Sejenak di Pantai Bobela, Halbar

     Matahari pagi menjemput kapal kayu yang mengantarku bersama penumpang lainnya merapat di dermaga Desa Kedi, desa pesisir di salah satu bagian sisi Barat Pulau Halamahera. Semalaman berayun-ayun menikmati laut yang kebetulan teduh gelombangnya di antara Ternate dengan Kedi ini, membuatku begitu bersemangat untuk segera melanjutkan perjalanan begitu kaki ini menjejak bibir dermaga Kedi.
     Desa Linggua adalah tujuan berikut, desa di mana Klan Bobane bermukim, sekaligus sebagai base camp sebelum menjangkau tujuan yang utama, Pantai Bobela. Host kami, Bapak Alex Bobane sudah menyiapkan penjemput 'ojek motor' yang akan segera membawa kami, saya dan teman saya Andi Parenrengi, menuju rumah Kepala desa Linggua. Kepala Desa yang tidak lain adalah keponakan Pak Alex sendiri, yaitu Jony Bobane.
Pantai Bobela dengan ombak yang selalu bergelora hampir sepanjang waktu, membentang hanya sekitar satu kilometer di salah satu sisi Pulau Halmahera bagian Barat. Gerusan ombak yang terus menerus, cukup aktif untuk mengerosi sisi pulau di bagian ini. Dua tanjung kecil di masing-masing ujung pantai seakan membentuk gerbang untuk merapat ke pantai.

     Pagi berikutnya, seiring surya yang mulai memancarkan hangat di ufuk Timur, perahu bermotor tempel membawa rombongan kecil kami, meninggalkan Desa Linggua menuju Bobela. Tidak lama, dermaga Kedi terlampaui, dan di kejauhan sana nampak Tanjung Ruba-ruba. Ada keramaian menuju tanjung ini, para karyawan dari pabik pengalengan ikan yang terletak di tanjung ini, memenuhi speed boat yang mengangkut mereka.
     Laut pagi yang masih teduh, namun di hadapan tajung Ruba-ruba sana, gelombang sesekali sudah asyik bercengkerama. Sesekali buih putihnya saling menghempas buih lainnya. Pemandangan yang indah sekaligus menyelipkan rasa jerih melihat ukuran perahu yang kami tumpangi ini yang terasa begitu kecil untuk nantinya meniti buih-buih putih itu sebentar lagi.
     Betul saja, begitu perahu ini mendekati area tanjung Ruba-ruba, gelombang sudah terasa mulai mempermainkan kestabilan gerakan perahu. Namun wajah-wajah ceria para pengantar kami yang malah asyik bercanda sambil sesekali menepuk air laut yang hampir saja melompat melampaui bibir perahu, setidaknya bisa menenangkan. Dan tidak lama kemudian, tanjung ini telah terlampaui. Gelombang yang tadinya nampak sangar, sekarang lebih stabil untuk  perahu kecil ini.
 
Klan 'Bobane' yang menjadi 'host' selama kunjungan ke Kabupaten Jailolo, Halamahera Barat. Dari kiri, Amos, Hero, Alex Bobane, Irles dan Jony Bobane yang juga adalah Kepala Desa Linggua, desa yang terletak bersebelahan dengan Desa Kedi.
 
Tegangnya wajah Andi Parenrengi masih begitu terasa setelah menempuh laut dari Kedi ke pantai Bobela. Perahu motor yang mengantar rombongan kami terasa terlalu 'imut' untuk sekadar menyandarkan rasa aman, apalagi nyaman untuk menaklukkan gelora ombak Tanjung Tomadere yang berhadapan dengan pulau kecil Boko Darah.
 
     Tidak lama kamudian, tanjung berikutnya, Tanjung Tomadere sudah nampak di kejauhan. Tepat di depan tanjung itu, ada pulau kecil, Pulau Boko Darah yang artinya 'pembuangan darah'. Kombinasi tanjung yang menjorok keluar, membentuk selat kecil dengan ombak yang arahnya tidak jelas. Belum lagi arus laut yang melintasi selat ini terasa begitu kuatnya. Hempasan ombak yang membentur dinding batu di sepanjang tanjung itu, akan ditimpali gelombang balik dari pulau kecil di hadapannya. Dan nama Boko Darah menjadi semakin pas untuk area ini, karena kecelakaan tenggelamnya perahu yang melintasi selat ini sudah begitu sering terjadi. Bahkan dua dari penumpang yang ada bersama saya sekarang ini, sudah pernah merasakan perahunya ditenggelamkan oleh gelombang yang selalu bergolak itu.
     Melintasi area ini, tidak ada lagi wajah yang ceria. Perahu kecil ini terasa semakin kecil saja. Ombak yang besar dengan arah yang tidak jelas, sesekali menjulurkan lidahnya untuk menyapu hingga di atas perahu ini. Basah, jerih, was-was sambil menyendok air laut keluar perahu untuk menyisakan tempat pada sapuan bibir gelombang berikutnya.
Perahu bermotor tempel tunggal yang mengantar saya dan rombongan, menempuh satu setengah jam untuk menjangkau Pantai Bobela dari Desa Kedi ke arah Utara.

     Setelah menuntaskan tujuan utama saya sebagai geologist ke Pantai Bobela dan bukit-bukit di sekitarnya, tibalah saat meninggalkan base camp di Linggua, untuk kembali ke Ternate. Asrinya desa Linggua, ramahnya host keluarga Bobane, masih begitu melekat diingatan. Bagaimana hidangan ikan-ikan kecil yang sudah diasapi menjadi sup hangat pengantar istirahat di malam yang panjang. Atau bagaimana olahan mi goreng instan yang dimodifikasi menjadi begitu hangat sebagai penyambut kami ketika pulang mengarungi laut yang ombaknya memandikan seisi perahu. Belum lagi sajian kopi hitam manis yang luar biasa nikmat. Betul-betul keramah-tamahan yang tidak tertandingi.
     Untuk kembali ke Ternate, kami menempuh jalur lain. Dari dermaga Kedi, menumpang speed boat selama satu setengah jam, menuju kecamatan Ibu, masih di pesisir Pulau Halmahera. Dari kecamatan Ibu, melanjutkan perjalanan darat, dengan kendaraan plat hitam yang disewakan, menuju ibu kota Kabupaten Jailolo. Perjalaman darat itupun ditempuh sekitar satu setengah jam, untuk sampai di pelabuhan Jailolo, dimana begitu banyak jenis angkutan yang siap mengantarkan menyeberangi selat menuju Ternate. Hari itu, pilihan tertuju pada kapal kayu yang cukup besar, yang menempuh selat Jailolo ke Ternate dengan waktu yang juga relatif sama dengan dua etape terdahulu, satu setengah jam.
     Di ibu kota Jailolo ini sebenarnya, host kami Pak Alex sangat mengharapkan kami untuk bisa juga bermalam di sana, dimana beliau tinggal selama ini bersama keluarga dan anak-anaknya. Namun mengingat sudah begitu banyak keramahan yang telah diberikannya selama ini, sehingga menjadi berat hati rasanya sekaligus kuatir jangan sampai keramahan yang beliau dan keluarga berikan tidak dapat kami balas dengan lebih pantas dan lebih baik di waktu yang akan datang, seandainya beliau suatu waktu kembali berkunjung ke Makassar
     Dibandingkan dengan rute pertama Ternate langsung ke Kedi yang ditempuh sepanjang malam, maka rute kembali ini lebih variatif dengan waktu tempuh yang relatif lebih singkat, tentu saja juga dengan konsekwensi biaya yang leibh besar.
       Perjalanan yang terasa terlalu singkat sehingga menyisakan kerinduan untuk bisa kembali menjelajah setiap jengkal pesisir Halmahera yang eksotis.

Desa Linggua adalah tujuan berikut, desa di mana Klan Bobane bermukim, sekaligus sebagai base camp sebelum menjangkau tujuan yang utama, Pantai Bobela.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.