Galileo menafsir ciptaan Tuhan dengan matematika, dan Einstein menyimaknya dengan rasa kagum yang tiada tara. Namun, jalan yang ditempuh Einstein untuk memahami semesta tidak pernah berhiaskan doa atau ritual religius. Ia memilih jalan yang lebih sunyi, yang lebih rumit: jalan sains yang menuntut bukan hanya kecerdasan, tetapi juga keberanian untuk mendobrak dogma-dogma kuno.
Pada usia 12 tahun, anak Yahudi ini sudah menolak kitab suci yang selama ini diajarkan kepadanya. Ia tidak menolak Tuhan, tetapi ia menolak Tuhan versi manusia: Tuhan yang memberi perintah, Tuhan yang mencatat dosa, Tuhan yang meminta untuk disembah. Dalam penolakannya, ia menemukan sebuah buku kecil tentang geometri Euklides—buku yang mengubah hidupnya. Geometri itu sederhana, logis, dan jenius. Einstein menyebutnya “keajaiban pertama” dalam hidupnya, pengalaman yang membuka matanya pada keindahan alam semesta yang tak memerlukan legitimasi dari langit atau ayat-ayat suci.
Dalam autobiografinya yang ditulis di usia 67 tahun, Einstein mengenang masa itu sebagai momen transendensi. Dunia baginya tidak lagi dipenuhi oleh hukum-hukum moral yang kaku, melainkan oleh “sebuah teka-teki besar yang kekal.” Pada usia 16, ia akhirnya mengaku kepada ayahnya bahwa ia tidak lagi percaya pada agama. Keputusan itu bukan tindakan pemberontakan, melainkan langkah seorang remaja yang menciptakan iman dan sainsnya sendiri.
Dua dekade kemudian, Einstein berbicara tentang “iman” dalam pidatonya untuk ulang tahun Max Planck, salah satu ilmuwan besar abad itu. Ia berkata, “Dalam menghadapi problem sains yang paling sulit, kita membutuhkan keadaan perasaan seperti seorang religius. Tanpa rasa kagum itu, kita tidak akan pernah bertahan.” Tetapi jangan salah mengira. Einstein tidak sedang mempromosikan agama seperti yang kita kenal.
“Religius” bagi Einstein adalah rasa takjub yang mendalam terhadap harmoni alam semesta. Ia menyebutnya “religiositas kosmis.” Ini bukan agama yang mengenal imam, pendeta, atau rabbi. Tidak ada ritual, tidak ada dogma, tidak ada kitab suci. Einstein menggambarkan agamanya sebagai “rasa kagum yang daif terhadap kekuatan intelektual yang tak terhingga, yang menampakkan dirinya dalam hal paling kecil, yang hanya bisa kita tangkap dengan pikiran kita yang lemah dan tak utuh.”
Tuhan Einstein bukan Tuhan Abraham, bukan Allah dalam Islam, bukan Kristus dalam Kekristenan. Tuhan Einstein adalah “kehadiran satu kecerdasan intelektual” yang terungkap dalam harmoni dunia. Ia adalah Tuhan yang subtil, lembut, bukan Tuhan yang menyuruh-nyuruh, mengutuk, atau meminta disembah. Dalam satu suratnya, Einstein menjelaskan bahwa pandangannya tentang Tuhan terinspirasi oleh Spinoza, filsuf yang dikeluarkan dari komunitas Yahudi Amsterdam pada 1656 karena dianggap sesat.
Spinoza percaya bahwa Tuhan bukanlah sosok yang peduli pada nasib manusia, melainkan Tuhan yang mengejawantahkan diri dalam hukum-hukum alam. “Deus sive Natura,” katanya. Tuhan adalah alam, dan alam adalah Tuhan. Einstein menggemakan pandangan ini dengan penuh penghormatan. Ia menolak Tuhan yang antroposentris, Tuhan yang diperlakukan seperti benda yang bisa dihitung atau diukur.
Namun, pandangan ini sering kali disalahpahami. Rabbi Goldstein dari New York, dalam suratnya kepada Einstein, memintanya untuk menyatakan bahwa pandangan ilmiahnya mendukung monoteisme. Einstein menjawab dengan sopan tetapi tegas bahwa Tuhan dalam religiositas kosmisnya tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori monoteis atau politheis. “Tuhan saya tidak bisa dihitung seperti jeruk,” tulisnya.
Einstein juga dikenal dengan kritik tajamnya terhadap mekanika kuantum. “Tuhan tidak bermain dadu,” ucapnya, menyindir teori bahwa alam semesta ini bekerja berdasarkan probabilitas. Einstein percaya bahwa Tuhan adalah harmoni yang sempurna, bukan entitas yang menciptakan semesta yang kacau. Tetapi Niels Bohr, tokoh mekanika kuantum, dengan pedas membalas: “Stop telling God what to do!”
Sampai akhir hidupnya, Einstein menolak mekanika kuantum. Ia tidak bisa menerima bahwa gerakan partikel mengikuti hukum probabilitas. “Teori ini tidak mendekatkan kita pada rahasia Tuhan,” katanya. Sikap ini membuat hubungannya dengan para pelopor kuantum, seperti Heisenberg, memburuk. Tetapi inilah dua sisi sains: keindahan intuisi yang memandu, dan keras kepala seorang ilmuwan yang yakin ia bisa membaca kartu Tuhan.
Einstein adalah seorang paradoks. Ia menolak agama-agama konvensional, tetapi ia juga tidak bisa menerima ateisme yang dingin dan nihilistik. “Tuhan halus, subtil, tetapi tidak jahat,” katanya, seakan ingin mengingatkan kita bahwa di balik misteri alam semesta ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melampaui pemahaman kita yang terbatas.
Dalam sosok Einstein, kita menemukan seorang penafsir Tuhan yang tidak pernah berlutut di hadapan altar, tetapi juga tidak pernah berhenti merasa kagum. Ia adalah bukti bahwa religiositas tidak memerlukan doa atau dogma, tetapi hanya membutuhkan satu hal: keberanian untuk berpikir, dan kekuatan untuk merasa.
***
Posting Komentar