Articles by "Pada Suatu Waktu"

Tampilkan postingan dengan label Pada Suatu Waktu. Tampilkan semua postingan

     Malam dingin pekat Lembang Bu'ne memeluk erat peserta wisata alam ke-3 yang digelar Korpala di tahun 1990 itu. Jam masih menunjukkan pukul 10 malam, masih empat jam sebelum mengeksekusi rencana wisata itu. Rumah panggung Daeng Mengngu' cukup lapang untuk menampung kami semua. Perjalanan rencananya akan dimulai pukul 2 dinihari nanti. Panitia menginformasikan agar peserta sebisa mungkin terlelap tidur sambil menanti empat jam berikut. Tentu saja, selain agar waktu menunggu menjadi tidak terasa, istirahat itu bisa memulihkan tenaga untuk mempersiapkan perjalanan nanti menuju puncak Lompobattang. Maklum saja, tidak semua peserta wisata ini adalah anggota Korpala. Sebahagian partisipan dari berbagai jurusan di Unhas, beberapa diantaranya adalah anggota tetangga-tetangga ukam di pkm.
     Tetapi alih-alih bisa terlelap, rasa kantuk sedikitpun sama sekali tidak muncul di kepalaku. Lalu, apakah aku akan menunggu kesunyian empat jam berikut diantara mereka-mereka yang bisa terlelap? Ah, aku menjadi usil. Mulailah aku melontarkan joke-joke kecil, setengah berbisik untuk satu dua orang di samping. Namun di malam yang sunyi itu, suara bisik itu masih cukup nyaring untuk terdengar. Dan mulailah, dari seorang dua orang, akhirnya keriuhan menjadi hangat oleh joke-joke yang saling bersahutan dari masing-masing penutur. Selamatlah, empat jam berlalu tanpa sempat terpejam sedikitpun.
     Rombongan wisata sukses melalui puncak Lompobattang, bergerak sedikit lebih lanjut, menemukan Ko'bang, makam tua yang terletak di puncak yang sedikit lebih rendah dari puncak Lompobattang. Ko'bang merupakan sebutan untuk makam Tuanta Salamaka, atau yang dikenal sebagai Syekh Yusuf. Tentu saja makam itu bukan makam yang benar-benar makam yang mengandung jasad Syekh Yusuf. Tetapi merupakan simbolisasi ikatan batin para pengikut beliau secara turun temurun. Namun demikian, bagi awam yang rutin berziarah ke Ko'bang, mereka akan meyakini dengan sepenuh jiwa, bahwa jasad beliau memang ada bersemayam di sana.
     Matahari sudah sangat condong ke cakrawala barat, rombongan berhenti untuk melewatkan malam, di posisi yang sedikit lebih rendah dari Ko'bang. Banyak batu yang membentuk ceruk-ceruk kecil menjadi tempat berlindung semalaman dari hembusan angin dingin. Kebetulan, ceruk batu yang saya gunakan cukup kecil, sehingga hanya bisa untuk memuat diri saya sendiri. Malam yang indah, disinari kerlip bintang yang lebih terang. Malam ini tidak ada joke. Lelah, tentu saja mengantar tidur yang begitu lelap menjelang pagi keesokan hari.
 Awaluddin Lasena, Arifin Jaya, Hero Fitrianto,
Ada Nurdin, Yusran Wahid, Aco Lologau, Nona, Rustam Rahmat dan Bastian.
     Aku sedang mempersiapkan sarapan, ketika ada Bastian mendekat ke ceruk tempatku bermalasan di pagi yang masih dingin. Ikan kaleng yang saya panaskan di kompor parafin, segera dibedah begitu terasa sudah hangat. Dan terjadilah, kami menyantap roti tawar yang membalut isi kaleng yang hangat itu. Burger ala Ko'bang, begitu Bastian nyelutuk menikmati setiap gigitan roti di tangannya. Ah.. miss this moment bro..
     Matahari sudah mulai tinggi, ketika rombongan melanjutkan langkah, menuju Majannang. Perlahan-lahan meninggalkan ketinggian, menyusuri lereng menuju lembah hulu sungai Jeneberang. Sasaran camping berikutnya adalah Raulo.
 membekukan permainan cahaya.. ada Uci Kasim dengan temannya anak menwa cewek berkacamata (lupa namanya)
 siap-siap meninggalkan Majannang, berdoa bersama.. ada Saribuana Nur.
 camping di Raulo. Gagahnya Yani Abidin..
     Lebih banyak kesempatan berpose di depan kamera setelah tiba di Raulo. Masak-masak, bercanda dan foto-foto. Hangatnya pagi terasa berbeda dibanding pagi di Ko'bang. Serangkaian memori telah tergurat, tentu saja dengan joke kekonyolan selama perjalanan wisata ini, yang sebentar lagi akan dibagikan untuk kerabat di kampus yang tidak sempat berwisata bersama di kesempatan ini.
 menikmati hangatnya Raulo. Ada Asri, juga Guntur
lalu doa-doa.. mengiringi langkah yang sebentar lagi meninggalkan Raulo.
  once upon a time, Ko'bang sekitar Lompobattang
     Beberapa nama tidak sempat terekam baik di memori saya. Karenanya, melengkapi kenangan perjalanan wisata itu, dengan senang hati saya menunggu tambahan komentar di bawah.

      Karena aku bukan climber, makanya cerita selanjutnya bukan tentang urusan panjat memanjat. Tetapi ini hanya sekeping jejak perkembangan Korpala di rentang suka dukanya yang panjang. Dinding di gambar ini dirakit di tahun 1990, menggunakan rangka kayu. Iya, rangka kayu, karena belum sanggup untuk punya yang rangka besi, sementara kebutuhan dinding panjat sudah begitu mendesak.
      Maka jadilah, beberapa balok dikonstruksi, di samping D-4 untuk keperluan itu. Beberapa baut panjang dibutuhkan untuk menyambungkan konstruksi itu dengan dinding D-4, yang selanjutnya berfungsi sebagai supporting yang begitu kokoh dan stabil. Dan seperti harapan yang menyertai kehadiran dinding panjat itu, maka kegiatan latihan berlangsung lancar hampir setiap hari.
     Bahkan bukan hanya menjadi sarana latihan rutin, dinding ini juga pernah digunakan untuk mengadakan lomba di tahun 1991. Saya agak lupa kisah lomba itu, namun pesertanya lumayan banyak, dari sekitar Makassar tentunya. Yang teringat dengan baik, adalah karena lomba tersebut, salah seorang teman saya mendapatkan jodoh yang menjadi istrinya hingga saat ini, setelah berkenalan dengan salah seorang peserta pemanjat putri dari UMI.
     Begitulah, di dinding panjat sederhana itu, para titisan K berlatih dengan rutin hampir setiap hari. Namun sayang sekali, saya termasuk salah satu yang tidak terlalu rutin ikut berlatih. Lalu mungkin terbawa romantisme masa sulit pertama kali memiliki dinding panjat itulah, maka 'Sekadar Mimpi Sepele' saya lahir begitu saja ketika Korpala mendapatkan dinding panjat yang begitu representatif di tahun 2010 lalu.
     Semoga, mimpi itu menjadi nyata di suatu hari nanti..

     Menyadari pentingnya proses regenerasi dan kelanjutan hidup organisasi yang masih muda itu, Korpala di tahun 1987 menyelenggarakan proses pendidikan dasarnya yang pertama kali. Simpel saja, kegiatan itu langsung disingkat menjadi Diksar. Sebutan yang sangat familiar di waktu itu, pada kegiatan pelatihan dasar untuk keperluan apapun. Nanti di tahun 1989, ketika hendak menyelenggarakan untuk yang ketiga kalinya, muncullah ide untuk membuat sebutan yang bisa 'berbeda' dengan yang sering terdengar itu. Selanjutnya disepakatilah menggunakan singkatan 'Dakdas" menggantikan diksar.
     Semangat menggelar pendidikan dasar itu begitu menggebu, meski dengan peralatan yang begitu sedikit dan begitu sederhana. Beberapa buah carabbiner, satu buah 'figure 8' dan tentu saja, tali tambang menjadi tumpuan kegiatan tali temali. Begitu juga untuk pelajaran navigasi, ya Tuhan.. untuk mendapatkan peta begitu sulitnya. Jadilah pendidikan hanya bermodal kompas, dan coret-coret tangan untuk belajar konsep dasar bernavigasi.
     Namun satu point penting yang menjadi pagangan, adalah asupan materi 'pengetahuan lingkungan' yang dibawakan langsung oleh salah seorang pakar yang dimiliki oleh Unhas, yaitu Prof. Paembonan. Mencintai alam tidak bisa cukup hanya sekadar meregang otot di alam bebas sana. Pembekalan pengetahuan dan kesadaran tentang lingkungan hidup, tentang ekosistem, mutlak menjadi parameter standar mutu setiap titisan di Korpala. Dan itu akan menjadi bekal yang berharga untuk setiap insan akademis yang menjadi anggota Korpala.
Salah satu sesi pembekalan untuk peserta diksar-1, pelajaran tali temali di ruangan kelas sebelum menuju ke lapangan.
(bawah) pendalaman materi tali temali di Bili-Bili, sebelum melanjutkan ke materi 'rappeling'. Salah satu yang penting dipelajari adalah 'merakit' bekal tali hesti ke sekitar pinggul untuk membentuk seat harness. Iwan Amran sedang serius memberi instruksi kepada Aco Lologau.
 
 Phiphi, instruktur rappeling memperagakan 'self belaying rappeling' yang begitu atraktif.
Dua dari empat peserta putri pada diksar-1 itu, Husnia Asaf dan Putri Jauhar
 ada acara meluncur di tambang, menggunakan utas tali yang menjadi media luncur. Seperti 'flying fox' yang kita kenal sekarang ini. Toggle rope (koreksi saya bila keliru mengeja) adalah tali kecil yang dipegang, meluncur membawa beban pemegangnya melalui bentangan tali tambang.
Lalu ada juga acara merayap di tambang.
 Yang banyak digemari oleh peserta pendidikan, adalah rappeling di tebing Lebong.
 Indra dengan sepatu Eagle 'kebanggaannya' dikombinasi dengan jeans pendek nan seksi, memperagakan rappeling di tebing Lebong.
 
 bertempat di bagian atas air terjun Lembanna, dilakukan inisiasi kepada setiap peserta yang telah merampungkan seluruh rangkaian kegiatan pendidikan dasar.
 Dinihari Puspita lagi 'baca-baca' segala sesuatu, termasuk kode etik PA sebelum prosesi inisiasi. Ada Phiphi sbg 'tukang senter', ada Mappalologau Tantu dan juga M.Yani Abidin.
Indra Diannanjaya menyalami peserta setelah pelantikan. (bawah) ada Putri Jauhar, alm Yanti Abd.Azis dan Andi Nurwida.
     Oleh keterbatasan sarana, maka beberapa momen penting dalam diksar-1 tersebut tidak sempat terdokumentasi. Misalnya kegiatan survival yang dilaksanakan di kaki bawakaraeng sekitar pos 3 hingga 5. Lalu menjangkau puncak Bawakaraeng begitu selesainya survival.
     Banyak koreksi yang kemudian dilakukan untuk memperbaiki kualitas pendidikan di tahun-tahun berikutnya. Namun demikian, semua item perbaikan itu tidak pernah keluar dari falsafah dasar mengenai mengapa pendidikan itu dilakukan. Dasar yang kemudian menajdi fondasi kuat yang melandasi setiap semangat yang bergelora di Korpala. (baca: Pendidikan Napak tilas yang saya posting di buletin online Lembanna).
 wajah-wajah peserta diksar-1. dengan rendah hati saya mohon bantuan teman-teman untuk mengidentifikasi wajah yang nampak, lalu menuliskannya di bagian komentar di bawah.

     Hari itu, 23 September 2012 di Grand Clarion Hotel Makassar, ada satu kalimat yang begitu favorit diulang-ulangi secara setengah sadar oleh hampir seluruh yang berkumpul di ruangan Wind Flower hotel tersebut adalah 'setelah 31 tahun'. Bukan apa-apa, ini memang yang terjadi setelah 31 tahun yang lalu bersama-sama menjadi alumni di sekolah menengah atas yang sama.
     Beberapa teman yang lain sempat berhubungan secara personal dalam relasi masing-masing di dalam rentang waktu itu. Namun untuk yang terjadi seperti pada hari itu, baru inilah pertama kalinya. Adalah Abdul Mutalib yang menggagas pertemuan reuni penghuni kelas IPA-2 untuk alumni tahun 1981 sma negeri-4 Makassar.
     Saya sendiri dihubungi oleh 'Thalib' sekitar tiga hari menjelang acara tersebut terselenggara. Dan begitulah, ketika berkumpul itu terjadi, maka hampir seharian semuanya larut dalam suka yang sama. Saling berbagi kenangan, berbagi perjalanan hidup dan tentu juga berbagi cerita sukses masing-masing. Cerita-cerita yang tidak saya tuturkan bersama gambar-gambar ini, namun saya harapkan akan ditambahkan oleh setiap yang hadir tersebut di kolom komentar di bawah.
     Mengapa seperti itu, karena saya tahu setiap kita pastinya memiliki kisah yang spesifik yang rasanya terlalu sayang bila mesti diceritakan oleh orang lain. Katakanlah bagaimana cerita siapa yang odo'-odo' siapa, cerita siapa yang bertepuk sebelah tangan (atau tepuk sebelah kaki), ataupun cerita-cerita seru lainnya. Banyak yang terungkap di reuni kemarin, namun itu tadi, saya tetap menunggu dan berharap penuturan langsung dari para pelaku.

 Mukhtar, Thalib, Baso Darwisah, Amin, Thamrin Mansyur
Fatimah, Asmawaty, Halimah, Dinar, Muh.Yusuf
Syammsir Saddang, A.Parenrengi dan Hero

 Amin, Nining, Arsal
 Muh.Yusup, Asmawati, Parenrengi dan Tahmrin Mansyur
     Fatimah dan Andriyani 'nining'

     Dan begitulah, semoga silaturahmi yang kembali terjalin 'setelah 31 tahun' itu bisa tetap hangat, bahkan bisa selalu bergelora di dalam semangat yang tulus untuk semangat persaudaraan yang sudah tercipta.

     Hujan dan kabut bulan Februari 1990 ini begitu setia mengiringi langkah kami untuk menemukan puncak Gunung Kambuna. Sudah sekitar 2 jam mencoba setiap arah yang memungkinkan, namun tidak memberikan hasil. Akhirnya tim memuutuskan untuk kembali ke bivak tempat berteduh semalam.
     Bivak yang letaknya di 'pos 8'. Pos-pos itu adalah penanda yang baru dipasang oleh tim Korpala sepanjang perjalanan ini. Tujuannya sederhana saja, pertama sebagai penanda rute yang ditempuh oleh tim yang terdiri dari empat putri dan empat putra, sekaligus sebagai jejak awal perintisan jalur tracking menuju puncak Kambuna.
     Pos sembilan sudah disematkan di tempat terakhir siang tadi, sebelum memutuskan kembali ke pos 8 ini. Sedangkan rambu untuk pos 10 masih ikut terbawa, yang rencananya untuk diletakkan di puncak nanti. Namun apa yang terjadi hari ini di luar rencana. Cadangan logistik hanya tersisa untuk satu hari perjalanan kembali menuju kaki gunung di Desa Padang Raya.
     Keputusan selanjutnya, tim akan kembali mencari puncak Kambuna keesokan harinya.
      Cuaca menuju puncak ternyata tidak seperti kemarin. Begitu cerah. Tidak sampai dua jam dari pos 8, puncak Kambuna ditemukan. Masih ada sisa-sisa tugu triangulasi, yang dulunya dibongkar oleh penduduk karena dikira ada harta karun di bawahnya.
      Satu-satunya alat komunikasi yang dimiliki waktu itu adalah radio Handy Talky 2 meter band. Teriak sana, teriak sini, hanya suara sayup-sayup yang termonitor, yang juga tidak jelas apakah menjawab teriakan dari puncak Kambuna, ataukah mereka hanya sekadar teriak-teriak dengan rekan mojoknya.
      Berfoto ria tentu saja menjadi satu-satunya hiburan, yang bahkan benar-benar membuat lupa sesaat bagaimana terseok-seoknya tim selama satu minggu berjalan dari Sa'bang menuju desa Padang Raya di kaki Kambuna ini. Tentu saja juga membuat lupa sesaat bahwa cadangan logistik terakhir akan segera habis di saat tengah hari nanti.
      Dalam perjalanan pulang, dari rencana semula tim bisa bermalam di pos dua, namun mengingat sudah tidak ada makanan sama sekali, kembali diputuskan tim melanjutkan berjalan di malam hari tanpa beristirahat, agar bisa secepatnya mencapai base camp di Padang Raya.
      Menjelang pukul 12 tengah malam, tim sudah tiba di tepi sungai Lodang. Kondisi sungai tidak sama dengan beberapa hari yang lalu, yang airnya hanya setengah betis, tapi malam ini airnya sudah setinggi dada. Hujan beberapa hari ini membuat debit airnya bertambah.
      Percobaan menyeberangi sungai ternyata gagal, bahkan hampir menghanyutkan salah seorang anggota tim yang menjadi leader 'penyeberangan basah' malam itu. Sekitar setengah dua dini hari, tim memutuskan untuk memutari bukit yang lebih ke hulu sungai agar bisa mendapatkan bagian sungai yang lebih dangkal.
Phiphi, Hero, Nona, Ammy, Wida, Hilda, Adi dan Welly

      Sambil terkantuk-kantuk dan juga begitu lapar, menjelang pukul 3 dinihari tim sampai di sebuah gubuk ladang. Diputuskan beristirahat di tempat itu, apalagi di dalam gubuk ada tungku dengan beberapa potong kayu kering. Dan aha.. di sekitar gubuk itu adalah ladang jagung dengan buah yang sudah ranum menjelang dipanen.
      Diskusipun terjadi, apakah mengambil jagung untuk mengganjal perut yang sudah begitu lapar.? Kesimpulannya adalah 'tidak'!! Tim masih kuat untuk bertahan hingga pagi, kemudian melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam lagi menuju basecamp, sehingga tidak perlu mengambil jagung-jagung itu. Terjadilah, malam itu tim menghangatkan badan dengan air yang berhasil didihkan dari tungku di dalam gubuk, ditambah beberapa sachet bumbu mi instan yang masih tersisa di dalam carrier.
      Itulah kuah mi instan yang ternikmat yang pernah saya rasakan selama ini.
Hamparan dataran yang begitu luas, menjadi inspirasi untuk nama desa 'Padang Raya'. Di tahun 1991 itu, kami bahkan ditawari untuk tinggal di desa itu, membantu pertanian penduduk di sana. Lahan pertanian masih begitu luas sementara kemampuan penduduk hanya bisa menggarap sekitar sepertiganya saja. Dan bila kami berdelapan mau tinggal, tinggal tunjuk saja tanah sebelah mana yang hendak dipatok, seberapapun luas yang mampu untuk kami garap.

     Dan alangkah konyolnya kejadian dinihari itu. Ketika sudah sampai di Desa dan menceritakan bahwa kami kelaparan namun tidak 'berani' mengambil jagung itu, oh.. kami menjadi bahan tertawaan orang desa. Mereka sama sekali tidak tahu, kalau kami selalu dibayangi mitos tentang kekuatan supra natural orang-orang menertawakan itu, salah satunya adalah bahwa akan mengalami gejala fisik yang aneh yang 'segera' akan terasa bila berani mengambil barang mereka tanpa izin.
     Jamuan bubur jagung dengan kombinasi gurihnya ayam kampung yang mereka sajikan benar-benar mampu memulihkan kondisi yang sudah drop kemarin. Pesta kecil yang mereka sudah siapkan, tentu saja dengan begitu sukacita setelah melihat kami bisa kembali dengan selamat meski terlambat sehari dari jadwal. Keterlambatan yang sempat membuat mereka was-was menunggu.
Lampu badai, rantang di atas kompor parafin adalah perangkat jadul untuk ukuran sekarang ini. Belum lagi jas hujan kelelawar dipadu dengan sepatu kets yang mestinya lebih cocok untuk sekadar lari sore. Juga ada carrier dengan frame luar, yang ujungnya mencuat tinggi seperti sepasang antena dipadu dengan senter besar yang akan menghabiskan tenaga baterainya hanya dalam semalam.

     Beberapa kerat daging rusa juga ikut meramaikan acara makan-makan itu. Empuk dan gurihnya, benar-benar jauh berbeda dengan daging anoa yang kami cicipi di perjalanan menuju puncak beberapa hari yang lalu. Daging anoa yang begitu alot, kenyal dan baunya itu.. benar-benar tidak terlupakan.
     Sebagai cendera mata yang diberikan oleh salah seorang penduduk, saya mendapat potongan tengkorak dan tanduk anoa yang telah diawetkan dengan mengasapinya di atas perapian dalam waktu yang lama. Tengkorak yang masih tersimpan hingga sekarang.
Base camp selama di desa Padang Raya.

     Rangkaian foto-foto lainnya saya rangkum dalam bentuk film sederhana dengan latar belakang lagu Iwan Fals berjudul 'Rinduku'. Rinduku yang selalu mengusik saat-saat sepi untuk bersama-sama kalian saudara-saudaraku, mengukir jejak langkah baru di puncak-puncak yang lain. Masih terlalu sedikit jejak yang telah kita tinggalkan bersama, untuk menggapai puncak-puncak yang masih begitu banyak.
     Rinduku untuk kalian...
File videonya bisa di download di sini. Ukuran 5,8 Mb, format file: .wmv.

     Jejak kecil yang ditinggalkan Korpala menuju Kambuna di saat itu hanyalah seperti semilir yang berhembus setiap waktu di lebat hutannya. Sama sekali tidak mengusik virginitas Kambuna dengan ekosistimnya yang belum tersentuh keserakahan. Hanya ada tertinggal sekadar penanda psikologis dari  interaksi para pencinta alam itu.

ps : tambahan kisah dari kalian untuk memori yang tidak terangkum di tulisan ini,
saya tunggu untuk mengisi komentar di bawah. Terimakasih.. miss U all..

     Saya melangkah dengan sedikit terseok untuk kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi sawah. Matahari sedikit lagi terbenam sementara tujuan saya masih sekitar tiga kilometer dari tempat sekarang. Dengan perlahan ransel yang berat saya letakkan di samping lalu saya gunakan sebagai sandaran sambil meluruskan kaki yang penat.
      Tidak lama berselang seseorang menghampiri saya. Dengan keramahan khas penduduk desa, dia menyapa. Kami ngobrol kesana kemari, juga menanyakan mengapa saya hanya sendiri dengan beban yang kelihatan berat. Rupanya si Bapak ini sudah mengamati saya sejak tadi. Dengan singkat saya jelaskan bahwa saya sedang merampungkan tugas mengumpulkan sampel batu dari daerah sekitar ini. Saya tunjukkan bukit di depan, Bulu' Paria dimana tadi menjadi tujuan saya dan mendapatkan sampel-sampel batuan yang ada di dalam ransel. Bulu Paria yang mengerucut khas bentuk gunung api, tepat di depan Gunung Bulusaraung bila dipandang dari arah Leang-leang.
      Benar, saya sedang di daerah Leang-leang. Si Bapak masih dengan ramah ngobrol dan bercerita apa saja. Apa lagi ketika saya menunjuk ke Bulu Paria yang mana telunjuk saya sekligus menunjuk Bulusaraung di belakangnya, beliau menjadi semakin bersemangat. Satu kalimat yang begitu terkesan, ketika beliau berkata '..itu Bulusaraung..lihat mi.. itu mi gunung paling tinggi di dunia..coba lihat keliling, tidak ada mi yang lebih tinggi..'
      Begitu polos, begitu tulus tanpa keangkuhan sedikitpun, begitu sederhana dan yakin dengan apa yang diucapkannya. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Penggalan percakapan itu yang kemudian selalu tersimpan di dalam ingatan saya, untuk selalu mengusik keingintahuan saya sehingga si Bapak bisa berkesimpulan demikian.
      Kami berpisah setelah saling bersalaman, si Bapak melangkah menjauh, sayapun melanjutkan langkah ke tujuan semula. Banyak tanya dan jawab yang silih berganti selama bertahun-tahun melintasi benak saya. Juga tak kalah banyaknya wawasan yang terlontar, ketika cerita ini saya sampaikan di kala senda gurau. Namun saya juga yakin masih banyak wawasan lainnya yang belum sempat terlontar untuk dicerna bersama. Wawasan yang terpendam bersama senyap di dalam tafakur.
      Adakah jawab yang lain.?
artikel saya ini
sudah pernah diterbitkan di buletin lembanna online
edisi Januari 2011 dalam label contour
tulisan didedikasikan untuk my great brother Yani Abidin
mengenang saat-saat latihan bersama menggunakan peta kompas
di daerah Leang-Leang dan sekitarnya

     Dua puluh tujuh orang anggota Korpala, di April 1986 menandai penjajakan pertama Korpala Unhas di Gunung Lompobattang. Perjalanan yang tidak terlalu mulus, tim yang meninggalkan kampus di sore hari, harus rela mendarat di Malakaji menjelang tengah malam. Karena tujuan masih jauh, rombongan melangkah perlahan, bergerak mendekati Lembang Bu'ne.
     Menjelang subuh, keberuntungan menghampiri, ada truk yang bersedia membawa rombongan sebagai penumpang tambahan diantara komoditi yang sudah memenuhi bak truk. Dan begitulah, menjelang pagi, kami tiba di Lembang Bu'ne dengan begitu lelah dan ngantuk.
 ada Afras, Bahtiar Baso, Akbar, Hero, Bob Lubis, Abang dan Wahyuddin. Tahulah mengapa ada gitar yang selalu mengikuti kegiatan.. banyak brader yang begitu lahir langsung bisa 'nyanyi'..
 
     Dalam cuaca yang berkabut disertai gerimis yang setia menyelimuti Lembang Bu'ne, rombongan mendekati pos pertama sekitar pukul 08.30 pagi. Keadaan cuaca stabil seperti itu, sepanjang waktu. Hingga sekitar pukul 17.30, barulah sebahagian besar peserta bisa mencapai ceruk di pos 9.
     Puncaknya sebelah mana? Itu, di sebelah itu.. ada telunjuk mengarah ke atas, menunjuk kabut yang berbaur gerimis. Saya memandang ke arah telunjuk itu mengarah, namun sama sekali tidak terlihat apa-apa, selain putih yang kelabu. Ada diskusi singkat, apakah akan melanjutkan menjangkau puncak Lompobattang, sementara sebentar lagi hari menjadi gelap. 
     Sesaat diam, sepertinya beberapa sedang sibuk berdialog dengan diri sendiri. Lalu, dengan beberapa anggukan kecil, seperti sedang mengirit kata-kata, hanya tatapan yang mewakili tekad untuk melanjutkan langkah. Tentu saja karena kondisi daya tahan yang tidak sama dalam menghadapi hujan sepanjang jalan tadi, sehingga tidak semuanya memutuskan untuk melanjutkan menuju puncak.
     Saya sempat mengamati jam di pergelangan tangan, sebelum melangkah. Lima belas menit lagi pukul enam sore. Sekali lagi saya menatap ke arah telunjuk tadi mengarah, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan tujuan di dalam pandangan mata, namun tetap tidak ada yang terlihat.
 
 melintasi tangga batu ini di saat itu terasa begitu mencekam. Gerimis yang tidak kunjung reda, lalu kabut yang begitu tebal betul-betul membatasi pandangan mata. Ada sensasi yang lahir oleh fantasi manakala menikmati kondisi seakan melayang di atas seonggok batu, yang mengapung di hamparan tanpa dasar..
Jemmy, Iwan dan Indra, kapan kita bisa ke tempat ini lagi.?
 dari rombongan yang berjumlah 27 orang, sayang sekali tidak semuanya sempat menjejak hingga ke puncak Lompobattang. Hanya sembilan orang pada saat itu, diantaranya Indra Diannanjaya, Wahyuddin, Iwan Amran, Riri, Jemmy Abidjulu, Nevy Tonggiroh, Bahtiar Baso, Hero Fitrianto dan Yani Abidin.
 beruntung ketika rombongan kecil Korpala tiba di puncak, di sana juga ada rombongan lain yang sudah tiba beberapa saat sebelumnya. Mereka adalah teman-temannya Riri.. tentu saja ramai.. apalagi untuk foto-foto.

     Hanya lima belas menit di puncak, semuanya bergegas turun dan tiba kembali di pos 9 ketika gelap sudah hampir sempurna. Hanya tersisa sedikit bias cahaya di langit yang baru saja beranjak malam. Dan inilah.. penerangan hanya mengandalkan dua atau tiga lampu badai ditambah beberapa senter, yang juga hanya dua atau tiga buah saja.. senter jadul 'cap kepala singa' dengan baterai besar, panjang dan berat.
     Dalam serba keterbatasan pencahayaan, rombongan bergerak perlahan, hingga di mata air sekitar pos 3, sudah sekitar pukul 2 pagi. Rombongan berhenti di tempat ini untuk beristirahat. Menggigil dan tentu saja lapar, begitu terasa. Api yang cukup besar berhasil menyala, dan inilah.. bekal berupa 'nasi' dalam bungkusan plastik dikeluarkan. Sudah begitu dingin, membeku dan keras.
     As'adi begitu cekatan menyiapkan rantang aluminium untuk difungsikan sebagai panci, dan merebus kembali nasi yang sudah membeku itu. Luar bisa sekali, tanpa lauk sama sekali, nasi yang kembali mendidih di dalam panci itu ludes seketika tanpa mengangkat panci dari api. Hanya jari-jari dingin bergantian keluar masuk panci berburu dengan rasa lambung yang sudah begitu kosong.
 
nampang untuk foto dulu, sebelum meninggalkan Lembang Bu'ne
     Tidak semua peserta sempat teringat oleh saya, namun beberapa masih begitu segar di dalam ingatan.. ada As'adi, Allu, Phiphi, Novandi Arisoni, Buyung, Hukman dan ah.. lain-lainnya sudah tidak teringat lagi namanya...
     Dengan rendah hati saya menunggu komentar kalian, saudara-saudaraku, melengkapi cerita jalan-jalan pertama kita yang begitu bersahaja menuju Lompobattang, sehingga kembali memperkaya dan menyegarkan ruang memori saya yang sudah compang camping.
     Miss U all brader..

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.