Berdamai dengan Diri Sendiri

     Kapan terakhir kali kita menyadari rasa damai di dalam diri sendiri? Sepertinya kesibukan yang melanda sepanjang waktu, membuat kita tidak sempat untuk berdialog dengan diri sendiri. Kedekatan yang tak berjarak dengan diri, menempatkan rasa sok tahu kita di posisi paling atas, lalu menganggap kita sudah tahu segalanya dengan baik.
     Sejatinya memang seperti itu. Tanpa jarak dengan diri sendiri, juga membuat kita takut untuk menelisiknya secara obyektif. Begitu banyak kepalsuan yang kita lakoni sehari-hari, entah itu untuk menyenangkan klien atau orang-orang lain yang bertemu dengan kita, atau untuk kepentingan oportunis yang menjadi kebiasaan kita, telah melahirkan ketakutan yang begitu luar biasa. Menengok dengan kacamata yang obyektif tentang siapa diri kita sebenarnya akan meneguhkan, sekaligus akan menyayat kepiluan yang telah menyertai setiap detik kemunafikan yang kita lakoni.
     Konflik yang berkepanjangan itulah yang kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan kepada kita. Berbagai macam kekecewaan mendera bertubi-tubi, oleh harapan yang meluap-luap kepada fenomena dunia, namun tidak kesampaian menjadi kenyataan. Memang sih, gangguan kejiwaan pada setiap individu itu bervariasi. Pada tingkat yang tidak mampu ditoleransi oleh kemunafikan yang menjadi bahan dasar topeng yang kita kenakan, maka psikiater akan menjadi penyelesaian yang logis.

     Sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi bila kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Mengamati diri sendiri, tidak seperti kalau kita mengamati orang lain. Sesuatu yang begitu mudah bila kita diminta menakar tentang seseorang, tentang orang lain. Ada spasi antara kita dengan obyek (orang lain) yang kita amati, yang kita isi dengan berbagai hal yang telah kita percayai sebelumnya. Juga beberapa asumsi umum, tentang apa yang kita harapkan dari obyek itu, menjadikan distorsi di dalam pengamatan.
     Itulah mengapa, apa yang kita lihat dengan indera kita, tidak bisa sekonyong-konyong melahirkan kesimpulan yang obyektif. Pengaruh tentang apa yang hendak kita simpulkan, tentang apa yang kita harapkan, tentang apa yang kita percaya dari orang tersebut menjadi pengisi spasi antara kita dengan obyek. Terjadi bias, distorsi di dalam pikiran mengenai kesimpulan tentang orang lain.
     Ambil contoh bila kita melihat seorang perempuan. Dalam sekejap, kita bisa meyimpulkan, ‘ah dia bukan tipeku’. Pengamatan kita terdistorsi oleh harapan-harapan apa yang ada di pikiran kita tentang seorang perempuan. Kesimpulan yang kita buat menjadi bias.
     Hal itu tidak terjadi bila kita mengamati diri sendiri. Tidak adanya jarak antara kita dan diri sendiri, tidak menyisakan tempat untuk adanya bias atau distorsi di dalam pengamatan. Kita bisa tau dengan cermat dan teliti apa dan siapa diri kita, dalam istilah yang lebih sederhana bahwa kita melihat fakta apa adanya tentang kualitas diri sendiri. Kitapun kemudian ‘enggan’ bertemu diri sendiri, karena ternyata dia tidak sempurna.

     Lalu untuk apa semua kenyataan diri sendiri itu? Ya jelas untuk berdamai dengannya. Mengamati diri sendiri tanpa rasa takut, tanpa kegelisahan, maka kita akan bisa menerima keadaan diri sendiri ‘apa adanya’, dengan semua kekurangannya. Di saat itu, kita merasakan damai.
     Misalnya kita tahu bahwa kita pendek, gendut dan botak. Ketika fakta-fakta itu bisa kita terima tanpa ekspektasi apa-apa tentang diri kita, maka kita akan bisa bersikap biasa saja. Tidak risih. Tidak terganggu oleh apapun, oleh siapapun yang mempermasalahkan kualitas pendek, gendut dan botak itu. Kemampuan menerima diri sendiri dengan segala kekuarangan dan kelebihannya, akan berdampak positif ke arah kemampuan kita menerima orang lain. Kita tidak akan rewel oleh hal-hal kecil dan remeh. Batin kita menjadi tenang, tidak mudah marah atau tersinggung.
     Kedamaian yang tercipta itu pun kemudian akan terpancar ke lingkungan kita. Sebagai orang yang damai hatinya, maka aura positif itu akan menyebar ke orang-orang lain yang bergaul dengannya. Kita tidak perlu kecewa kepada diri sendiri karena bisa menerima diri apa adanya. Karenanya, bagaimana pun orang lain memodifikasi untuk mengkiritik atau menjatuhkan kita oleh kekurangan-kekurangan yang kita miliki, tidak akan mengganggu kita lalu menjadikan kita tersinggung bahkan marah membabi buta.
     Kita akan menjadi orang bijak, yang tidak goyah oleh cacian ataupun pujian. Kemampuan kita berdamai dengan diri sendiri akan menjadi tangga untuk meraih salah satu kualitas ‘bijak’ di kehidupan ini.
sumber gambar : terupdateonline[dot]com

Konflik yang berkepanjangan itulah yang kemudian menimbulkan gangguan kejiwaan kepada kita. Berbagai macam kekecewaan mendera bertubi-tubi, oleh harapan yang meluap-luap kepada fenomena dunia, namun tidak kesampaian menjadi kenyataan.

Label:

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.