Articles by "Korpala"

Tampilkan postingan dengan label Korpala. Tampilkan semua postingan

    Sepertinya gambaran yang ada ini tidak bisa secara umum layak dikatakan mewakili kondisi Lembanna yang sebenarnya. Sisi subyektif yang terlalu kental tentu saja tidak pas untuk bisa dijadikan sebagai tolak ukur menggeneralisir apa yang terasa. Nah penggalan gambar-gambar berikut hanya untuk sebagai pembanding kenampakan itu.
     Akhir dekade 80-an, mengunjungi Lembanna selalu menjadi pilihan, entah dilakukan secara sadar ataupun tidak. Menemui 'keluarga' yang bermukim di sana, selalu memberikan rasa hangat di dalam relasi yang tercipta. Bahkan kehangatan yang didapatkan mungkin saja jauh lebih terasa dibanding mengunjungi keluarga yang sesungguhnya di kampung masing-masing.
     Aura mistik tentu saja begitu kental terasa. Berada di perkampungan tanpa listrik, tanpa sarana memadai untuk ukuran kehidupan orang kota, bahkan tanpa sarana mck. Namun disitulah daya tariknya. Apalagi hangatnya obrolan tentang kearifan-kearifan yang dianut masyarakatnya, yang kadang dilakukan sambil berselimut sarung di depan dapur.
     Di depan dapur tentu saja selalu memberi pancaran hangat. Dari situlah bara dari kayu yang terbakar itu memancar. Air yang telah dijerang lalu berubah menjadi kopi yang hangat. Yang selanjutnya bara itu mematangkan kentang, atau panganan lainnya.
 
Desember 1990 dalam cuaca yang cukup dingin dengan kabut tipis yang hampir setiap saat menyelimuti Lembanna. Tampak depan rumah Daeng Supu' yang selalu menjadi 'markas' untuk setiap kegiatan Korpala di sekitar Gunung Bawakaraeng.

     Denyut kehidupan berjalan lambat. Tidak ada 'deadline' atau tenggat yang begitu mencekam. Semua berputar bersama kondisi alam, apa adanya. Air kebutuhan sehari-hari yang sampai ke rumah, yang mengalir dari gunung, mengalir dengan tenang hingga ke pancuran bambu. Hanya kadang menjadi keruh ketika hujan turun. Karena tidak ada listrik, praktis tidak ada petugas PLN yang menjadi momok untuk suatu kewajiban rutin.
     Bahu membahu, pengunjung dan keluarga di Lembanna menyiapkan kelangsungan hidup. Sebelum menuju Lembanna, dari kota kita akan berfikir untuk melengkapi kebutuhan yang urgen di sana. Mulai dari mencari 'sumbu lampu' untuk pelita, sampai mengusahakan obat-obatan praktis untuk membantu kesehatan 'keluarga' yang sebentar lagi akan ditemui. Tidak jarang ikut menyediakan perlengkapan mengolah kebun, pupuk bahkan nanti turut serta di dalam proses pengolahan lahan yang ada.

Di bagian dalam rumah dengan kondisi yang begitu sederhana. Kelambu tempat tidur yang merangkap sebagai dinding sekat tempat menerima tamu. Di dalam gambar ada bapak Kahar Idu PR-3 Unhas dan Nyonya, untuk kunjungan resmi sehubungan dengan kegiatan Penghijauan Kaki Gunung Bawakaraeng yang dimotori oleh Korpala.

     Lalu sampailah di hari-hari sekarang, ketika kita berkunjung ke Lembanna, tetapi kita tidak mengunjungi keluarga lagi. Hanya merupakan suatu kewajiban saja sehingga kita masih mampir ke sana. Itupun selalu membawa pulang ungkapan kesal, sambil bersungut-sungut mencibir kondisi masyarakat yang sudah tidak seperti yang diharapkan. 
     Harapan yang rasanya kurang rasional. Mengharap mendapat perlakuan seperti yang telah kita alami di era 80-an itu, namun tidak melakukan seperti apa yang pengunjung lakukan di masa itu. Padahal kita masih bisa dan sangat layak bila mengunjungi keluarga dengan sikap dan rasa seperti kerabat hendak bertemu keluarga, di dalam silaturahmi penuh cinta.
     Beberapa hal yang terlewati untuk kita cermati adalah, di hari-hari ini sudah begitu banyak kewajiban yang ditanggung oleh masyarakat Lembanna, yang tentu saja mempunyai deadline. Katakan saja kewajiban membayar rekening listrik, juga kewajiban pembiayaan untuk perawatan saluran air ke rumah-rumah. Belum lagi kebutuhan untuk ber-'halo-halo'. Sesuatu yang tidak ada di waktu dulu. Belum lagi perkembangan kehidupan sekarang mengharuskan mereka untuk menggunakan 'liquid cash' dengan segera. 
     Untuk memasak nasi dan lauk, sudah menggunakan gas dan listrik, bukan kayu bakar yang dikumpul dari hutan seperti dulu. Lalu ada televisi yang mengantarkan kemajuan dan pola hidup, tentu saja dengan sikap hidup materialistis di dalam tayangannya.
 beginilah tampak depan rumah Mama' (Januari 2012). Di bahagian dalam dengan dapur yang bagus, mck yang sangat baik. Tidak ada lagi teriakan histeris ketika pintu belakang terbuka lalu udara dingin menyeruak mengusik kehangatan, ketika seseorang hendak melakukan 'sesuatu' di pancuran belakang. Di ruang tamu tentu saja sudah dilengkapi dengan sofa-sofa yang empuk dengan alas karpet di bawah sehingga kaki tidak perlu menjadi dingin. 
Masih di area dapur, tetap ada perapian dan 'sedikit' tumpukan kayu bakar, bila ada yang rindu untuk sekadar 'bakar-bakar' atau 'hangat-hangat' di depan tungku.

     Lalu, masih adakah kerabat yang akan mengunjungi 'keluarga' di Lembanna, untuk berbagi rasa di dalam hangatnya silaturahmi.?

     Tim kecil Korpala Unhas di tahun 1990 di bawah koordinasi 'Chief' Arifin Jaya, menuntaskan suatu acara 'jappa-jappa' yang begitu bersahaja. Melintasi area sekitar Bulusaraung, telah meninggalkan begitu banyak kenangan indah yang selalu segar dan menggelitik tawa kala mengenangnya.
     Chief Arifin yang memimpin tim dengan begitu kocak, ditimpali simpatisan 'Nurdin' yang senyumnya selalu mengembang. Terus ada Adi dan Bastian yang selalu mempertengkarkan kacamata hitam, yang saya betul tidak tahu kacamata siapa sebenarnya itu. Bahkan saya sempat mengira itu kacamata penjual kacang yang tertinggal sehabis nonton orkes dangdut.
     Epong, Ferry dan Ekend.. yang calla-calla nya segar dan kreatif sepanjang jalan..
 Hilda, Hero, Nasir, Nurdin, Adi Tong, Bastian, Ekend dan Welly
di bagian depan ada Epong, Ferry dan Yuyu
dan di saat inilah tragedi 'senter' itu terjadi.. beberapa saat setelah selesai menunaikan shalat subuh di mesjid, sesuai rencana tim segera melanjutkan perjalanan dengan tujuan kaki gunung Bulusaraung di Desa Tompo Bulu. Setelah tim selesai berdoa dan siap mengayunkan langkah pertama, tiba-tiba 'Chief' menginstruksikan tim untuk segera mengeluarkan senter dari dalam ransel. Langkah diurungkan, senter disiapkan sesuai instruksi.
Tidak lama tim berjalan, fajar yang sudah merekah sejak tadi, menjadi semakin terang. Tim tetap dengan patuh menyenter jalan yang dilalui hingga jam 8 pagi...
 darimana itu Chief dapat cerek warna merah..
oh iya, sebelum tim menuju Bantimala, terlebih dahulu singgah di rumahnya Uche di Kota Pangkep. Ceritanya sih, ngajak Uche untuk ikut di dalam tim. Namun sayang sekali, beliau tidak bisa ikut bersaja rombongan. Tapi cerita sebenarnya sih, Chief lagi bingung cari transportasi dari Pangkep ke Bantimala, sementara malam sudah semakin larut. Jadi hitung-hitung, daripada bikin 'bivak' di pinggir sawah, mending di tempat Uche saja.. 
terimakasih Uche, untuk semua sajian malam itu.. perlahan-lahan celoteh rewel personil tim semakin sayup seiring perut yang semakin penuh..
dan untuk Chief Arifin Jaya, terimakasih brader.. memori perjalanan itu selalu hidup dan indah di dalam kenanganku.
p s:
khusus untuk Bastian, Adi, Ekend, Uche, Yuyu, Hilda, Epong
Ferry atau siapa saja yang terlibat di perjalanan waktu itu,
tolong bantu isi komentar di bagian bawah
tambahkan cerita-cerita lain di sepanjang perjalanan ini
yang tidak sempat terekam di memoriku..
I miss U all...

     Tidak banyak ukm (unit kegiatan mahasiswa) di Universitas Hasanuddin yang dibentuk atas dasar pemikiran ideologis seperti Korpala. Pada umumnya ukm yang terbentuk merupakan media yang ‘sekadar’ sebagai media penyalur minat dalam kesatuan kesenangan yang searah. Simpel, instan, ringan dan renyah.. yang penting giat bersama, beres.
     Di Korpala sendiri ada standar yang ditetapkan untuk setiap anggotanya. Standar mutu dari segi kemampuan teknis yang diperlukan dalam berkegiatan, ditambah kualitas mental yang mendukung kemampuan teknis yang dimiliki. Menemukan nilai-nilai luhur kemanusiaan dalam hubungan interaksi dengan alam dan penciptanya.
     Menemukan kesadaran inilah yang menjadikan manusia-manusia bentukan Korpala sebagai pribadi-pribadi yang unik. Tempaan alam untuk jiwa dan raga setiap penjelajahnya, meninggalkan bekas tersendiri di dalam kesadaran masing-masing.
     Disinilah letak keunikan Korpala sebagai media yang mengantarkan penemuan kesadaran relasi antara manusia, alam dan penciptanya. Sehingga tidak berlebihan bila Korpala disebut sebagai dapur yang mengolah bahan baku menjadi panganan.
     Setiap anggota yang memasuki gerbang dapur ini adalah tepung. Tepung yang harus berfungsi ganda sekaligus sebagai koki. Koki yang memilih dan menentukan akan dijadikan produk akhir seperti apakah tepung tersebut. Bisa menjadi roti, bisa menjadi kue lapis, bisa menjadi apa saja tergantung pada pilihan Sang Koki.
     Sampai di sini, tanggung jawab dari setiap mereka yang telah merasakan hangatnya dapur tersebut untuk selalu menjaga agar dapur itu tetap hangat oleh bara api semangat kemuliaan kemanusiaan. Menjaga bangunannya tetap kokoh, memperkuat pondasi dan tentu saja dari waktu ke waktu menambah dan memutakhirkan perlengkapan di dalamnya.
     Setelah semua kondisi tersebut kita penuhi, selanjutnya mari memanjatkan doa agar semuanya dapat berfungsi dengan baik sesuai harapan. Dari perjalanan panjang sampai saat ini, tetap saja ada ‘tepung’ yang masuk ke dalam ‘dapur’ itu, namun setelah keluar dapur belum menjadi apa-apa. Kita tahu ada saja tepung yang kemudian menjadi busuk, tidak bisa diproses lagi sehingga tersingkir oleh seleksi alam.

artikel ini juga di posting di KOMPASIANA dan BULETIN LEMBANNA

     Setiap pagi, begitu banyak ekspresi entah dalam bentuk sebaris ungkapan, atau beberapa baris puisi, atau bahkan yang paling sering dalam bentuk segenggam semangat kala menyambut hangatnya sang surya. Sementara di hari yang lalu saat senja menjelang atau ketika hari mendekati ujung, setumpuk evaluasi bersama sederet harap untuk menemui tetes embun pertama esok hari. Siklus? Rutinitas? Atau istilah lainnya?
     Sekarang mari kita anggap semua istilah itu tidak ada, sambil melupakan segala teori dan fakta tentang astronomi. Kita mencoba menjadi selugu-lugunya, sehingga menjadi sangat geli sehingga mudah tersulut tawa pada diri sendiri. Ini akan membantu kita untuk mengintip sedikit rahasia yang akan saya gambarkan di balik senja menuju pagi.
     Sebagai manusia lugu, mari kita amati apa yang bergerak di dalam batin kita ketika menyusun rencana setelah evaluasi rampung.? Untuk yang tidak pernah evaluasi dan tidak pernah bikin rencana untuk esok hari juga tidak apa-apa, bisa memulai dengan apa yang ada di benak kita ketika di senja ini kita menyongsong fajar esok? Nah.. ada keyakinan yang tidak kita sadari, mungkin karena sudah terlalu seringnya, adalah besok di waktu pagi matahari akan terbit mengiringi pagi..terbitnya di sebelah timur pula.
      Belum sekalipun kita meragukan, jangan-jangan besok matahari tidak jadi terbit.. atau jangan-jangan terbitnya nanti jam 10 pagi (ukuran jam Indonesia).. atau siapa tau nanti terbitnya di selatan, bukan di timur.. Setiap kita berangkat dengan suatu keyakinan yang sama. Lalu mengapa demikian?
      Karena kita sepakat melupakan ilmu astronomy, maka menjadi sulit menjawab mengapa demikian. Mari kita lihat saja dari sudut keluguan kita, bahwa ini adalah salah satu pelajaran yang terpahat di salah satu bagian alam yang luas ini. Inilah salah satu tuntunan dari Sang Pencipta, untuk kita.
      Pernahkah terbayangkan, untuk selanjutnya kita praktekkan, didalam menjalani kehidupan ini kita bisa seperti kondisi pagi dengan matahari di timur? Entah. Namun dengan sederhana kita bisa bertanya kepada diri sendiri, apakah orang bisa memandang kita seperti kondisi tersebut? Ketika kita berjanji, ketika kita mengatakan sesuatu, ketika kita bersikap terhadap kehidupan ini, orang akan yakin kepada kita seperti keyakinan akan terbitnya matahari esok hari di timur?
      Di sinilah letak rahasianya. Tahukah kita, bahwa di dalam usaha untuk selalu konsisten dalam 'siklus matahari terbit pagi di timur' itu selalu diiringi banyak hambatan, namun bukan berarti hal tersebut mustahil.
Apa yang terucap sama dengan apa yang dilakukan. Setiap janji yang terlontar adalah tanggungjawab yang hanya bisa dihalangi oleh maut. Karenanya ketika orang berurusan dengan kita, maka orang akan merasakan keyakinan yang sama ketika dia yakin akan besok pagi matahari terbit di timur.
      Bila kita telah memilih jalan mencontoh perilaku tersebut dengan konsisten dan yakin, maka bersiaplah untuk menghadapi begitu banyak keajaiban di dalam kehidupan. Bila suatu saat kita terlanjur berucap sesuatu yang kemudian menjadi sulit untuk kita realisasikan, maka Tuhan akan turun tangan untuk merealisasikannya. Tuhan tidak akan rela melihat kita terpeleset menjadi orang yang tidak bisa dipercaya.
      Itulah mengapa, melalui Pesuruh-Nya, Dia memperingatkan kita untuk 'takut' pada kata-kata mereka yang selama ini selalu konsisten menjaga kesesuaian ucapan, janji dan perbuatannya.

also posted at KOMPASIANA

    Tidak ada yang istimewa bila menyebut lembanna di hari ini. Tempat yang sudah begitu lazim dan lumrah, entah sebagai kata yang sekadar mampir di telinga ataupun sebagai tempat yang terlalu sering dikunjungi. Tentu saja dikunjungi dengan maksud yang beragam. Dan tidak terkecuali kita-kita yang di Korpala Unhas melazimkan lembanna dalam suatu rutinitas organisasi.
Gunung BawakaraEng nampak tegar di belakang sana. Jalan lingkar Lembanna yang sudah di aspal mulus, menjauhkan kaki dari paparan debu. (foto:panoramio.com)

     Begitu ramai, hiruk pikuk oleh para pengunjung, Lembanna hari ini tentu saja sudah sangat jauh berbeda dibandingkan dua puluh tahun yang lalu. Banyak nilai dari kearifan lokal yang kemudian bergeser oleh kemajuan pembangunan, kemajuan kesejahteraan secara ekonomi dan tentu saja dengan menyerap sentuhan-sentuhan kebiasaan dari para pendatang. Bisa dikatakan, evolusi kebudayaan dan kemanusiaan bergulir begitu alamiah.
     Dari kelaziman sehari-hari itulah, kemudian tidak banyak lagi yang memperhatikan fungsi semula Lembanna yang merupakan salah satu gerbang menuju 'ButtaToa', sebutan lain untuk Bawakaraeng. Salah satu gerbang yang istimewa, dinamai Lembanna karena fungsinya sebagai tempat 'peralihan'. 'Lembang' yang di dalam Bahasa Makassar berarti  beralih,  menyeberang atau transformasi.
     Ke Lembanna, adalah menuju gerbang untuk mencapai 'ButtaToa'. Di Lembanna, para 'Pelintas' mempersiapkan diri lahir dan batin. Fisik yang tangguh jelas untuk mengarungi tantangan alam Bawakaraeng. Batin yang terasah dan mumpuni, dipersiapkan sesuai tujuan yang hendak dicapai di Butta Toa. Tentu saja, persiapan batin menjadi begitu bervariasi, mengingat begitu beragam maksud dan tujuan 'orang-orang jaman dulu' yang hendak menyambangi Bawakaraeng.
     Dan di Lembanna, segalanya dipersiapkan. Kita akan dengan mudah menjumpai mereka-mereka yang dapat menunjukkan persiapan apa saja untuk mendukung kepentingan para pelintas. Tentu dengan segala kerahasiaan yang terjaga sebagai bagian dari kearifan budaya masyarakat Lembanna. Ada persiapan untuk beribadah, ada persiapan untuk siarah ke makam Wali, ada persiapan untuk menuntut ilmu kanuragan dan kesaktian, dan masih banyak tujuan-tujuan lainnya. Di sinilah terjadi transformasi  pada diri para pelintas, untuk bisa merendahkan hati, menanggalkan segala pantangan demi mencapai tujuan. Transformasi yang didukung dengan penuh keikhlasan oleh masyarakat Lembanna.
     Setelah semua persiapan dirasa cukup, para pelintas akan dilepas untuk mengarungi sendiri peruntungan sesuai tujuannya. Banyak yang berhasil sesuai harapan, juga tentu saja banyak yang gagal tanpa pernah sampai ke sasaran. Apapun hasil yang dicapai sepenuhnya adalah hasil jerih payah para pelintas. Lembanna tetap seperti sediakala, sebagai gerbang awal menggapai cita-cita di Butta Toa. Tidak ada jaminan keberhasilan dari Lembanna dan masyarakatnya. Di sana hanya ada media dan petunjuk, sementara hasil akhir tetap harus diperjuangkan sendiri.
     Inilah Lembanna, gerbang yang sama yang digunakan Korpala Unhas dalam prosesi akhir rangkaian pendidikan dasarnya. Sarat makna yang simbolis di dalam proses transformasi setiap pribadi di Korpala.
     Jadi, mari kita ke Lembanna.
untuk semua saudaraku tercinta
di Korpala Unhas yang telah memperkaya
khasanah cinta di dalam batin saya
 Sisi lain Lembanna. Rumah-rumah yang senakin indah, seiring perkembangan kondisi ekonomi penduduk Lembanna yang semakin baik. Jaringan listrik dari PLN, mensuplai energi untuk geliat informasi yang tidak terbatas...(foto:panoramio.com)
Tulisan ini juga di posting
di Buletin Lembanna Korpala Unhas 

      Mengenang dekade akhir 80-an, mengunjungi Lembanna bukan hanya sekadar untuk mendaki ke Bawakaraeng. Ada getar tersendiri di dalam batin, ketika kebersahajaan penduduk menyambut kita para 'tamu' yang mampir sebelum mendaki. Penerimaan yang tulus, menyambut dengan hangat dalam keramahan yang ikhlas tidak dibuat-buat kepada para tamu yang beberapa diantaranya sudah dikenal baik, setengah kenal bahkan sebahagian besar yang baru berjumpa.
     Tidak peduli, apakah tetamu itu orang baik-baik, orang bermartabat atau rakyat kebanyakan, atau mungkin ada yang pelaku tindak kriminal, semuanya mendapat perlakuan yang sama. Hanya alur kalimat yang sedikit membedakan, bagi mereka yang sudah sering berkunjung ke sana, ditimpali candaan ala kadarnya khas masyarakat pedesaan, dibandingkan dengan mereka yang baru dikenal. Namun itu tidak berlangsung lama, karena keakraban itu akan segera muncul yang segera menjadi kental ketika kaki sudah menjejak ke dalam rumah.
     Kopi yang tersaji adalah hasil proses rebusan air menggunakan kayu bakar. Belum ada listrik sama sekali sehingga untuk mendengarkan siaran radio saja, menggunakan baterai yang telah dijemur berkali-kali dan sudah penyok-penyok digebuk demi mengeksporasi sisa-sisa tenaganya. Lantai rumah yang sebagian tanah dan sebagian lainnya tertutup papan yang sudah termakan rayap di beberapa tempat, menjadi penyangga kehangatan antara tuan rumah dan tetamu yang mampir.
     Ketika sampai saatnya meninggalkan Lembana, tuan rumah akan mengantar dan melepaskan kepergian tetamu dengan berat hati. Banyak pesan agar hati-hati di perjalanan pulang, sambil menitipkan tentengan ala kadarnya hasil dari halaman belakang untuk oleh-oleh orang di kota nanti. Itupun kadang masih desertai rengekan agar tetamu masih mau tinggal lebih lama.
     Ah.. manusia itu menemukan kedamaiannya ketika berinteraksi dengan sesama manusia..
     Di hari-hari belakangan ini, Korpala juga disesaki oleh tetamu, yang bukan hanya tamu domestik tetapi juga tamu mancanegara. Dan belajar dari kearifan lokal yang diwariskan melalui rentang waktu yang tidak sedikit, menjadi kebanggaan tersendiri ketika kita mampu 'melayani' dengan baik, tulus dan ikhlas. tetamu yang sempat mampir ke Korpala. Menjadi tuan rumah yang begitu manusiawi, telah mengetuk sisi nurani kemanusiaan para tetamu, yang mungkin telah lama tidak mereka rasakan. Sisi paling primitif dan paling sering terlupakan atau mungkin tidak sempat muncul di keseharian tetamu kita, adalah 'rasa kesadaran sebagai manusia' yang tak sanggup terlukiskan dengan kata-kata, ketika orang diperlakukan sebagai manusia oleh manusia lainnya.
    
Salam hangat dari D4,.. :)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.