehelai benangpun yang tetinggal di tubuhmu. Atau, akan sia-sia saja usahamu itu!" kakta Toke Suman, memperingatkan.
     "Tidak. Aku akan mengingat semua petunjukmu itu baik-baik."  sahut Utoh Berahim penuh semangat.
     "Malam besok aku akan melakukan pekerjaan itu."
     "Semoga kau berhasil, Utoh Berahim," kata Toke Suman sambil tersenyum, karena Utoh Berahim telah mempercayai kata-katanya.
     "Moga-moga begitulah hendaknya," balas Utoh Berahim.
     Setelah tak ada lagi ang mereka bicarakan, kedua laki-laki itu kemudian meninggalkan meunasah, untuk kembali ke rumah mereka masing-masing.
     Sesampainya di rumahnya, Utoh Berahim tak langsung pergi tidur. Ia masih ingin duduk di balai-balai rumahnya, sambil kepalanya megingat-ingat, agar semua yang dikatakan Toke Suman di meunasah tadi jangan sampai terlupakan. Dan semuanya terhapal sudah di kapalanya. Tak satu pun yang tertinggal di ingatannya.
     Ketika malam telah larut benar, Utoh Berahim masuk ke kamarnya untuk tidur. Dan, dalam tidurnya itu, Utoh Berahim bermimpi. Mimpi didatangi oleh roh istrinya..

     Bulan sabit telah sejak tadi menghilang di balik gunung kembar, Seulawah Agam dan Seulawah Dara. Suasana malam tadinya agak terang dengan adanya cahaya dari bulan sabit, serta dibantu oleh kelap-kelipnya bintang yang jauh di cakrewala sana, kini telah menggelap dan jadi mengerikan.
     Suara binatang malam yang terdengar sahut menyahut, dan raungan anjing yang melolong panjang yang terdengar sayup-sayup dari kampung di kaki bukit sana, membuat malam itu bagaikan malam iblis-iblis dan setan sedang bergembira ria dalam pesta pranya. Benar-benar malam yang mengerikan.
     Tetapi, Utoh Berahim yang ketika itu sedang berjalan di udara terbuka dengan sebuah tekad di dadanya, tidak takut dengan suasana yang demikian itu. Dengan pasti ia mengayunkan langkahnyaa, mengarungi sawah-sawah yang baru saja ditanami dengan bibit-bibit padi baru. Dengan hati-hati dan tanpa bersuara ia berjalan di atas pematang sawah yang becek dan licin. Telah beberapa kali kakinya terpeleset dan membuat ia jatuh bangun. Namun begitu ia tetap tak peduli. Dia terus berjalan di dalam kegelapan malam menuju ke suatu tempat, ke kompleks pekuburan orang-orang kampungnya, termasuk istrinya Halimah.
     Tak lama kemudian Utoh Berahim telah berada di sepetak sawah yang tak dapat lagi ditanami denagn padi, karena sudah sejak lama air tak dapat mencapai permukaan sawah itu, sebab letaknya gak tinggi dari sawah-sawah yang lain. Hanya rerumputan tebal saja yang memenuhi sawah yang bertanah keras dan liat itu. Ia menghentikan langkahnya di tanah yang jarang ditumbuhi oleh rumput.
     Matanya yang tajam dan masih berfungsi dengan baik, menatap ke depan, ke sebuah kebun luas yang ditumbuhi oleh pohon-pohon raksasa, yang terletak tak jauh di hadapannya. Begitu matanya secara samar-samar dapat melihat pekuburan itu, Utoh Berahim meresa bulu kuduknya berdiri tiba-tiba. Bermacam-macam perasaan menggelutinya. Rasa takut kini menggodanya.
     Benar-benar angker tempat itu dalam kegelapan yang merata, sehingga membuat Utoh Berahim hampir saja mengurungkan niatnya. Tetapi, tekadnya untuk dapat memiliki alat-alat pertukangannya kembali, membuat ia sanggup bertahan dan berhasil mengusir kengeriannya.
     Ia memejamkan matanya sejenak disertai dengan komat-kamit mulutnya membaca beberapa mantera. Setelah itu tak aa lagi perasaan takut dalam dirinya. Lalu tanpa menghiraukan apa-apa lagi, Utoh Berahim segera membuka semua pakaiannya, hingga tak satu pun benda yang tertinggal di tubuhnya. Ia menumpuk pakaiannya di atas rumput tak jauh dari tempatnya berada.
     Kini Utoh Berahim telah telanjang bulat di udara terbuka. Tubhnya terasa menggigil ketika ia mulai bersila di tanah sawah yang jarang ditumbuhi rerumputan, untk bersemadi. Ia menghadap ke arah timur, ke arah kompleks kuburan itu.
     Utoh Berahim kemudian memejamkan matanya dan mulutnya mulai komat-kamit membaca mantera yang akan membuatnya dapat melihat roh-roh orang mati yang akan keluar dari kuburannya di waktu malam.
     Denagn khusyuk dan tak peduli pada dinginnya angin malam yang terasa menusuk tulang belulangnya, Utoh Berahim terus membaca mantera-mantera yang diajarkan Toke Suman kepadanya. Kira-kira lima belas menit lamanya ia bersemadi, dan mengulangi membaca mantera-mantera itu sebanyak tiga kali, selesailah sudah semuanya.
     Ia membuka matanya dan langsung memandang dengan tajam ke kompleks kuburan di hadapannya.
     Berkat mantera yang dibacanya tadi, kini penglihatan Utoh Berahim menjadi terang. Ia telah mampu melihat ke dalam gelap, bagaikan ia melihat dengan mempergunakan senter saja. Ternyata apa yang dikatakan oleh Toke Suman telah terbukti. Hanya saja ia harus menanti perkembangan selanjutnya dengan hati yang berdebar-debar. Matanya tiba-tiba melihat bayangan yang bergerak berasal dari pekuburan itu.
     Ketika diperhatikan dengan cermat, ternyata bayangan tadi berasal dari tubuh dua orang wanita yang baru saja keluar dari tempat itu. Kedua wanita itu dilihatnya bergerak tanpa berkata-kata, dan tak peduli sama sekali kepadanya yang melongo dan terkejut atas kemunculan mereka.
     Utoh Berahim tahu dan yakin benar, bahwa kedua wanita itu adalah burong-burong yang selalu keluar malam dan sering mengganggu wargakampungnya selama ini. Tetapi anehnya, Utoh Berahim yang terkenal penakut selama ini, ketika melihat kedua burong itu, tidak merasa takut lagi. BAhkan dengan berani ia menegur kedua burong yang memang mirip dan menyerupai manusia biasa itu.
     "Hai, adakah istriku Halimah di antara kalian?" tanyanya dengan suara lantang dan keras.
     Kedua burong itu berhenti berjalan, dan menatap Utoh Berahim yang duduk bersila tak jauh di depan mereka.
     "Dia masih di belakang," jawab salah seorng di antara burong itu.
     "Mari ikut kami ke kampung itu."
     "Pergilah kalian duluan," kata Utoh Berahim menolak ajakan mereka.
     "Aku harus menunggu istriku di sini." Kedua burong itu kemudian berlalu dan menghilang dari pandangan Utoh Berahim.
     Tak lama kemudian dari kompleks kuburan itu muncul lagi tiga orang perempuan. Bentuk dan keadaan mereka sama juga dengan kedua burong yang telah pergi tadi.
     Kembali Utoh Berahim bertanya tentang Halimah kepada ketiga burong yang baru keluar itu. Mereka juga menjawab, bahwa istrinya masih berada di belakang. Dan mereka juga mengajak untuk mengikuti mereka menuju ke kampung sana. Utoh Berahim kembali menolak ajakan itu, karena ia harus menunggu istrinya.
     Setelah tiga burong itu menghilang dari hadapannya, muncul lagi dua orang perempuan dari kompleks kuburan itu.
     "Hai! Adkah Halimah di situ?" tanya Utoh Berahim, begitu ia melihat kemunculan kedua makhluk itu.
     "Ya. Aku ada di sini," terdengar sahutan dari salah seorang burong itu. Berdebar seketika hati Utoh Berahim kala ia mendengar jawaban itu. Benar! Itu adalah suara mendiang istrinya Halimah. Ia ingat benar suara itu. Suara yang takkan pernah dilupakannya.
     Tanpa rasa takut sedikit pun, Utoh Berahim segera berdiri dari duduknya. Kedua burong itu telah berada di hadapannya, sambil menatapnya dengan pandangan mata yang kosong.
     Utoh Berahim memperhatikan Halimah dengan teliti. Halimah memakai pakaian seperti pakaian yang pernah dipakainya ketika ia masih hidup dulu. Tak berbeda sedikit pun. Seperti orang biasa saja layaknya. Hanya pandangan matanya saja yang terasa menakutkan bila dilihat lama-lama. Mata itu tampak kosong tak bergairah, walaupun ada cahaya yang berbinar-binar di dalamnya. Demikian juga dengan keadaan burong yang seorang lagi. Tak banyak berbeda dengan Halimah. Ketika ia menatapnya, mata itu juga kosong tak bergairah. Mata orang mati.
     "Ada keperlua apa kamu menungguku di sini?" tanya Halimah tiba-tiba. Suara itu terdengar mendesis di telinga Utoh Berahim.
     "Anu, aku ingin bertanya di mana kamu menyimpan alat-alat pertukanganku," jawab Utoh Berahim penuh harap.
     "Aku menyimpannya di kandang ayam tua, yang terletak di belakang rumah kita," sahut Halimah menerangkan.
     Kandang ayam tua!
     Terbuka pikiran Utoh Berahim kala ia mendengar jawaban dari roh Halimah. Sungguh, tempat itulah yang tak pernah diperiksanya selama ia mencari alat-alatnya itu. Hati Utoh Berahim menjadi senang sekali, karena ia telah mengetahui di mana tempat penyimpanan alat-alat pertukangan yang sangat dibutuhkannya itu.
     "Mari ikut aku ke kampung itu," ajak Halimah kemudian.
     "Ada apa di sana?" tanya Utoh Berahim ingin tahu dan merasa tertarik dengan ajakan itu.
     "Ikut saja kami. Kamu akan tahu sendiri nanti. Tetapi ingat, jangan sekali-kali kau berkata-kata atau bertanya-tanya, jika kau melihat apa yang akan kami lakukan di sana nanti!" sahut Halimah memperingatkan Utoh Berahim.
     Karena rasa ingin tahu yang memuncak, Utoh Berahim memutuskan untuk mengikuti burong-burong itu. Lalu ia berjalan tanpa berkata-kata di belakang kedua burong itu.
     Tak lama berjalan, mereka telah berada di sebuah kampung yang bernama Alue. Alue adalah kampung tetangga dari kampung Utoh Berahim. Lolongan anjing yang menyambut kedatangan burong-burong itu semakin nyata terdengar. Merintih mengerikan.
     Di depan sebuah rumah yang gelap karena terlindung oleh dahan-dahan kayu yang berdaun lebat, burong-burong itu menghentikan langkah mereka. Halimah lalu menoleh kepada Utoh Berahim.
     "Mari kita naik ke atas," ajaknya.
     "Teteapi ingat, jangan bersuara sedikitpun!"
     Dengan rasa heran dan patuh, Utoh Berahim mengangguk. Halimah memegang tangannya. Tangan itu terasa dingin.
     Dan entah bagaimana, Utoh Berahim tiba-tiba telah berada di dalam rumah itu, di sebuah kamar yang hanya diterangioleh sebuah lampu duduk yang redup cahayanya.
     Di sana ia melihat seorang wanita yang sedang hamil tua, terbaring tak berdaya di atas sebuah tilam yang lusuh dan kotor. Wanita itu sedang sakit. Wajahnya yang pucat pasi, serta matanya yang cekung terpejam rapat, membuat Utoh Berahim merasa iba.
     Karena menyadari dirinya masih berada dalam keadaan telanjang tanpa sehelai kanpun, Utoh Berahim segera bersembunyi di balik sebuah lemari tua, yang terletak di sudut kamar dan agak terlindung dari cahaya lampu, untuk menyaksikan apa yang akan diperbuat oleh Halimah dan burong temannya. Ternyata di kamar itu telah hadir juga kelima burong yang dijumpai Utoh Berahim di pekuburan tadi.
     Ketujuh burong itu, termasuk Halimah, segera mengelilingi perempuan hamil yang sedang sakit itu. Mereka mulai menyiksa perempuan itu. Burong-burong itu menarik rambut perempuan itu kuat-kuat, mencakar seluruh tubuh yang tak berdaya itu, dan ada juga yang menggigit perutnya dengan gigi-gigi mereka yang runcing dan tajam-tajam, sehingga membuat perempuan sakit itu menjerit-jerit dan menggeliat kesakitan. Suara jeritan itu terdengar sayup-sayup, karena perempuan itu telah sangat lemah. Ketujuh burong itu tertawa terkikik melihat penderitaan perempuan yang sakit itu.
     Suara tawa itu hanya dapat terdengar di telinga Utoh Berahim. Sedangkan perempuan itu tak dapat mendengarkannya, apalagi untuk melihat para penyiksanya. Hanya jeritan tertahan serta rintihan kesakitan yang mempu dilakukannya. Bahkan ia tak tahu sama sekali, bahwa burong tujohlah yang sedang menyiksanya.
     Seorang perempuan tua muncul di kamar itu. Dengan wajah letih dan tergopoh-gopoh, ia segera mendekati perempuan sakit yang ternyata adalah anaknya sendiri itu. Lalu dengan penuh kasih sayang, ia memijit-mijit sekujur tubuh anaknya yang sedang merintih kesakitan itu. Dari mata perempuan itu, menitik air bening yang segera membasahi pipinya yang telah banyak keriputnya. Tak tahan ia menyaksikan penderitaan yang dialami oleh anaknya itu.
     Utoh Berahim yang sedang menyaksikan semua perbuatan burong-burong itu, menjadi takut bukan kepalang. Sekujur tubuhnya gemetar, dan keringat dingin terasa membasahi tubuhnya.
     Ketujuh burong itu semakin mengganas. Mereka berpesta pora menyiksa korbannya. Berebutan mereka menarik-narik seluruh tubuh wanita yang telah keletihan itu. Napas perempuan sakit itu tinggal satu-satu, dan harapan untukhidup bagi wanitanya hanya tinggal sedikit saja. Itu terbukti dari matanya yang sedang membelalak tanpa cahaya.
     Utoh Berahim menjadi tak sanggup dan tak tahan melihat perlakuan vurong-vurong itu. Rasa iba, maran dan ketakutan berbaur di dalam dirinya. Ia segera mengambil keputusan.
     "Hentikan!" teriaknya. "Hentikan perbuatan terkutuk itu! Aku tak tahan melihatnya!"
     Aneh sungguh.
     Begitu kata-kata itu keluar dari mulut Utoh Berahim yang sedang bersembunyi di balik lemari tua, keadaan yang sedang berlangsung di kamar itu segera berubah dengan cepat.
     Ketujuh burong itu seperti kena cambuk. Tubuh mereka segera terpental ke belakang, bagaikan ada sesuatu kekuatan yang sangat kuat yang menerpa mereka. Mereka menjerit kesakitan. Dan denga wajah yang semakin mengerikan serta ketakutan, ketujuh burong itu segera berlalu dari kamar itu. Mereka raib di sana. HIlang tak berbekas.
     Perempuan itu terkejut bukan main ketika mendengar suara laki-laki asing yang berasal dari balik lemari tua milik anaknya yang sakit itu.
     "Siapa di situ?" tanyanya dengan suara yang parau dan ketakutan. Perempuan tua itu kemudian membuka mulutnya lebar-lebar, untuk berteriak minta tolong. Ia menyangka ada maling yang bersembunyi di situ. Tetapi Utoh Berahim segera mencegahnya.
     "Jangan teriak, Bu," katanya epat.
     "Aku Utoh Berahim dari Kampung Langien. Aku baru saja menyelamatkan anakmu dari kematiannya. Lemparkan selembar kain ke padaku, nanti akan kuceritakan apa yang telah terjadi terhadap diriku, sehingga kau bisa berada di sini."
     Mendengar kata-kata dari balik lemari itu, perempuan tua itu merasa ragu-ragu. Setelah berhasil melawan keraguan di dalam hatinya barulah ia mengambil selembar kain sarung tua, dan segera melemparkan kain itu ke dekat lemari.
     Utoh Berahim segera mengambil kain itu. Setelah memakainya ia segera keluar dari tempat persembunyiannya. Perempuan tua itu mengawasinya dengan seksama. Dan hatinya menjadi lega ketika melihat laki-laki yang keluar dari balik lemari benar-benar Utoh Berahim yang dikenalnya.
     Utoh Berahim segera mendekati perempuan sakit itu. Ia tidak mengerang lagi, karena tak ada lagi yang menyiksanya. Hanya saja, rasa letih sangat jelas terpancar dari wajahnya yang memucat kekurang darah.
     Ia menyuruh perempuan tua itu untuk mengambil segelas air dan langsung memberikannya kepada perempuan sakit itu. Walaupan agak lama, si sakit berhasil menghabiskan semuanya. SEtlah itu, ia lalu tertidur dengan nyenyaknya.
     Utoh Berahim kemudian menuturkan pengalamannya kepada perempuan tua itu. Ia mendengar pengalaman Utoh Berahim itu dengan penuh perhatian. Dan ia pun tidak membantah cerita laki-laki itu karena memang ia percaya, bahwa selama ini anaknya selalu mendapat gangguan dari burong tujoh yang menakutkan.
     Setelah selesai menuturkan pengalamannya, Utoh Berahim kemudian minta diri kepada wanita tua itu. Dengan meminjam kain sarung yang dipakainya, karena tak mungkin ia pulang ke rumahnya dengan bertelanjang bulat.
     Ketika Utoh Berahim meninggalkan rumah itu, kokok ayam yang bersahut-sahutan telah terdengar, menandakan tak lama lagi malam akan digantikan oleh siang. Bergegas ia berjalan di keremangan malam menuju ke kampungnya yang tak jauh.
     Dan benar saja. Besok harinya Utoh Berahim berhasil mendapatkan kembali alat-alat pertukangannya di kandang ayam tua yang terletak  di belakang rumahnya. Tak satu pun alat-alat keperluannya itu yang hilang. SEmuanya utuh seperti semula.
     Tetapi pengalamannya yang cukup menyeramkan itu, tak pernah hilang dari ingatannya sampai kapan pun. cerita : T.Van Mook
Senang edisi 0533 thn 1982

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.