Articles by "Cerpen/Mancanegara/Misteri"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Mancanegara/Misteri. Tampilkan semua postingan

Sir Arthur Conan Doyle
     Suatu senja di tahun 1895 ketika kami menginap di sebuah losmen di kota universitas terkenal di negeri kami, datanglah Tuan Hilton Soames, seorang dosen dan lektor di Universitas St. Luke. Ia adalah seorang pria yang bertubuh kurus jangkung dan bersifat penggugup. Tetapi kali ini kegugupannya lebih kelihatan sebingga dengan cepat aku menduga ia pasti sedang mengalami sesuatu yang mengguncangkan perasaannya.
     "Tuan Holmes," katanya dengan tergagap-gagap. "Ada suatu kejadian yang amat rumit, sehingga aku tak tahu harus berbuat apa. Untunglah aku mendengar berita bahwa kau sedang berada di kota ini. Tolonglah!"
     Holmes mengangkat bahunya. Tamu kami ini terus saja menerangkan persoalannya.
     "Demikianlah, Tuan Holmes. Demi nama baik universitas kami, tolonglah. Besok pagi adalah hari ujian pertama, dan soal pertama yang diajukan adalah terjemahan bahasa Yunani itu!" kata Tuan Hilton Soames selanjutnya.
     Kemudian kami bertiga menuju ke asrama Tuan Soames. Kamar tamunya mempunyai sebuah jendela yang panjang, rendah serta berterali, menghadap ke taman kuno yang ditumbuhi lumut, milik universitas. Sebuah tangga batu yang sudah rusak dimakan zaman, dihubungkan dengan sebuah pintu yang berbentuk melengkung dan mempunyai ciri khas Gothic. Kamar Tuan Soames terletak di tingkat paling bawah. Selain dia, masih ada tiga mahasiswa yang masing-masing menempati sebuah kamar di tingkat kedua.
     Holmes berhenti sejenak mengawasi jendela kamar tamu itu. Lalu ia mendekatinya sambil berdiri berjingkat lalu melongok ke dalam kamar itu.
     "Kukira ia pasti masuk melalui pintu, tak mungkin melalui jendela yang berterali ini," kata Tuan Soames dengan gugup, lantas cepat-cepat mengajak kami masuk.
     "Oo," seru Holmes sambil tersenyum misterius mendengar perkataan Tuan Soames itu. "Kita masuk ke dalam saja, bila kau mengira tidak ada apa-apa yang penting di sini."
Ia membuka pintu kamarnya dan mempersilakan kami masuk. Sementara aku berdiri di ambang pintu, Holmes memeriksa karpet yang terbentang di lantai.
     "Tidak ada tanda jejak yang mencurigakan di sini," kata Holmes." Pada hari yang cerah ini, sukar sekali untuk memperoleh  jejak kaki. Ehm, rupanya pelayanmu, si Bannister, sudah siuman. Tadi kaubilang, bahwa ia masih tak sadar dan direbahkan di sebuah kursi, aku ingin tahu, kursi mana yang didudukinya?"
     "Yang berada di dekat jendela itu."
     "Mari kita lihat, apa yang telah terjadi amat jelas. Orang itu masuk, mengambil soal-soal ujian sehelai demi sehelai dari atas meja tulis yang terletak di tengah-tengah kamar. Ia memindahkannya ke meja dinding di dekat jendela itu, sebab dari sana ia dapat melihat kedatanganmu melintasi taman sehingga dengan demikian ia dapat pergi sebelum kau tiba di sini."
     "Sebenarnya hal itu sia-sia saja," kata Tuan Soames," Sebab kau masuk lewat pintu samping."
     "Ehm, tetapi setidak-tidaknya itulah jalan pikirannya. Aku ingin melihat naskah-naskah ujian itu.. Jangan khawatir, aku tidak ikut ujian. Lihatlah, Watson, ia menulis dengan gugup. Sehingga pensilnya patah dan harus diasah lagi. Sayatan kayu pensil yang tercecer di lantai ini cukup menarik. lni bukan pensil biasa. Jenisnya lunak. Kayu pembalutnya berwarna putih. Capnya tercetak dengan warna perak. Panjang pensil ini kira-kira kini hanya setengah inci saja. Carilah pensil itu, Tuan Soames, kalau kau ingin menemukan si pencuri soal ujianmu. Dan perlu kutambahkan, bahwa ia menggunakan sebilah pisau yang besar dan tumpul."
     "Dari mana kau tahu panjang pensil itu?" tanya Tuan Soames heran. Holmes mengambil sebilah kayu sayatan pensil tempat tertera huruf NN.
     "Aku tak mengerti, apa maksudnya?" Tuan Soames menggeleng bingung. Holmes menoleh kepadaku.
     “Watson, maaf, aku sering mengejekmu. Tetapi ternyata masih banyak orang lain yang berada di bawahmu. Bahkan ia adalah seorang lektor sebuah universitas. Coba lihat huruf NN ini. Ini adalah nama dari Johann Faber, yakni seorang pembuat pensil yang terkenal dan membuat pabrik pensil dengan merek namanya sendiri." Holmes mengangkat meja kecil itu dan menghadapkan permukaannya ke arah cahaya lampu.
     "Kuharap kertas yang dibuat menyalin naskah ujian itu demikian tipisnya, hingga ia akan meninggalkan bekas-bekas pada permukaan meja yang dipelitur rapi ini. Sayang, aku tak melihat apa-apa di sini. Mari kita beralih ke meja yang di tengah itu."
Kami pindah ke meja tengah yang dilapisi dengan kulit halus berwarna merah.
     "Lihat , permukaan meja ini tergores seperti disayat. Ujungnya membentuk suatu goresan tipis, sedangkan pangkalnya membentuk suatu sudut. 0 ya, pintu itu menuju ke mana?"
     "Itu pintu ke kamar tidurku "Apakah tadi kau sudah masuk ke sana?"
     "Belum, karena aku terus saja pergi ke losmenmu."
     "Kalau begitu, aku ingin melihatnya sekarang!"
Tuan Soames membukakan pintu kamar tidurnya yang tak terkunci dan mempersilakan kami masuk.
     "Wah, sebuah kamar kuno yang indah, Sabarlah, aku ingin melihat karpetnya dulu. Tidak, tidak ada apa-apa. Ehm, tirai itu, kau tentu menggantungkan pakaianmu di belakangnya, bukan? Kalau ada orang yang terpaksa bersembunyi di dalam kamar tidurmu ini, maka ia akan memilih tempat itu, sebab kolong ranjang dan lemarimu terlalu rendah. Apakah tidak ada orang yang bersembunyi di situ?"
     Melihat sikapnya, aku segera tahu, bahwa ia telah bersiap sedia untuk menghadapi sesuatu. Mungkinkah ada seseorang yang sedang bersembunyi di balik tirai itu? Aku menjadi tegang sendiri.
     Dengan cepat Holmes menyingkapkan tirai itu. Kosong! Tidak ada seorang pun di sana, kecuali empat-lima potong pakaian yang bergantungan. Holmes membungkukkan badannya dan mengambil sesuatu di lantai.
     Kembali ia mengambil sesuatu di lantai, seperti segumpal kecil tanah liat yang bentuknya menyerupai piramid kecil, persis seperti yang tadi ditemukan di atas meja berlapis kulit merah. Holmes menimang-nimang secuwil tanah liat itu di telapak tangannya.
     "Tuan Soames menjadi pucat wajahnya.
     "Apa yang telah dilakukannya di dalam kamar tidurku ini?" pekiknya.
     "Semuanya sudah jelas. Karena kau kembali dengan amat tak diduganya, sehingga ia baru tahu setelah kau berada di ambang pintu, maka ia segera masuk ke kamar tidur ini dan menyembunyikan diri di balik tirai itu."
     "Ya Tuhan, jadi pada waktu aku sedang berbicara dengan Bannister, ia sebenarnya sudah tersembunyi di dalam kamar tidurku ini? Ah, kalau saja aku tahu, aku pasti akan menangkapnya saat itu juga!" Tuan Soames menjadi amat resah dan mundar-mandir. Holmes menenangkannya.
     "Marilah kita memulai penyelidikan kita," kata Holmes. "Seperti pernah kaukatakan, bahwa di sini ada tiga orang mahasiswa yang biasa lewat di depan pintumu, bukan?"
     "Ya, mereka bertiga tinggal di tingkat atas."
     "Apakah ketiganya akan menempuh ujian pelajaranmu besok?"
     "Apakah kau mencurigai salah seorang di antaranya?"
     "Sulit sekali menjawabnya. Aku tidak mau menuduh seseorang sebelum mempunyai bukti-bukti.
      "Bila begitu, ceritakan saja mengenai mereka. Agar aku dapat mengetahui latar belakang kehidupannya dan sifat-sifatnya, kemudian mencari bukti-buktinya."
     "Baiklah. Secara singkat saja. Yang menempati kamar pertama bernama Gilchrist. Seorang atlet yang baik. la pemain rugby dan cricket regu universitas. Selain itu ia pelari gawang dan lompat jauh. Ayahnya seorang bangsawan bernama Sir Jabez Gilchrist, yang kemudian bangkrut karena judi pacuan kuda, sehingga akhirnya ia meninggal dunia. Gilchrist menjadi yatim piatu dan melarat, ditambah dengan keuletan dan kerajinannya ia berusaha dengan sekuat tenaga, sehingga ia berhasil mencapai tingkatan seperti sekarang ini.
     Kamar kedua ditempati oleh seorang mahasiswa dari India bernama Daulat Ras. Ia adalah seorang pendiam dan misterius. Sukar diselidiki sifatnya, sama seperti kebanyakan orang India yang kita kenal. Walau begitu, ia tergolong seorang siswa yang pandai. Kelemahannya cuma satu, yakni dalam mata pelajaran bahasa Yunani. Selain itu, ia adalah orang yang amat sabar, ramah-tamah dan sopan-santun.
     Kamar yang terakhir ditempati oleh Miles McLaren. Sebenarnya ia adalah seorang mahasiswa yang memiliki IQ luar biasa. Sayangnya, ia kurang mempunyai pendirian, keras kepala dan kurang beriman. Tahun lalu, ia hampir dikeluarkan sebab terlibat dalam suatu perjudian. Belakangan ini ia santai-santai saja, sehingga aku dapat membayangkan betapa takutnya ia menghadapi ujian besok pagi."
     "Apakah kau mencurigainya?"
     "Aku tidak mengatakan demikian. Namun, bila dibandingkan dengan yang lain, kukira dialah yang paling mungkin melakukannya."
     "Terima kasih, Tuan Soames. Marilah kita sekarang menjenguk pelayanmu".
Bannister adalah seorang laki-laki tua, usianya lebih dari 50 tahun. Tubuhnya kecil dan wajahnya bersih kepucatan. Tampaknya ia masih merasa amat terpukul karena peristiwa tadi. Wajahnya yang berkerut-kerut dan jari-jari tangannya gemetaran karena gugup.
     "Kami sedang menyelidiki kasus ini, Bannister, "Tuan Soames menjelaskannya.
     "Kata majikanmu, kau telah lupa mengunci pintu kamarnya dan meninggalkan Kuncinya tetap tergantung di pintunya, benar?" kata Holmes kepada Bannister.
     "Ya, Tuan."
     "Apakah kau lupa bahwa pada waktu itu ada soal-soal ujian di dalam kamar itu?"
     "Kelalaian saya itu memang berakibat jelek sekali. Namun, hal-hal seperti itu sering terjadi pada masa-masa yang lalu."
     "Kapan kau masuk ke dalam kamar itu?"
     "Kira-kira pukul 16.40, waktu minum teh Tuan Soames."
     "Berapa lama kau berada di dalam kamar itu?"
     "Begitu Tuan Soames saya lihat, maka saya keluar lagi."
     "Apakah kau melihat soal-soal ujian yang terletak di meja tulis?"
     "Tidak, saya tak melihatnya, Tuan." "Mengapa kautinggalkan kuncinya di pintu?"
     "Pada waktu itu, saya membawa baki teh. Saya pikir, saya akan mencabutnya kemudian setelah mengembalikan baki teh. Tetapi ternyata saya lupa."
     "Apakah selama kau berada di dalam, pintu kaubiarkan tetap terbuka?"
     "Ya."
     "Ketika Tuan Soames kembali dan memanggilmu, tentunya kau amat terkejut , bukan?"
     "Selama bertahun-tahun saya bekerja di sini, belum pernah terjadi yang seper ti itu. Waktu itu, saya hampir saja jatuh pingsan."
     "Ehm, di mana kau berdiri ketika kau mulai merasa tidak enak badan?"
     "Saya berdiri di sebelah mana? Mengapa? Saya berdiri di sini, di dekat pintu ini."
     "Aneh sekali, lalu mengapa kau duduk di kursi yang justru berada di sudut sana? Mengapa kaulewati kursi-kursi yang lainnya dan duduk di sana?" "Entahlah. Saya tidak memedulikan benar hal-hal itu,Tuan."
Tuan Soames cepat-cepat memotong pertanyaan Holmes yang gencar.
     "Tuan Holmes, kukira ia tak tahu banyak tentang peristiwa ini. Lihatlah, wajahnya menjadi semakin pucat, karena masih shock."
Holmes mengangguk-angguk sambil tersenyum penuh arti.
     "Baiklah, tetapi ketika tadi Tuan Soames pergi, apakah kau menunggunya di sini?" tanyanya lagi kepada Bannister.
     "Hanya satu dua menit. Kemudian saya menutup pintu kamar dan kembali ke kamar saya."
     "Coba, siapakah yang pantas kaucurigai?"
     "Ah, saya tidak berani. Saya tidak percaya, bahwa di dalam universitas ini, ada yang mau bertindak seperti itu. Tidak, Tuan, saya tidak tahu apa-apa!"
"Baiklah. Kau belum menceritakan mengenai hal ini kepada ketiga mahasiswa di atas dan orang lain, bukan?" Kami bertiga keluar dari kamar itu dan berjalan menuju ke tanah lapang di belakang asrama. Tampaknya ketiga jendela mahasiswa yang berdiam di tingkat atas itu bersinar terang. Holmes berkata kepada Tuan Soames.
"Hai, lihatlah agaknya salah seorang di antaranya sedang merasa gelisah." Aku mengawasi jendela-jendela itu dan melihat sebentuk bayangan yang berjalan mundar-mandir di dalam kamarnya dengan langkah-langkah cepat. Menurut keterangan Tuan Soames kamar itu didiami oleh mahasiswa dari India.
"Aku ingin menjumpai mereka satu demi satu," bisik Holmes. "Bisa?"
"Bisa saja," sahut Tuan Soames cepat.
"Tetapi ingat, jangan sebut-sebut nama kami," ujar Holmes.
     Pertama kali kami menuju pintu kamar yang pertama. Kamar Gilchrist. Tuan Soames mengetuk pintunya.
Seorang pemuda yang jangkung, berdada bidang dan berambut pirang, membukakan pintu lantas mempersilakan kami masuk begitu mengetahui maksud kedatangan kami.
     Di dalam kamar ini, terdapat beberapa bagian yang merupakan hasil arsitektur abad pertengahan yang jarang ditemukan di tempat lain. Rupanya Holmes menjadi tertarik sekali sehingga ia ingin melukis model-model itu di dalam buku catatannya. Sayang sekali, ia telah mematahkan pensilnya, sehingga ia terpaksa meminjam pensil tuan rumah dan kemudian karena merasa kurang enak, meminjam lagi sebilah pisau untuk meraut pensilnya sendiri.
     Hal yang sama dilakukannya di dalam kamar mahasiswa India yang tenang, pendiam dan berhidung bengkok itu. Ia merasa curiga kepada kami. Tetapi
kelihatan gembira sekali, setelah Holmes selesai melukis bangunan kuno itu. Sedemikian jauh, aku belum melihat hasil penyelidikan Holmes. Entah apa yang telah ditemukannya, aku masih belum dapat merabanya. Namun, di kamar yang ketiga, kami ditolak. Ketukan Tuan Soames tak mendapat jawaban yang sewajarnya. Mahasiswa itu menyambut dengan bentakan-bentakan kasar dari dalam kamarnya.
     Holmes hanya tersenyum saja melihat sikap Tuan Soames yang mendapat sambutan yang kurang ramah itu. Lalu Holmes mengajukan pertanyaan yang aneh kepadanya.
"Bisakah kau mengatakan kepadaku, berapakah kira-kira tinggi badannya?" Tuan Soames tercengang.
"Kira-kira 180 cm, mengapa?"
"Terima kasih, Nah, selamat malam, Tuan Soames, "kata Holmes tetap tersenyum.
Tuan Soames yang penggugup itu berseru keras sekali karena terperanjatnya.
"Kau mau pergi? Apa yang harus kulakukan sekarang?"
"Tetaplah tenang, jangan khawatir. Besok pagi-pagi sekali, kami akan kemari lagi. Kupikir sekarang lebih baik aku berdiam diri dulu. Dan kuminta kau jangan bertindak apa-apa dulu. Oke?"
"Yah aku percayakan hal ini kepadamu."
"Jangan khawatir. Tanah liat dan keratan pensil ini akan kubawa. Sampai besok pagi, selamat malam."
Kami berjalan berdua di dalam kegelapan di tanah lapang. Aku memperhatikan jendela-jendela di asrama itu. Mahasiswa India masih tetap berjalan mundar-mandir, sedang dua yang lainnya tidak kelihatan. Mungkin mereka sedang duduk belajar atau tiduran.
"Watson, bagaimana pendapatmu?" tanya Holmes ketika kami telah sampai di jalan raya.
"Aku teringat pada suatu permainan teka-teki yang biasa dilakukan oleh anak-anak. Ada tiga buah kartu. Sebuah di antaranya adalah kartu As. Sedang yang lainnya, adalah kartu-kartu angka. Orang harus menebak kartu As-nya!"
"Ah, apa tidak ada orang keempat?"
"Siapa?"
"Bannister!"
"Mengapa?"
"Mengapa?" Holmes mengulangi pertanyaanku sambil tersenyum misterius, "Itu ada sebuah toko buku yang menjual alat-alat tulis."
Ada empat buah toko buku di kota ini. Kami memasuki setiap toko. Holmes menunjukkan keratan pensil yang dibawanya kepada setiap penjaga toko dan mengatakan ingin membeli pensil yang sejenis itu. Sayang sekali, tidak ada toko yang menjualnya. Aku sendiri menjadi heran.
     Keesokan paginya, menjelang pukul delapan, ketika aku baru saja mengenakan pakaian, Holmes telah mengetuk pintu kamarku.
"Watson," sapanya riang. "Selamat pagi, sudah waktunya kita pergi ke St. Luke. Teman kita Tuan Soames, tentu sudah gelisah sekali. Maaf, tentunya kau bisa pergi tanpa sarapan dulu, bukan?"
Aku hanya tersenyum saja.
"Apakah kau telah menemukan jalan ke luar teka-teki itu?"
"Ya," jawab Holmes mantap.
"Ya?"
"Tidak percuma aku tadi bangun sebelum pukul enam pagi. Aku telah bekerja keras selama dua jam dan telah menempuh lima mil bulak-balik. Lihatlah, apakah ini!"
Holmes membuka telapak tangannya. Dan tampak tiga buah piramid tanah liat kecil.
"Bukankah kemarin hanya ada dua?"
"Inilah suatu barang bukti yang paling nyata, karena dari mana yang ketiga ini berasal. Watson, marilah kita pergi, jangan banyak tanya dulu!"
Tuan Soames sedang berada dalam kegelisahan yang mengharukan ketika kami menjumpainya di dalam kamarnya. Beberapa jam lagi ujian sudah akan dimulai dan ia masih berada dalam kebimbangan apakah akan membuka ujian atau mem¬batalkannya sebab mencurigai salah seorang mahasiswanya telah membocorkan soal-soal ujiannya.
     Ia hampir-hampir tidak dapat berdiri dengan tenang. Ia demikian gelisahnya sehingga begitu melihat kedatangan kami, ia tents saja berlari-lari menyambut sambil merentangkan kedua lengannya lebar-lebar.
     "Demi Tuhan. Aku sudah merasa khawatir sekali. Syukurlah kalian telah datang. Coba, apakah yang mesti kita lakukan sekarang? Apakah ujian ini akan dilakukan atau dibatalkan saja?"
"Tentu saja, tidak baik jika dibatalkan!"
"Tetapi bagaimana dengan bocornya soal-soal ujian itu?"
"Jangan khawatir, ia tidak akan ikut menempuh ujian itu."
"Maksudmu?"
"Kasus ini tak baik diketahui oleh umum. Nah, kuminta kau berdiri di sana, Tuan Soames. Dan Watson, kau berdiri di sini. Aku sendiri akan mengambil kursi malas yang di tengah ini. Sekarang juga kita mengambil tindakan tegas dengan membuka suatu sidang pengadilan darurat yang sederhana. Kupikir, sekarang tibalah waktunya untuk mengejutkan hati orang yang bersalah itu dengan suatu cara. Ayo, bunyikan bel pelayan itu."
     Walaupun masih belum memahami maksud Holmes, namun Tuan Soames menurut saja. Ia menarik bel untuk memanggil pelayannya. Pintu terbuka dan masuklah Bannister. la tampak keheranan melihat kami yang berdiri terpisah-pisah.
"Tutuplah pintunya dengan baik, Bannister," perintah Holmes," Lalu, tolong katakan kepada kami dengan sejujur-jujurnya peristiwa yang telah terjadi kemarin itu."
Wajah pelayan tua itu menjadi pucat pasi. Ia menatap Holmes dan berkata dengan gagap.
"Bukankah telah kukatakan semuanya?"
"Sungguh? Tak ada lagi tambahannya?"
"Tidak ada," jawabnya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apakah aku yang mesti mengingatkannya? Ketika kemarin kau duduk di kursi yang di sudut itu, bukankah kau bermaksud menyembunyikan sesuatu yang dapat membuktikan siapa sebenarnya yang telah masuk ke dalam kamar ini?"
Tubuh Bannister tampak menggigil. "Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan?"
"Dengan terus terang kukatakan kepadamu, bahwa aku tak dapat membuktikan tuduhanku tadi, karena aku juga belum tahu benda apa yang kau duduki itu. Tetapi aku merasa yakin, bahwa ketika tuanmu pergi mencari kami, maka kau lalu melepaskan orang yang bersembunyi di dalam kamar tidur itu! " Bannister membasahi bibirnya yang kering dengan lidahnya.
"Di sana tidak ada siapa-siapa!"
"Ah, jangan berdusta, Bannister.  Aku selalu percaya bahwa kau adalah orang yang jujur dan selalu berkata apa adanya. Tetapi, sekarang terbukti, kau telah berdusta!"
Wajah Bannister menjadi merah padam karena tampak merasa tersinggung. Merasa tersindir.
"Sungguh, aku telah berkata apa adanya."
"Aku percaya. Tapi tenanglah, Bannister. Diamlah saja dan berdiri ditempatmu di dekat pintu kamar tidur itu. Tuan Soames, sekarang, tolonglah un¬dang Gilchrist datang kemari."
     Tanpa banyak komentar, Tuan Soames keluar. Beberapa menit kemudian, ia telah kembali bersama seorang pemuda yang tertubuh atletis. Pemuda itu bertubuh jangkung, tegap, gerak-geriknya tangkas, langkahnya enteng, wajahnya bersih dan simpatik. Namun matanya yang biru itu memancarkan kesedihan. Ia memandang kami satu per satu dan akhirnya memandang Bannister yang berdiri agak jauh di sudut, dengan rasa heran bercampur kecewa.
"Tutuplah pintunya," kata Holmes. Tuan Soames segera menutup pintu kamarnya, lalu mengiringi Gilchrist menuju ke tengah kamar.
"Tuan Gilchrist, sekarang kita berada di dalam kamar tertutup. Hanya kita yang akan membicarakan hal ini. Tiada orang lain diperkenankan untuk men¬dengarkannya. Kita bisa berbicara terus terang satu sama lain. Tuan Gilchrist, sungguh aku ingin tahu, bagaimana Anda, seorang pemuda yang terhormat, sampai hati melakukan perbuatan tercela seperti kemarin?"
     Pemuda yang gagah itu kaget dan pucat lalu memandang dengan penuh kebencian kepada Bannister serta memaki-makinya. Bannister berteriak-teriak membela diri.
"Sungguh, bukan aku yang mengatakannya. Tidak sepatah kata pun!"
"Ya, bukan kau yang mengatakannya tetapi berterus-teranglah," Sela Holmes lalu menoleh kepada Gilchrist dan katanya, "Tuan, sekarang Anda sendiri tahu bahwa setelah Bannister bercerita, maka pembelaan Anda akan sia-sia belaka. Satu-satunya harapan Anda, terletak kepada pengakuan yang jujur!" Gilchrist menyembunyikan wajahnya dalam tekapan kedua telapak tangannya. Lalu menjatuhkan dirinya di atas lututnya di samping meja tulis dan mulai menangis tersedu-sedu, penuh penasaran.
"Kami yakin Anda melakukannya coma karena kekhilafan belaka. Mungkin perasaan akan lega bila aku yang menceritakan apa yang telah terjadi. Apakah Anda mengizinkannya? Percayalah, kami tak akan bersikap kejam atau tak adil. Sejak Tuan Soames mengatakan bahwa tak seorang pun bahkan Bannister juga tidak, maka aku membayangkan apa yang terjadi di dalam otakku.
     Si pencetak jelas bukanlah si pencuri. Si Mahasiswa India juga tak menimbulkan kecurigaanku. Karena kalau soal-soal itu masih dalam keadaan tergulung, jelas ia tidak mengetahuinya.
     Di samping itu, tidak masuk akal, kalau ada orang yang berani menyelinap masuk ke dalam kamar Tuan Soames, jus¬tru tepat pada saat soal-soal ujian itu tergeletak di meja tulis. Jadi, si penyelinap sudah merasa yakin benar bahwa soal-soal ujian itu ada di dalam kamar.
     Tetapi dari mana ia tahu?
     Kemarin, sebelum masuk ke dalam kamar, aku telah melihat jendelanya. Mengukur berapa tinggi badan seseorang agar dapat melihat ke dalam melalui jendela itu. Tinggi badanku sendiri  1,80 meter dan aku dapat melihat ke dalam kamar itu, dapat melihat ke atas meja yang terletak di tengah kamar. Siapa pun yang tinggi badannya 1,80 meter, pasti dapat melihat ke dalam kamar lewat jendela itu dengan mudah. Jadi kesimpulannya, si pencuri adalah seseorang yang mempunyai tinggi badan yang lumayan.
     Sebelumnya, Tuan Soames telah menceritakan tentang mahasiswa Gilchrist yang menjadi wakil universitas dalam cabang olah raga lompat jauh. Maka aku segera membayangkan apa yang terjadi berikutnya.
Pemuda ini setiap sore berlatih di lapangan olah raga. Kemarin sore, ia berlatih lompat jauh. Setelah selesai, ia kembali sambil menjinjing sepatu khusus untuk olah raga. Ketika lewat di dekat jendela Tuan Soames, ia melihat naskah-naskah soal ujian itu.
     Jadi, timbullah pikirannya untuk masuk ke dalam serta membaca naskah itu. Ya, tidak akan terjadi suatu kejahatan, apabila ketika ia melewati pintu kamar Tuan Soames ia tidak melihat kunci yang masih tetap tergantung di daun pintunya, itu karena kelalaian Bannister.
     Kalau sampai diketahui nanti, ia bisa saja mengatakan, bahwa ia cuma bermaksud untuk mengunjungi dosennya karena ingin menanyakan sesuatu. Tetapi, setelah berada di dalam kamar dan mengetahui bahwa kertas-kertas itu memang benar-benar soal-soal ujian yang akan dilakukan besok pagi, maka ia tak dapat menahan dirinya lagi. Ia tergoda untuk menyalinnya. Maka, ia meletakkan sepatu olah raganya di atas meja yang berlapis kulit merah itu. Eh, lalu apakah yang Anda letakkan di atas kursi di dekat itu, Tuan Gilchrist?"
"Sarung tanganku," jawab Gilchrist terus terang.
     Holmes berganti memandang Bannister dengan penuh kemenangan.
Ia meletakkan sarung tangannya di atas kursi itu dan mengambil soal-soal ujian itu halaman demi hala¬man untuk disalinnya. Ia mengira, kalau Tuan Soames pulang, pasti lewat pintu gerbang utama, sehingga ia dapat melihatnya dari jendela. Namun sayang, dugaannya meleset. Tuan Soames pulang melalui jalan pintu gerbang samping. Dengan mendadak, ia mendengar Tuan Soames telah tiba di ambang pintu. Sudah tidak ada kesempatan lagi untuk melarikan diri. Ia lupa mengambil sarung tangannya, namun masih sempat menyambar sepatunya dan lari masuk ke dalam kamar tidur.
     Seperti dapat dilihat buktinya, goresan yang terdapat di meja itu, dangkal pada awalnya tetapi mengarah ke jurusan kamar tidur berubah menjadi agak dalam. lni saja sudah cukup menunjukkan, bahwa sepatu itu telah diseret kejurusan itu dan si pencuri bersembunyi di dalam kamar tidur.
Segumpal tanah hat yang melekat di sekitar paku-paku sepatu telah tertinggal di atas meja, segumpal lagi jatuh di dalam kamar tidur, di balik tirai tempat gantungan pakaian.
     Perlu kutambahkan, bahwa tadi pagi, aku sengaja berjalan-jalan di lapangan olah raga. Aku melihat, bahwa tempat latihan lompat jauh, diisi dengan tanah liat yang pekat dan serbuk gergaji disebarkan di atas lapisan tanah liat itu, untuk melindungi para atlet agar jangan sampai tergelincir.
Nah, Tuan Gilchrist, apakah aku telah mengungkapkan kebenaran?"
Mahasiswa itu tertunduk dengan wajah merah.
"Ya, memang benar," katanya dab kemudian pandangan matanya terangkat menatap Tuan Soames. "Tuan Soames, aku merasa takjub karena Tuan ini telah mengungkapkan semua perbuatanku kemarin, seperti bayanganku saja. Sepanjang malam tadi aku merasa gelisah dan tak dapat tidur. Lewat tengah malam, aku menulis sepucuk surat. Itu keputusanku. Aku telah memutuskan, seperti yang telah aku tulis di dalam surat itu dan akan kuserahkan kepada Anda, Tuan Soames, bahwa aku tak akan mengikuti ujian karena telah mendapat tawaran untuk masuk Angkatan Kepolisian Rhodesia. Aku akan segera berangkat ke Afrika Selatan!"
"Ya, Tuhan!" seru Tuan Soames takjub." Betapapun, aku merasa senang. Tetapi, mengapa Anda memutuskan begitu?"
"Dialah yang telah menyadarkan aku," kata Gilchrist sambil menunjukkan kepada Bannister.
"Ehm, Bannister," ujar Holmes." Memang telah kuduga, bahwa hanya kaulah yang dapat menolongnya. Kemarin aku sengaja memberi kesempatan kepadanya untuk meloloskan diri dari kamar tidur itu. Tetapi mengapa kaulakukan hal ini?"
"Sederhana saja,Tuan. Meskipun Anda terkenal amat teliti dan pandai namun ada satu hal yang belum Anda ketahui. Yakni, bahwa saya adalah bekas mandor Sir Jabez Gilchrist, yakni ayah pemuda ini. Setelah beliau bangkrut, saya bekerja di sini sebagai pelayan. Walaupun demikian, saya tak pernah melupakan kebaikan budi almarhum.
     Tak kusangka, saya bertemu kembali dengan putranya. Saya mengawasi dan merawatnya demi kepentingan dirinya kelak. Lalu, ketika kemarin Tuan Soames memanggilku, begitu masuk, saya segera melihat sarung tangan cokelat berada di atas kursi itu. Saya kenal sekali siapa pemiliknya. Bila saja Tuan Soames melihatnya, maka tamatlah riwayatnya. Saya menjadi gelisah sekali dan untung-untungan menjatuhkan diri ke kursi itu. Saya berhasil mendudukinya, tanpa diketahui Tuan Soames, sampai ia pergi menemui Anda.
     Setelah Tuan Soames pergi, keluarlah tuan muda Gilchrist dari dalam kamar tidur. Ia mengakui segala kesalahannya kepadaku. Tuan, saya sungguh tidak pantas untuk menyelamatkan atau menasihatinya. Namun, saya telah mencobanya. Apakah Tuan tetap memandang saya sebagai orang yang melakukan kejahatan juga?"
     "Tentu saja tidak!" kata Holmes riang.

     Saat itu malam hari, kami sedang bermobil menyusuri satu-satunya jalan di suatu desa kecil yang terletak tak jauh dari kota Oaxaca di Mexico Selatan,
"Dukun wanita yang akan kita kunjungi ini adalah seorang brujo, atau dukun yang baik, Senor," begitu tutur Ramon, supir kami yang periang itu. "Tahun yang lalu aku pernah jatuh cinta pada seorang gadis yang rupanya tak acuh dan menampik cintaku itu. Kemudian aku meminta tolong kepada brujo itu yang memintaku untuk membawakan kerudung milik gadis tersebut. Aku menuruti permintaannya, lalu sang dukun segera membacakan mantra pada kerudung itu. Kurang dari satu minggu setelah itu, gadis yang semula tak acuh itu kemudian berubah menjadi tergila-gila kepadaku".
     Sahabatnya yang pendiam dan duduk di sampingnya, Silvano, mengangguk membenarkan bahkan menimpali, "Tetapi ada pula seorang brujo yang lebih baik daripada wanita itu dan tinggal di Mexico City. Sahabatku pernah kehilangan sebuah cincin bermata berlian, dan brujo itu menyuruhnya mencari barangnya yang hilang tersebut di tanah dekat pohon tertentu di Paseo de la Reforma, tempat dikatakannya cincin itu terjatuh. Kawanku itu langsung saja menuju ke tempat yang ditunjukkannya dan memang menemukan kembali cincinnya di situ. Tetapi kau hanya bisa menemui brujo tersebut setelah pukul 8 malam. Sebab di siang hari dia bekerja di Monte de Piedad, yaitu sebuah kantor Pegadaian Negeri".
     Ilmu perdukunan di Mexico memang telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Pada zaman sebelum Columbus misalnya, para dukun biasanya berkedudukan sebagai juru ramal Istana pada zaman kerajaan Aztec.
     Kadang-kadang, bersama dengan para pendeta, mereka menyelenggarakan upacara dalam usaha menghindarkan dunia dari malapetaka kiamat. Upacara suci semacam itu berlangsung setiap 52 tahun sekali, yang merupakan lamanya satu abad bagi bangsa Aztec.
Ada juga dukun lain yang biasa disebut sebagai curanderos, yaitu sebutan bagi dukun yang berperan juga sebagai tabib , yang menggunakan obat-obat tradisional untuk menyembuhkan para panderita sakit.
     Mobil kami berhenti di sebuah gubuk yang tampak remang-remang. Ramon mengetuk pintu gubuk itu, menerangkan kepada brujo yang tinggal di sana bahwa ada seorang wanita yang mempunyai persoalan dan menginginkan bantuannya.
     Aku bersama Carlotta, gadis cantik berambut hitam pekat, dan berpura-pura berperan sebagai kemanakanku yang seolah-olah sedang menghadapi suatu problem yang berat, segera turun dari mobil, masuk ke dalam gubuk itu dan duduk di hadapan sang brujo. Dengan suara bernada penuh emosi, Carlotta segera menumpahkan semua beban hatinya, "Telah berbulan-bulan lamanya aku mengadakan hubungan cinta dengan Paulo dan dia berjanji akan segera mengawiniku," begitu katanya, "Tetapi baru sekarang kuketahui bahwa ternyata dia telah mempunyai istri. Oleh sebab itu aku meminta pertolonganmu untuk menghukum laki-laki penipu itu karena telah mempermainkanku."
     Brujo itu mengambil sejenis biji-bijian dan meletakkannya di telapak tangan Carlotta dan kemudian berkata, "Coba ceritakan sekali lagi kisah sedihmu itu kepada biji-bijian ajaib ini, Senorita. Dia akan menolongku menyelesaikan persoalan yang sedang kauhadapi itu." Carlotta menundukkan wajahnya dan mengulang kisah sedihnya tadi kepada biji-bijian yang ada di telapak tangannya.
     Sementara itu sang brujo menyiapkan sebuah tempurung kelapa yang diisi dengan air separuhnya dan diletakkan di bawah telapak tangan Carlotta.
     "Nah, sekarang buka jari jemarimu dan biarkan biji-biji itu terjatuh ke dalam tempurung kelapa itu." Biji-biji yang terjatuh ke dalam tempurung kelapa berisi air itu memang membuat suatu bentuk yang menyerupai huruf, lalu sang brujo berkata penuh kemenangan, "Nah, Senorita menyaksikan sendiri, biji-biji ajaib itu telah membentuk huruf P sebagai kependekan dari Paulo."
     Kemudian brujo itu menoleh ke arah Carlotta lagi sambil berkata, "Namun aku masih membutuhkan foto kekasih Anda, Senorita, dan juga sebagian dari miliknya." Carlotta kemudian memberikan sebuah sapu tangan laki-laki, yang memang sengaja telah kuberikan kepadanya sebelum memasuki gubuk dukun itu, dan memberikannya kepada sang brujo. Dukun itu mengamati sejenak sapu tangan itu, kemudian menyimpannya.
     "Dalam kasus istimewa seperti ini, aku perlu berembuk dulu dengan kawanku yang lain," begitu tutur dukun itu, "Aku akan menemuinya akhir minggu ini. Tetapi Anda tak usah khawatir, Senorita. Apa yang menjadi kehendak Anda tentu akan terlaksana. Semua ini membutuhkan biaya sebanyak 300 peso. Datanglah lagi kemari hari Minggu depan ini dengan membawa foto seperti telah kuminta tadi dan aku akan memberi tahu kepada Senorita, apa yang harus Anda lakukan."
     "Selain itu, badanku juga terasa kurang sehat sekarang ini," begitu Carlotta menambahkan.
     "Aku akan memberimu suatu limpia - yaitu penyucian terhadap tubuhmu," kata dukun itu sambil mengambil sebutir telur, meletakkannya di kepala Carlotta kemudian menekannya keras-keras.
     Aku sangat khawatir telur itu akan pecah nanti, sebab kulihat dia menekannya dengan keras, tetapi ternyata telur itu tetap utuh. Kemudian dia menggeserkan telur itu ke wajah Carlotta, turun ke seluruh tubuhnya hingga ke ujung kakinya. Baru setelah itu dia memecahkannya dan menuangkannya ke dalam sebuah gelas yang berisi air putih dan memeriksa kuning telurnya.
     "Nona memang sakit," begitu katanya dengan penuh keyakinan, "Senorita bisa melihat sendiri, betapa keruh kuning telur itu. Tetapi limpia tadi akan menyembuhkan sakit Anda itu. Belum pernah aku gagal mengobati penyakit dengan cara seperti ini," kemudian dukun itu menoleh ke arahku dan menjelaskan, "Aku bisa melihat segala macam penyakit dengan melihat kuning telur itu. Kalau seseorang menderita disentri amuba, maka aku akan melihat amuba itu berkumpul di dalam kuning telur tersebut."
     Begitu waktu berlalu, akhirnya aku mengetahui bahwa impian adalah salah satu bagian penting dari pekerjaan para dukun dan Curandero. Karena keadaan kulit telur yang memang porous atau berpori-pori itu, maka telur mereka percayai bisa menyerap segala macam penyakit maupun segala tenung, sehingga dengan cara itu segala penyakit pun maksud jahat seseorang segera bisa diketahui dan kemudian diobati.
     Dalam perjalanan kembali ke Oaxaca, kami singgah juga di gubuk Ramon. Di kejauhan sana, kami melihat ada pancaran sinar api unggun di tengah kegelapan bukit, dan aku bertanya api apakah itu.
     "Ah, para dukun rupanya sedang berkumpul di sana," begitu jawab ibu Ramon, "Ketika mereka mengadakan perjalanan, sebelumnya biasanya mengadakan pesta api unggun seperti itu terlebih dahulu."
     "Ah, itu kan hanya pancaran gas, yang keluar dari kantung bukit kapur itu saja," begitu bantah adik Ramon yang sekolah di sebuah Universitas setempat. Tetapi tak ada seorang penduduk desa itu yang memercayai pendapat adik Ramon yang masih muda itu. Beberapa waktu kemudian, ketika berkesempatan mengobrol dengan seorang ahli antropologi setempat, aku diberi tahu bahwa para dukun di Mexico ini mempunyai keistimewaan jarang terserang penyakit. Maka setiap orang yang tampak tak pernah terserang suatu penyakit akan dicurigai sebagai seorang brujo.
     Masih banyak suku Indian di Mexico ini yang percaya bahwa sakit bukanlah merupakan gejala alamiah, melainkan semata-mata sebagai hasil perbuatan jahat yang dilakukan oleh musuh-musuhnya. Memang ada semacam garis pemisah di antara seorang brujo - yang kalau diminta seseorang bersedia melakukan ilmu hitam - dan seorang curandero, yang lebih dikenal sebagai dukun pengobatan yang ahli dalam pengobatan dengan cara tradisional.
     Seorang curandero yang benar-benar telah menguasai ilmunya akan bisa mengetahui, daun-daunan apa yang bisa mengobati penyakit maag, demam ataupun penyakit lainnya, termasuk penyakit ayan.
     Bahkan suku Indian di Mexico bagian selatan telah mengetahui manfaat sejenis jamur untuk mengobati luka-luka, sebelum orang menemukan penisilin.
     Boleh dikatakan, setiap desa di Mexico tentu mempunyai paling tidak seorang curandero. Seorang curandero yang "baik" atau yang beraliran putih, hanya akan menggunakan kepandaiannya untuk tujuan yang baik saja, seperti misalnya, mengobati orang yang sakit atau menangkal ataupun menghilangkan kiriman maksud-maksud jahat yang diderita seseorang. Sedangkan seorang curandero yang "jahat" atau seorang brujo yang "jahat", akan bersedia mempraktekkan ilmu hitam yang dimilikinya untuk mencelakakan seseorang.
     "Hal yang sangat penting dalam ilmu perdukunan di sini adalah apa yang disebut sebagai nagual - yaitu hewan pengawal kita," begitu tutur seorang guru bangsa Indian kepadaku. "Nagual itu ditentukan saat seseorang baru lahir. Seorang dukun akan duduk di samping seorang ibu yang akan melahirkan sambil menggambar berbagai macam binatang di tanah : seekor biri-biri, iguana, kambing, anjing dan lain sebagainya. Begitu bayi itu lahir dan mengeluarkan tangisnya yang pertama, binatang apa yang sedang digambar dukun saat itu, akan menjadi nagualnya."
     "Para dukun biasanya mempunyai binatang nagual yang ganas," begitu tutur guru itu selanjutnya, "Hal itu bisa berwujud seekor serigala besar, seekor coyote, seekor ular berbisa, jaguar atau mungkin juga merupakan kekuatan alam seperti petir. Nagual yang kuat, akan memberi kekuatan yang besar pula pada pemiliknya."
     "Seorang dukun bisa mengalihkan wujud dirinya menjadi nagualnya," kata seorang guru yang lain, "Ada seorang petani di zaman revolusi melawan penjajah Spanyol dahulu yang menjadi seorang patriot sejati. Dia memiliki ilmu yang bisa mengubah dirinya menjadi nagualnya, yaitu seekor babi, kemudian pergi ke tangsi tentara Spanyol dan memata-matai apa yang akan mereka lakukan. Dengan cara seperti itu dia kemudian melaporkan apa yang diketahuinya kepada para pemimpin gerilya"
     Melanjutkan perjalananku lebih ke selatan lagi, aku berhenti di Tuxtla-Gutierez, ibu kota daerah Chiapas yang sangat ramai itu. Di tempat itu, seorang wanita tua menceritakan kisahnya kepadaku.
     "Di sebuah desa, 50 mil jauhnya dari tempat ini, tempatku dilahirkan," begitu dia memulai ceritanya, "Suatu wabah yang ganas pada suatu hari menyebar dan menyerang anak-anak sehingga menimbulkan banyak kematian. Para penduduk menandai, bahwa sebelum penyakit itu menyerang seseorang, selalu terlibat adanya seekor burung hantu yang terbang masuk ke dalam rumah si korban dan terbang di atas tempat tidur si anak. Mereka merasa yakin bahwa burung hantu itu merupakan nagual dari seorang dukun atau brujo di desa itu - seorang kakek-kakek yang membenci setiap orang. Para penduduk desa telah memohon kepada brujo itu untuk menghentikan pembunuhan-pembunuhan yang dilakukannya terhadap banyak anak-anak itu. Tetapi sang brujo tak mengakui burung hantu itu sebagai nagualnya."
     Nada suaranya terdengar bergetar ketika dia meneruskan ceritanya itu. "Nenekku mempunyai toko roti tempat seekor burung hantu biasanya muncul tepat menjelang senja, mungkin mencari kehangatan. Pada suatu pagi, burung hantu itu muncul lagi tepat ketika Nenek mau memasukkan adonan roti ke dalam oven pemanggangan. Pada saat itu juga Nenek menangkap burung hantu tersebut, melemparkannya ke dalam oven yang menyala dan menutupkan pemanggangan roti itu rapat-rapat. Tepat pada saat itu pula, suatu jeritan mengerikan datang dari arah rumah brujo tua jahat itu. Para penduduk desa berduyun-duyun membuka pintu gubuk brujo itu dan menyaksikan bagaimana dukun itu men jerit-jerit kesakitan seakan-akan sedang terpanggang api yang panas. Tak lama kemudian brujo itu mati dengan tubuh melepuh seakan-akan habis terpanggang. Dan sejak kematian brujo tersebut, tak ada anak-anak yang mati lagi dan wabah yang mengerikan itu lenyap dengan sendirinya."
     Seorang dokter ahli bedah ikut pula memberi komentarnya mengenai dukun-dukun di Mexico itu, "Berbicara mengenai dukun, ada seorang rivalku, meskipun dia tinggal 2000 km dari tempat praktekku ini. Dia adalah seorang brujo yang melakukan operasi dari jarak jauh atas penyakit-penyakit usus buntu, batu ginjal atau apa pun yang membutuhkan bantuannya. Dalam dunia modern mungkin dikatakan dia melakukan pengobatan secara telepathy dengan sebuah syarat, dia akan mengatakan kepada pasiennya bahwa dia akan melakukan operisi itu pada hari dan jam yang telah ditentukannya. Pasien itu kemudian harus berbaring di tempat tidumya pada hari dan jam yang telah ditentukan itu dan dalam waktu yang telah ditentukan pula dia akan bangun dalam keadaan sudah sembuh kembali."
     Mexico City yang lain daripada yang lain itu mungkin merupakan sebuah kota di dunia ini tempat kita masih bisa menemukan praktek ilmu perdukunan yang dilakukan secara luas. Di salah sebuah pasar saja aku bisa menemukan paling tidak 20 hingga 30 buah toko yang selain menyediakan keperluan sesaji untuk para brujo dan curandero seperti misalnya akar-akaran dan daun-daunan pohon tradisional, juga menjajakan dan menjual kulit ular, burung walet yang telah dikeringkan, iguana, kelelawar kering dan keperluan para dukun yang lain.
     Kita bisa saja membeli lilin hitam, yang menurut penjualnya, bisa menjadi penangkal maksud jahat yang ditujukan orang lain terhadap diri kita, kalau kita membakar lilin itu. Juga bisa dibeli minyak cinta, yang kalau kita pakai aroma baunya bisa menarik perhatian lawan jenis kita.
     Untuk Carlotta aku membelikan beberapa bulu burung pelatuk yang telah dikeringkan, yang dikatakan sebagai penangkal setiap maksud jahat seseorang. Untuk Ramon, aku membelikannya Sabun Raja Sulaiman, yang menurut penjualnya, bisa menarik para wanita bila kita mandi dengannya.
     Sedang untuk diriku sendiri, yah .. . aku ingin menentukannya nanti kalau aku memang benar-benar telah membutuhkannya.  (Cerita BEN LUCIEN BURMAN)

     Pengalaman ini pertama kali dituturkan dalam majalah "Fate" terbitan bulan September 1964. Kemudian dimuat pula di dalam buku "Strange Psychic Experiences" yang diterbitkan oleh "Clark Publishing Co".
     Poltergeist berarti adanya hantu yang berwujud suara. Di daerah Islandia Utara ada sebuah daerah pertanian kecil yang disebut Saurar, tempat Gudmundur Einarsson, petani berusia 72 tahun, tinggal bersama istrinya Margret Benediksdotir, dan kedua anak mereka yang sudah besar, seorang anak perempuan bernama Sigurborg dan seorang anak laki-laki bernama Benedict.
     Pada hari Rabu tanggal 18 Maret 1964 pukul 1.40 dini hari, Einarsson dan istrinya dibangunkan oleh adanya suara gaduh yang tiba-tiba. Mereka tidur di ranjang yang terpisah dan di antara kedua ranjang mereka, di bawah jendela, terletak sebuah meja bulat telur yang panjangnya satu yard lebih sedikit dan beratnya sekitar 44 pon. Mereka melihat meja itu telah pindah dari bawah jendela dan sekarang sedang digotong ke luar kamar. Pada mulanya mereka menyangka itu disebabkan oleh adanya gempa bumi, tetapi anehnya tak ada barang lain di dalam kamar mereka yang pindah tempat.
     Pada petang hari berikutnya Nyonya Margret Benediksdotir dan anak perempuannya, Sigurborg, sedang bekerja di luar rumah ketika mendengar sesuatu berderak di dalam rumah. Tak seorang pun ada di dalam rumah itu ketika mereka bergegas masuk. Mereka melihat meja dapur telah pindah ke tengah-tengah ruangan dan setumpuk barang pecah-belah yang semula terletak di atas meja itu, mereka dapati berantakan dan pecah berhamburan di lantai. Sepanjang sisa hari itu, mereka menyaksikan barang-barang dalam rumah berpindah-pindah tempat. Malam sesudahnya, Tuan Einarsson dan istrinya terbangun lagi pada pukul 4.20 pagi oleh suara gaduh yang ditimbulkan oleh dipindahkannya meja makan.
     Tanggal 19 Maret seorang wartawan dari surat kabar "Morgunblaoio" bernama Thordur Jonsson datang untuk meninjau bersama supirnya. Setelah bercakap-cakap di ruang tamu dengan petani tua dan istrinya, dia dan supirnya diundang ke dapur untuk minum kopi. Kedua orang tua itu berjalan di depan, kemudian sang wartawan dan terakhir supirnya. Tak seorang pun yang berada di ruang tamu setelah mereka berempat ke dapur. Tapi begitu si supir masuk ke dapur, terdengar bunyi gaduh di dalam ruang tamu yang baru saja ditinggalkannya itu. Dia segera kembali lagi ke ruang tamu, diikuti yang lain-lainnya. Meja di ruangan itu telah didorong sejauh sekitar dua yard menyeberangi ruangan. Pada hari yang sama, anak laki-laki pasangan petani tua itu, yang tinggal di tempat lain, Bjorgvin, datang ke Saurar untuk tinggal beberapa minggu lamanya.
     Jumat tanggal 20 Maret, pukul 2.30 siang, Sigurborg berada di dapur, ibunya sedang berbicara lewat telepon di ruang tamu, sedang ayahnya di luar rumah bersama kedua anak laki-lakinya, ketika tiba-tiba Sigurborg melihat sebuah lemari besar yang terletak di pinggir tembok mulai bergerak. la dengan ragu-ragu meraih radio yang terletak di atas lemari itu dan baru saja dia berhasil meraihnya, lemari itu jatuh berderak ke atas lantai.
     Pagi berikutnya, 21 Maret pukul 9.30, lemari yang sama jatuh terguling ke atas lantai lagi. Tak seorang pun di dapur pada waktu itu. Margaret berada di ruang sebelah dapur bersama anak laki-lakinya, Bjorgvin, ketika mereka mendengar kegaduhan itu. Sigurborg sejam sebelumnya keluar dari rumah. Ia akan tinggal bersama saudara perempuannya di Reykjavik untuk selama beberapa minggu karena sarafnya mulai terganggu oleh peristiwa-peristiwa di rumahnya itu.
     Berita-berita tentang fenomena ini sekarang telah tersebar sampai ke ibu kota dan tempat itu telah diserbu oleh wartawan-wartawan pemburu berita dan orang-orang yang ingin tahu. Pada hari Sabtu saya pergi ke Saurar sebagai wakil dari  "Society for Psychical Research", bersama beberapa anggota lainnya. Seorang medium, Hafsteinn Bjornsson, ikut bersama kami pula. Kami tidak melihat fenomena telekinetik itu lagi, tetapi kepada kami diperlihatkan barang pecah-belah yang sudah hancur dan lemari besar yang kini diikat ke dinding. Margret menceritakan kepada kami, bahwa ketika seluruh anggota keluarganya sedang makan siang pada hari yang sama, meja tempat mereka duduk itu tiba-tiba bergerak sehingga mereka sibuk memegangi barang-barang pecah belah di atasnya agar tidak jatuh ke lantai dan pecah. Kami mengadakan suatu seance - pertemuan untuk mencoba berhubungan dengan roh - bersama Hafsteinn, tetapi kami tidak berhasil menemukan penyebab fenomena misterius ini. Sesudah mendiskusikan soal itu dengan penduduk Saurar, saya yakin tak seorang pun dari mereka dengan sengaja telah menyebabkan fenomena itu terjadi.
     Salah seorang geolog yang paling ulung dari Islandia datang ke tanah pertanian itu dan setelah melakukan penyelidikan dia berkesimpulan bahwa kemungkinan gempa bumi sebagai penyebab fenomena itu bisa dibuang. Kemudian seorang spesialis lain datang dengan membawa sebuah seismograf, tetapi dia juga tak menemukan jejak gempa bumi.
     Fenomena itu berlangsung hampir setiap hari sampai tanggal 3 April, dan minggu yang terakhir merupakan yang paling hebat. Meja besar di ruang tamu bergerak-gerak begitu sering dalam sehari, bahkan beberapa kali jatuh terguling dan akhirnya diikat pula ke dinding. Namun masih juga bagian atasnya terguling ke lantai dan remuk. Bingkai-bingkai foto berjatuhan dari tempat gantungannya di dinding ruang tamu, juga beberapa barang kecil lainnya, beberapa di antaranya remuk.
     Antara ruang tamu dan dapur ada sebuah ruang kecil tempat Sigurborg tidur sebelum ia pergi ke Reykjavik. Di dalam ruang itu barang-barang mulai bergerak pula. Sebuah talam yang digantung di dinding ruang itu jatuh beberapa kali dan akhirnya menggelinding ke dipan tempat gadis itu tidur.
     Di dapur barang-barang paling sering dilihat bergerak dan di gudang tempat beberapa rak yang penuh dengan barang-barang berbagai macam, sebuah rak penuh piring berderak rubuh sehingga pecah berantakan di lantai, sementara rak-rak yang lain sedikit pun tak bergerak.
     Tanggal 3 April Margret Benediksdotir dibawa ke rumah sakit yang terletak sekitar 30 mil jauhnya dari Saurar, karena menderita suatu penyakit. Beliau tinggal di sana untuk selama delapan hari. Selama beliau berada di rumah sakit itu, fenomena di rumahnya berhenti sama sekali. Tetapi dua hari sesudah beliau pulang, kegaduhan itu mulai lagi, walau lebih jarang dan tidak begitu hebat seperti sebelumnya. Bahkan tak lama kemudian berhenti sama sekali. Sejak itu sudah tak ada lagi peristiwa poltergeist.
     Pada akhir bulan Mei, seorang ahli parapsikologi dari Amerika, Tuan W.G. Roll, direktur proyek dari "Psychical Research Foundation" di North Carolina, datang ke Islandia. Saya ikut menemani dia dua kali mengunjungi Saurar untuk melakukan penyelidikan, tetapi "sayangnya" fenomena itu sudah berhenti. Kami menyimpulkan fenomena itu adalah termasuk golongan poltergeist. Kami telah melakukan penyelidikan yang lebih teliti terhadap para penghuni rumah pertanian itu dan titik-titik utama yang kami temukan adalah :
1.Barang-barang itu bergerak paling sering dari barat ke timur, walaupun ada beberapa di antaranya ke arah yang lain. Sementara dalam peristiwa di dapur, gerakan-gerakan itu mengambil garis-garis tertentu di lantai.
2.Barang-barang itu bergerak, terkadang rusak atau hancur sama sekali, dan tidak peduli ada atau tidak ada pemiliknya.
3.Kekuatan di belakang fenomena itu tidak tampak dilakukan dengan penuh perhitungan. Gerakan-gerakan itu tidak tampak sebagai ungkapan atas pikiran atau keinginan seseorang, tidak juga ditujukan kepada salah seorang penghuni rumah atau dapat dihubungkan dengan mereka.
     Memang ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa fenomena itu dapat dihubungkan dengan Margret Benediksdotir, sebab bergeraknya barang-barang itu selalu menunjuk ke arah dapur tempat ia sehari-harinya berada. Ia juga merupakan satu-satunya orang yang selalu ada di tempat pada waktu peristiwa-peristiwa itu terjadi. Ketika ia di rumah sakit, kegaduhan berhenti. Tetapi begitu kembali, fenomena itu pun mulai lagi. Sedangkan selama Sigurborg pergi ke Reykjavik dan ketika Einarsson dan kedua anak laki-lakinya pergi mengail, kegaduhan itu tetap terjadi. Mungkinkah gerakan-gerakan itu ditujukan kepada Margret? Fenomena poltergeist seperti ini memang biasanya dilatarbelakangi maksud tertentu, tetapi yang terjadi di Saurar sampai kini belum terpecahkan dengan memuaskan.  ( rangkuman  STEINN VIKINGUR )

     Rencana yang cermat telah mereka susun secara tertulis. Berulang-ulang mereka menelitinya guna mencegah terjadinya kesalahan, bahkan yang terkecil sekalipun. Rancangan itu sudah begitu mantap, tinggal menunggu waktu pelaksanaannya saja. Malah tiket pesawat udara untuk ke Leopoldville juga telah mereka pesan. Bila tiada aral melintang, mereka bertiga pasti berangkat ke Kongo di Afrika.
     Rupanya kegagalan yang dialami Roy Mackal 13 tahun yang lalu belum membuatnya jera. Roy Mackal adalah seorang ahli biologi di Universitas Chicago. Sejak 1965, selama 3 tahun (malah mungkin lebih) dia selalu mengejar "binatang misterius". Tetapi binatang buruannya yang disebut Nessie, tinggal di Loch (danau) Ness, Skotlandia, tak pernah ditemukannya.
     Sudah tentu "perburu an" itu memakan banyak biaya. Tetapi karena ia pintar bersilat lidah dan mempunyai cukup banyak koneksi, ada beberapa pihak tertentu yang mau mensponsori pekerjaan itu. Dalam ekspedisi ke Kongo ini pun, dia mendapat sumbangan biaya cukup melimpah.
     Bersama dua orang temannya. Herman dan Kia Reguster, Roy Mackal tiba dengan selamat di Leopoldville. lni bukan berarti perjalanan mereka telah berakhir dengan sukses. Tetapi justru baru akan dimulai, dengan segudang kesulitan menghadang di depan mereka. Ketiganya memang petualang berpengalaman. Namun bukan kerja mudah untuk mencapai pedalaman Kongo yang penuh rimba lebat itu.
     Bekal uang yang mereka bawa memang cukup banyak. Namun mereka tidak tabu sampai kapan mereka akan tertahan di tengah hutan Afrika. Maka mereka tak dapat bermewah-mewah dengan mencarter helikopter untuk membawa mereka ke pedalaman. Malam itu mereka menginap di Leopoldville. Berkat bantuan polisi Leopoldville. Roy Mackal berhasil bertemu dengan Robert Khispruwe.
     "Asal Anda bersedia membayarku Seribu US dollar", ucap Khispruwe negro gemuk itu.
     "Aku sanggup mengantar kalian dengan perahu bermotor sampai ke Port Francqui. Kujamin Anda bertiga akan selamat sampai di sana."
     "Whooaaa . . .!" Roy berseru kaget, "Jangan seserakah itu, Tuan Khispruwe. Kami bukan orang kaya. Kalau kami Anda peras sesadis ini, kami akan segera menjadi pengemis kelaparan."
     "Anda boleh bilang apa saja, tetapi mustahil orang miskin dari Amerika sampai ke Kongo yang begitu jauh, dengan tujuan untuk menyelidiki makhluk misterius yang belum tentu ada. Apakah itu bukan membuang uang saja? Lagi pula Anda harus ingat, perjalanan kita cukup jauh dan sulit. Jaraknya persis setengah dari lebar negeri Kongo. Berlayar memudiki sungai yang berarus deras dan banyak riamnya. Selama dalam perjalanan, semua kebutuhan kalian kutanggung.”
"Tapi, di manakah letak Port Francqui'?"
"Pada perternuan antara Sungai Kassai dengan Sungai Sankuru."
Untunglah, Roy Mackal belum ketularan watak orang Skotlandia yang terkenal pelit. Tanpa banyak pikir, permintaan Robert Khispruwe dipenuhinya. Dia memberikan uang muka 15% sebagai tanda jadi.
     Dua hari kemudian, perahu bermotor Ahyoegirl milik Khispruwe menderu membelah permukaan air sungai yang keruh cokelat. Robert Khispruwe disertai oleh dua pembantu, Wambesi dan Phentsuwo. Kebetulan saat itu sungai sedang banjir. Maka mereka tak perlu mengkhawatirkan gangguan riam, sebab hampir semua riam akan terbenam di bawah permukaan air. Ahyoegirl melaju dengan susah payah, berusaha melawan arus air yang mencoba mengembalikannya ke arah hilir sungai. Mesin diesel MWM-nya menggeram-geram, menghimpun tenaganya yang 180 tenaga kuda, guna memutar baling-baling Ahyoegirl. Sepanjang perjalanan tak terjadi sesuatu yang penting.
     Pada malam hari kadang-kadang terdengar anjing hutan melengking keras di tepi sungai. Mungkin dia sedang minum dan disambar buaya. Yang lebih sering terdengar adalah jeritan monyet dan suara burung hantu. Memang jalan air terbukti lebih aman dan lancar dibandingkan dengan jalan darat. Menjelang pukul 4 sore hari ketiga, Ahyoegirl telah merapat di dermaga Port Francqui. Roy Mackal membayar ongkos pelayaran, lalu meninggalkan perahu bermotor itu bersama kedua temannya. Di belakang mereka Wambesi dan Phentsuwo memanggul barang-barang bawaan mereka.
     Setelah mengucapkan selamat berpisah, kedua negro itu segera kembali ke perahu bermotor mereka, sedangkan ketiga "pemburu binatang misterius" itu segera mencari penginapan. Sebab mustahil mereka dapat meneruskan perjalanan. Mereka menginap di sebuah hotel kecil, dengan nama mentereng, Concorde. Memangg cuma itu yang dapat mereka temukan di kota sekecil Port Francqui. Sebelum pergi tidur mereka mengobrol dengan sesama tamu hotel.
"Di antara Anda sekalian," begitu Roy Mackal bertanya. "Apakah ada yang pernah mendengar tentang Mokele-Mbembe?"
Seorang pria tua bernama Henry. Dickson mendadak mengangkat wajahnya. Sepasang matanya bersinar penuh perhatian sedang tangannya mengelus-elus cambang dan janggut lebat yang hampir memenuhi wajahnya. "Kalau Anda berminat terhadap Mokele-Mbembe, Tuan Mackal," tukas Dickson. "Anda sangat beruntung karena telah bertemu dengan saya."
"Dapatkah aku mengharapkan sesuatu dari Anda, Tuan Dickson'''
"Aku lebih suka dipanggil Henry saja. Tentang makhluk aneh itu memang tidak begitu banyak yang kuketahui malah aku sendiri tak terlalu percaya bahwa makhluk misterius itu masih ada sekarang." Roy Mackal, Herman, dan Kia Reguster merasa sedikit kecewa. Tadinya mereka berharap akan mendengar cerita hehat tentang Mokele-Mbembe.
"Tetapi kabarnya pernah ditemukan jejaknya yang cukup jelas di pedalaman sana. Apakah itu bukan bukti yang autentik?"
"Bagi seorang ilmuwan seperti Anda, Roy, itu bukan bukti. Seperti Yetti misalnya. Manusia salju di Pergunungan Himalaya itu sering terlihat jejaknya, tetapi adakah yang pernah melihat manusia salju itu?"
"Ya, Anda benar," Heiman dan Kia Reguster hampir bersamaan menjawab
"Yeaaah," Mackal menyambung. "Sekian tahun aku memburu Nessie di Loch Ness. Tetapi secuwil pun aku belum pernah melihatnya. Padahal sudah begitu banyak usaha yang dilakukan orang untuk menemukannya. Segala macam alat modern telah digunakan, tetapi hasilnya tetap nihil."
"Sesuatu yang misterius memang selalu sulit untuk dilihat dengan jelas. Tetapi justru itulah yang menyebabkan orang terus-menerus memburunya. Sama saja dengan Mokele-Mbembe. Mungkin sebenarnya makhluk misterius itu hanya hidup dalam khayalan orang pribumi di pedalaman sana."
"Itulah watak ilmuwan sejati. Gigih, ngotot dan sering keras kepala. Nah, temuilah Whimbouse Guran. Dia akan mengantarkan kalian ke daerah penuh rawa di jantung Kongo yang sangat sulit ditempuh."
Lepas tengah hari esok harinya, persetujuan dengan Guran telah dicapai. Ini pun setelah Roy Mackal mau mengalah. Sebab ternyata Guran mengajukan syarat yang tak boleh ditawar. Ongkosnya cukup mahal juga. Namun apa boleh buat. Mereka memang sangat membutuhkannya.
"Pukul 4 sore akan kujemput kalian di hotel," Guran berkata. "Sekarang kalian tidur saja. Medan yang akan kita tempuh sangat berat, maka memerlukan tubuh yang segar agar dapat melewatinya."
     Kata-kata Whimbouse Guran terbukti benar. Truk 1,5 ton yang mereka tumpangi terbanting-banting dengan suara gemeretak. Tak perlu memilih jalan, sebab memang tak ada jalan di situ. Hanya tanah gersang penuh alang-alang yang ada di sekitar mereka. Guran menyetir mobilnya dengan gesit. Namun roda mo¬bil masih sering membentur batu atau terjeblos masuk lubang yang tadinya tidak terlihat. Para penumpangnya sering terlonjak dari kursi mereka karena guncangan hebat itu. Rasanya hampir sama dengan naik kapal di tengah lautan yang sedang diamuk badai. Terasa seperti ada puluhan kera berdansa di dalam perut mereka.
     Sinar senja yang terakhir lenyap, dan kegelapan malam segera menggantinya. Sorot lampu truk menembus kepekatan itu. Sesekali tampak hewan liar melintas, memotong arah sinar lampu mobil.
"Anda tidak ingin berburu, Tuan Mackal?" tanya Guran sambil memindah versnelling. "Di rak itu ada bedil Gibbs berlaras ganda".
"Ah, tidak. Terima kasih. Selaku ahli biologi, tugasku adalah meneliti, menyelamatkan dan mengembangkan makhluk hidup. Bukan mengganggu atau bahkan membunuh binatang yang tak berdosa. Kecuali jika terpaksa."
     Mereka berhenti sebentar untuk makan malam. Perjalanan diteruskan sampai tengah malam. Kemudian mereka berempat tidur di dalam mobil. Ini jauh lebih aman daripada misalnya tidur di dalam kemah biasa.
     Whimbouse Guran terbangun duluan. Dia merebus air lalu membuat kopi. Lalu disiapkannya sandwich isi daging untuk sarapan. Dia belum selesai bekerja ketika 3 laki-laki lainnya bangun. Tanpa menyikat gigi atau cuci muka, mereka segera menyerbu makanan dan minuman itu.
     Hampir 12 jam mereka bermobil, dengan berhenti 3 kali, untuk makan-minum dan istirahat sekedarnya. Matahari sudah amat rendah ketika mobil Guran berhenti di dekat suatu desa bernama Dzeke. Kehadiran mereka disambut dengan seruan dan teriakan yang sulit diartikan. Penduduk desa segera merubung "gerobak tanpa kuda" itu. Meski bukan baru sekali ini mereka melihat mobil, tetapi benda itu masih terasa aneh.
     Mereka berempat segera turun, mengunci semua pintu truk, kemudian menemui Kepala Desa Dzeke. Dia menyambut tamu-tamunya dengan gembira, dan dengan bangga menyebutkan namanya, Paul Nggoloumbothock.
Ternyata dia orang yang ramah. Suka bicara dan banyak tertawa. Arak buatan sendiri dan daging babi panggang disuguhkannya cukup banyak.
     "Ha-ha-ha . . ..", Nggoloumbothock tertawa keras, lalu meletakkan gelas araknya yang sudah kosong. "Percayalah kepadaku, Tuan Mackal, Mokele Mbembe memang masih hidup. Dua minggu yang lalu aku melihatnya sendiri. Makhluk raksasa itu sedang berenang di rawa."
     "Hai, betulkah itu?" Roy Mackal terlompat dari duduknya.
     "Di mana letak rawa itu?" tanya Herman penuh semangat. Whimbouse Guran yang hampir berkata terpaksa menelan kembali kalimatnya.
     "Bagaimana bentuk dan keadaan Mokele-Mbembe?" Kia Reguster bertanya.
     "Tubuhnya sebesar gajah. Tingginya sama, tetapi lebih gemuk dan lebih panjang. Kulitnya mirip kulit biawak, berwarna cokelat kemerahan. Mokele-Mbembe hidup di darat dan di air, tetapi tubuhnya begitu besar dan pasti sangat berat. Mungkin dia tak terlalu pandai berenang "
     “,Kau melupakan sesuatu, Nggoloumbothock!" seru seorang laki-laki.
     “Nggoloumbothock tidak mungkin lupa, Rounthalegem!" sahut Nggoloumbothock.
     "Kau belum mengatakan betapa panjangnya leher Mokele-Mbembe, dan kepalanya yang besar serta mengerikan, mirip kepala ular phyton."
     Dalam hati, Nggoloumbothock mengakuinya, tetapi demi gengsi, dia bilang, Bukan berarti aku lupa. Aku telah hampir mengucapkannya, namun kau telah memotong kalimatku sebelum aku selesai bicara. Kau akan kuhukum!" Rounthalegem pura-pura ketakutan, tetapi hatinya tertawa geli.
     "Tuan Nggoloumbothock, dapatkah Anda mengantarkan kami ke tempat Mokele-Mbembe itu?" Roy Mackal mengucapkan itu dengan napas agak sesak, oleh desakan harapan yang terlalu besar.
     "Menyesal sekali, aku tak mungkin melakukannya. Anda harus tahu, Tuan Mackal, aku masih seorang pengantin baru. Belum seminggu aku mengawini istriku yang ke-8. Ia tak bisa berpisah dariku lebih dari 6 jam. Namun Anda tak perlu khawatir. Akan kucarikan orang untuk mengantar kalian ke tempat Mokele-Mbembe itu pernah menampakkan dirinya."
     Pagi-pagi benar seorang pria suku Pygmee menjemput mereka. Dia bernama Emmanuel Moumgoumbela, pemburu yang benar-benar jempolan. Tubuhnya kecil dan pendek, tetapi tampaknya dia dapat diandalkan.
     "Kita pergi ke dekat Sungai Likuoala. Mokele-Mbembe pernah kulihat di situ beberapa kali. Semoga dia mau muncul kembali hari ini."
     "Berbahayakah Mokele-Mbembe itu?" tanya Kia Reguster, agak cemas.
     "Jika dia marah dan mengamuk, memang cukup mengerikan. Biarpun geraknya lamban, tetapi pukulan ekor, tendangan kaki dan gigitannya dapat mendatangkan maut. Dengan mudah dia dapat mengalahkan buaya yang besar."
     Mereka segera berangkat. Semuanya 6 orang, termasuk 2 pemikul peralatan. Tempat itu memang cukup jauh sehingga mereka terpaksa menginap di sana. Moumgoumbela berjalan paling depan, diikuti 3 orang Amerika, dan 2 pemikul beban di belakang mereka.
     Mengagumkan sekali daya tahan para pria Afrika itu. Si Pygmee yang cebol dan 2 pemikul yang membawa beban berat, mampu melangkah sama cepat dan mantapnya dengan ketiga orang Amerika yang berlenggang kangkung. Daerah yang mereka lewati mulai menjadi becek. Di sekitar mereka tampak rawa-rawa penuh tetumbuhan liar bagai tak bertepi. Bau busuk yang menguap dari air rawa terasa menyengat hidung mereka. Dua jam lamanya mereka merambah padang rumput berair yang bercampur lumpur. Emmanuel Moumgoumbela membelok ke kiri. Sebentar kemudian mereka menginjak tanah yang lebih padat karena bercampur pasir. Tepat pukul 5 sore mereka sampai di tempat tujuan.
     Sesudah istirahat sejenak, pekerjaan pertama yang mereka lakukan ialah mendirikan kemah di tempat yang dianggap cocok. Moumgoumbela segera pergi entah ke mana. Dua jam sesudah itu dia kembali dengan memanggul hasil buruannya, seekor babi hutan muda yang gemuk. Daging celeng itulah yang mereka lahap dengan roti di waktu makan malam.
     Esok harinya, perburuan mencari Mokele-Mbembe dimulai. Dua pemikul beban, mereka tinggalkan menjaga kemah. Mereka menyusuri suatu daerah di dekat Sungai Likuoala. Tanpa bicara, mereka terus melangkah. Mata ke-3 orang Amerika itu jelalatan kian kemari, mencoba menemukan apa yang mereka cari. Tetapi Moumgoumbela sendiri nyaris selalu menekuri tanah, bagai sedang mencari sebutir intan yang terjatuh. Pemburu itu yakin, usahanya akan berhasil. Jerih payahnya ternyata tidak sia-sia.
     Matanya yang awas melihat sesuatu, dan si cebol itu berteriak, "Tuan-tuan, kemarilah kalian!" Yang dipanggil segera berlari-lari mendekat. Kia Reguster sampai hampir terjatuh karena terburu-burunya. Herman tiba paling dulu dengan napas tersengal, disusul oleh Roy Mackal dan Kia Reguster.
     "Lihatlah ini," ujar si pemburu. "Datang dari sana, menuju ke situ," telunjuknya menuding arah yang dimaksudkannya. "Pasti belum lama dia lewat di sini. Paling lama kemarin, atau mungkin malah baru tadi malam."
     Bekas itu terlukis amat jelas di tanah berpasir. Sepasang tapak sangat besar, yang jelas bukan tapak gajah. Menilik dalamnya lekukan jejak pasti makhluk itu bertubuh sangat besar dan berat sekali. Di tengah kedua tapak itu ada semacam jalur selebar 1,8 m. Jalan itu mirip bekas goresan ekor besar dan berat, yang pasti bukan ekor gajah.
     "Mokele-Mbembe berkaki 4," Moumgoumbela menjelaskan. "Kedua kaki depannya terlalu pendek dan kecil. Maka dia berjalan cuma menggunakan kaki belakangnya yang amat besar dan kuat. Ekornya terlampau panjang dan berat, sehingga selalu terseret di tanah, tetapi justru turut membantu menopang tubuh raksasanya itu, sehingga ia bisa berdiri lebih kokoh."
     Mereka berempat mengikuti jejak yang masuk ke sungai dan hilang di sana itu. Roy Mackal sibuk menghitung dan mengukur jejak jejakitu. Herman memotret , sedang Kia Reguster mencatat semua yang dianggap perlu.
     Sekitar tengah hari mereka kembali ke perkemahan. Usai makan siang mereka ngobrol membicarakan Mokele-Mbembe. Banyak informasi berharga didapat dari Moumgoumbela dan kedua pemikul beban itu. Sambil mendengarkan cerita, Herman sibuk membuat sejumlah sektsa. Dengan banyak revisi atas petunjuk Moumgoumbela rekonstruksi itu akhirnya menghasilkan sebuah gambar yang lumayan bagus. Di kertas Herman muncul seekor reptil raksasa, mungkin sejenis Dinosaurus yang bernama Saurotoda. Tak puas-puasnya mereka memandangi gambar itu.
     "Apakah kita akan pulang ke Dzeke hari ini?" tanya Kia Reguster.
     "Lebih baik tidak," jawab Moumgoumbela tenang. "Kita pasti akan kemalaman di jalan, dan pada malam hari jalan itu sulit sekali ditempuh." Sisa siang itu mereka habiskan dengan bermalas-malasan.
     Sekitar tengah malam terjadilah suatu keributan. Moumgoumbela tiba-tiba melompat bangun, dan lari ke luar cepat sekali. Dari situ dia berteriak memanggil teman-teman seperjalanannya, tetapi hanya kedua Negro pemikul beban itulah yang terbangun dan menyusulnya. Ketiganya biasa hidup di tengah rimba, naluri dan pancaindra mereka sudah mirip binatang hutan. Sedang ketiga orang Amerika itu masih tidur senyenyak mayat.
     Mereka yang terbangun beruntung sempat melihat Mokele-Mbembe yang berjalan setengah berlari mungkin sedang mengejar calon mangsanya. Langkah kakinya yang berat berdebum-debum bagai mengguncang bumi. Sebetulnya mengherankan juga makhluk seraksasa itu mampu berlari secepat itu. Mereka terlalu terpesona, sehingga tak terpikir sedikit pun untuk membangunkan ketiga orang Amerika itu. Ketika mereka tersadar dan pikiran semacam itu mulai mengisi benak mereka, maka Mokele-Mbembe yang dahsyat itu sudah lama menghilang ditelan kegelapan.
     Tentu saja esok paginya ketiga orang Amerika itu sangat menyesal ketika kejadian malam itu diceritakan kepada mereka.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.