Articles by "wakil 1000 kata"

Tampilkan postingan dengan label wakil 1000 kata. Tampilkan semua postingan

     Setelah sekian lama mendengar gaung yang samar tentang Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup Puntondo, maka hasrat melihat langsung gaung samar-samar itu kemudian terjadi di akhir Desember 2013 lalu. Puntondo adalah salah satu destinasi wisata berkonsep pendidikan pelestarian lingkungan yang terletak di sepotong bentangan bibir pantai Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan.
     Dari jalan poros Takalar lalu berbelok ke arah kanan, menjangkau Puntondo 'terasa' jauh karena jalan raya yang tidak mulus seratus persen. Beruntung, pemandangan perkampungan yang asri, dan pantai yang indah, menghiasi sepanjang jalan itu menjadi pelipur bosan ketika berlambat-lambat di jalan yang tidak mulus.
     Rombongan kami tiba di gerbang Puntondo sekitar setengah lima sore. Aroma laut berhembus ditimpali lembabnya udara bulan Desember mengiringi lelah sepanjang perjalanan. Di Barat terlihat awan hujan sudah menggelayut berat, menutupi matahari sore yang semakin merah. Dan tidak lama kemudian, hujan mendera dengan lebat, tetapi singkat. Hanya sekitar 20 menit, namun sudah mampu mengusir semua gerah yang menyertai.
     Berbekal ponsel android berjudul cross A27 produksi vendor lokal (katanya, tapi tertulis made in china), saya mencoba mengabadikan spot-spot yang saya rasa penting, yang sebagiannya kemudian saya posting di artikel ini. Menyiasati kualitas kamera yang jauh dari harapan profesional, maka gambar-gambar saya edit kembali untuk sekadar mendapatkan sedikit sentuhan keseimbangan sehingga tidak perlu menganiaya mata kita ketika memandangnya.. :)
     Puntondo yang didesign sebagai destinasi wisata, menerapkan aplikasi pemanfaatan energi alternatif di dalam sistem operasionalnya. Ini saya simpulkan ketika menelisik poster-poster yang dipajang di dalam ruangan seminar yang ada di lokasi ini, sambil bertanya-jawab dengan beberapa kru yang merawat kebersihan properti di sana. Prototype menjaring energi alternatif dipajang dengan tampilan yang mudah dicerna bahkan untuk anak level sekolah dasar. Sayang sekali, karena sajiannya hanya mengulas di bagian kulit pengetahuan lingkungan saja, tanpa disertai sajian data yang lebih dalam sehingga bisa dikaji secara terbuka untuk suatu diskusi yang sedikit lebih serius.
     Melihat prototype langsung yang terpancang di halaman sekitar Puntondo, ada satu unit kincir angin, satu unit solar cell dan satu unit water destillation memanfaatkan energi panas matahari untuk mendapatkan air tawar dari air laut. Di situlah letak sayangnya, karena tidak ada data produktifitas dari masing-masing alat tersebut, setidaknya terhadap konsumsi energi yang digunakan untuk operasional Puntondo.
      Gambar di atas adalah kincir angin pembangkit listrik, solar cell lalu alat destilasi air laut. Sebagai pusat pendidikan lingkungan hidup, sebaiknya bukan hanya menyasar pengunjung selayang pandang dengan informasi pengetahuan umum, tetapi mestinya juga bisa membuka wawasan pengunjung yang lebih kritis dengan data-data ilmiah. Sehingga slogan pelestarian lingkungan bukan hanya menjadi slogan sarat semangat namun miskin argumen data.
     Sebagai contoh saja, berapa kapasitas produksi listrik (perhitugan detail) dari dua sumber (angin dan matahari) yang dimiliki, produktifitas dan efektifitas beserta kendala-kendala sosial budaya yang menyertai. Atau bagaimana daya tampung bunker air tawar sehubungan produksi alat water distillation ditambah tapungan air hujan, rasio daya tampung bunker tersebut terhadap kebutuhan konsumsi air di musim kemarau dan musim hujan, dan banyak fokus-fokus data lainnya yang bisa disajikan empiris. Sekadar catatan, bahwa kehadian kami di musim penghujan itu setidaknya memberi keleluasaan untuk menggunakan air tawar yang selalu sulit bila mengunjungi Puntondo di musim kemarau.
     Bila data-data yang tersaji menjadi lebih lengkap hingga ke hitung-hitungan nilai keekonomian bila mengaplikasikan instalasi energi alternatif itu, disertai kondisi sosio kultur yang ada, makan akan menjadi bahan diskusi yang hangat mengisi malam sambil menikmati nyanyian ombak di teras restoran.
     Salah satu yang menarik dari arsitektur di Puntondo, adalah menerapkan konsep rumah panggung khas Sulawesi Selatan, di tengah rimbunnya pepohonan di kawasan Puntondo. Bila imajinasi kita bisa sedikit melebar, maka akan terasa kita sedang berada di atas perkampungan rumah pohon. Pikiran saya seketika menjadi sedikit konyol, jangan-jangan efek itu yang memang sengaja diharapkan dari design yang ada, sehingga kita bisa flasback menelisik rasa yang terbawa di dalam 'gen' kita tentang suasana ketika kita belum berevolusi secara sempurna menjadi spesies yang seperti sekarang ini.
     Setiap unit bangunan saling terhubung dengan 'path' melayang seperti terlihat di gambar atas. Begitu memasuki ruang informasi dan melintasinya, maka path kayu sudah menunggu, menuju restoran, ruang seminar, atau perpustakaan.. atau akan langsung menuju bungalow dan asrama.
 bagian dalam ruang seminar berbentuk auditorium yang di dinding-dindingnya dipenuhi poster-poster idealisme lingkungan hidup beserta aset yang diaplikasikan di destinasi wisata Puntondo.
     Salah satu spot yang nyaman di tempat ini adalah beranda yang mengelilingi restoran. View yang langsung ke arah laut akan segera memanjakan mata tentang pemandangan laut yang indah. Arsitektur tradisional yang diaplikasikan di semua spot bangunan, juga menjadi penggelitik rasa yang lain di semilir angin laut yang hampir tidak berjeda.
      Pagi berikutnya, saya berkeliling pantai, melihat tanaman bakau dan gerbang cantik yang terbuat dari bambu menuju ke area mengrove. Beberapa gambar saya ambil dari tempat itu, sambil berimaginasi seandainya perawatan dan budidaya di tempat itu bisa lebih intensif. Tentu kenampakannya bisa jauh lebih lebat dari yang ada sekarang ini.
     Hanya jalan berkeliling, menikmati hangatnya matahari pagi. Sayang sekali tidak berkesempatan menyaksikan langsung spot pengembangan rumput laut dan spot terumbu karang seperti yang saya lihat terpajang di poster-poster di ruang seminar kemarin.
Beberapa view dari sudut lain di tepian pantai sekitar Puntondo
 Gambar bawah adalah salah satu fakta tentang buruh tani rumput laut.
Diskusi tentang ekosistem, bukan hanya tentang energi terbarukan dan bagaimana memanfaatkannya, tentang efek rumah kaca dan pemanasan global, apalagi tentang mengejek tentang ketidak pahaman sebahagian besar populasi manusia mengenai ekosistem yang lestari. Tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana ekosistem mendukung kesejahteraan manusia secara nyata, bukan dalam hitung-hitungan teori dan statistik, apalagi dalam pepatah-pepatah politis praktis.
     Dan akhirnya, harapan sederhana saya semoga Puntondo bisa tetap eksis di dalam idealisme pelestarian lingkungan yang bisa memberi dampak nyata terhadap kualitas masyarakat sekitarnya. Sesuatu yang pastinya hanya 'bagian kecil' dari rencana awal ketika Puntondo dirintis hingga terealisasi.

     Dekade delapan puluh hingga sembilan puluhan, Mesjid Ikhtiar Unhas yang terletak di kampus lama Jalan Sunu Makassar, menjadi basis bermacam kegiatan sosial untuk masyarakat sekitarnya. Penggerak utama kegiatan ini siapa lagi kalau bukan mahasiswa-mahasiswi yang memilih jalan dakwah dalam menyalurkan energi aktifis di kesehariannya.
     Beragam pelatihan diselenggarakan di halaman mesjid yang lapang, hingga ke ruang-ruang pertemuan yang terintegrasi dalam lingkup area mesjid. Nafas dakwah yang elegan, dengan pemahaman intelektual yang memadai, mampu mewadahi beragam bentuk pemikiran yang berkembang. Setiap perbedaan bukan menjadi materi untuk berpecah belah, melainkan untuk memperkaya pemahaman di dalam menggali lebih dalam setiap aspek pemikiran yang muncul.
     Maka sungguh suatu keindahan, ketika pola laku keberagamaan di sana di waktu itu, begitu bersahaja di dalam membaurkan setiap pemahaman individu yang bergaul di dalamnya. Belum ada patron yang cenderung sempit, mengkotakkan pemahaman beragama menjadi model 'arab' seperti yang berkembang pesat belakangan ini. Tidak ada pandangan bahwa model arab adalah model yang paling super, paling beriman, paling berhak atas surga, sehingga memandang sinis bahkan jijik kepada sesama yang tidak bemodel arab. Sungguh suatu kerinduan bisa berada di komunitas yang seperti itu. Komunitas Mesjid Ikhtiar Unhas di kampus lama Barayya.
     Salah satu dari kegiatan sosial untuk mengembangkan kualitas penggiat Ikhtiar saat itu, adalah adanya Kelompok Penulis Ikhtiar. Kopikh demikian singkatannya, melakukan pelatihan kader dalam suatu workshop pelatihan jurnalistik. Tidak tanggung-tanggung, menjaring mahasiswa-mahasiswi hampir dari seluruh Fakultas yang ada di Unhas, pelatihan dilangsungkan selama enam hari di bulan September 1986.
      Beragam materi dijejalkan untuk dipahami. Mulai dari masalah teknis tulis menulis sampai dengan masalah idealisme jurnalis, dipaparkan dengan gamblang oleh para instruktur yang sehari-harinya memang bergelut di dunia jurnalisme. Diskusi, mengerjakan tugas on site sampai bekar pekerjaan rumah memadati kegiatan selama seminggu itu.
suasana pelatihan yang diselingi diskusi-diskusi hangat.
salah satu moment yang begitu bersahaja, dinner time. Menyantap suguhan panitia yang begitu sederhana justru melahirkan keakraban diantara peserta yang berasal dari berbagai jurusan di Unhas.
beberapa instruktur yang mengarahkan workshop, bertingkah kalem ketika gabarnya hendak diabadikan.
di akhir rangkaian panjang pelatihan, beruntung saya dipilih menjadi peserta terbaik kedua di dalam pelatihan itu. Tawaran menjadi wartawan di salah satu media cetak ternama di Makassar saat itu, dengan kesadaran penuh, saya tolak.
Situasi bernegara tidak memungkinkan menerapkan idealisme jurnalis yang 'jujur dan bebas' di dalam aplikasi aktifitas jurnalistik keseharian. Negara sangat dominan, mengontrol bagaimana media massa menampilkan wajahnya ke publik.

     Salah satu materi yang diajarkan adalah membuat cerita pendek. Untuk urusan cerpen itu, rupanya beberapa instruktur menjadikan cerpen yang saya buat sebagai penunjang sehingga bisa menjadi terbaik kedua. "Ada keberanian di dalam ide yang disampaikan. Sesuatu yang sangat jarang dimiliki oleh Jurnalis sekarang ini." begitu kata salah seorang dari mereka. 
     Pernyataan yang sangat jujur juga, yang menggambarkan bagaimana galau hati para Jurnalis saat itu yang harus patuh pada rambu-rambu rezim Orde Baru yang sedang berkuasa. Nah, cerpen yang saya buat waktu itu berjudul "Kalut", bisa dibaca kembali di link ini.
 foto bersama Prof. Anwar Arifin setelah penutupan pelatiha.
saat-saat istirahat diisi dengan senda gurau yang rasanya tidak berujung. Banyak tawa di dalam kebersamaan selama pelatihan, menjadi keharuan yang menyesakkan, ketika pelatihan harus berakhir sehingga 'ngumpul' selama seminggu itu disudahi.
     Banyak nama, yang tidak terekam baik di memori saya ketika melihat arsip gambar-gambar di atas. Karenanya, saya sangat menunggu bantuan teman-teman yang kebetulan mengenal, bisa membantu menggali kesegaran ingatan di momen seminggu selama di Mesjid Ikhtiar Unhas kampus lama.
     Tentu saja, akan menjadi sangat indah seandainya ada kesempatan berkumpul kembali, untuk sekadar merajut kembali silaturahmi dari para penulis yang pernah berkiprah di Ikhtiar.

     Entah apa daya tarik pertemuan ilmiah tahunan IAGI yang diselenggarakan di tahun 1985 itu, sehingga menggelitik minat begitu banyak mahasiswa Geology Unhas untuk mengikutinya. Hajatan para ahli geology di Indonesia itu diselengarakan oleh Universitas Trisakti. Acara yang menurut saya sangat megah itu, mulai dari sesi pembukaan malam hari hingga seminar selama dua hari selanjutnya, dipentaskan di Hotel Indonesia Jakarta.
     Acara pembukaannya oleh menteri Pertambangan dan Energi (waktu itu) berlangsung malam hari. Di kertas undangan tertera bahwa menghadiri acara dengan mengenakan batik. Jadilah, saya harus tergopoh-gopoh cari kemeja batik, karena tidak mempersiapkan dari Makassar. Dapat kemeja, tidak keburu biayanya untuk beli sepatu kulit. Jadinya, kostum saya padankan dengan sepatu kets. Mantap.

      Begitu riuh seremoni pembukaan itu. Beruntung, sempat mengabadikan gambar bersama bapak Kusumadinata dan Sampurno. Beberapa yang lainnya tidak keburu sempat, oleh ramai dan sibuknya mereka-mereka yang baru sempat bertemu malam itu setelah terpisah jarak dan waktu yang lama.
      Salah satu yang menarik di ruangan itu, patung es berbentuk empat huruf iagi. Untuk waktu itu, kreasi yang nampak itu sudah mengundang decak kagum dari setiap yang mengamatinya. Teknologi presentasi masih belum berkembang seperti sekarang. Belum ada atraksi laser, pampangan layar lebar dan asesori teknologi terkini.
      Dan ini dia. Dinner setelah semua basa-basi pembukaan dari para pihak yang berkepentingan. Sekitar pukul 10 malam, acara tuntas. Rombongan mahasiswa Unhas yang 18 orang itu semuanya menuju ke Palmerah Barat. Selama acara iagi dilangsungkan, kami semua ditampung di kediaman bapak Chaeruddin Rasyid di Palmerah itu. Ramai sekali.
 
     Selama di Palmerah, beragam kekonyolan menimpa para 'rusa masuk kampung' itu. Mulai dari yang hilang di kota dan tidak tau bagaimana pulang ke Palmerah, sampai yang bisnya penuh horor karena disatroni rampok. Ngeri-ngeri sedaplah pokoknya. Prihatin, sekaligus geli mewarnai setiap dering telepon yang mengantarkan kabar dari para rusa itu.
     Selain kekonyolan yang hangat, yang sudah lampau pun selama perjalanan kemarin masih menjadi bumbu untuk saling ejek di saat istirahat. Cerita selama di kapal Kambuna masih menjadi topik yang hangat. Begitu juga cerita-cerita ketika transit di Tanjung Perak Surabaya, masih selalu menggelikan.
      Selama sesi seminar, terus terang tidak banyak yang saya mengerti. Saya mencoba memaklumi saja, karena ini adalah hajatannya para ahli, sementara saya ini masih mahasiswa, yang nota bene bukan yang bureng. Tidak mengerti apa yang dipaparkan oleh para ahli itu menjadi konsekwensinya. Namun tentu saja untuk teman-teman saya yang 'sangat' rajin belajar, terlihat begitu mengasyikkan mengikuti sesi seminar itu.
     Jadilah, stand pameran yang ada di sekitar ruangan utama menjadi sasaran nongkrong. Salah satunya adalah milik Trisakti sendiri yang banyak menggelar buku-buku dan kumpulan makalah. Selain benda-benda cetak itu, tentu saja mahasiswi-mahasiswi penjaga stand juga menjadi daya tarik lainnya untuk sesi 'di luar ruang seminar'.
      Dan ini dia, sesi lunch. Satu hal yang menarik, adalah tabiat para geolog itu, meski sudah hidup mapan dan berhadapan dengan makanan yang melimpah, tapi masih cenderung berebutan mengisi piring di tangan. Seperti ada naluri untuk berlomba di situ. Tentu saja tidak semuanya, karena ada juga yang sudah bisa jaim.
      Di pintu keluar Hotel Indonesia, ada teman yang begitu ngebet untuk bisa berfoto bersama dengan turis asing. Mungkin karena tuis itu cenderung pendek, sehingga memacu semangat untuk menakar tinggi badan di samping mereka. Tidak lupa, berpose di depan mobil 'mewah' waktu itu, yang entah milik siapa. Pokoknya narsis dah..
      Dan begitulah, banyak cerita konyol lain yang tidak sempat saya ingat untuk dituliskan di sini. Karenanya, kembali saya mengajak teman-teman untuk melengkapi cerita saya di atas, dengan menambahkan komentar di bawah.
note: untuk melihat gambar dalam ukuran besar,
arahkan mouse ke atas gambar dan klik. 

     Matahari baru saja sedikit condong ke barat. Panasnya masih begitu menyengat menembus topi sampai ke ubun-ubun. Namun suasana lebaran 2013 bersama keluarga yang tersebar di Bellae dan sekitarnya terasa jauh lebih hangat dibanding sengatan matahari siang itu. Keluarga yang secara turun temurun, menghuni kampung Bellae yang eksotis, dikelilingi tower-tower karst yang kokoh. Bellae, secara administratif terletak di kecamatan Minasa Te'ne Kabupaten Pangkajene Kepulauan, Sulawesi Selatan.
     Siang itu, saya bermaksud mengunjungi salah satu situs arkeology yang ada di Bellae, situs 'Leang Camming Kanang'. Menarik mengunjungi situs ini, karena terletak di bukit sebelah timur Bellae yang berhadapan dengan jajaran bukit-bukit karst yang memanjang di sepanjang sisi Utara Bellae. Rupanya, sebahagian terbesar situs uang ada di Bellae itu, terletak di sisi Utara ini.
Lukisan telapak tangan yang terdapat di langit-langit Leang Camming Kanang.
Sarana tangga kayu yang terletak di dasar bukit, sebagai entry point yang membantu pengunjung untuk menjelajah ke setiap sudut gua.
       Bertani menjadi mata pencaharian pokok penduduk Bellae. Hamparan sawah di kaki tower-tower karst, menyajikan pemandangan yang begitu indah. Sungguh menjadi suatu suguhan yang mengenyangkan mata, menyaksikan komposisi pahatan alami yang menawan.
 hamparan padi yang menguning begitu menyejukkan kaki bukit dan tower karst yang mengelilingi Bellae.
 beberapa sisa batu kapur yang lebih resisten, tertinggal menghiasi hamparan sawah yang datar.
 kegiatan setelah panen (gambar diambil saat panen setahun yang lalu).
bernasnya padi Bellae.
      Tanaman keras yang cukup menonjol dalam sekilas pandangan mata adalah kelapa dan lontar. Dua jenis palma itu memberi aksen tersendiri di tengah lukisan alam yang mewarnai Bellae.
 
 bercengkerama di teras rumah panggung, dalam hangatnya silaturahmi dengan masyarakat Bellae menjadi semakin asyik oleh indahnya hamparan pahatan alam Bellae.
 hamparan sawah yang menguning di Bellae. View dari mulut gua Leang Camming Kanang
     Dan jalan-jalan siang hingga sore itu betul-betul membuat mata kenyang menikmati keindahan alam Bellae. Beberapa situs lainnya, yang tersebar banyak di sisi Utara Bellae, sudah menunggu kesempatan lain untuk dikunjungi. View dari sudut yang lainnya, pastinya menjanjikan sajian keindahan yang lebih menawan.

note: untuk melihat gambar-gambar dalam ukuran besar, pointer mouse ke atas gambar yang ada lalu klik.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.