April 8, 202508:09:38 PM

Jalan Pedang

     Jalan Pedang yang begitu fenomenal menjadi buah bibir nasehat dari para orang bijak, tidak pernah terlepas dari perjalanan hidup Miyamoto Musashi. Meski demikian, sebelum memaparkan secara singkat bagaimana jalan pedang milik Musashi, ada baiknya kita melihat juga 'jalan pedang' yang dipaparkan dalam dialog akhir film 'The Hero'.

     Dalam film "The Hero," dialog antara Raja Qin dan Nameless (Jet Li) menjelang akhir film memberikan gambaran mendalam tentang konsep "jalan pedang," yang dapat ditafsirkan sebagai perjalanan spiritual atau evolusi mental melalui seni bela diri. Dialog ini mengisahkan empat tahap pencapaian dalam "jalan pedang," yang dimulai dari nol—sebuah titik permulaan di mana pengertian dasar tentang pedang dan pertempuran masih belum terbentuk, dan diakhiri dengan tingkat kesadaran yang melampaui segala teknik dan bahkan konflik itu sendiri.

Tahap Nol: Teknik dan Keahlian Dasar

     Tahap awal atau nol ini merupakan tingkat paling mendasar, di mana perhatian utama masih berpusat pada aspek-aspek fisik dan kasat mata dari seni berpedang. Pada tahap ini, seseorang masih terpaku pada keterampilan teknis dan eksekusi fisik. 

     Dalam bahasa seni bela diri, ini adalah fase di mana seseorang hanya menguasai teknik tanpa memahami makna yang lebih dalam. Ini adalah jenjang pemula, di mana pesona pertempuran terletak pada gerakan dan keahlian fisik semata. Meskipun penting, tahap ini masih terhenti pada level permukaan, berfokus pada apa yang terlihat oleh indera.

Tahap Pertama: Penyatuan Diri dengan Pedang

     Setelah menguasai teknik dasar, seseorang naik ke tahap berikutnya, yaitu penyatuan diri dengan pedang. Pada tahap ini, batas antara manusia dan senjata mulai mengabur. Pedang menjadi perpanjangan dari tubuh, dan tubuh menjadi manifestasi dari pedang. 

     Di sini, keahlian teknis bukan lagi fokus utama, melainkan bagaimana seseorang dapat melebur dengan senjatanya, mencapai harmoni dan sinergi antara pikiran, tubuh, dan pedang. Bahkan, di tahap ini, seseorang dapat menggunakan objek biasa seperti sehelai rumput sebagai senjata yang mematikan, karena esensi dari pedang tidak lagi terikat pada bentuk fisik.

Tahap Kedua: Pedang di Hati

     Ketika keterampilan telah mencapai puncaknya, dan penyatuan dengan pedang telah tercapai, tahap berikutnya adalah menghilangkan pedang dari tangan, beralih ke level abstraksi yang lebih tinggi. Pedang tidak lagi perlu berada dalam genggaman fisik, melainkan di hati. 

     Di tahap ini, seorang pendekar tidak lagi perlu mengandalkan senjata fisik untuk menundukkan lawan. Musuh dapat dikalahkan melalui kekuatan mental, psikologis, dan spiritual. Dengan pedang di hati, seseorang memiliki kemampuan untuk memengaruhi dan mengalahkan lawan dari jarak jauh, bukan dengan kekuatan fisik, melainkan melalui tekanan mental dan penguasaan batin yang luar biasa.

Tahap Ketiga: Penyerahan Diri dan Menghilangkan Pedang dari Hati

     Tahap tertinggi dari jalan pedang adalah ketika pedang tidak lagi dibutuhkan, baik secara fisik maupun dalam hati. Pada titik ini, tidak ada lagi musuh yang perlu dikalahkan, karena tidak ada lagi yang dianggap sebagai musuh. Ini adalah fase pencerahan, di mana seseorang telah melampaui segala bentuk konflik dan menyadari bahwa hakikat sejati dari ilmu pedang (atau ilmu apapun) adalah pencapaian kedamaian, kebijaksanaan, dan pengakuan akan realitas yang lebih besar dari kepentingan diri sendiri. 

     Ini adalah puncak dari perjalanan spiritual, di mana seseorang mencapai derajat kemanusiaan tertinggi, yang tidak lagi melihat dunia sebagai medan perang, melainkan sebagai tempat untuk berdamai dan berkembang secara holistik.

     Dengan demikian, jalan pedang dalam dialog film ini bukan hanya tentang keterampilan tempur, tetapi juga perjalanan menuju pencerahan, di mana seseorang belajar untuk memahami dan mengatasi batasan diri, hingga akhirnya mencapai kebijaksanaan yang sejati. 

     Selanjutnya, mari kita menyimak bagaimana jalan pedang yang dirumuskan oleh Musashi sendiri.

JALAN PEDANG MUSASHI

Kisah cinta Musashi dengan Otsu.

              Kalau kau mati,
                 aku pun mati.
                 Matiku akan punya arti bagiku
                 seperti matimu berarti buatmu.

                 Kalau kau bisa mengakhiri hidupmu dengan tenang,
                 aku pun bisa.
                 Takkan ku terinjak layaknya serangga
                 atau tenggelam dalam nestapa.

                 Akulah penentu jalanku sendiri.
                 Tak seorang pun bisa melakukannya
                  biar pun orang itu adalah engkau!
 


     Dalam novel Musashi karya Eiji Yoshikawa, karakter Otsu, kekasih Musashi, menyuarakan keberanian dan keteguhan hatinya melalui puisi yang menggambarkan kedalaman dan kekuatan cintanya. Puisi ini bukan sekadar ungkapan perasaan romantis, tetapi juga cerminan dari filosofi hidup yang dipegang teguh oleh Otsu, selaras dengan jalan pedang yang ditempuh Musashi.

     Puisi Otsu adalah manifestasi dari cintanya yang dalam, namun sekaligus menunjukkan betapa ia tidak menyerahkan seluruh kehidupannya pada Musashi. Cintanya bukan cinta yang lemah atau bergantung, melainkan cinta yang kuat dan otonom. "Kalau kau mati, aku pun mati," bukan hanya sebuah janji untuk mengikuti Musashi hingga ke akhir, tetapi juga penegasan bahwa kematiannya akan berarti, bukan sebagai bayang-bayang dari Musashi, tetapi sebagai seseorang yang memiliki martabat dan harga diri sendiri.

     Dalam bait "Kalau kau bisa mengakhiri hidupmu dengan tenang, aku pun bisa," Otsu menegaskan bahwa ia memiliki keberanian yang setara dengan Musashi. Ketenangan dalam menghadapi kematian adalah tanda dari seseorang yang telah berdamai dengan takdirnya, yang telah menemukan makna dalam hidupnya, sehingga tidak ada rasa takut atau penyesalan. Otsu dengan berani menyatakan bahwa ia juga memiliki ketenangan yang sama, menolak untuk menjadi korban yang "terinjak layaknya serangga" atau tenggelam dalam kesedihan tanpa arti.

     Bait terakhir dari puisinya, "Akulah penentu jalanku sendiri. Tak seorang pun bisa melakukannya biar pun orang itu adalah engkau!" merupakan pernyataan kemandirian yang tegas. Meski cinta dan penghormatan terhadap Musashi sangat besar, Otsu tidak akan membiarkan cintanya menghancurkan dirinya. Ia menegaskan bahwa ia adalah tuan atas nasibnya sendiri, bahwa jalan hidup yang ditempuhnya adalah hasil dari keputusan dan kekuatannya sendiri. Ini adalah pengakuan bahwa dalam hubungan yang mendalam, setiap individu harus tetap memiliki ruang untuk kemandirian dan integritas diri.

     Kisah cinta Musashi dan Otsu terletak pada hubungan mereka yang tidak hanya romantis, tetapi juga simbolis. Otsu tidak hanya menjadi pendamping hati, tetapi juga cerminan dari nilai-nilai yang menjadi inti dari perjalanan hidup Musashi.

     Kisah cinta ini menggambarkan dua jalan yang sejajar: Jalan Pedang Musashi yang penuh perjuangan, disiplin, dan introspeksi, serta Jalan Cinta Otsu yang mencerminkan kesabaran, keteguhan, dan pengorbanan. Keduanya bertemu pada pemahaman yang mendalam tentang kehidupan, di mana cinta bukan hanya tentang memiliki, tetapi juga tentang menghormati kebebasan dan pilihan masing-masing.

     Otsu adalah figur penting dalam pencapaian kualitas jiwa tertinggi Musashi. Dia menjadi perwujudan kelembutan dan keseimbangan yang membantu Musashi memahami bahwa kekuatan sejati tidak hanya ada di ujung pedang, tetapi juga dalam kemampuan menerima, memberi, dan berdamai. Meski sering terpisah oleh keadaan, hubungan mereka membuktikan bahwa cinta sejati tidak selalu terwujud dalam kebersamaan fisik, tetapi dalam keberadaan spiritual yang saling menguatkan.

     Cinta Otsu bagi Musashi adalah seperti pedang tanpa wujud—ia ada di hati, menyentuh tanpa melukai, dan membentuk tanpa memaksakan. Cinta ini menjadi bagian dari perjalanan Musashi dalam menemukan harmoni antara kekuatan dan kelembutan, serta antara kehendak pribadi dan pemahaman akan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Pada Mulanya

     Setelah pertempuran Sekigahara, yang menjadi salah satu titik balik dalam sejarah Jepang, Takezo—yang kemudian dikenal sebagai Miyamoto Musashi—berada dalam keadaan terluka parah, tersesat di antara ribuan mayat yang berserakan di medan perang. Momen ini menjadi awal dari perjalanan batinnya yang kelak akan mengubah hidupnya secara mendalam. Dalam keadaan terluka dan terdampar di tengah kekacauan pasca perang, ia tidak hanya menghadapi ancaman fisik, tetapi juga pergolakan batin yang merasuki jiwanya.

     Musashi, pada saat itu masih bernama Takezo, tidak hanya berjuang untuk bertahan hidup dari luka-luka yang dideritanya, tetapi juga berusaha memahami makna dari semua kekacauan yang telah dilaluinya. Perang besar tersebut tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga luka spiritual yang dalam, mengharuskan Takezo untuk mencari makna lebih jauh tentang hidupnya, tentang kekerasan, dan tentang kematian yang telah ia saksikan secara langsung.

     Namun, tak lama setelah mencoba kembali ke desanya, Takezo menjadi buronan. Ia dianggap sebagai ancaman oleh otoritas lokal, hingga akhirnya tertangkap. Di sinilah ia ditempatkan dalam sebuah ruangan gelap, yang seolah menjadi simbol dari kondisi batinnya yang terperangkap dalam kegelapan dan kebingungan.

            Anggaplah kamar ini rahim bundamu,
              bersiaplah terlahir kembali.
              Jika melihat hanya dengan matamu,
              tak kan kau lihat apa pun kecuali sel gelap tak berlampu.

                      Tapi pandanglah lebih seksama.
                      Lihatlah dengan mata hatimu dan berpikirlah.
                      Kamar ini akan jadi sumber pencerahan.
                      Pancuran pengetahuan

              Terserah padamu apakah kamar ini jadi kamar kegelapan
              Atau kamar penuh cahaya berkilaun.

     Pendeta Zen Takuan, seorang biksu Zen yang bijaksana, memutuskan untuk mengambil Takezo di bawah asuhannya. Dalam ruangan yang sempit dan gelap, Takuan memberikan nasihat yang menjadi kunci transformasi batin Takezo. Takuan berkata, "Anggaplah kamar ini rahim bundamu, bersiaplah terlahir kembali." Kalimat ini tidak hanya mengacu pada fisik ruangan tersebut, tetapi lebih pada ruang batin yang harus Takezo ciptakan untuk dirinya sendiri, ruang di mana ia bisa melahirkan kembali dirinya sebagai pribadi yang baru.

Pencerahan Melalui Mata Hati

     Takuan menekankan bahwa melihat hanya dengan mata fisik tidak akan membawa Takezo ke mana-mana. Ruangan yang gelap dan sempit hanya akan terlihat sebagai tempat yang menakutkan jika ia hanya mengandalkan penglihatannya. Namun, Takuan mendorongnya untuk melihat lebih dalam, bukan dengan mata biasa, melainkan dengan "mata hati" dan pikiran yang terbuka. Dengan mata hati, Takezo bisa menemukan cahaya di tempat yang paling gelap sekalipun, menemukan pencerahan di tempat yang tampaknya tak menawarkan apa-apa selain kegelapan.

     Nasihat ini adalah inti dari ajaran Zen, yang menekankan pentingnya melihat melampaui apa yang kasat mata, untuk menemukan makna yang lebih dalam dalam setiap pengalaman hidup. Dalam ruangan kecil dan gelap itu, Takuan mengajarkan Takezo bahwa kegelapan bisa menjadi sumber cahaya jika ia mau membuka hati dan pikirannya, bahwa pencerahan tidak tergantung pada tempat, tetapi pada cara pandang seseorang terhadap tempat tersebut.

Pilihan untuk Terlahir Kembali

     Pesan Takuan sangat jelas: "Terserah padamu apakah kamar ini jadi kamar kegelapan atau kamar penuh cahaya berkilaun." Ini adalah ujian bagi Takezo untuk menentukan nasibnya sendiri. Ia bisa memilih untuk tetap tenggelam dalam kegelapan, membiarkan dirinya dihantui oleh masa lalu dan ketakutan, atau ia bisa memilih untuk bangkit, melihat ruangan tersebut sebagai tempat kelahiran kembali, di mana ia bisa menemukan dirinya yang sejati dan memulai hidup baru.

     Ku akan hidup dengan aturannya: aturan pedang!
     Ku akan menganggapnya jiwaku.
     Dan dengan belajar menguasainya ku akan berjuang perbaiki diriku:
     tuk menjadi manusia yang lebih berguna dan bijaksana.

           Takuan mengikuti Jalan Zen.
           Dan aku dengan Jalan Pedangku.
           Ku harus jadikan diriku
           manusia yang jauh lebih baik dari dirinya. 

     Musashi menyadari bahwa untuk mencapai sesuatu yang lebih besar dari dirinya, ia harus mengikuti aturan yang lebih tinggi—aturan pedang. Pedang di sini melambangkan disiplin, keterampilan, dan kebijaksanaan yang diperoleh melalui latihan yang tak kenal henti. Saat Musashi meletakkan tangannya di gagang pedangnya dan berjanji untuk hidup sesuai dengan aturannya, ia sebenarnya berkomitmen pada proses perbaikan diri yang berkelanjutan. Baginya, pedang adalah jiwa; mempelajari cara menguasainya berarti memahami esensi hidup itu sendiri.

     Dengan menguasai pedang, Musashi tidak hanya ingin menjadi seorang pendekar yang tangguh, tetapi juga manusia yang lebih bijaksana dan berguna. Dia memahami bahwa pedang bukan hanya alat untuk membunuh, tetapi juga sarana untuk mengasah karakter, memperbaiki diri, dan mengembangkan kebijaksanaan. Melalui latihan pedang, ia berusaha menghilangkan kelemahan dan kekurangan dalam dirinya, menggantinya dengan kekuatan dan keteguhan hati. Ia percaya bahwa melalui penguasaan pedang, ia dapat mencapai pencerahan dan memahami makna hidup yang lebih dalam.

     Selama tiga tahun dalam pengasingan dan meditasi, Takezo mempraktikkan ajaran Takuan. Perlahan, ia membebaskan dirinya dari ikatan masa lalunya dan menyiapkan dirinya untuk menjadi seseorang yang berbeda. Ia belajar untuk melihat dunia dengan mata hati, menemukan pencerahan dalam kegelapan, dan memahami bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada pedang, tetapi pada kedalaman jiwa dan ketenangan pikiran.

Lahirnya Miyamoto Musashi

     Setelah tiga tahun berlalu, Takezo keluar dari sekapannya, bukan lagi sebagai pemuda yang terperangkap dalam bayang-bayang masa lalu, tetapi sebagai Miyamoto Musashi, seorang pendekar yang telah menemukan jalan hidupnya. Nama barunya adalah simbol dari kelahiran kembali, bukan hanya dalam arti fisik, tetapi juga spiritual. Dengan nama baru ini, Musashi memulai perjalanannya sebagai pendekar pedang legendaris, tetapi juga sebagai seorang filsuf yang telah mengintegrasikan ajaran Zen dalam setiap aspek kehidupannya.

     Dengan baptisan nama baru oleh Takuan, Musashi tidak hanya mendapatkan identitas baru, tetapi juga tanggung jawab baru—untuk hidup sesuai dengan pencerahan yang telah ia peroleh, untuk melihat dunia dengan mata hati, dan untuk menjadikan setiap langkah dalam hidupnya sebagai bagian dari jalan pedang yang penuh makna dan kebijaksanaan. Kamar gelap yang dulu tampak sebagai penjara kini telah menjadi rahim spiritual, tempat di mana Miyamoto Musashi lahir kembali, siap menghadapi dunia dengan kebijaksanaan yang mendalam dan keterampilan yang tak tertandingi.

Menjadi Pendekar Tak Terkalahkan

     Pada awal perjalanan hidupnya, Musashi bertekad untuk menjadi petarung terkuat di seluruh Jepang. Ambisinya membawanya untuk menantang dan mengalahkan berbagai pendekar pedang terkemuka dalam 60 pertarungan yang semuanya dimenangkan tanpa terkalahkan. Kemenangan demi kemenangan ini tidak hanya menegaskan keterampilan teknisnya yang luar biasa tetapi juga menunjukkan ketangguhan mental dan ketekunan yang jarang ditemukan.

     Setiap duel yang dihadapi Musashi bukan hanya tentang mengalahkan lawan, tetapi juga kesempatan untuk belajar dan meningkatkan dirinya. Ia mengamati teknik, strategi, dan kelemahan setiap lawan, menggunakan informasi ini untuk menyempurnakan gaya bertarungnya sendiri. Melalui proses ini, Musashi mengembangkan Niten Ichi-ryū, sebuah teknik berpedang ganda yang revolusioner pada masanya dan menambah keunggulannya di medan duel.

     Namun, setelah mencapai puncak keterampilan bertarungnya pada usia 30 tahun, Musashi mulai merasakan kekosongan dalam pencapaiannya. Meskipun tak terkalahkan di medan duel, ia menyadari bahwa kemenangan fisik semata tidak cukup untuk memberikan kepuasan batin yang sejati. Pertanyaan tentang makna hidup, tujuan sejati dari seni berpedang, dan bagaimana ia bisa berkontribusi lebih besar kepada dunia mulai muncul dalam benaknya. Inilah momen penting yang memicu transformasi spiritual dan intelektual dalam dirinya.

     Setelah menyadari keterbatasan dari pencapaian fisiknya, Musashi memutuskan untuk memperluas cakrawala pengetahuannya dengan menempuh Jalan Seni, sebuah perjalanan menuju keindahan, kelembutan, dan pemahaman yang lebih dalam tentang kehidupan.

     Musashi mulai mempelajari berbagai bentuk seni seperti melukis, kaligrafi, puisi, dan ukiran. Melalui seni, ia menemukan ekspresi baru dari dirinya dan memahami bahwa keindahan dan harmoni adalah bagian integral dari kehidupan, sama pentingnya dengan kekuatan dan keterampilan bertarung. Seni membantunya mengembangkan sensitivitas, kesabaran, dan apresiasi terhadap detail-detail halus yang sebelumnya mungkin terabaikan dalam hidupnya yang keras.

     Perjalanan Musashi dalam seni tidak terpisah dari keterampilan berpedangnya. Sebaliknya, ia berhasil mengintegrasikan prinsip-prinsip seni ke dalam teknik bertarungnya, menciptakan gaya yang lebih halus, efisien, dan penuh dengan kedalaman strategis. Ia memahami bahwa ketegasan dan kelembutan harus seimbang, bahwa fleksibilitas dan adaptasi adalah kunci untuk menghadapi berbagai situasi dengan efektif.

     Melalui kombinasi antara seni dan ilmu berpedang, Musashi berusaha mencapai kesempurnaan diri. Ia melihat bahwa penguasaan sejati tidak hanya terletak pada kemampuan fisik tetapi juga pada kedalaman spiritual dan intelektual. Proses ini membawanya untuk menjadi individu yang lebih seimbang, bijaksana, dan penuh dengan wawasan tentang kehidupan dan alam semesta.

Pembelajar Mandiri dan Otodidak

     Salah satu aspek yang menonjol dari perjalanan Musashi adalah bahwa ia merupakan seorang otodidak sejati. Tanpa bimbingan formal, ia memimpin dirinya sendiri dalam mendalami berbagai macam ilmu dan keterampilan, selalu haus akan pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam.

     Musashi menghabiskan banyak waktu untuk belajar sendiri, membaca berbagai teks klasik, mengamati alam, dan merefleksikan pengalaman hidupnya. Ia percaya bahwa pembelajaran adalah proses seumur hidup dan bahwa setiap pengalaman, baik positif maupun negatif, menawarkan pelajaran berharga yang bisa digunakan untuk pengembangan diri.

     Salah satu sumber inspirasi terbesar bagi Musashi adalah "The Art of War" karya Sun Tzu, ahli strategi besar yang hidup hampir 2000 tahun sebelumnya. Meskipun berasal dari konteks budaya dan waktu yang berbeda, prinsip-prinsip yang diuraikan oleh Sun Tzu menemukan resonansi yang mendalam dalam diri Musashi.

     Sun Tzu menekankan pentingnya strategi, pemahaman diri, dan pemahaman musuh dalam mencapai kemenangan. Prinsip-prinsip ini sejalan dengan pengalaman Musashi di medan duel dan membantunya mengembangkan pendekatan yang lebih holistik dan canggih dalam seni berperang dan kehidupan secara umum.

     Musashi juga mengekspresikan kekagumannya terhadap para filsuf dan pemikir kuno seperti Lao Tse, Konfusius, dan Socrates. Ia terinspirasi oleh kebijaksanaan abadi yang mereka tawarkan dan sering merenungkan bagaimana individu-individu ini mampu mencapai tingkat pemahaman dan pencerahan yang begitu tinggi, sementara banyak orang di masa kini tampak terjebak dalam kedangkalan dan rutinitas yang membatasi.

     Pernyataan Musashi, “Saya suka berpikir betapa hebatnya orang-orang kuno seperti Lao Tse, Konfusius, Socrates, Sun Tzu, ” mencerminkan kerendahan hati yang menjadi aspirasi untuk mencapai tingkat kebijaksanaan yang sama tinggi dengan para pendahulunya. Ia melihat mereka sebagai teladan dan sumber inspirasi dalam usahanya untuk menjadi manusia yang lebih baik dan lebih bijaksana.

     Dengan mengintegrasikan ajaran-ajaran dari Sun Tzu dan para filsuf kuno lainnya, Musashi mampu mengembangkan strategi dan filosofi hidup yang kaya dan kompleks, yang membantunya menghadapi berbagai tantangan dengan cara yang efektif dan bijaksana. Prinsip-prinsip ini tidak hanya membentuk pendekatannya terhadap pertempuran tetapi juga mempengaruhi pandangannya tentang seni, kehidupan, dan hubungan antar manusia.

     Warisan Musashi terus hidup hingga hari ini, melalui karya-karyanya seperti "The Book of Five Rings", yang masih menjadi referensi penting dalam studi strategi, filosofi, dan seni bela diri. Kisah hidupnya menginspirasi banyak orang untuk mengejar keunggulan, integritas, dan kebijaksanaan, menunjukkan bahwa dengan dedikasi dan pembelajaran berkelanjutan, seseorang dapat mengatasi keterbatasan dan mencapai potensi tertinggi mereka.

     Perjalanan Musashi mengajarkan kita bahwa proses penemuan jati diri adalah perjalanan seumur hidup, yang memerlukan keberanian untuk berubah, keterbukaan untuk belajar, dan ketekunan untuk terus berkembang. Dengan mempelajari dan menginternalisasi kebijaksanaan dari masa lalu, seperti yang dilakukan Musashi dengan ajaran Sun Tzu, kita dapat menemukan panduan dan inspirasi untuk menghadapi tantangan masa kini dan membentuk masa depan yang lebih baik.

Bacaan:  1.Musashi, Eiji Yoshikawa, Gramedia – Jakarta
2.The Lone Samurai, William Scott Wilson, Gramedia – Jakarta
3.The Book of Five Rings, William Scott Wilson, Gramedia – Jakarta

     Membandingkan jalan pedang Musashi dan dialog Raja Qin agaknya menarik untuk menjadi bahan diskusi. Dengan kerendahan hati, saya menunggu tanggapan Anda di halaman komentar di bawah.

Jalan Pedang yang begitu fenomenal menjadi buah bibir nasehat dari para orang bijak, tidak pernah terlepas dari perjalanan hidup Miyamoto Musashi. Meski demikian, sebelum memaparkan secara singkat bagaimana jalan pedang milik Musashi, ada baiknya kita melihat juga 'jalan pedang' yang dipaparkan dalam dialog akhir film 'the Hero' antara Raja Qin

Label: ,

Posting Komentar

Posting Komentar

  1. wah sy belum sempat nonton filmnya bang, trus sy pernah baca buku eiji yoshikawa, taiko dan musashi, tp lebih dpt mengerti sdikit ttg taiko krn bercerita ttg sejarah jepang dengan alur yg sederhana, klo musashi esensi ceritanya blm sy mengerti bang...heheee, jd tdk bisa berdiskusi soal jalan pedang, sy ijin nyimak diskusinya saja ya bang :)

    BalasHapus
  2. yup, kita tunggu mssukan teman-teman yang lain..

    BalasHapus

...

Emoticon
:) :)) ;(( :-) =)) ;( ;-( :d :-d @-) :p :o :>) (o) [-( :-? (p) :-s (m) 8-) :-t :-b b-( :-# =p~ $-) (b) (f) x-) (k) (h) (c) cheer
Click to see the code!
To insert emoticon you must added at least one space before the code.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.