Kekuasaan, Perebutan atau Pertanggung Jawaban?

     Di rumah yang sederhana itu seorang lelaki tua terbaring sakit di atas dipan. Sepertinya ia sudah mendapat firasat bahwa inilah saat-saat akhir dari perjalanan hidupnya di dunia. Tidak ada sama sekali kecemasannya untuk menghadapi kematian itu. Kecuali satu hal yang belum rampung. Siapa yang akan menggantikan dirinya sebagai Khalifah yang akan melanjutkkan kepemimpinan atas umat muslim itu?
     Abu Bakar 'sang penerima kebenaran' itu sedang berfikir keras didampingi tubuhnya yang sakit. Setelah banyak kesimpulan yang tersimpan di benaknya, maka dimintanyalah orang yang selama ini menjadi 'tangan kanan'nya di dalam pemerintahan, untuk menemuinya.1)
    Tidak lama kemudian, orang yang dimaksud sudah berada di depan pintu, menyampaikan salam dengan takzim. Dia Umar ibn Khattab2)  segera menghampiri sisi dipan tempat Abu Bakar sang Kalifah pertama terbaring. Tanpa menunggu Umar duduk bersimpuh dengan rapi, Abu Bakar langsung mengutarakan kesimpulan dari perenungan atas pertimbangan-pertimbangan yang dilakukannya. Salah satunya adalah tentang konsistensi dan ketegasan di dalam bersikap. Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi Khalifah menggantikan dirinya setelah ia meninggal nanti.

     "Jangan, Abu Bakar!" tukas Umas spontan setengah berteriak. "Aku tidak memerlukan jabatan Khalifah itu", sambungnya.
     "Tetapi kekhalifahan memerlukanmu, Umar" sahut Abu Bakar sang Khalifah. "Aku kuatir maut tiba-tiba menjemputku dan meninggalkan rakyat tanpa khalifah pengganti.." lanjutnya lagi.
     "Tunjuklah penggantimu selain aku!" sergah Umar segera.
     "Siapa?" Abu Bakar berpaling menatap wajah Umar.
     "Abu 'Ubaidah misalnya. Dia Aminul Ummah, kepercayaan Ummat." Umar menyebutkan satu nama kepada Khalifah.
     "Memang itu sudah kupikirkan juga, Umar. Namun aku tidak melihat pada diri 'Ubaidah itu, kekuatan seperti yang ada pada dirimu. Dia memang dapat dipercaya, tetapi aku ingin orang yang kuat yang dapat dipercaya. Al-Qawwiyyul Amiin. Kaum Muslimin saat ini sedang menghadapi dua Singa, yaitu Parsi dan Rum. Karenanya pula umat inipun diperhadapkan hanya pada dua pilihan. Apakah Umat ini nanti mampu menyinari dunia dengan Cahaya Islam, atau justru dunia yang akan memadamkan Cahaya Islam." tutur Abu Bakar panjang lebar.
     "Allah akan menyempurnakan Cahaya Islam, betapapun orang-orang kafir tidak merasa senang." ucap Umar dengan mantap.
     "Allah menyempurnakan Cahaya Islam melalui hamba-hambaNya yang pantas, yang berjuang dengan ikhlas!" timpal Abu Bakar tidak kalah mantap.
     "Bagaimana Anda memilihku, Khalifah, sedangkan aku sering berbeda pendapat dan pandangan dengan Anda?" selidik Umar lebih jauh.
     "Justru itu yang memperkuat pilihanku. Aku ingin seorang yang bila mengatakan tidak, ia mengatakannya dengan sepenuh hati. Bila ia mengatakan iya, iapun mengatakannya sepenuh hati." Mereka berdua terus berdebat saling bertukar argumentasi. Yang satu ngotot meminta, yang satu berkeras menolak.
     Di desak terus menerus, Umar yang perkasa itu pun menitikkan air mata. "Abu Bakar, aku mengkhawatirkan diriku, agamaku dan akhiratku.."
     "Wahai Umar, dalam urusan kekuasaan ini, ada dua orang yang celaka. Pertama adalah orang yang berambisi menjadi penguasa padahal dia tahu ada orang yang lebih pantas dan lebih mampu daripada dirinya. Kedua yaitu orang yang menolak ketika diminta dan dipilih, padahal dia tahu dirinyalah yang paling pantas dan paling mampu. Dia menolak semata-mata karena lari dari tanggungjawab dan enggan berkhidmad kepada Umat."
     "Wahai Abu Bakar, demi persahabatan dan kecintaanku kepadamu, jauhkanlah aku dari beratnya hisab di hari kiamat kelak." pinta Umar sambil terisak kecil.
     "Engkau lupa, Umar, Imam yang adil kelak akan dipayungi Allah di hari yang tidak ada payung kecuali payungNya." timpal Abu Bakar penuh kasih.
     Umar terisak semakin kencang. "Imam yang adil, ya.! Tetapi aku?"
     "Kau juga, kau juga, Umar!" timpal Abu Bakar sambil menggenggam tangan Umar.
     "Besok di hari kiamat, kau tidak bisa menolongku apa-apa, Abu Bakar, bila Allah menghendaki menghukumku."
     "Wahai Umar anak Ibu Umar, bukan demikian Allah ditaqwai dengan sebenarnya. Bukankah kau tahu ayat yang longgar turun selalu dibarengi dengan ayat yang keras dan sebaliknya, agar orang mukmin senantiasa dalam harap dan cemas. Tidak mengharap dari Allah sesuatu yang tidak berhak atasnya dan tidak cemas atas sesuatu yang diletakkan Allah di tangannya. Bila setiap orang yang mempunya tanggungjawab tidak melaksanakannya karena takut kepada Allah, niscaya takut kepada Allah akan berubah menjadi buruk sangka kepadaNya. Dan akan rusaklah tatanan dan tersia-siakanlah hak-hak kaum lemah, mustadh'afin."
     "Apakah tidak ada orang lain selain aku yang lebih pantas dan mampu?"
     "Baiklah, mari kita nilai dirimu, Umar! Maukah kau dengan sejujur-jujurnya menilai dirimu sendiri?
     "Baik." jawab Umar singkat.
     "Katakanlah, demi Allah yang mengetahui apa yang ada dalam hatimu, apakah kau melihat ada orang yang lebih pantas memegang jabatan ini melebihimu?" tanya Abu Bakar.
     "Aku tidak meragukan bahwa ada orang yang lebih baik ketimbang aku." kata Umar.
     "Jawab pertanyaanku, Wahai Umar, apakah engkau melihat di antara kaum muslimin setelah aku, ada orang yang lebih kuat ketimbang dirimu dalam mempertahankan kedaulatan mereka?"
     Umar menahan deras air matanya yang mengucur dan menjawab lirih, "Allahumma laa.. memang, sayang tidak ada."
     "Alhamdulillah!" Abu Bakar bertakbir sambil mengucapkan hamdalah silih berganti.
     "Tetapi Anda harus bermusyawarah terlebih dahulu dengan orang-orang, wahai Abu Bakar."
     Sambil menatap penuh kasih kepada sahabatnya, Abu Bakar tersenyum, "Tentu, aku akan melakukannya, Umar. Hambatan yang terberat sudah kulalui. Insya Allah yang lain akan lebih mudah."

     Nukilan kisah dialog ini saya dedikasikan untuk saudara-saudaraku yang tengah penuh semangat memacu adrenalin menggapai titik-titik kekuasaan di level yang menjadi targetnya masing-masing. Semoga menjadi bahan renungan ditengah kobaran demam kekuasaan seperti sekarang ini. Wallahu a'lam.
1)  lihat Abu Bakar di wikipedia
2)  lihat Umar ibn Khattab di wikipedia

Abu Bakar meminta Umar untuk menjadi Khalifah menggantikan dirinya setelah ia meninggal nanti.

Label:

Posting Komentar

  1. Abdur Rahman bin Samuroh -radhiyallahu ‘anhu- berkata, “Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda kepadaku,

    يَا عَبْدَ الرَّحْمنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ اْلإِمَارَةَ, فَإِنَّكَ إِنْ أُوْتِيْتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا, وَإِنْ أُوْتِيْتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

    “Wahai Abdur Rahman bin Samuroh, janganlah engkau meminta kekuasaan. Karena jika kau diberi kekuasaan dari hasil meminta, maka engkau akan diserahkan kepada kekuasaan itu (yakni, dibiarkan oleh Allah & tak akan ditolong, pent. ). Jika engkau diberi kekuasaan, bukan dari hasil meminta, maka engkau akan ditolong”. [HR. Al-Bukhoriy (6622, 6722, 7146, & 7147), dan Muslim (4257, & 4692)]

    Seorang ulama’ tabi’in, Al-Ahnaf bin Qois Al-Bashriy -rahimahullah- berkata, “Umar bin Khattab pernah mengatakan kepada kami, “Pelajarilah ilmu agama sebelum kalian memegang kekuasaan”. Sufyan berkomentar, “Karena seseorang yang telah mengetahui ilmu agama, ia tidak akan berhasrat lagi mengejar kekuasaan. ” [Lihat Shifatush shafwah (2/236)]

    BalasHapus

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.