Articles by "Korpala"

Tampilkan postingan dengan label Korpala. Tampilkan semua postingan

     Survival menjadi kata kunci yang begitu sering terucap bagi para penggiat aktifitas alam bebas. Nah, di artikel ini, setiap huruf yang menyusun kata survival tersebut bisa diterjemahkan menjadi penuntun kita dalam beraksi di setiap situasi survival. Kapanpun kita berada dalam situasi tersebut, ingatlah penjabaran kata SURVIVAL berikut ini.
     Tindakan survival yang dimaksud, berupa penjabaran dari setiap huruf yang menyusun kata survival di dalam bahasa Inggris. Pelajari dan ingat dengan baik, lakukan latihan secara teratur, karena suatu hari pasti akan sangat berguna ketika Anda mengaplikasikannya di dalam situasi nyata.

     S - Size Up the Situation > Buatlah penaksiran untuk menilai situasi tempat Anda berada.
     Bila Anda dalam situasi perang, carilah tempat di mana Anda bisa bersembunyi dari musuh. Ingat, keamanan menjadi prioritas utama. Gunakan semua indera, pendengaran, penciuman dan penglihatan untuk menakar nuansa medan perang. Apa yang dilakukan musuh? Apakah Anda harus maju, atau berdiam di tempat, atau malah Anda harus mundur. Pertimbangkan situasi medan perang sebelum menyusun rencana untuk tetap hidup.
     * Perkirakan Sekeliling Anda. Tentukan pola dan situasi daerah. Dapatkan 'rasa' tentang apa yang terjadi di sekitar Anda. Setiap lingkungan, apakah hutan, atau gurun, mempunyai ritme dan pola tertentu. Ritme atau pola yang dimaksud adalah, setiap lingkungan mempunyai jenis binatang, suara burung maupun suara-suara serangga yang tertentu. Termasuk di dalam ritme itu adalah pola lalulintas dan pergerakan musuh Anda.
     * Tentukan dengan jujur kondisi fisik Anda. Setiap kejadian dan tekanan yang telah menimpa Anda mungkin menyebabkan luka-luka kecil tidak terasa. Nah saatnya untuk memeriksa setiap luka, memar dan apa saja yang menimpa fisik Anda, dan lakukan tindakan pertolongan pertama. Berhati-hatilah supaya tidak menambah luka atau cedera baru. Di dalam kondisi cuaca apapun, tetaplah minum banyak air untuk menghidari dehidrasi. Cegah kemungkinan hipotermia dengan mengunakan lebih banyak pakaian kering di dalam situasi dingin ataupun basah.
     * Periksa perlengkapan yang masih ada. Mungkin saja beberapa peralatan yang Anda miliki telah rusak atau malah hilang tercecer di jalan. Periksa apa yang masih tersisa dan bagaimana kondisinya.
     Sekarang, setelah Anda telah mempunyai gambaran tentang situasi sekeliling, mempunyai kesimpulan tentang kondisi fisik Anda dan juga tentang peralatan yang masih ada dan dapat difungsikan, maka selanjutnya Anda siap untuk membuat rencana hidup Anda selanjutnya. Dengan demikian Anda sudah bisa membayangkan suatu rencana untuk memenuhi kebutuhan dasar fisik Anda berupa air, makanan dan tentu saja tempat bernaung (shelter/bivak).

     U - Use All Your Senses, Undue Haste Makes Waste > Gunakan Akal Sehat Anda. Bertindak gegabah dan tergesa-gesa akan menjadi sesuatu yang sia-sia.
     Anda bisa saja membuat kekeliruan ketika bereaksi dengan gegabah tanpa berfikir dan terencana. Dan tindakan yang Anda lakukan bisa saja mengantar Anda menuju kepada kematian. Jangan bertindak hanya karena supaya terlihat tidak pasif. Perhitungkan semua aspek kondisi Anda, peralatan Anda, sebelum membuat keputusan untuk bergerak.
     Jika Anda bertindak tergesa-gesa, gegabah, Anda bisa saja melupakan beberapa peralatan penting yang mestinya tetap menyertai pergerakan Anda. Dalam keadaan tergesa-gesa, Anda mungkin saja akan menjadi bingung dan tidak tahu harus bergerak ke arah mana. Rencanakan dengan baik setiap pergerakana Anda.
     Persiapkan diri Anda untuk bisa bergerak cepat tanpa membahayakan diri sendiri, seandainya ada bahaya yang mendekati Anda (binatang buas/musuh). Gunakan semua indera untuk mengevaluasi situasi. Anda harus jeli, mengenali bebauan yang aneh, perubahan suhu maupun suara yang tidak lazim terdengar.

     R - Remember Where You Are > Ingat dan ketahui dimana Anda berada.
     Tandai lokasi dimana Anda berada ke atas peta. Sesuaikan dengan situasi sekeliling Anda. Ini 'prinsip dasar' yang harus selalu Anda lakukan. Bila ada orang lain yang bersama Anda, pastikan mereka juga mengetahui lokasinya berada.

     V - Vanquish Fear and Panic > Atasi rasa Takut dan Panik
     Musuh terbesar di dalam bertahan hidup adalah rasa takut dan panik. Jika tidak terkendali, akan membuat Anda kehilangan kemampuan membuat keputusan dengan akal sehat. Ketakutan dan kepanikan bisa membuat Anda bereaksi berdasarkan perasaan dan imajinasi, bukan berdasarkan situasi dan nalar. Takut dan panik bisa menguras tenaga sehingga menyebabkan situasi emosi yang negatif. Pengalaman survival dan pelatihan yang teratur akan meningkatkan rasa percaya diri sehingga akan memungkinkan bagi Anda untuk bisa mengalahkan rasa takut dan panik.

     I - Improvise > Berimprovisasi
     Belajar untuk menjadi kreatif, belajar bagaimana menemukan keguanaan suatu benda, diluar kegunaan utamanya. Berlatih bagaimana menggunakan bahan-bahan yang ada disekitar kita untuk sesuatu yang berbeda dari fungsinya semula. Asah selalu kemampuan Anda untuk bisa berimprovisasi. Meskipun survival kit Anda 'sangat' lengkap, namun ketika digunakan terus menerus maka akan aus atau rusak. Nah, imajinasi dan kemampuan improvisasi Andalah yang akan mengambil peran penting dalam menolong hidup Anda selanjutnya.

     V - Value Living > Nilai-nilai hidup yang Anda anut.
     Kita semua telah dilahirkan untuk bergulat demi berjuang tetap hidup, tetapi kita kemudian terlena di dalam nikmatnya hidup yang mapan. Kita menjadi makhluk penikmat kenyamanan. Nah, apa yang terjadi kemudian ketika kita dihadapkan pada situasi harus bertahan hidup dengan semua tekanan, ketakutan, ketidak nyamanan dan kerepotan?
     Inilah saat dimana kita harus menempatkan 'keinginan untuk hidup' di posisi paling tinggi. Semua pengalaman dan pelatihan yang telah Anda peroleh di dalam kehidupan selayaknya menjadi penopang sehingga Anda mempunyai kemauan untuk tetap hidup. Keteguhan dalam pendirian, menolak untuk menyerah pada masalah dan rintangan yang dihadapi, akan memberikan kepada Anda kekuatan mental dan fisik untuk tetap mampu bertahan hidup.

     A - Act Like the Natives > Bertindak seperti layaknya para Pribumi
     Penduduk asli dan hewan-hewan pada suatu daerah telah beradaptasi secara baik dengan lingkungannya. Untuk mendapatkan sentuhan rasa suatu daerah, perhatikanlah bagaimana rutinitas keseharian masyarakatnya. Kapan dan apa yang meraka makan. Kapan, dimana dan bagaimana mereka mendapatkan makanan. Kapan mereka ke sungai, kapan mereka tidur, dan sebagainya. Tindakan ini penting bila anda dalam situasi sedang menghindari penangkapan oleh pihak musuh (dalam situasi perang).
     Kehidupan binatang di suatu daerah juga bisa memberi anda informasi kunci bagaimana bertahan hidup yang seharusnya. Hewan-hewan itu tentu saja memerlukan air, makanan dan tempat berlindung (shelter). Dengan mengamati hewan-hewan tersebut, anda bisa menemukan sumber air dan makanan. Meski demikian, anda tetap harus berhati-hati, karena ada beberapa hewan yang memakan makanan yang ternyata beracun bagi manusia. Juga penting untuk diketahui bahwa reaksi dari hewan bisa menjadi petunjuk bagi musuh untuk mengetahui keberadaan Anda.
     Kemampuan bergaul dengan penduduk setempat, belajar dan beradaptasi dengan lingkungan mereka akan dapat meningkatkan peluang untuk tetap bertahan hidup.

     L - Live by Your Wits > Hiduplah dengan akal, kemampuan dan pengetahuan yang Anda miliki.. Namun untuk saat ini, pelajarilah dahulu keterampilan dasarnya..
     Tanpa berlatih keterampilan dasar untuk bertahan hidup, maka kesempatan Anda untuk bisa bertahan hidup dalam situasi yang telah digambarkan di atas, menjadi sangat sedikit. Pelajari dan latih keterampilan dasar survival sekarang juga, bukan ketika Anda menuju atau berada di alam bebas atau di medan pertempuran.
     Bagaimana Anda membuat persiapan dan membawa perlengkapan yang sesuai dengan kebutuhan untuk suatu kegiatan, akan menentukan apakah Anda nantinya akan mampu atau tidak di dalam bertahan hidup. Anda perlu mengetahui bagaimana lingkungan yang akan menjadi tujuan Anda, kemudian berlatih keterampilan dasar tentang lingkungan yang dimaksud. Sebagai contoh, bila Anda akan ke gurun pasir, maka Anda harus tahu bagaimana caranya untuk mendapatkan air di padang pasir.

     Latihan keterampilan dasar survival akan mengurangi rasa takut yang tidak diketahui. Juga akan meningkatkan rasa percaya diri Anda. Hal itu akan membantu Anda untuk belajar untuk hidup secara rasional dengan akal dan nurani yang sehat.
foto : adventurenationalgeographic[dot]com

Punyai suatu design dalam bertahan hidup

     Sangat penting untuk mempunyai suatu model standar yang memungkinkan Anda bisa tetap bertahan hidup di suatu lingkungan tertentu. Design modelnya harus mencakup bagaimana persediaan makanan, air, tempat bernaung, perapian, perlengkapan pertolongan pertama, signal flare, besertaa survival tool lainnya, sebagai kebutuhan yang menjadi prioritas utama di dalam daftar persiapan Anda.
     Misalnya saja di lingkungan yang dingin, Anda akan membutuhkan api untuk mendapatkan kehangatan, sebuah bivak untuk bernaung sekaligus pelindung dari angin, hujan atau salju. Anda juga membutuhkan perangkap dan jerat untuk mendapatkan makanan, juga perlengkapan P3K untuk menjaga kesehatan jika cedera. Semua perlengkapan tersebut menjadi prioritas utama, tidak peduli Anda akan menghadapi iklim apapun juga. Perlengkapan tambahan lainnya akan menyesuaikan dengan situasi lingkungan yang dituju sehingga kebutuhan fisik Anda bisa terpenuhi bila menghadapi perubahan yang mendesak dan tiba-tiba.

 

baca juga: Psikologi Survival
rujukan : US Army Survival Manual

     Seperti hari-hari sebelumnya, bulan Desember adalah saat ketika kabut selalu betah bercanda di hamparan bumi Lembanna. Rinai yang menghambur seperti tirai yang melayang malu-malu. Seakan ingin menyembunyikan setiap hasrat hati yang menggemuruh untuk menjangkau Bawakaraeng yang tertutup awan kelabu.
     Dan di tiga puluh desember tahun sembilan puluh itu, baris-baris doa yang tulus, disemai bersama setiap harap yang menyertai bibit pinus yang ditanam. Kegiatan penghijauan Korpala Unhas itu menghimpun harapan dari setiap insan pencinta alam yang sering mampir ke Bawakaraeng untuk berkegiatan bersama. Berbuat dalam kesatuan langkah yang seirama. Menghimpun rasa sehati untuk suatu kepedulian akan pelestarian lingkungan.
     Yang menjadi catatan terpenting adalah partisipasi masyarakat Lembanna sendiri. Hampir seluruh laki-laki dewasa terlibat langsung mulai dari menyiapkan lubang tanam hingga mengumpulkan bibit pinus yang tumbuh liar untuk disemai kembali di lahan yang menjadi target. Paritsipasi yang tulus, tanpa ada iming-iming dan embel-embel imbalan yang menggerakkan mereka.
     Bagi penduduk Lembanna waktu itu, suksesnya pelaksanaan penghijauan ini adalah bentuk implementasi dari kesadaran akan pemahaman mereka tentang pentingnya berbuat untuk menghijaukan lahan yang gundul. Berbuat sesuatu yang bermanfaat untuk lingkungan dan tentu saja untuk kebaikan kelangsungan hidup mereka. Diperlukan lebih dari sekadar slogan untuk melestarikan lingkungan. Setiap ayunan cangkul mereka membentuk lubang tanam adalah bukti nyata tentang kepedulian itu.
Ketum Korpala, Ferry Gani berpidato di pembukaan kegiatan
bersama bapak PR-3 Unhas dan sebagian peserta yang berpartisipasi. ada juga bapak yang mewakili dinas kehutanan dan satu dua orang penduduk yang ikut rame-rame acara seremonial.
 salah satu sudut lahan yang menjadi target penghijauan. ada Farida Indriani, Arahab Mansyur, angko Ferry Gani dan Roby Karel
 Guntur, Mukhlis Mansyur, Mukhlis Marhaban, Hero Fitrianto, Asadi Abdullah, Harsiadi, Welly Turupadang, Fauziah Djafar
 ada Cecep Iwan Setiawan, Nevy Tonggiroh dan Bastian
 ngobrol dengan PR-3 Unhas, bapak Kahar Idu desertai Nyonya. Berharap ada mahasiswa Unhas yang ditempatkan untuk KKN di desa ini, untuk membantu mempercepat perbaikan jembatan yang sementara digunakan oleh Robi untuk mejeng. Ada juga almarhum Sayarifudin 'Faye' Ahmad.
 persiapan bibit di depan rumah Daeng Supu'. Ada Awaluddin Lasena, Arifin Sijaya dan yang baju biru topi merah itu, 'lupa' namanya..
 Mengajukan proposal bantuan bibit sebanyak 2000 bag, namun yang direalisasikan oleh dinas kehutanan hanya 500 bag. Di sinilah partisipasi masyarakat Lembanna berperan sangat penting. Suksesnya acara ini adalah suksesnya Lembanna. Namun bila gagal karena tidak ada bibit, maka itu adalah siri' yang tidak bisa ditunaikan dengan baik. 
Mengetahui begitu minimnya bantuan bibit yang disediakan oleh pemerintah, masyarakat Lembanna berinisiatif mencari bibit yang tumbuh liar. Hasilnya begitu luar biasa, dari target tanam 2000 bibit, maka di kegiatan ini terealisasi sekitar 5000 bibit.. partisipasi yang begitu luar biasa.
     Dan baris-baris doa itu, terbang tinggi abadi ke langit pengharapan. Semoga kerja sederhana itu mengguratkan makna yang berarti ke dalam hati setiap kita. Makna yang lahir dari ketulusan masyarakat Lembanna dan keikhlasan Bawakaraeng menerima setiap jejak kaki kita.

banyak kisah yang menyertai kegiatan ini,
yang menjadi abadi di kenangan kita
untuk menyelenggarakan kegiatan ini hingga tuntas.
dengan segala kerendahan hati, saya menunggu
kisa-kisah seru kalian saudara dan adik-adikku,
mengisi lembar komentar di bawah untuk
melengkapi mozaik kenangan kita di waktu itu..

miss U all brader n sista.. 

     Ini jelas bukan pertanyaan sepele, bagaimanapun kita mencoba menyederhanakannya. Itu barulah pertanyaannya, belum lagi jawaban yang bisa lebih luas dibanding Sahara. Bisa menjadi perdebatan filosofis yang membutuhkan tenaga super ekstra untuk mampu bertahan di dalam setiap analisa. Sehingga harus dibekali kecerdasan penalaran yang tinggi bahkan lebih tinggi dari Everest.
     Dan kalau pertanyaan itu ditujukan kepadaku, maka dengan segala kerendahan hati saya mesti menjawab tidak tahu. Ketidak tahuan yang bisa saja diartikan sebagai suatu sikap masa bodoh, bahkan mungkin pula sebagai cerminan akan kebodohan yang sebenarnya akibat kurangnya informasi dan lemahnya kemampuan analisis. Sesungguhnyalah tidak mudah untuk sekadar bisa memahami suatu filosofi yang selayaknya menjadi dasar landasan way of life yang universal, apalagi sampai menganggapnya semudah membuat semangkuk bubur havermut hangat.
     Sebagai mahasiswa yang telah menjadi 'pencinta alam', ada satu pertanyaan yang selalu menggelitik, setiap kali diutarakan ketika saya pulang dari suatu pendakian di gunung. 'Mengapa ke gunung, mengapa mendaki gunung?' Gelitik pertanyaan yang terasa geli-geli enak, namun sekali-sekali menjadi geli-geli mengkhawatirkan.
photo : http://www.ehdwalls.com/
     Geli-geli enaknya adalah teman-teman yang bertanya selalu dengan antusias, sambil menyelipkan apresiasi pengakuan akan kegiatan yang baru saja selesai. Pertanyaan filosofis itu tidak benar-benar dibutuhkan jawabannya. Dan semakin enaknya lagi, bahwa saya dibiarkan menjawab dengan satu senyuman sederhana. Cukup. Si penanya akan menerjemahkan, bahwa senyuman saya adalah senyum yang mengandung sejuta makna, sejuta pemahaman dan bahkan sejuta kebijaksanaan. Senyum itu lebih dari cukup untuk mewakili hal-hal yang jumlahnya sudah berjuta-juta itu. Si penanya benar-benar maklum dan merasa sangat tertolong, bila saya tetap tersenyum saja. Tidak terbayangkan berapa stamina yang harus dia persiapkan untuk mendengar dan menyimak, bila saya menerjemahkan setiap hal itu menjadi rangkaian kata.
     Geli yang mengkhawatirkan, sebenarnya adalah petaka di setiap penghujung senyum yang berjuta-juta arti itu. Khawatir, kalau saja orang yang bertanya itu ngotot untuk mendapat jawaban dalam bentuk rangkaian kalimat, dalam rangkaian kata yang nyaman dan bisa diverifikasi. Lalu apa yang harus saya katakan? Jawaban apa yang pas, yang setara dengan sanjungan yang terlanjur ikut tersirat di ekspresi dan tatapan si penanya yang begitu antusias?
     Beberapa jawaban jujur mestinya bisa saya utarakan untuk menjawab itu, namun rasa yang tidak cukup pede di nyali menjadi penghalang lidah untuk mengucapkannya. Masak iya sih aku bilang, karena 'ikut-ikutan' mode, atau karena lagi ngetren? Atau untuk sekadar pajang foto-foto aksi yang 'luar biasa' untuk ukuran mahasiswa yang bisanya hanya belajar dan belajar saja di kampus, sehingga saya bisa kelihatan keren di wall facebook saya? Atau biar saya kelihatan machonya untuk si dia yang sedang getol-getolnya saya taksir? Selanjutnya saya berharap si anu dan si anu bisa menaruh hormat, bisa menempatkan rasa segan sepantasnya untuk saya, bisa terkagum-kagum lalu koprol-koprol sambil ‘wow-wow’ karena aku ini pendaki gunung?
     Terlalu aib rasanya di benak saya untuk menjawab dengan apa adanya tersebut. Masak iya sih, mahasiswa bisanya hanya ikut-ikutan. Lalu masak cuma sekadar narsis seperti fotomodel kurang modal. Kenapa masih begitu primitif, menarik minat lawan jenis dengan cara pamer otot yang meregang dalam lelehan keringat dan daki.
     Dan itulah khawatir-khawatir yang selalu menyertai kemana-mana. Sederet jawaban sebenarnya sudah tersedia, mau yang filosofis copy-paste model lokal sampai gaya import, mau yang asal-asalan yang penting bunyi, mau yang sembrono rada-rada porno, semuanya tersedia untuk bisa dihapalkan. Namun selalu tidak sampai hati saya untuk sekadar copy-paste slogan, karena jerihnya terasa begitu menyayat bila mengatakan yang tidak sesuai dengan nurani. Dan tentu saja, copy-paste itu adalah ekspresi nyata dari suatu sikap ikut-ikutan yang sangat tidak bermartabat.
     Mungkin seperti itulah juga kalau tiba-tiba ada yang bertanya, apa sih pencinta alam itu? Berkaca pada pertanyaan ‘mengapa mendaki gunung’, maka menjawab pertanyaan terakhir ini rasanya menjadi jauh lebih sulit lagi. Terlalu banyak fenomena yang semakin menyudutkan rasa percaya diri yang sudah begitu rapuh. Satu jawaban yang bagaimanapun sederhananya, pastinya akan menuai begitu banyak sanggahan, sinisme dan pelecehan semangat dalam ekspresi penuh cibir untuk pertanyaan yang bertubi-tubi sebagai sanggahan untuk jawab yang sederhana tadi.
     Banyak paradoks yang sudah digambarkan dari masa ke masa tentang kepencinta alaman itu. Mulai dari kalimat-kalimat kasar anarkis, sampai yang mendayu dalam senandung yang indah. Bagaimana Rita Rubby Hartland menggugat keberadaan para pendaki gunung yang identik dengan pencinta alam, di dalam lagu ‘kepada alam dan pencintanya’.
     Menarik suatu kesimpulan tentang apa pencinta alam itu, bisa kita lakukan dengan mengamati hal-hal yang merupakan hasil kreasi dari mereka yang menamakan diri pencinta alam. Namun sekali lagi, kesulitan segera membentang, ketika tolak ukur dan batasan nampak sangat kabur dan luas. Kabur dan luas, memberi kesempatan untuk melahirkan penafsiran-penafsiran sendiri dari para penganutnya. Keberadaan kode etik sendiri menjadi pajangan filosofis yang tergantung tinggi di puncak menara gading, yang begitu sulit untuk diterjemahkan apalagi untuk diaplikasikan.
     Penafsiran-penafsiran liar yang menjadi definisi anutan setiap pencinta alam kemudian menjadi suatu keabsahan belaka. Menjadi permakluman yang lumrah bila setiap orang mempunyai definisinya sendiri. Bila sudah seperti itu, maka menarik suatu kesimpulan universal, menjadi sesuatu yang mustahil. Bila kesimpulan umum menjadi mustahil, maka mustahil pulalah untuk mendefinisikan apakah pencinta alam itu. Tanpa definisi yang jelas, maka sangat lumrah bagi kita untuk gagal atau keliru di dalam identifikasi.
     Kita kemudian akan terjerumus ke siklus telur-ayam. Pertanyaan joke sepele yang sering hadir di warung kopi ujung kampung sana, menyertai mentari yang merangkak meninggi. Namun seorang temanku selalu konsisten untuk menjawab ‘telur’. Seperti konsistennya ia selalu menjawab, bahwa contoh ideal pencinta alam itu adalah para ‘nabi’. ‘Semua nabi itu adalah pencinta alam’, begitu yang selalu dikatakannya bila diskusi sudah semakin mendalam tentang apa dan bagaimana semestinya pencinta alam itu.
     Nabi-nabi sepertinya bisa bahkan sangat layak untuk menjadi model yang disebut sebagai Pencina Alam. Mereka selain  menjadi penyampai 'kata-kata' Tuhan dalam bentuk kitab-kitab suci, juga membantu manusia di dalam membaca dan menerjemahkan kreasi Tuhan yang terpahat sebagai bentuk alam semesta ini. Metafora, perumpamaan dan fenomena-fenomena alam menjadi bahan halus, untuk diramu menjadi bahan pendidikan untuk manusia.
     Untuk itulah mereka melakukan perjalanan, penjelajahan, migrasi, dengan semua duka dan sukanya. Bahkan nyawa akan menjadi taruhannya, bukan hanya oleh ancaman binatang buas, oleh sulitnya medan yang harus diatasi, namun juga oleh variasi kelicikan manusia yang sebenarnya jauh lebih berbahaya dari semua itu. Tujuannya jelas, sederhana meskipun sama sekali tidak bisa dikatakan sepele. Pembelajaran, penerjemahan, perenungan akan interaksi manusia dengan semesta, akan membentuk manusia menjadi manusia yang baik. Manusia dengan wawasan yang holistik, berkesadaran semesta. Lalu manusia yang baik itu selanjutnya mampu untuk menyadari Dia sang Maha yang telah menciptakan segalanya.
     Para pencinta alam yang berkegiatan di alam bebas mestinya juga seperti itu. Apapun yang dilakukan semuanya sebagai sarana berlatih, belajar, membaca dan menerjemahkan kebaikan yang mendukung proses penempaan diri untuk menjadi ‘manusia baik’. Manusia baik yang ‘kebaikannya’ bisa ditakar secara universal, bukan sekadar baik oleh golongan kecilnya, apalagi hanya baik menurut dirinya sendiri. Kebaikan yang mampu untuk lulus uji sebagai suatu kebaikan oleh berbagai parameter, baik yang religius, yang akademis, yang filosofis dan lain-lainnya.
     Manusia baik yang kebaikannya akan segera luntur bila sedikit saja menerapkan keburukan kepada semesta dan tentu saja kepada manusia lainnya.
also posted at KOMPASIANA

     Pemuda itu meletakkan kayu bakar yang terikat rapi dari pundaknya. Peluhnya membasahi tubuh dan meleleh di lekuk-lekuk wajahnya yang polos. Di sebelahnya seorang lelaki tua juga baru saja meletakkan beban kayu dari punggungnya. Mereka adalah ayah dan anak yang baru keluar hutan mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari.
     Sambil beristirahat di bawah rimbunnya pohon, si anak bertanya mengapa tadi ayahnya kembali melarang ia untuk mengambil potongan-potongan kayu yang bersandar di pohon besar yang mereka lalui di hutan tadi. Rupanya si anak sudah begitu penasaran, karena bukan sekali itu saja ayahnya melarang melakukan hal itu. Dan hari ini rasa ingin tahu itu sudah tidak tertahan lagi.
     Dengan senyum karena menahan geli, si ayah menjelaskan.
     "Nak, kayu yang tersandar di pohon tadi itu, juga yang kemarin-kemarin kita lihat di pohon yang lainnya, sudah dimiliki oleh orang lain, hanya saja mereka belum sempat untuk membawanya keluar hutan." tutur sang ayah dengan lembut.
     "Tapi kita kan bisa mengambilnya tanpa diketahui oleh orang yang menurut ayah sudah memilikinya" sanggah si anak dengan semangat.
     "Nah di situlah tata krama kita sebagai warga masyarakat sekitar hutan ini. Kita akan menghormati orang yang telah bersusah payah mengumpulkan dan merapikan kayu-kayu tersebut lalu menegakkannya di batang pohon, meski kita tidak pernah bertemu dengan siapa orangnya. Penghormatan kita adalah dengan tidak mengganggu apalagi mengambilnya. Hal yang sama akan dilakukan oleh orang lain bila kita melakukan hal yang sama, meninggalkan kayu yang telah tersusun rapi di batang pohon. Begitulah pesan yang diwariskan kakekmu kepadaku, dan sekarang ini aku wariskan pula kepadamu".
     Penjelasan sang ayah yang panjang lebar itu rupanya belum cukup untuk menuntaskan ganjalan-ganjalan yang ada di benak si anak. Hal itu tergambar jelas di wajahnya yang masih kusut.
     "Tetapi ayah, saya pernah bertemu dengan orang kota yang sudah bersekolah sangat tinggi, menjelaskan hal ihwal tentang kepemilikan sesuatu barang. Ada bukti-bukti yang tertera di atas kertas yang menjadi jaminannya.. Nah dengan penjelasan ayah tadi itu, saya menjadi bingung untuk bisa mengerti. Apakah ayah juga pernah sekolah labih tinggi dan lebih pandai dibanding orang yang kutemui itu?."
     Sang ayah hanya tersenyum kecil, menyandarkan punggung lebih santai ke belakang, lalu melanjutkan penjelasannya.
     Sekarang cobalah bayangkan apa yang saya gambarkan ini.
     Bila Engkau memaksakan diri untuk mengambil kayu-kayu yang sudah ditegakkan itu, maka Engkau dipastikan akan menghadapi tiga kemungkinan. Pertama adalah, bila orang yang memiliki kayu itu ternyata mempunyai kemampuan lebih dari dirimu, maka Engkau bisa saja digilasnya. Tindakanmu akan dianggapnya sebagai upaya untuk menghinanya sehingga ia akan menghancurkanmu dengan segala daya yang dipunyainya.
     Kedua, bila ternyata pemiliknya mempunyai kemampuan yang setara denganmu, maka kemungkinan kalian akan saling berhadap-hadapan untuk mempertahankan eksistensi atas keberdayaan kalian. Bila Engkau kalah, maka akan ada luka di hatimu sebagai penanda atas kekalahanmu. Di pihak seterumu akan membanggakan pencapaiannya sekaligus meneguhkan doninasinya atas dirimu.
     Kemungkinan ketiga adalah bila pemiliknya mempunyai kemampuan lebih rendah darimu. Kemungkinannya ia akan menerima kondisi yang terjadi dengan 'tidak ikhlas'. Pemaksaan menerima keseweng-wenangan yang Engkau lakukan akan menjadi bibit dendam yang bisa saja membesar di suatu hari nanti. Hubungan yang harmonis diantara sesama penghuni sekitar hutan ini menjadi tidak seimbang, menjadi kehilangan rasa harga menghargai diantara sesamanya.
     Nah, dari ketiga kemungkinan itu, tidak satupun yang menjadi pilihan pantas untukmu, juga untuk penghuni-penghuni lainnya. Tetap konsisten dalam menghormati semua tatanan nilai yang telah dibangun di dalam konunitas kita adalah sesuatu yang mutlak, sehingga kita bisa mengembangkan kemuliaan-kemuliaan lainnya di dalam peradaban kita. Dan ingatlah baik-baik, semuanya itu tidak dituliskan di atas kertas seperti yang dibangga-banggakan oleh orang pintar yeng sudah engkau temui itu.
     Tidak ada dokumen ataupun akte yang menjadi bukti otentik tentang kepemilikan kayu itu. Kalaupun engkau memaksa untuk mencarinya maka engkau tidak tidak akan menemukannya. Dan engkau akan memenangkan perdebatan atas alasan 'tulis menulis' itu.
     Semuanya hanyalah pewarisan nilai yang disampaikan turun temurun seperti yang aku lakukan kepadamu sekarang ini. Tulisan-tulisan di kertas itu hanyalah bahan untuk  'si tukang silat lidah' untuk terlihat hebat dalam membela paham 'opurtunis' yang dianutnya. Paham yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok kecilnya yang didorong kuat oleh nafsu egoisme. Semua dikembangkan atas nama logika yang dikembangkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan huruf-huruf yang ada di atas kertas. Sementara nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi utamanya tidak bisa dimasukkan menjadi parameter, karena sama sekali tidak tertulis di atas kertas.
     Pahami semua nilai yang ada ini. Bila engkau merasa nilai-nilai yang berlaku di sini tidak sesuai dengan jalan pikiranmu, maka berbesar hatilah untuk menghormati nilai yang telah dianut sejak lama itu. Jangan engkau recoki apalagi sampai meninggalkan jejak buram di lintasan sejarahnya. Toh engkau yang masih muda, bisa mencari 'hutan' yang lain, untuk mengembangkan komunitasmu sendiri yang sesuai dengan apa yang engkau pikirkan. Engkau bisa mengembangkan nilai-nilai yang engkau anggap baik, di dalam komunitas barumu itu.
     Hari menjelang senja, semilir bayu yang lembut mengantarkan langkah mereka pulang.

     Hujan dan kabut bulan Februari 1990 ini begitu setia mengiringi langkah kami untuk menemukan puncak Gunung Kambuna. Sudah sekitar 2 jam mencoba setiap arah yang memungkinkan, namun tidak memberikan hasil. Akhirnya tim memuutuskan untuk kembali ke bivak tempat berteduh semalam.
     Bivak yang letaknya di 'pos 8'. Pos-pos itu adalah penanda yang baru dipasang oleh tim Korpala sepanjang perjalanan ini. Tujuannya sederhana saja, pertama sebagai penanda rute yang ditempuh oleh tim yang terdiri dari empat putri dan empat putra, sekaligus sebagai jejak awal perintisan jalur tracking menuju puncak Kambuna.
     Pos sembilan sudah disematkan di tempat terakhir siang tadi, sebelum memutuskan kembali ke pos 8 ini. Sedangkan rambu untuk pos 10 masih ikut terbawa, yang rencananya untuk diletakkan di puncak nanti. Namun apa yang terjadi hari ini di luar rencana. Cadangan logistik hanya tersisa untuk satu hari perjalanan kembali menuju kaki gunung di Desa Padang Raya.
     Keputusan selanjutnya, tim akan kembali mencari puncak Kambuna keesokan harinya.
      Cuaca menuju puncak ternyata tidak seperti kemarin. Begitu cerah. Tidak sampai dua jam dari pos 8, puncak Kambuna ditemukan. Masih ada sisa-sisa tugu triangulasi, yang dulunya dibongkar oleh penduduk karena dikira ada harta karun di bawahnya.
      Satu-satunya alat komunikasi yang dimiliki waktu itu adalah radio Handy Talky 2 meter band. Teriak sana, teriak sini, hanya suara sayup-sayup yang termonitor, yang juga tidak jelas apakah menjawab teriakan dari puncak Kambuna, ataukah mereka hanya sekadar teriak-teriak dengan rekan mojoknya.
      Berfoto ria tentu saja menjadi satu-satunya hiburan, yang bahkan benar-benar membuat lupa sesaat bagaimana terseok-seoknya tim selama satu minggu berjalan dari Sa'bang menuju desa Padang Raya di kaki Kambuna ini. Tentu saja juga membuat lupa sesaat bahwa cadangan logistik terakhir akan segera habis di saat tengah hari nanti.
      Dalam perjalanan pulang, dari rencana semula tim bisa bermalam di pos dua, namun mengingat sudah tidak ada makanan sama sekali, kembali diputuskan tim melanjutkan berjalan di malam hari tanpa beristirahat, agar bisa secepatnya mencapai base camp di Padang Raya.
      Menjelang pukul 12 tengah malam, tim sudah tiba di tepi sungai Lodang. Kondisi sungai tidak sama dengan beberapa hari yang lalu, yang airnya hanya setengah betis, tapi malam ini airnya sudah setinggi dada. Hujan beberapa hari ini membuat debit airnya bertambah.
      Percobaan menyeberangi sungai ternyata gagal, bahkan hampir menghanyutkan salah seorang anggota tim yang menjadi leader 'penyeberangan basah' malam itu. Sekitar setengah dua dini hari, tim memutuskan untuk memutari bukit yang lebih ke hulu sungai agar bisa mendapatkan bagian sungai yang lebih dangkal.
Phiphi, Hero, Nona, Ammy, Wida, Hilda, Adi dan Welly

      Sambil terkantuk-kantuk dan juga begitu lapar, menjelang pukul 3 dinihari tim sampai di sebuah gubuk ladang. Diputuskan beristirahat di tempat itu, apalagi di dalam gubuk ada tungku dengan beberapa potong kayu kering. Dan aha.. di sekitar gubuk itu adalah ladang jagung dengan buah yang sudah ranum menjelang dipanen.
      Diskusipun terjadi, apakah mengambil jagung untuk mengganjal perut yang sudah begitu lapar.? Kesimpulannya adalah 'tidak'!! Tim masih kuat untuk bertahan hingga pagi, kemudian melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam lagi menuju basecamp, sehingga tidak perlu mengambil jagung-jagung itu. Terjadilah, malam itu tim menghangatkan badan dengan air yang berhasil didihkan dari tungku di dalam gubuk, ditambah beberapa sachet bumbu mi instan yang masih tersisa di dalam carrier.
      Itulah kuah mi instan yang ternikmat yang pernah saya rasakan selama ini.
Hamparan dataran yang begitu luas, menjadi inspirasi untuk nama desa 'Padang Raya'. Di tahun 1991 itu, kami bahkan ditawari untuk tinggal di desa itu, membantu pertanian penduduk di sana. Lahan pertanian masih begitu luas sementara kemampuan penduduk hanya bisa menggarap sekitar sepertiganya saja. Dan bila kami berdelapan mau tinggal, tinggal tunjuk saja tanah sebelah mana yang hendak dipatok, seberapapun luas yang mampu untuk kami garap.

     Dan alangkah konyolnya kejadian dinihari itu. Ketika sudah sampai di Desa dan menceritakan bahwa kami kelaparan namun tidak 'berani' mengambil jagung itu, oh.. kami menjadi bahan tertawaan orang desa. Mereka sama sekali tidak tahu, kalau kami selalu dibayangi mitos tentang kekuatan supra natural orang-orang menertawakan itu, salah satunya adalah bahwa akan mengalami gejala fisik yang aneh yang 'segera' akan terasa bila berani mengambil barang mereka tanpa izin.
     Jamuan bubur jagung dengan kombinasi gurihnya ayam kampung yang mereka sajikan benar-benar mampu memulihkan kondisi yang sudah drop kemarin. Pesta kecil yang mereka sudah siapkan, tentu saja dengan begitu sukacita setelah melihat kami bisa kembali dengan selamat meski terlambat sehari dari jadwal. Keterlambatan yang sempat membuat mereka was-was menunggu.
Lampu badai, rantang di atas kompor parafin adalah perangkat jadul untuk ukuran sekarang ini. Belum lagi jas hujan kelelawar dipadu dengan sepatu kets yang mestinya lebih cocok untuk sekadar lari sore. Juga ada carrier dengan frame luar, yang ujungnya mencuat tinggi seperti sepasang antena dipadu dengan senter besar yang akan menghabiskan tenaga baterainya hanya dalam semalam.

     Beberapa kerat daging rusa juga ikut meramaikan acara makan-makan itu. Empuk dan gurihnya, benar-benar jauh berbeda dengan daging anoa yang kami cicipi di perjalanan menuju puncak beberapa hari yang lalu. Daging anoa yang begitu alot, kenyal dan baunya itu.. benar-benar tidak terlupakan.
     Sebagai cendera mata yang diberikan oleh salah seorang penduduk, saya mendapat potongan tengkorak dan tanduk anoa yang telah diawetkan dengan mengasapinya di atas perapian dalam waktu yang lama. Tengkorak yang masih tersimpan hingga sekarang.
Base camp selama di desa Padang Raya.

     Rangkaian foto-foto lainnya saya rangkum dalam bentuk film sederhana dengan latar belakang lagu Iwan Fals berjudul 'Rinduku'. Rinduku yang selalu mengusik saat-saat sepi untuk bersama-sama kalian saudara-saudaraku, mengukir jejak langkah baru di puncak-puncak yang lain. Masih terlalu sedikit jejak yang telah kita tinggalkan bersama, untuk menggapai puncak-puncak yang masih begitu banyak.
     Rinduku untuk kalian...
File videonya bisa di download di sini. Ukuran 5,8 Mb, format file: .wmv.

     Jejak kecil yang ditinggalkan Korpala menuju Kambuna di saat itu hanyalah seperti semilir yang berhembus setiap waktu di lebat hutannya. Sama sekali tidak mengusik virginitas Kambuna dengan ekosistimnya yang belum tersentuh keserakahan. Hanya ada tertinggal sekadar penanda psikologis dari  interaksi para pencinta alam itu.

ps : tambahan kisah dari kalian untuk memori yang tidak terangkum di tulisan ini,
saya tunggu untuk mengisi komentar di bawah. Terimakasih.. miss U all..

     Saya melangkah dengan sedikit terseok untuk kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi sawah. Matahari sedikit lagi terbenam sementara tujuan saya masih sekitar tiga kilometer dari tempat sekarang. Dengan perlahan ransel yang berat saya letakkan di samping lalu saya gunakan sebagai sandaran sambil meluruskan kaki yang penat.
      Tidak lama berselang seseorang menghampiri saya. Dengan keramahan khas penduduk desa, dia menyapa. Kami ngobrol kesana kemari, juga menanyakan mengapa saya hanya sendiri dengan beban yang kelihatan berat. Rupanya si Bapak ini sudah mengamati saya sejak tadi. Dengan singkat saya jelaskan bahwa saya sedang merampungkan tugas mengumpulkan sampel batu dari daerah sekitar ini. Saya tunjukkan bukit di depan, Bulu' Paria dimana tadi menjadi tujuan saya dan mendapatkan sampel-sampel batuan yang ada di dalam ransel. Bulu Paria yang mengerucut khas bentuk gunung api, tepat di depan Gunung Bulusaraung bila dipandang dari arah Leang-leang.
      Benar, saya sedang di daerah Leang-leang. Si Bapak masih dengan ramah ngobrol dan bercerita apa saja. Apa lagi ketika saya menunjuk ke Bulu Paria yang mana telunjuk saya sekligus menunjuk Bulusaraung di belakangnya, beliau menjadi semakin bersemangat. Satu kalimat yang begitu terkesan, ketika beliau berkata '..itu Bulusaraung..lihat mi.. itu mi gunung paling tinggi di dunia..coba lihat keliling, tidak ada mi yang lebih tinggi..'
      Begitu polos, begitu tulus tanpa keangkuhan sedikitpun, begitu sederhana dan yakin dengan apa yang diucapkannya. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Penggalan percakapan itu yang kemudian selalu tersimpan di dalam ingatan saya, untuk selalu mengusik keingintahuan saya sehingga si Bapak bisa berkesimpulan demikian.
      Kami berpisah setelah saling bersalaman, si Bapak melangkah menjauh, sayapun melanjutkan langkah ke tujuan semula. Banyak tanya dan jawab yang silih berganti selama bertahun-tahun melintasi benak saya. Juga tak kalah banyaknya wawasan yang terlontar, ketika cerita ini saya sampaikan di kala senda gurau. Namun saya juga yakin masih banyak wawasan lainnya yang belum sempat terlontar untuk dicerna bersama. Wawasan yang terpendam bersama senyap di dalam tafakur.
      Adakah jawab yang lain.?
artikel saya ini
sudah pernah diterbitkan di buletin lembanna online
edisi Januari 2011 dalam label contour
tulisan didedikasikan untuk my great brother Yani Abidin
mengenang saat-saat latihan bersama menggunakan peta kompas
di daerah Leang-Leang dan sekitarnya

     Dua puluh tujuh orang anggota Korpala, di April 1986 menandai penjajakan pertama Korpala Unhas di Gunung Lompobattang. Perjalanan yang tidak terlalu mulus, tim yang meninggalkan kampus di sore hari, harus rela mendarat di Malakaji menjelang tengah malam. Karena tujuan masih jauh, rombongan melangkah perlahan, bergerak mendekati Lembang Bu'ne.
     Menjelang subuh, keberuntungan menghampiri, ada truk yang bersedia membawa rombongan sebagai penumpang tambahan diantara komoditi yang sudah memenuhi bak truk. Dan begitulah, menjelang pagi, kami tiba di Lembang Bu'ne dengan begitu lelah dan ngantuk.
 ada Afras, Bahtiar Baso, Akbar, Hero, Bob Lubis, Abang dan Wahyuddin. Tahulah mengapa ada gitar yang selalu mengikuti kegiatan.. banyak brader yang begitu lahir langsung bisa 'nyanyi'..
 
     Dalam cuaca yang berkabut disertai gerimis yang setia menyelimuti Lembang Bu'ne, rombongan mendekati pos pertama sekitar pukul 08.30 pagi. Keadaan cuaca stabil seperti itu, sepanjang waktu. Hingga sekitar pukul 17.30, barulah sebahagian besar peserta bisa mencapai ceruk di pos 9.
     Puncaknya sebelah mana? Itu, di sebelah itu.. ada telunjuk mengarah ke atas, menunjuk kabut yang berbaur gerimis. Saya memandang ke arah telunjuk itu mengarah, namun sama sekali tidak terlihat apa-apa, selain putih yang kelabu. Ada diskusi singkat, apakah akan melanjutkan menjangkau puncak Lompobattang, sementara sebentar lagi hari menjadi gelap. 
     Sesaat diam, sepertinya beberapa sedang sibuk berdialog dengan diri sendiri. Lalu, dengan beberapa anggukan kecil, seperti sedang mengirit kata-kata, hanya tatapan yang mewakili tekad untuk melanjutkan langkah. Tentu saja karena kondisi daya tahan yang tidak sama dalam menghadapi hujan sepanjang jalan tadi, sehingga tidak semuanya memutuskan untuk melanjutkan menuju puncak.
     Saya sempat mengamati jam di pergelangan tangan, sebelum melangkah. Lima belas menit lagi pukul enam sore. Sekali lagi saya menatap ke arah telunjuk tadi mengarah, berharap ada sesuatu yang bisa dijadikan tujuan di dalam pandangan mata, namun tetap tidak ada yang terlihat.
 
 melintasi tangga batu ini di saat itu terasa begitu mencekam. Gerimis yang tidak kunjung reda, lalu kabut yang begitu tebal betul-betul membatasi pandangan mata. Ada sensasi yang lahir oleh fantasi manakala menikmati kondisi seakan melayang di atas seonggok batu, yang mengapung di hamparan tanpa dasar..
Jemmy, Iwan dan Indra, kapan kita bisa ke tempat ini lagi.?
 dari rombongan yang berjumlah 27 orang, sayang sekali tidak semuanya sempat menjejak hingga ke puncak Lompobattang. Hanya sembilan orang pada saat itu, diantaranya Indra Diannanjaya, Wahyuddin, Iwan Amran, Riri, Jemmy Abidjulu, Nevy Tonggiroh, Bahtiar Baso, Hero Fitrianto dan Yani Abidin.
 beruntung ketika rombongan kecil Korpala tiba di puncak, di sana juga ada rombongan lain yang sudah tiba beberapa saat sebelumnya. Mereka adalah teman-temannya Riri.. tentu saja ramai.. apalagi untuk foto-foto.

     Hanya lima belas menit di puncak, semuanya bergegas turun dan tiba kembali di pos 9 ketika gelap sudah hampir sempurna. Hanya tersisa sedikit bias cahaya di langit yang baru saja beranjak malam. Dan inilah.. penerangan hanya mengandalkan dua atau tiga lampu badai ditambah beberapa senter, yang juga hanya dua atau tiga buah saja.. senter jadul 'cap kepala singa' dengan baterai besar, panjang dan berat.
     Dalam serba keterbatasan pencahayaan, rombongan bergerak perlahan, hingga di mata air sekitar pos 3, sudah sekitar pukul 2 pagi. Rombongan berhenti di tempat ini untuk beristirahat. Menggigil dan tentu saja lapar, begitu terasa. Api yang cukup besar berhasil menyala, dan inilah.. bekal berupa 'nasi' dalam bungkusan plastik dikeluarkan. Sudah begitu dingin, membeku dan keras.
     As'adi begitu cekatan menyiapkan rantang aluminium untuk difungsikan sebagai panci, dan merebus kembali nasi yang sudah membeku itu. Luar bisa sekali, tanpa lauk sama sekali, nasi yang kembali mendidih di dalam panci itu ludes seketika tanpa mengangkat panci dari api. Hanya jari-jari dingin bergantian keluar masuk panci berburu dengan rasa lambung yang sudah begitu kosong.
 
nampang untuk foto dulu, sebelum meninggalkan Lembang Bu'ne
     Tidak semua peserta sempat teringat oleh saya, namun beberapa masih begitu segar di dalam ingatan.. ada As'adi, Allu, Phiphi, Novandi Arisoni, Buyung, Hukman dan ah.. lain-lainnya sudah tidak teringat lagi namanya...
     Dengan rendah hati saya menunggu komentar kalian, saudara-saudaraku, melengkapi cerita jalan-jalan pertama kita yang begitu bersahaja menuju Lompobattang, sehingga kembali memperkaya dan menyegarkan ruang memori saya yang sudah compang camping.
     Miss U all brader..

     Tidak terlalu jelas di dalam ingatan saya, berapa jumlah anggota Korpala maupun simpatisan yang bersama-sama menjejakkan kaki di puncak Bulusaraung waktu itu. Begitu ramai rasanya, apalagi untuk mencapai Desa Tompo' Bulu' di kaki Bulusaraung, harus ditempuh dengan berjalan kaki seharian penuh.
     Rombongan hanya bisa diantar oleh bus milik Unhas sampai di Balocci. Beruntung karena cuaca di bulan September tahun 1985 itu begitu baik dan cerah, sehingga acara bermalam di Balocci berlangsung lancar. Pagi harinya rombongan baru bergerak menuju Tompo' Bulu' dalam kelompok-kelompok kecil yang dibentuk. Menjelang sore, barulah rombongan saya yang anggotanya sekitar 15 orang, sampai di Tompo' Bulu'. Kelompok ini juga yang kemudian tetap bersama-sama bahu-membahu menuju puncak, keesokan paginya.
di bagian depan ada Bahtiar Baso, Bob, Buyung, Kenanga dan Naya. 
di belakanga ada Hero, Afras, Ahmad Negarawan, Hukman, Magdalena dan Sulaeman Qamar. Beberapa lainnya tidak sempat melekat 'nama'nya di memoriku.. maafkan saya brader..

     Mencapai puncak Bulusaraung dari Desa Tompo' Bulu' terasa lebih singkat. Hanya sekitar 2 jam, hampir seluruh peserta sudah mencapai puncak. Jauh terasa lebih melelahkan ketika sepanjang hari kemarin melintasi setapak di kaki bukit dari Balocci ke Tompo' Bulu'.
 beberapa teman dari FK dan FKG turut serta di dalam kelompok saya. Sayang sekali nama-nama mereka tidak cukup lekat di dalam ingatan. Bila ada yang bisa membantu, dengan senang hati saya menunggu koreksinya di halaman komentar di bawah.

      Masih banyak juga teman-teman yang lain yang tidak sempat ter 'cover' dalam cakupan kamera. Katakan misalnya ada Iwan Sumantri ataupun As'adi Abdullah.. karena rombongan dibagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok kecil itulah, sementara jumlah kamera jadul tidak memadai untuk meliput seluruhnya. Meskipun demikian, tanggapan dan co'do'-co'do' kalian tetap saya nantikan dengan senang hati.. :)
      Butuh waktu 2 malam dan 3 hari untuk kembali pulang ke rumah. Kondisi yang tentu saja sudah sangat jauh berbeda dibandingkan sekarang. Saat ini, sarana jalan permanen sudah menjangkau hingga ke kaki gunung, memungkinkan menjangkau puncak Bulusaraung tanpa harus bermalam di lapangan.
     So, adakah yang mau reuni, napak tilas jalur di saat-saat pertama Korpala memancangkan kaki yang kemudian berdiri kokoh hingga saat ini?

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.