Merebut Nyawa Suami

     Suma In adalah kembang desa Pak I San Cung. Wajahnya cantik sekali. Tidak mengherankan jika banyak pemuda yang tergila-gila padanya. Banyak pemuda yang mengimpikan bersanding dengan Suma In yang jelita. Tidak jarang ada yang mengigauka gadis cantik itu dalam setiap tidurnya.
     Puluhan lamaran dengan beraneka macam perhiasan emas intan diserahkan kepada orang tua Suma In. Namun semua lamaran itu ditolaknya dengan cara halus. Alasannya, Suma In belum mau kawin. Masih senang membujang.
     Namun sebenarnya bukanlah demikian. Suma In memang tidak pernah merasa cocok dengan pemuda-pemuda yang melamarnya. Karena sebenarnya Suma In sudah mempunyai pilihan sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai orang kaya.
     Siang malam Suma In menantikan lamaran pemuda idamannya. Namun meskipun hubunganmereka sudah berlangsung sekian bulan, bahkan sekian tahun, ternyata pemuda idamannya itu belum juga mengirimkan surat lamaran. Tentu saja hal itu membuat hati Suma In sedih.
     Setiap hari Suma In selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Jika malam sudah larut, Suma In selalu merenungkan pemuda idamannya. Wajahnya selalu dikenangnya. SEnyuman pemuda yang sangat memikat itu setiap dikenangnya sering membuat ia tersenyum sendiri.
     Pemuda yang menjadi idaman Suma In adalah Coh Peng. Seorang pemuda yang kekar, dengan ketampanannya yang memikat. Senyuman manis selalu tersungging di bibirnya yang merah mirip bibir seorang gadis. Pipinya selalu kemerahan setiap kali Suma In menyindirnya.
     Tetapi mengapakah kau wahai pria pujaanku? Mengapa sampai sekarang kau belum juga melamarku? Apakah kau tidak mencintaiku? Dengarlah jeritan hatiku ini..
     Semula orang tua Suma In tidak mengetahui, bahwa anak gadisnya ternyata merindukan seorang pemuda miskin yang bernama Coh Peng itu. Namun akhirnya mereka tahu juga. Yakni ketika orang tua Suma In, yang kepala kampung Pek I San Cung, si Jenggot Putih Lo Ban, secara tidak sengaja melihat Suma Inmemandangi gambar seorang pemuda tampan yang juga dikenalnya.
     Si Jenggot Putih Lo Ban tahubetul gambar siapa yang dipandangi putrinya itu. Coh Peng memang seorang pemuda yang terkenal halus budi pekertinya. Banyak disukai orang. Tak pernah menyakiti hati teman-temannya. Dan yang lebih menonjol lagi, Coh Peng adalah seorang pemuda yang ringan tangan dan suka membantu siapa pun yang memerlukan bantuannya.
     Sudah banyak jasa Coh Peng dalam membantu pemerintahan di Pek I San Cung. Si tua Lo Ban memang pernah berangan-angan, alangkah bahagianya kelak jika ia mempunyai menantu seperti Coh Peng itu. Tetapi tidak pernah terlintas dalam benaknya, untuk mengambil Coh Peng sebagai menantunya.
     Hal itu dikarenakan Coh Peng bukanlah orang yang kaya. Padahal, si Tua Lo Ban siang malam berangan-angan agar putrinya yang cuma satu-satunya itu kelak mendapatkan jodoh seorang pemuda tampan yang kaya raya. Dengan demikian pamor keluarganya tidak menjadi merosot. Bahkan akan dapat menjulang di mata masyarakat Pek I San Cung.
     Oleh karena itu, ketika dilihatnya putrinya selalu memandangi gambar Coh Peng, hati si Jenggot Putih Lo Ban sedikit banyak merasa tidak senang. Namun apa daya, ia tak pernah berhasil membujuk putrinya untuk menerima keinginan para pemuda kaya yang telah melamarnya.
     "Bagiku, bukan harta benda yang dapat membahagiakanku. Hanya perasaan cinta itu saja yang dapat membahagiakanku. Oleh karenanya, aku hanya akan menerima pemuda yang benar-benar mencintaiku, dan yang paling kucinta. Jangan ayah memaksaku untuk kawin dengan pemuda yang tidak kucintai". Selalu begitu jawaban Suma In jika ayahnya memaksakan kehendaknya.
     Tentu saja si Jenggot Putih Lo Ban tidak berani lagi memaksa putrinya yang sangat dicintainya itu. Dengan demikian terpaksa ditolaknya lamaran pemuda-pemuda yang datang ke rumahnya.
     Perlu diketahui bahwa meskipun Suma In menggunakan She Suma, namun sebenarnya dia aalah putri tunggal Jenggot putih Lo Ban. She Suma disematkan untuk nama gadis itu, hanyalah merupakan cara si Jenggot Putih Lo Ban untuk mengenang jasa dan utang budinya kepada seorang sahabat karibnya yang bernama Suma Hong.
     Pada saat Lo Ban masih bekerja di suatu perusahaan pengawalan barang, Piauw Kiok, dia pernah berutang budi kepada sahabatnya yang bernama Suma Hong. Itu terjadi ketika ia mengawal suatu barang, kemudian di tengah jalan dibegal oleh sekawanan perampok. Hampir saja ia menemui ajal ketika mempertahankan barang kawalannya itu.
     Untunglah sahabatnya, Suma Hong, datang membantunya. Bahkan sahabat karibnyaitu rela mengorbankan nyawanya demi keselamatannya. Sumo Hung gugur dalam pertarungan melawan kawanan perampok itu. Namun demikian lebih dari separuh kawanan perampok itu dapat ditumpas oleh Suma Hong, sehingga sisanya dengan mudah dapat dibereskan oleh Lo Ban.
     Sejak itulah Lo Ban merasa kehilangan seorang sahabat karib yang dianggapnya sebagai saudara kandung. Kecintaannya kepada sahabatnya itu dibuktikannya dengan menyematkan she sahabatnya, she Suma, untuk nama putrinya, Suma In.
     Di sebuah tempat yang agak terpencil, ada sebuah gubuk yang tidak terlalu besar. Penghuni gubuk itu adalah seorang pemuda tampan yang sangat dicintai Suma In, yakni Coh Peng. Ia sedang merenungi nasibnya yang buruk. Hampir semua waktu diganakannya untuk merenung.
     Sebenarnya Coh Peng ingin sekali melamar gadis pujaannya. Namun, niatnya itu dibatalkannya sendiri. Hal itu bukanya karena ia merasa rendah diri. Sama sekali tidak. Coh Peng yakin lamarannya akan diterima gadis itu. Karena Coh Peng tahu benar, Suma In selalu menolak lamaran pemuda lain. Tentu saja disebabkan karena dalam hati Suma In hanya terisi dirinya saja. Selain Coh Peng, tak ada pemuda yang dicintai Suma In.
     Namun kenapa Coh Peng tidakmau melamar gadis pujaannya yang sangat dicintai dan juga mencintainya itu? Tidak seorang pun yang tahu. Bahkan Suma In yang siang malam selalu merindukan kedatangan pemuda itu, juga tidak tahu. Kecuali Coh Peng, tak ada orang kedua yang mengetahui persoalannya.
     Sebenarnya besar hasrat Coh Peng untuk melamar Suma In. Namun, apalah artinya mengenyam kebahagiaankalau hanya singkat sekali? Bahkan setelah itu akan menyebabkan orang lain yang justru yang paling dicintainya menjadi berduka seumur hidupnya. Apakah arwahnya di alam baka nanti dapat tenteram?
     Tidak! Pasti tidak!
     Arwahnya nanti pasti akan merana selamanya. Jika dilihatnya Suma In hidup sengsara, tentu hatinya pun akan bersedih pula. Apalagi jika disadarinya bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa untuk menghilangkan kesedihan Suma In.
     Pikirannya itu selalu berkecamuk di benak Coh Peng. Soalnya pemuda itu sadar dan tahu betul, bahwa umurnya tidak akan lebih dari satu tahun lagi. Kelak, menjelang tahun baru, ia sudah harus meninggalkan dunia fana ini.
     Giam Lo Ong telah memberitahukan kepadanya, bahwa menjelang tahun baru yang akan datang, nyawanya akan dicabut. Berarti, ia sudah harus berhenti menjadi manusia. Tempat selanjutnya adalah di dalam tanah yang pengap dan beku. Bukan manusia hidup lagi yang menjadi temannya, melainkan setan iblis atau malaikat. Sedang sebagai teman tubuhnya yang terbaring kaku di dalam tanah adalah semut-semut atau binatang dalam tanah saja. Lain tidak !
     Ya, oleh karena itulah dia tidak berani melamar Suma In. Dia takut, jika dia mati nanti, Suma In akan berduka. Kemudian tubuhnya akan menjadi kurus kering. Coh Peng tidak sampai hati melihat keadaan Suma In yang demikian. Oleh karenanya, lebih baik tidak melamar Suma In, daripada nanti Suma In merasa sedih jika ia mati.
     Coh Peng lebih rela menderita siksaan batin daripada nantinya Suma In yang menderita. Apakah artinya hidup bahagia yang hanya sesingkat itu? Dan terlebih lagi, kebahagiaan yang singkat itu nantinya pasti akan digantikan dengan duka lara yang tak berkesudahan.
     Sayang sekali, tindakan Coh Peng yang bermaksud baik itu justru membuat gadis yang sangat dicintainya menjadi berduka. Karena pemuda yang dicintai dan dirindukan siang malam tidak juga datang melamar. Suma In menjadi sedih sekali. Kemudian, ternyata gadis itu jatuh sakit. Dalam setiap tidurnya gadis itu selalu mengigau. Memanggil-manggil nama Coh Peng, kekasih hatinya.
     Si Jengot Putih Lo Ban tentu saja merasa kebingungan. Suma In baginya adalah harta yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, si Jenggot Putih Lo Ban merasa khawatir, jangan-jangan karena berduka anak gadisnya meniggal dunia. Oleh karena itu, si Jenggot Putih Lo Ban kemudian menyuruh segenap pembantunya untuk memanggil beberapa orang tabib pandai. Namun tak seorangpun dari tabib itu yang mampu mengobati penyakit putri tunggalnya.
     Tiba-tiba si Jenggot Putih Lo Ban menyadari, bahwa tak mungkin penyakit anaknya dapat disembuhkan oleh orang lain. Selain orang yang selalu dirindukan putrinya. Ya, Coh Peng lah yang memegang peranan penting.
     Oleh karenanya, si Jenggot Putih Lo Ban memutuskan untuk mengambil Coh Peng sebagai menantunya. Biarlah ia mempunyai menantu yang miskin. Baginya, sekarang, tidak lagi menjadi soal. Asal Suma In yang sangat dicintainya dapat sembuh dan kemudian hidup bahagia, itu saja sudah cukup. Si Jenggot Putih Lo Ban akhirnya terbuka mata hatinya, bahwa cinta memang hebat sekali kekuatannya.
     Demikian, Coh Peng kemudian dipanggil datang ke rumah si Jenggot Putih Lo Ban.
     Ketika memasuko rumah yang megah itu, Coh Peng berdebar-debar. Sebentar lagi ia akan dapat melihat gadis pujaan hatinya. Ada perasaan takut yang menyusup ke dalam sanubarinya. Namun itu  hanya sekilas saja. Kemudian digantikan oleh api cinta yang hangat.
     Ternyata benar apa yang diduga si Jenggot Putih Lo Ban. Yang dapat menyembuhkan penyakit putrinya adalah Coh Peng. Begitu Coh Peng berhadapan dengan Suma In, seketika kekuatannya seperti sudah pulih seperti sedia kala. Dan Suma In langsung berseri-seri, begitu ayahnya mengatakan bahwa dalam waktu dekat Suma In akan dinikahkan dengan Coh Peng. Tentu saja hati gadis yang sedang dimabuk cinta itu girang sekali.
     Cuma sayang, tidak demikian halnya dengan pemuda Coh Peng. Hati pemuda itu semula memang bahagia. Namun jika diingatnya bahwa umurnya tidak akan lebih dari satu tahun bahkan tinggal beberapa bulan lagi, hatinya menjadi sedih sekali.
     Namun kesedihannya tidak diperlihatkannya kepada Suma In. Coh Peng khawatir, jangan-jangan kekasihnya itu akan ikut sedih. Dibiarkannya Suma In menikmatikebahagiaannya.
     Namun betapapun juga Suma In dapat melihat kesedihan di hati Coh Peng, yakni ketika pernikahannya dengan Coh Peng telah berlangsung beberapa bulan.
     "Suamiku, kulihat kau selalu berduka dan bermenung saja. Apa sebenarnya yang kau pikirkan?" Tanya Suma In pada suatu hari.
     Coh Peng gelagapan. Dia tak dapat menjawab pertanyaan istrinya.
     "Suamiku, kini kita sudah menjadi suami istri, maka seharusnya kesulitan kita pecahkan bersama. Kesulitanmu aku wajib ikut memecahkannya. Demikian juga halnya dengan kesulitanku. Oleh karena itu, katakanlah keadaku, apa yang sebenarnya yang kau pikirkan." Suma In berusaha mendesak terus, namun Coh Peng tetap berusaha merahasiakan kesedihannya.
     "Suamiku, jika kau tidak mau memberitahukan kepadaku kesulitan yang sedang kau pikirkan, maka alangkah baiknyajika kau tidak usah melihatnya."
     Terpaksalah Coh Peng memberitahukan kesulitannya kepada istrinya. Dikatakannya bahwa menjelang tahun baru nanti, jadi tidak lebih dari tujuh hari lagi, dia akan meninggal dunia.
     Mendengar penjelasan suaminya, alangkah terkejutnya hati Suma In.
     "Dari mana kau tahu tujuh hari lagi kau akan mati?" tanyanya.
     "Giam Lo Ong sendiri yang memberitahukannya kepadaku. Aku telah ditakdirkan mati muda. Tujuh hari lagi, aku akan meninggalkanmu. Itulah yang membuatku bersedih," jawab Coh Peng.
     "Tidak mungkin...!"
     "Giam Lo Ong pernah datang kepadaku. Aku tidak membohongimu." Tentu saja hal itu membuat Suma In sedih sekali. Demikian juga dengan  si Jenggot Putih Lo Ban. Beberapa ahli nujum dipanggil untuk memasang tangkal, agar nyawa Coh Peng dapat diselamatkan. Namun apa daya, kekuatan manusia yang betapapun hebatnya, tidak mungkin mampu merintangi tindakan Giam Lo Ong.
     Tujuh hari kemudian, Coh Peng benar-benar meninggal dunia!
     Suma In menangis sedih sekali. Dipeluknya jenazah suaminya, dan dimandikannya dengan air matanya. Oleh karena terlalu hebatnya kesedihan Suma In, sukmanya pun meninggalkan raganya.
     Sukma Suma In melihat berkelebatnya Siam Lo Ong yang menggandeng sukma suaminya. Cepat Suma In mengejarnya sambi berteriak-teriak menyuruh Giam Lo Ong berhenti. "Tunggu, tunggu aku! Aku ikut denganmu!" teriak Suma In. Giam Lo Ong yang sedang menggandeng sukma Coh Peng terpaksa menghentikan langkahnya.
     "Kenapa kau mengejarku?" tanya Giam Lo Ong kapada Suma In.
     "Jika kau mencabut nyawa suamiku yang sangat kucintai, maka lagih baik kau cabut juga nyawaku. Aku tak mau berpisah dari suamiku. Sampai matipun aku akan tetap mengikutinya," kata Suma In.
     "Anak perempuan, ketahuilah bahwa memang sudah tiba waktunya bagi Coh Peng untuk mengakhiri masa hidupnya di dunia. Sedangkan kau belum ditakdirkan untuk mati. Oleh karena itu, kau harus kembalike dunia lagi. Teruskan hidupmu di dunia, kelak jika sudah tiba saatnya untuk mati, kau akan dapat berkumpul lagi dengan arwah suamimu. Kembalilah kau sekarang."
     "Tidak! Aku tak mau berpisah dari suamiku. Aku sangat mencintainya."
     "Tidak bisa. Kau harus kembali. Anak perempuan, kau tidak akan mati sekarang. Sebelum kau melahirkan dua puluh satu bayi,kau tidak akan mati. Oleh karena itu kau harus kembali ke dunia lagi."
     "Tidak mau."
     "Kau menentangku?" tanya Giam Lo Ong sambil memandang tajam wanita itu.
     "Terpaksa aku menentangmu. Karena, kau kuanggap tidak adil. Coh Peng adalah seorang laki-laki yang tak pernah berbuat dosa. Mengapa kau cabut nyawanya selagi dia masih muda? Apakah itu adil? Dan lagi, mengapa kau renggut nyawanya selagi kami menikmati kebahagiaan sejati?"
     "Ah, anak perempuan yang malang. Memang demikianlah kehendak takdir. Suamimu memang telah ditakdirkan untuk mati pada hari ini. Karenanya, sekali lagi kuperintahkan kepadamu untuk kembalike dunia. Jangan kau bantah perintah Giam Lo Ong."
     "Aku akan tetap membantahnya. Aku akan tetap mengikuti suamiku. Betapapun, apa pun yang akan terjadi, aku akan tetap bersama-sama suamiku. Oleh karenanya, jika kau mencabut nyawa suamiku, cabut juga nyawaku. Jika suamiku mati, maka pada hari itu juga aku harus mati."
     "Anak perempuan, sudah kukatakan, sebelum kau melahirkan dua puluh satu bayi dan membesarkannya hingga mereka berkeluarga, kau belum akan mati. Maka permintaanmu untuk mati itu tak dapat dikabulkan."
     "Dikabulkan atau tidak, aku tetap akan mati. Ingin kulihat, apakah kau dapat mencegah maksudku untuk mati atau tidak," Suma In tetap berkeras kepala.
     "Sayang, aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Kau harus tetap hidup."
     "Huh, jika aku tetap hidup, tak mungkin aku dapat melahirkan dua puluh satu bayi seperti yang ditakdirkan. Dari mana aku dapat melahirkan anak jika tak ada suami yang membuahi rahimku?"
     "Aku takmau bersuami lagi. Selain Coh Peng, aku takmau meladeni laki-laki. Nah, apa yang akan kau perbuat? Takdir itu tidak lagi dapat terlaksana. Aku yang telah ditakdirkan untuk melahirkan dua puluh satu bayi, membesarkannya dan merestuinya di kala anak-anakku itu berumah tangga, semua akan gagal, karena aku tidak akan bersuami. Selain Coh Peng yang akan membuahi rahimku, aku tidak sudi. Jadi, jika aku harus melahirkan dua puluh satu anak, maka kau harus mengembalikan Coh Peng, agar dia dapat membuahi rahimku."
     "Coh Peng hari ini harus mati."
     "Kalau begitu, aku takmungkin melahirkan dua puluh satu anak. Dengan demikian, takdir yang telah digariskan akan meleset. Berarti takdir semua manusia di dunia pun akan meleset. Jika ada kesalahan pertama, tentu akan diikuti kesalahan berikutnya. Sekali takdir tidak tepat seperti yang telah digariskan, maka selamanya takdir tidak lagi dapat dipercaya," kata Suma In.
     "Celaka kau, anak perempuan! Cerdik juga kau menyerangku dengan kata-kata. Baiklah, agar takdir tetap berlaku bagi semua manusia, dan berjalan tepat sebagaimana mestinya, maka kau akan tetap melahirkan dua puluh satu anak. Mengasuhnya, membesarkannya dan merestuinya sampai mereka berkeluarga."
     "Tidak mungkin aku punya anak, karena suamiku sudah mati."
     "Siapa bilang? Kau sudah ditakdirkan demikian, maka harus berlaku demikian pula. Anak perempuan yang berbahagia, cerdik dan sangat mencintai suami, pulanglah dengan segera."
     "Aku tidak mau pulang jika tidak dengan nyawa suamiku, Coh Peng."
     "Kululuskan permintaanmu. Bawa pulang sukma suamimu. Hiduplah kalian dengan berbahagia. Coh Peng, kembalilah kau kepada istrimu dan gaulilah istrimu sampai istrimu melahirkan dua puluh satu bayi. Kelak anak-anakmu itu akan menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsanya. Anak-anakmu kelak akan menjadi pahlawan-pahlawan yang kenamaan. Aku merestu kalian."
     Sekejap kemudian Giam Lo Ong menghilang dari hadapan Suma In dan Coh Peng. Keduanya kemudian kembali lagi ke dunia, kembali ke dalam tubuh masing-masing. Dan Coh Peng serta Suma In yang semula telah mati, hidup kembali. Itu berkat jasa Suma In, istri yang sangat dicintainya. Suma In telah merebut nyawa Coh Peng dari tangan Giam Lo Ong.
     Seperti telah ditakdirkan, hasil perkawinan Coh Peng dengan Suma In adalah dua puluh satu anak. Kemudian, ketika sudah besar, anak-anak Coh Peng menjadi pahlawan besar untuk bangsanya.
Lao She

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.