Articles by "Cerpen Negeri Naga"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen Negeri Naga. Tampilkan semua postingan

     Suma In adalah kembang desa Pak I San Cung. Wajahnya cantik sekali. Tidak mengherankan jika banyak pemuda yang tergila-gila padanya. Banyak pemuda yang mengimpikan bersanding dengan Suma In yang jelita. Tidak jarang ada yang mengigauka gadis cantik itu dalam setiap tidurnya.
     Puluhan lamaran dengan beraneka macam perhiasan emas intan diserahkan kepada orang tua Suma In. Namun semua lamaran itu ditolaknya dengan cara halus. Alasannya, Suma In belum mau kawin. Masih senang membujang.
     Namun sebenarnya bukanlah demikian. Suma In memang tidak pernah merasa cocok dengan pemuda-pemuda yang melamarnya. Karena sebenarnya Suma In sudah mempunyai pilihan sendiri. Seorang pemuda yang tampan dan lemah lembut, meskipun tidak dapat dikatakan sebagai orang kaya.
     Siang malam Suma In menantikan lamaran pemuda idamannya. Namun meskipun hubunganmereka sudah berlangsung sekian bulan, bahkan sekian tahun, ternyata pemuda idamannya itu belum juga mengirimkan surat lamaran. Tentu saja hal itu membuat hati Suma In sedih.
     Setiap hari Suma In selalu mengurung diri di dalam kamarnya. Jika malam sudah larut, Suma In selalu merenungkan pemuda idamannya. Wajahnya selalu dikenangnya. SEnyuman pemuda yang sangat memikat itu setiap dikenangnya sering membuat ia tersenyum sendiri.
     Pemuda yang menjadi idaman Suma In adalah Coh Peng. Seorang pemuda yang kekar, dengan ketampanannya yang memikat. Senyuman manis selalu tersungging di bibirnya yang merah mirip bibir seorang gadis. Pipinya selalu kemerahan setiap kali Suma In menyindirnya.
     Tetapi mengapakah kau wahai pria pujaanku? Mengapa sampai sekarang kau belum juga melamarku? Apakah kau tidak mencintaiku? Dengarlah jeritan hatiku ini..
     Semula orang tua Suma In tidak mengetahui, bahwa anak gadisnya ternyata merindukan seorang pemuda miskin yang bernama Coh Peng itu. Namun akhirnya mereka tahu juga. Yakni ketika orang tua Suma In, yang kepala kampung Pek I San Cung, si Jenggot Putih Lo Ban, secara tidak sengaja melihat Suma Inmemandangi gambar seorang pemuda tampan yang juga dikenalnya.
     Si Jenggot Putih Lo Ban tahubetul gambar siapa yang dipandangi putrinya itu. Coh Peng memang seorang pemuda yang terkenal halus budi pekertinya. Banyak disukai orang. Tak pernah menyakiti hati teman-temannya. Dan yang lebih menonjol lagi, Coh Peng adalah seorang pemuda yang ringan tangan dan suka membantu siapa pun yang memerlukan bantuannya.
     Sudah banyak jasa Coh Peng dalam membantu pemerintahan di Pek I San Cung. Si tua Lo Ban memang pernah berangan-angan, alangkah bahagianya kelak jika ia mempunyai menantu seperti Coh Peng itu. Tetapi tidak pernah terlintas dalam benaknya, untuk mengambil Coh Peng sebagai menantunya.
     Hal itu dikarenakan Coh Peng bukanlah orang yang kaya. Padahal, si Tua Lo Ban siang malam berangan-angan agar putrinya yang cuma satu-satunya itu kelak mendapatkan jodoh seorang pemuda tampan yang kaya raya. Dengan demikian pamor keluarganya tidak menjadi merosot. Bahkan akan dapat menjulang di mata masyarakat Pek I San Cung.
     Oleh karena itu, ketika dilihatnya putrinya selalu memandangi gambar Coh Peng, hati si Jenggot Putih Lo Ban sedikit banyak merasa tidak senang. Namun apa daya, ia tak pernah berhasil membujuk putrinya untuk menerima keinginan para pemuda kaya yang telah melamarnya.
     "Bagiku, bukan harta benda yang dapat membahagiakanku. Hanya perasaan cinta itu saja yang dapat membahagiakanku. Oleh karenanya, aku hanya akan menerima pemuda yang benar-benar mencintaiku, dan yang paling kucinta. Jangan ayah memaksaku untuk kawin dengan pemuda yang tidak kucintai". Selalu begitu jawaban Suma In jika ayahnya memaksakan kehendaknya.
     Tentu saja si Jenggot Putih Lo Ban tidak berani lagi memaksa putrinya yang sangat dicintainya itu. Dengan demikian terpaksa ditolaknya lamaran pemuda-pemuda yang datang ke rumahnya.
     Perlu diketahui bahwa meskipun Suma In menggunakan She Suma, namun sebenarnya dia aalah putri tunggal Jenggot putih Lo Ban. She Suma disematkan untuk nama gadis itu, hanyalah merupakan cara si Jenggot Putih Lo Ban untuk mengenang jasa dan utang budinya kepada seorang sahabat karibnya yang bernama Suma Hong.
     Pada saat Lo Ban masih bekerja di suatu perusahaan pengawalan barang, Piauw Kiok, dia pernah berutang budi kepada sahabatnya yang bernama Suma Hong. Itu terjadi ketika ia mengawal suatu barang, kemudian di tengah jalan dibegal oleh sekawanan perampok. Hampir saja ia menemui ajal ketika mempertahankan barang kawalannya itu.
     Untunglah sahabatnya, Suma Hong, datang membantunya. Bahkan sahabat karibnyaitu rela mengorbankan nyawanya demi keselamatannya. Sumo Hung gugur dalam pertarungan melawan kawanan perampok itu. Namun demikian lebih dari separuh kawanan perampok itu dapat ditumpas oleh Suma Hong, sehingga sisanya dengan mudah dapat dibereskan oleh Lo Ban.
     Sejak itulah Lo Ban merasa kehilangan seorang sahabat karib yang dianggapnya sebagai saudara kandung. Kecintaannya kepada sahabatnya itu dibuktikannya dengan menyematkan she sahabatnya, she Suma, untuk nama putrinya, Suma In.
     Di sebuah tempat yang agak terpencil, ada sebuah gubuk yang tidak terlalu besar. Penghuni gubuk itu adalah seorang pemuda tampan yang sangat dicintai Suma In, yakni Coh Peng. Ia sedang merenungi nasibnya yang buruk. Hampir semua waktu diganakannya untuk merenung.
     Sebenarnya Coh Peng ingin sekali melamar gadis pujaannya. Namun, niatnya itu dibatalkannya sendiri. Hal itu bukanya karena ia merasa rendah diri. Sama sekali tidak. Coh Peng yakin lamarannya akan diterima gadis itu. Karena Coh Peng tahu benar, Suma In selalu menolak lamaran pemuda lain. Tentu saja disebabkan karena dalam hati Suma In hanya terisi dirinya saja. Selain Coh Peng, tak ada pemuda yang dicintai Suma In.
     Namun kenapa Coh Peng tidakmau melamar gadis pujaannya yang sangat dicintai dan juga mencintainya itu? Tidak seorang pun yang tahu. Bahkan Suma In yang siang malam selalu merindukan kedatangan pemuda itu, juga tidak tahu. Kecuali Coh Peng, tak ada orang kedua yang mengetahui persoalannya.
     Sebenarnya besar hasrat Coh Peng untuk melamar Suma In. Namun, apalah artinya mengenyam kebahagiaankalau hanya singkat sekali? Bahkan setelah itu akan menyebabkan orang lain yang justru yang paling dicintainya menjadi berduka seumur hidupnya. Apakah arwahnya di alam baka nanti dapat tenteram?
     Tidak! Pasti tidak!
     Arwahnya nanti pasti akan merana selamanya. Jika dilihatnya Suma In hidup sengsara, tentu hatinya pun akan bersedih pula. Apalagi jika disadarinya bahwa ia tak mampu berbuat apa-apa untuk menghilangkan kesedihan Suma In.
     Pikirannya itu selalu berkecamuk di benak Coh Peng. Soalnya pemuda itu sadar dan tahu betul, bahwa umurnya tidak akan lebih dari satu tahun lagi. Kelak, menjelang tahun baru, ia sudah harus meninggalkan dunia fana ini.
     Giam Lo Ong telah memberitahukan kepadanya, bahwa menjelang tahun baru yang akan datang, nyawanya akan dicabut. Berarti, ia sudah harus berhenti menjadi manusia. Tempat selanjutnya adalah di dalam tanah yang pengap dan beku. Bukan manusia hidup lagi yang menjadi temannya, melainkan setan iblis atau malaikat. Sedang sebagai teman tubuhnya yang terbaring kaku di dalam tanah adalah semut-semut atau binatang dalam tanah saja. Lain tidak !
     Ya, oleh karena itulah dia tidak berani melamar Suma In. Dia takut, jika dia mati nanti, Suma In akan berduka. Kemudian tubuhnya akan menjadi kurus kering. Coh Peng tidak sampai hati melihat keadaan Suma In yang demikian. Oleh karenanya, lebih baik tidak melamar Suma In, daripada nanti Suma In merasa sedih jika ia mati.
     Coh Peng lebih rela menderita siksaan batin daripada nantinya Suma In yang menderita. Apakah artinya hidup bahagia yang hanya sesingkat itu? Dan terlebih lagi, kebahagiaan yang singkat itu nantinya pasti akan digantikan dengan duka lara yang tak berkesudahan.
     Sayang sekali, tindakan Coh Peng yang bermaksud baik itu justru membuat gadis yang sangat dicintainya menjadi berduka. Karena pemuda yang dicintai dan dirindukan siang malam tidak juga datang melamar. Suma In menjadi sedih sekali. Kemudian, ternyata gadis itu jatuh sakit. Dalam setiap tidurnya gadis itu selalu mengigau. Memanggil-manggil nama Coh Peng, kekasih hatinya.
     Si Jengot Putih Lo Ban tentu saja merasa kebingungan. Suma In baginya adalah harta yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu, si Jenggot Putih Lo Ban merasa khawatir, jangan-jangan karena berduka anak gadisnya meniggal dunia. Oleh karena itu, si Jenggot Putih Lo Ban kemudian menyuruh segenap pembantunya untuk memanggil beberapa orang tabib pandai. Namun tak seorangpun dari tabib itu yang mampu mengobati penyakit putri tunggalnya.
     Tiba-tiba si Jenggot Putih Lo Ban menyadari, bahwa tak mungkin penyakit anaknya dapat disembuhkan oleh orang lain. Selain orang yang selalu dirindukan putrinya. Ya, Coh Peng lah yang memegang peranan penting.
     Oleh karenanya, si Jenggot Putih Lo Ban memutuskan untuk mengambil Coh Peng sebagai menantunya. Biarlah ia mempunyai menantu yang miskin. Baginya, sekarang, tidak lagi menjadi soal. Asal Suma In yang sangat dicintainya dapat sembuh dan kemudian hidup bahagia, itu saja sudah cukup. Si Jenggot Putih Lo Ban akhirnya terbuka mata hatinya, bahwa cinta memang hebat sekali kekuatannya.
     Demikian, Coh Peng kemudian dipanggil datang ke rumah si Jenggot Putih Lo Ban.
     Ketika memasuko rumah yang megah itu, Coh Peng berdebar-debar. Sebentar lagi ia akan dapat melihat gadis pujaan hatinya. Ada perasaan takut yang menyusup ke dalam sanubarinya. Namun itu  hanya sekilas saja. Kemudian digantikan oleh api cinta yang hangat.
     Ternyata benar apa yang diduga si Jenggot Putih Lo Ban. Yang dapat menyembuhkan penyakit putrinya adalah Coh Peng. Begitu Coh Peng berhadapan dengan Suma In, seketika kekuatannya seperti sudah pulih seperti sedia kala. Dan Suma In langsung berseri-seri, begitu ayahnya mengatakan bahwa dalam waktu dekat Suma In akan dinikahkan dengan Coh Peng. Tentu saja hati gadis yang sedang dimabuk cinta itu girang sekali.
     Cuma sayang, tidak demikian halnya dengan pemuda Coh Peng. Hati pemuda itu semula memang bahagia. Namun jika diingatnya bahwa umurnya tidak akan lebih dari satu tahun bahkan tinggal beberapa bulan lagi, hatinya menjadi sedih sekali.
     Namun kesedihannya tidak diperlihatkannya kepada Suma In. Coh Peng khawatir, jangan-jangan kekasihnya itu akan ikut sedih. Dibiarkannya Suma In menikmatikebahagiaannya.
     Namun betapapun juga Suma In dapat melihat kesedihan di hati Coh Peng, yakni ketika pernikahannya dengan Coh Peng telah berlangsung beberapa bulan.
     "Suamiku, kulihat kau selalu berduka dan bermenung saja. Apa sebenarnya yang kau pikirkan?" Tanya Suma In pada suatu hari.
     Coh Peng gelagapan. Dia tak dapat menjawab pertanyaan istrinya.
     "Suamiku, kini kita sudah menjadi suami istri, maka seharusnya kesulitan kita pecahkan bersama. Kesulitanmu aku wajib ikut memecahkannya. Demikian juga halnya dengan kesulitanku. Oleh karena itu, katakanlah keadaku, apa yang sebenarnya yang kau pikirkan." Suma In berusaha mendesak terus, namun Coh Peng tetap berusaha merahasiakan kesedihannya.
     "Suamiku, jika kau tidak mau memberitahukan kepadaku kesulitan yang sedang kau pikirkan, maka alangkah baiknyajika kau tidak usah melihatnya."
     Terpaksalah Coh Peng memberitahukan kesulitannya kepada istrinya. Dikatakannya bahwa menjelang tahun baru nanti, jadi tidak lebih dari tujuh hari lagi, dia akan meninggal dunia.
     Mendengar penjelasan suaminya, alangkah terkejutnya hati Suma In.
     "Dari mana kau tahu tujuh hari lagi kau akan mati?" tanyanya.
     "Giam Lo Ong sendiri yang memberitahukannya kepadaku. Aku telah ditakdirkan mati muda. Tujuh hari lagi, aku akan meninggalkanmu. Itulah yang membuatku bersedih," jawab Coh Peng.
     "Tidak mungkin...!"
     "Giam Lo Ong pernah datang kepadaku. Aku tidak membohongimu." Tentu saja hal itu membuat Suma In sedih sekali. Demikian juga dengan  si Jenggot Putih Lo Ban. Beberapa ahli nujum dipanggil untuk memasang tangkal, agar nyawa Coh Peng dapat diselamatkan. Namun apa daya, kekuatan manusia yang betapapun hebatnya, tidak mungkin mampu merintangi tindakan Giam Lo Ong.
     Tujuh hari kemudian, Coh Peng benar-benar meninggal dunia!
     Suma In menangis sedih sekali. Dipeluknya jenazah suaminya, dan dimandikannya dengan air matanya. Oleh karena terlalu hebatnya kesedihan Suma In, sukmanya pun meninggalkan raganya.
     Sukma Suma In melihat berkelebatnya Siam Lo Ong yang menggandeng sukma suaminya. Cepat Suma In mengejarnya sambi berteriak-teriak menyuruh Giam Lo Ong berhenti. "Tunggu, tunggu aku! Aku ikut denganmu!" teriak Suma In. Giam Lo Ong yang sedang menggandeng sukma Coh Peng terpaksa menghentikan langkahnya.
     "Kenapa kau mengejarku?" tanya Giam Lo Ong kapada Suma In.
     "Jika kau mencabut nyawa suamiku yang sangat kucintai, maka lagih baik kau cabut juga nyawaku. Aku tak mau berpisah dari suamiku. Sampai matipun aku akan tetap mengikutinya," kata Suma In.
     "Anak perempuan, ketahuilah bahwa memang sudah tiba waktunya bagi Coh Peng untuk mengakhiri masa hidupnya di dunia. Sedangkan kau belum ditakdirkan untuk mati. Oleh karena itu, kau harus kembalike dunia lagi. Teruskan hidupmu di dunia, kelak jika sudah tiba saatnya untuk mati, kau akan dapat berkumpul lagi dengan arwah suamimu. Kembalilah kau sekarang."
     "Tidak! Aku tak mau berpisah dari suamiku. Aku sangat mencintainya."
     "Tidak bisa. Kau harus kembali. Anak perempuan, kau tidak akan mati sekarang. Sebelum kau melahirkan dua puluh satu bayi,kau tidak akan mati. Oleh karena itu kau harus kembali ke dunia lagi."
     "Tidak mau."
     "Kau menentangku?" tanya Giam Lo Ong sambil memandang tajam wanita itu.
     "Terpaksa aku menentangmu. Karena, kau kuanggap tidak adil. Coh Peng adalah seorang laki-laki yang tak pernah berbuat dosa. Mengapa kau cabut nyawanya selagi dia masih muda? Apakah itu adil? Dan lagi, mengapa kau renggut nyawanya selagi kami menikmati kebahagiaan sejati?"
     "Ah, anak perempuan yang malang. Memang demikianlah kehendak takdir. Suamimu memang telah ditakdirkan untuk mati pada hari ini. Karenanya, sekali lagi kuperintahkan kepadamu untuk kembalike dunia. Jangan kau bantah perintah Giam Lo Ong."
     "Aku akan tetap membantahnya. Aku akan tetap mengikuti suamiku. Betapapun, apa pun yang akan terjadi, aku akan tetap bersama-sama suamiku. Oleh karenanya, jika kau mencabut nyawa suamiku, cabut juga nyawaku. Jika suamiku mati, maka pada hari itu juga aku harus mati."
     "Anak perempuan, sudah kukatakan, sebelum kau melahirkan dua puluh satu bayi dan membesarkannya hingga mereka berkeluarga, kau belum akan mati. Maka permintaanmu untuk mati itu tak dapat dikabulkan."
     "Dikabulkan atau tidak, aku tetap akan mati. Ingin kulihat, apakah kau dapat mencegah maksudku untuk mati atau tidak," Suma In tetap berkeras kepala.
     "Sayang, aku tak dapat memenuhi permintaanmu. Kau harus tetap hidup."
     "Huh, jika aku tetap hidup, tak mungkin aku dapat melahirkan dua puluh satu bayi seperti yang ditakdirkan. Dari mana aku dapat melahirkan anak jika tak ada suami yang membuahi rahimku?"
     "Aku takmau bersuami lagi. Selain Coh Peng, aku takmau meladeni laki-laki. Nah, apa yang akan kau perbuat? Takdir itu tidak lagi dapat terlaksana. Aku yang telah ditakdirkan untuk melahirkan dua puluh satu bayi, membesarkannya dan merestuinya di kala anak-anakku itu berumah tangga, semua akan gagal, karena aku tidak akan bersuami. Selain Coh Peng yang akan membuahi rahimku, aku tidak sudi. Jadi, jika aku harus melahirkan dua puluh satu anak, maka kau harus mengembalikan Coh Peng, agar dia dapat membuahi rahimku."
     "Coh Peng hari ini harus mati."
     "Kalau begitu, aku takmungkin melahirkan dua puluh satu anak. Dengan demikian, takdir yang telah digariskan akan meleset. Berarti takdir semua manusia di dunia pun akan meleset. Jika ada kesalahan pertama, tentu akan diikuti kesalahan berikutnya. Sekali takdir tidak tepat seperti yang telah digariskan, maka selamanya takdir tidak lagi dapat dipercaya," kata Suma In.
     "Celaka kau, anak perempuan! Cerdik juga kau menyerangku dengan kata-kata. Baiklah, agar takdir tetap berlaku bagi semua manusia, dan berjalan tepat sebagaimana mestinya, maka kau akan tetap melahirkan dua puluh satu anak. Mengasuhnya, membesarkannya dan merestuinya sampai mereka berkeluarga."
     "Tidak mungkin aku punya anak, karena suamiku sudah mati."
     "Siapa bilang? Kau sudah ditakdirkan demikian, maka harus berlaku demikian pula. Anak perempuan yang berbahagia, cerdik dan sangat mencintai suami, pulanglah dengan segera."
     "Aku tidak mau pulang jika tidak dengan nyawa suamiku, Coh Peng."
     "Kululuskan permintaanmu. Bawa pulang sukma suamimu. Hiduplah kalian dengan berbahagia. Coh Peng, kembalilah kau kepada istrimu dan gaulilah istrimu sampai istrimu melahirkan dua puluh satu bayi. Kelak anak-anakmu itu akan menjadi orang yang berguna bagi nusa bangsanya. Anak-anakmu kelak akan menjadi pahlawan-pahlawan yang kenamaan. Aku merestu kalian."
     Sekejap kemudian Giam Lo Ong menghilang dari hadapan Suma In dan Coh Peng. Keduanya kemudian kembali lagi ke dunia, kembali ke dalam tubuh masing-masing. Dan Coh Peng serta Suma In yang semula telah mati, hidup kembali. Itu berkat jasa Suma In, istri yang sangat dicintainya. Suma In telah merebut nyawa Coh Peng dari tangan Giam Lo Ong.
     Seperti telah ditakdirkan, hasil perkawinan Coh Peng dengan Suma In adalah dua puluh satu anak. Kemudian, ketika sudah besar, anak-anak Coh Peng menjadi pahlawan besar untuk bangsanya.
Lao She

     KANG SO sudah lama berpraktek sebagai seorang tabib di negeri Siok. Sudah banyak jasanya dalam soal menolong orang sakit. Karena itu namanya menjadi harum dan terkenal. Setiap kali ia berhasil menyembuhkan orang sakit, ia meminta balas jasa, baik berupa uang maupun barang. Tabib itu masih muda dan belum mempunyai istri. Ia sudah menjadi kaya, tetapi kekayaannya terasa belum sempurna mendampingi hidupnya.
     Lalu selain masih tetap menjalankan praktek ketabibannya, ia kemudian menjadi orang yang suka berderma. Namun hal ini dilakukannya hanya untuk mencari kepuasan nafsu yang ada di dalam darah mudanya. Secara diam-diam ia mengunjungi tempat-tempat mesum, sampai pernah sempat menderita penyakit sipilis sebagai akibat pergaulannya yang terus-menerus dengan perempuan-perempuan mesum itu. Namun penyakit yang dideritanya itu dapat disembuhkan dengan ramuan obat-obatan buatannya sendiri.
     SUATU kali ia menyembuhkan seorang wanita yang menderita sakit berat. Wanita itu bernama Ching-ping An. Tabib muda itu menahannya di rumahnya, untuk beberapa hari, karena sebelumnya telah dikatakannya bahwa sewaktu-waktu penyakitnya dapat kambuh, apalagi sesungguhnya kesehatan Ching-ping An belum sembuh benar. Tabib Kang So akan menjaga dan merawatnya baik-baik sampai sembuh benar, kemudian barulah ia mengizinkan wanita itu kembali ke rumahnya.
     Ching-ping An sudah tertidur nyenyak di dalam kamarnya yang disediakan oleh tabib muda Kang So. Tabib ini memasuki kamarnya, kemudian pelan-pelan menyingkap selimut, dan membuka pakaian yang dikenakan Ching- ping An sehingga ia dalam keadaan telanjang bulat. Dan karena tidurnya terlalu nyenyak ia tak sadar juga sebelum ia diperkosa.
     Dan akhirnya Ching-ping An tidak mau pulang. Ia menjadi istri tabib muda yang telah memerkosanya itu, karena sesungguhnya ia sudah menjadi seorang janda. Namun perkawinannya tidak berlangsung lama. Ching-ping An yang akhirnya mengetahui perbuatan yang dilakukan suaminya di tempat-tempat mesum, meminta cerai dan mengancam akan mencemarkan nama Kang So kalau tabib itu tak mau memberinya banyak uang. Kang So memenuhi kedua permintaan yang diajukan oleh istrinya itu, tetapi sebelumnya Ching-ping harus berjanji bahwa setelah dicerai, ia tidak akan mencemarkan nama Kang So.
     "Maukah engkau berjanji begitu?" kata Kang So.
     "Aku berjanji tidak akan mencemarkan namamu, tetapi berhubung kau mendesakku begini, maka tuntutanku tentang uang, jadi dua kali lipat."
     "Aku tak mengerti apa maksudmu." Ching-ping An memberikan senyumnya yang manis, dan Kang So meneruskan kata-katanya setelah ia berpikir sesaat. "Baiklah, asal kau menepati janjimu. Sebab bila tidak, engkau tahu sendiri akibatnya. Engkau akan jatuh sakit lebih parah lagi dan aku tak akan mau menolongmu."
     Ching-ping An malah tertawa kemudian berkata dengan semangat tinggi. "Karena sekarang kau mengancam, maka jadinya aku meminta tiga kali lipat dari jumlah uang yang kuinginkan!"  Tabib Kang So merasa dipermainkan oleh istrinya. Lalu ia berkata, "Baiklah akan kupenuhi semua tuntutanmu itu, tetapi sebagai perpisahan terakhir, aku minta pula kepadamu, maukah engkau menuruti kemauanku?"
     "Sekarang aku yang tidak mengerti apa maksudmu."
     "Dengarkan, uang yang kauminta akan kuberikan kepadamu bukan tiga kali lipat, tetapi naik menjadi empat kali lipat, asal.." ia kemudian mendekat ke istrinya dan membisikkan sesuatu di telinganya. Ching-ping An tertawa geli sampai tubuhnya terguncang-guncang.
     "Engkau mau mengabulkan permintaanku bukan? Sebagai perpisahan terakhirku denganmu."
     "Ha-ha   dasar tabib cabul! Tetapi karena ini kesalahanmu juga, maka sekarang aku minta bukan empat kali lipat, melainkan lima kali lipat."
     "Sudahlah  jangan banyak bicara, nanti aku terjerat oleh banyak lipatan-lipatan itu.”
     Ching-ping An memenuhi permintaan suaminya. Ia tidak menyangka sama sekali bahwa suaminya akan menipunya. Tabib muda Kang So merasa puas sekarang, karena ia telah memperlakukan istrinya dengan tidak semena-mena. Ia telah memerkosanya berkali-kali, kemudian memakan daging istrinya yang telah dibunuhnya.Seterusnya tabib itu menjalankan prakteknya seperti biasa. Namun ia sudah tak berkemauan lagi bernikmat-nikmat dengan perempuan-perempuan di tempat mesum.
     Waktu itu baru terjadi perselisihan paham antara negeri Siok dengan negeri Giok soal perbatasan. Negeri Siok diserang secara tiba-tiba oleh tentara negeri Giok. Karena sebelumnya tak mengetahui akan adanya serangan itu, tentara negeri Siok banyak yang menjadi korban. Namun tidak sedikit pula korban-korban yang berjatuhan di pihak negeri penyerang.
     Kang So tidak pilih kasih dalam soal menolong orang-orang sakit. Beberapa orang yang luka-luka parah dari pihak musuh negerinya, termasuk panglima perang negeri Giok, Jan To, ditolongnya juga sampai sembuh. Panglima Jan To kemudian meneruskan memimpin pe-perangan. Pasukan negeri Siok yang dipimpin oleh panglima perangnya bernama I-ma, mengalami pukulan berat dan pasukannya tercerai-berai, namun masih dapat mempertahankan negerinya di kota Tjong-phek.
     Kemudian sebagai akibat tindakan tabib muda Kang So yang menolong musuh itu ia lalu ditangkap, kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Ia sangat sedih, sebab tak dapat lagi membuka praktek penyem¬buhannya dan sekaligus kehilangan penghasilan. Tetapi pada suatu malam di dalam penjara ia bermimpi, bahwa tidak lama lagi ia akan dikeluarkan dari penjara. Karena mimpinya itu ia menjadi gembira.
     Tetapi walau sudah lama ditunggu impiannya itu tidak juga terwujud, kembali ia bersedih hati. Waktu itu panglima perang negeri Siok, I-ma, mendengar kabar bahwa istri dan seorang anak perempuannya jatuh sakit. Ia teringat kepada tabib muda yang termasyhur yang kini dipenjarakannya itu. I-ma menyuruh orang untuk mengeluarkan tabib itu dari penjara dan seterusnya disuruhnya tabib itu menyembuhkan sakit istri dan seorang anak perempuannya.
     Betapa gembiranya Kang-So, karena impiannya ternyata menjadi kenyataan dan ia berhasil menyembuhkan istri dan anak panglima perang itu. Tetapi Kang-So mudah menjadi berbalik pikiran. Waktu ia berusaha menyembuhkan gadis anak panglima I-ma, diam-diam ia jatuh cinta kepadanya.
     Gadis itu memang cantik sekali, dan si tabib ingin mengawininya. Tetapi ia menyadari bahwa keinginannya itu tak mungkin terlaksana sebab ia hanya seorang tabib. Ia menjadi bingung, tetapi kemudian menemukan akal. Ia bukannya hendak menyeberang ke pihak musuh, melainkan apa yang dilakukannya ini adalah demi tercapainya keinginan. Gadis itu dilarikannya ke negeri Giok.
     Orang-orang Giok merasa senang karena memiliki seorang tabib yang termasyhur, namun sesungguhnya Kang So sendiri tetap tidak berpihak kepada satu pihak. Ia akan memberikan pertolongan kepada siapa saja asalkan memperoleh imbalan jasa. Ia dengan Kuan-tjie, gadis anak Panglima Perang I-ma, ditempatkan di sebuah rumah di dekat sebuah kuil Budha.
     Tetapi belum sampai pada hari pernikahan, gadis itu diminta untuk dibawa ke istana Jan To. Kang So tidak mengerti apa maksud panglima perang itu mengambil calon istrinya. Di sepanjang jalan gadis itu terus meratap  sedih. Ia menangis terisak-isak, meratapi nasibnya yang malang.
     Ketika dibawa lari oleh Kang So, ia dalam keadaan tidak sadar. Kang So sebelumnya telah menyuruhnya meminum obat yang katanya untuk menjaga kesehatannya, tetapi sesungguhnya obat itu adalah obat tidur. Kemudian gadis Kuan-tjie berada di dalam kekuasaan Kang So di dalam kamar, dan sesungguhnya tabib itu telah menghamilinya.
     Tetapi gadis itu tidak dihadapkan kepada Panglima Jan To. Kedua penyelidik yang ditugaskan oleh ayah gadis itu telah berhasil menemukan anak panglima mereka. Kuan-tjie dibawa pulang ke negeri Siok. Sesampainya di istana ia tidak menjumpai ayahnya.
     "Apakah Ayah masih memimpin peperangan?" ia bertanya kepada ibunya. Lalu dengan sedih ibunya berkata, "Sesungguhnya ayahmu telah ditawan oleh musuh, dan tidak akan dilepaskan sebelum kau diserahkan kepada Panglima Jan To untuk dinikahinya."
     "Apakah ini berarti negeri kita sudah jatuh ke tangan musuh?"
     "Belum sama sekali, dan Ibu yakin tak akan jatuh. Pahlawan-pahlawan kita masih tetap bersemangat tinggi untuk melanjutkan peperangan. Engkau tidak usah memikirkan soal ini, anakku. Ibu itu menghendaki Kuan-tjie untuk diserahkan kepada panglima musuh, dan Kuan-tjie sendiri menyatakan tidak ragu-ragu untuk dinikahkan dengan panglima itu, karena begitu yang dikehendaki oleh ayahnya. Ia sangat percaya kepada kebijaksanaan ayahnya, dan apabila nanti Kuan-tjie telah menjadi istri panglima perang negeri Giok, ia akan berusaha keras untuk membujuk suaminya agar suaminya mau memberi keterangan tentang berapa besar kekuatan tentaranya sehingga dapat menaklukkan negeri Siok.
     Tetapi perhitungan Kuan-tjie itu bagi I-ma sangat berbahaya. Panglima perang negeri Siok itu mempunyai perhitungan lain yang pada dasarnya pernah diajarkan oleh almarhum Perdana Menteri Khong-beng yang ahli dalam siasat perang dan pernujuman pada zaman dahulu.Panglima Perang Negeri Siok I-ma telah mengirim penyelidiknya dan harus berhasil membawa pulang Kuan-tjie.
     Lalu dengan ditinggalkannya Tabib Kang So di tempat persembunyiannya di sebuah rumah di dekat kuil Budha, maka kemudian akan dilontarkan berita palsu bahwa Kuan-tjie terpaksa tidak dapat dihadapkan kepada Panglima Jan To karena telah dibunuh oleh tabib itu setelah ia memerkosanya. Dengan demikian Panglima Jan To tentu akan marah besar, dan seperti diketahui bahwa di negeri Giok masih berlaku hukuman tradisional. Tabib itu pasti akan ditangkap kemudian dijatuhi hukuman mati yang akan ditonton oleh para pembesar dan prajurit-prajurit.
     Hari itu adalah merupakan hari yang istimewa, dan panglima perang I-ma tidak menyia-nyiakan kesempatan yang baik itu. Ia memastikan dapat melarikan diri, dan tentaranya akan menyerang secara mendadak dari berbagai arah.
     Waktu Kang So ditangkap ia menyangkal keras tuduhan yang ditimpakan kepadanya sebagai pembunuh gadis Kuan-tjie. Ia mengatakan bahwa gadis itu dibawa pergi oleh kedua orang yang mengaku sebagai utusan panglima perang. Tetapi semua kata-kata tabib ini tidak dipercayai.. Tabib cabul itu menerima hukuman mati dengan disaksikan oleh tentara dan rakyat, juga panglima perang negeri Siok, yang kemudian secara diam-diam meloloskan diri dari kekuasaan Jan To.
     Kang So mati di atas tiang besar dengan tubuh ditancapi beribu-ribu anak panah. Arena tempat Kang So dibunuh segera berubah menjadi ajang pertempuran sengit. Banyak sekali tentara negeri Giok yang menjadi korban. Tentara negeri Siok berhasil mendesak musuh sampai ke luar tembok batas kota. Kemudian gegap-gempitalah sorak-sorai orang-orang Siok. Lagu-lagu kemenangan berkumandang, diiringi oleh bunyi terompet dan genderang-genderang perang! (cerita oleh LO KUAN-CHUNG)

     Tidak ada hal yang terbaik lebih dari membalas budi. Ini merupakan bakti yang tertinggi bagi seseorang. Manusia menjadi paling hina-dina bila dikatakan tidak tahu membalas budi. Budi, mempunyai nilai yang lebih tinggi daripada nyawanya sendiri. Seorang anak yang tidak menurut kata-kata orang tua, dikatakan sebagai anak yang tidak berbudi. Orang tidak tahu membalas kebaikan, dikatakan sebagai orang tidak berbudi. Sebagai tanda bakti untuk membalas budi orang tua, seorang anak rela berkorban apa saja. Dengan segala cara ia akan menunjukkan sebagai anak yang berbakti. Ia akan menuruti segala perintah orang tua walau disuruh memasuki gunung api sekalipun. Tidak heran bila orang tua yang menentukan hitam putihnya si anak. Masih dalam kandungan pun orang tua sudah dapat menentukan pertunangan anaknya. Padahal sebenarnya belum tentu keduanya akan saling mencintai. Tak peduli bagaimana tanggapan si anak. Kalau orang tua sudah menentukan, anak harus menurut.
     Bagi orang Tionghoa, seseorang menjadi tidak berharga bila tidak mempunyai anak sarna sekali. Masih untung punya anak walaupun hanya perempuan. Banyak anak berarti banyak pula yang akan mengirim doa bila mereka nanti akan menghadap Thian, bersatu kembali dengan nenek moyangnya. Tetapi, anak laki-laki mempunyai nilai tertinggi. Anak laki-laki merupakan penerus keluarga. Dengan lahirnya anak laki-laki berarti tidak bakal putus nama keluarganya. Marga (she)-nya tidak akan dihapuskan dari muka bumi ini. Keterikatan terhadap keluarga, adat, kebudayaan dan tata kehidupan menyebabkan orang Tionghoa mempunyai ciri yang menonjol, sulit meninggalkan kebiasaannya, sulit menerima kehadiran hal-hal yang asing sehingga mereka dicap sebagai tertutup dan menyendiri.
     Khong Cu dapat menanamkan ajarannya begitu kuat kokoh sehingga mampu mengalahkan aturan agama apapun yang masuk ke Tionggoan. Agama yang penuh kasih itu menarik minat banyak orang. Makin lama pengikutnya makin banyak. Tetapi percampuran dengan adat dan kebiasaan setempat tidak dapat dihindari lagi, dan sekarang sulit untuk membedakan mana yang asli mana yang bukan.
     Daerah Selatan daratan Tionggoan merupakan daerah yang paling subur sehingga tampak kemakmuran rakyatnya. Berbeda dengan daerah utara yang gersang, memerlukan kekerasan kemauan untuk dapat bertahan hidup. Di daerah selatan orang dapat lebih santai bekerja, lalu mempunyai sisa waktu untuk berduka ria sebelum musim panen. Tidak heranmbila kemudian timbul kesenian serta kebudayaan yang tinggi. Bukan hanya seni sastra, serta musik saja. Juga seni lukis dan pahat berkembang baik sekali.
     Banyak tokoh-tokoh yang muncul menjadi sastrawan besar, filsuf dan cendekiawan. Semuanya muncul dari daerah selatan.
     Orang-orangnya cenderung untuk mencari sesuatu yang baru. Terbuka, dan mudah menerima sesuatu yang agak berbeda dengan yang sudah mereka miliki. Walau dalam hal ini mereka melakukan seleksi yang sangat ketat. Maka agama Budha juga masuk melalui celah di daerah selatan ini, melalui berbagai ilmu pengetahuan, pengobatan, dan kebatinan.
     Timbulnya agama Budha di Tionghoa bukan tanpa guncangan. Agama Tao yang sudah lebih dulu ada terdesak. Mereka bersaing. Kadang-kadang timbul bentrokan di antara para pengikutnya. Pertumpahan darah tidak dapat dihindari lagi. Tercatat bahwa perang antara mereka timbul beberapa kali sehingga menimbulkan banyak korban yang sia sia. Namun mereka merasa bangga sebab dapat mempertahankan keyakinannya.
     Di dusun Li-kuo-cun ada seorang pemuda yang saleh. Kelakuannya setiap hari cukup baik. Sopan santun serta keramahannya menjadi buah bibir banyak orang. Wajahnya yang ganteng membuat para ibu ingin mengambil menantu dan banyak gadis tergila-gila kepadanya. Namanya Siauw Liong. Orang tuanya berharap agar si anak kalau besar nanti akan dapat berlaku sebagai Naga, karena naga merupakan perwujudan watak yang luhur dan kokoh sebagai binatang surga.
     Sejak kecil Siauw Liong tidak menunjukkan keistimewaan. la tumbuh wajar seperti anak-anak lainnya di kampung. Belajar membaca dan menulis, bermain-main, dan sesekali membantu kedua orang tuanya ke sawah dan kebun. Bila malam mendengarkan cerita kepahlawanan nenek moyangnya. Memang, Siauw Liong masih keturunan orang-orang terkenal, pahlawan pembela tanah air, dan banyak pula yang menjadi panglima kerajaan. Hal itu dapat dilihat makam keluarga yang sangat besar serta mewah tidak begitu jauh dari kampung. Sekali setahun, paling tidak, Siauw Liong diajak orang tuanya berziarah serta melakukan sembahyang di makam keluarga.
     Siauw Liong bercita-cita untuk menjadi sastrawan. la gemar membaca tulisan para pujangga zaman dahulu. Malah telah dapat membuat sajak-sajak yang bagus. Orang-orang di kampungnya kagum serta bangga akan kepandaiannya. Malah seorang satrawan dari kota yang menjadi guru memberikan pelajaran khusus kepada Siauw Liong. Dengan cepat anak itu telah tumbuh menjadi orang terpelajar, penuh hikmat lagi pula bijaksana.
     "Liong-ji, ibu ingin agar kau dapat menjadi sastrawan besar agar nama kita tetap terpelihara sepanjang zaman," katanya pada suatu saat.
     “Ma, harapanmu pasti terkabul,” jawab Siauw Liong.
     “Kau memang anak yang berbakti, Liong Ji. Hanya kau yang akan mampu mengangkat derajat orang tuamu yang sudah mulai payah ini,” sambung ayahnya.
     “Thia, doakanlah agar anakmu ini dapat belajar dengan baik,” kata Siauw Liong lagi.
     Makin lama anak itu makin tekun. Juga usianya makin bertambah. Makin banyak pula gadis yang teruka-gila padanya. Secara berbisik-bisik mereka mulai membayangkan bahwa dirinya bakal menjadi menantu Han Siang, ayah Siauw Liong. Bila mereka melihat ibu Siauw Liong lewat hendak ke pasar, sa¬lah seorang pasti ada yang mengatakan kepada temannya, "Itu mertuaku akan ke pasar." Maka berderailah tawa me¬reka.
     Tetapi Siauw Liong sendiri hampir tidak memedulikan mereka. Pergaulannya tetap biasa-biasa saja. Ia menegur dan berbicara kepada siapa saja. Murah senyum dan tetap ramah. Dalam hatinya belum ada seorang gadis pun yang menambatnya. Hati dan pikirannya terus tertuju kepada pelajarannya. Siang hari ia membantu orang tuanya di sawah dan ladang, malam harinya menekuni buku pelajarannya. Sesekali ia pergi juga ke pasar ikut menjual hasil sawah dan ladangnya yang berupa sayur-sayuran, palawija, dan hasil bumi lainnya.
     Pada suatu malam Han Siang memanggil anak yang semata wayang itu. Anak tunggal yang sangat dikasihinya.
     "Liong-ji, menurut perhitunganku pada Sa-gwee  Cap-Go nanti usiamu sudah dua puluh lima. Cukup tua bagi seorang laki-laki untuk segera menikah," kata ayahnya.
     "Apakah Thia maksudkan agar anakmu segera menikah?" tanya Siauw Liong.
     "Begitulah. Kami sudah tua. Ibumu ingin segera menimang cucu. Tidak lama lagi ayah sudah tidak mampu lagi ke sawah. Kaulah yang akan menggantikan kami yang tua."
     "Thia, anakmu mohon waktu sedikit lagi untuk menyelesaikan pelajaran. Sabar saja sedikit," jawab Siauw Liong. Tetapi Tuhan menentukan lain. Kehidupan manusia tidak dapat diduga. Daratan Tionggoan terserang wabah. Begitu juga dusun Li-kuo-cun. Kedua orang tua Siauw Liong tidak luput dari ancaman El-Maut. Kala itu Siauw Liong sedang berada di kota memperdalam pelajarannya. Di sana ia bertemu dengan seorang pendeta Budha, dan Siauw Liong belajar tentang agama itu kepada sang Hwesio.
     Berita duka itu datangnya terlambat. Betapa menyesalnya Siauw Liong tidak dapat menunggui serta merawat kedua orang tuanya yang menderita. Ia menangis di atas pusara kedua orang tua-nya. Untunglah, karena dihibur oleh Pek Bin Hwesio yang menjadi gurunya, ia sadar bahwa tidak ada gunanya menangisi kematian ayah bundanya. Lalu ia tambah tekun belajar tentang agama yang baru saja masuk ke Tionggoan itu.
     Dengan tekun Siauw Liong mempelajari buku-buku pelajaran agama Budha. Malah kini ia masuk ke dalam sangha menjadi hwesio. Karena ketekunannya ia segera dilantik setelah mengucapkan sumpahnya untuk tetap berlindung kepada sang Budha, kepada sangha dan kepada dharma. Di daerah itu ia merupakan satu-satunya pemuda yang menjadi hwesio. Orang menyebutnya sebagai Giok Bin Hwesio sebab wajahnya memang bersih bagaikan batu giok.
     Selain mengamalkan dharmanya sebagai hwesio, Giok Bin Hwesio tekun membaca keng. Hati dan jiwanya seolah-olah telah lepas dari dunia ini. Ia telah men¬dapatkan kenikmatan sejati. Tidak ada keterikatan dengan dunia yang penuh duka nestapa, penuh samsara. Tujuan utama Siauw Liong yang sudah dijuluki Giok Bin Hwesio (bukan gelar) . Adapun gelarnya adalah Bhammapadha (hendak mencapai nirwana). Bahkan hendak menjadi Bodhisatwa.
     Pada suatu malam, ketika ia sedang tekun mengucapkan liam-keng, masuklah seorang berwajah ganteng dengan pakaian yang indah ke dalam kamarnya yang sederhana. Giok Bin Hwesio menghentikan pembacaan Kengnya.
     "Siapakah Anda?" tanyanya kepada sang tamu.
     "Saya Malaikat penjaga langit," jawab si tamu.
     "Maksud kedatangan Anda kemari?" "Para Dewa terkesan akan ketekunanmu. Para Dewa hendak menganugerahkan suatu tamasya kepadamu." "Tamasya? Pinto sudah tidak menginginkan hal-hal seperti itu."
     "Bukan tamasya sembarang tamasya, tetapi tamasya melihat isi Surga dan Neraka."
     "Kalau itu, Pinto bersedia."
     "Nah, pegang tanganku, dan pejamkanlah matamu. Jangan kaubuka sebelum kuberitahukan."
     Giok Bin Hwesio alias Dhammapada yang dulu bernama Siauw Liong kini dalam bimbingan Malaikat Penjaga Langit. Ia dibawa ke suatu tempat yang tidak mungkin dapat dikunjungi oleh manusia biasa. Di sana adalah tempat tinggal mereka yang sudah berada dalam alam lain. Alam kematian.
     "Bukalah matamu," kata Malaikat Penjaga Langit.
     Ketika Siauw Liong yang dijuluki Giok Bin Hwesio membuka matanya, ia melihat manusia yang hidup dalam kesukaan. Ada yang hidup dalam suasana pesta-pora, makan minum yang serba lezat .
     "Itulah Surga. Kesenangan semu. Kesenangan yang sesungguhnya, bersifat abadi. Tidak ada perasaan apa pun. Yang ada hanyalah ketenangan serta kedamaian. Kata-kata itu pun belum dapat menggambarkan keadaan nirwana yang sesungguhnya."
     Memang semuanya tampak seperti kesenangan di dunia fana saja. Hal seperti itu tidak menarik sama sekali. Lalu Siauw Liong diajak pergi ke suatu tempat. Tempat penghukuman roh yang semasa hidupnya berbuat tidak sesuai dengan hukum. Baik hukum dunia maupun hukum agama.
     "Itu, tempat penebusan kesalahan mereka sewaktu di dunia. Mereka yang jahat, mencuri, menipu, memerkosa hak orang lain, menindas orang lemah, menyelewengkan ajaran agama dan kesalahan-kesalahan lain.
     "Dan yang di sana, dua buah gunung baja yang selalu berputar itu, adalah tempat menggiling roh-roh orang yang akan mengalami penitisan kembali. Sesudah rohnya digiling, kemudian diturunkan kembali ke dalam dunia untuk menjelma kembali sesuai dengan dharmanya sewaktu masih hidup di dunia.
     "Ada yang menjadi lebih tinggi derajatnya, kalau mereka berbuat baik, tetapi ada yang turun derajatnya bila berbuat jahat sewaktu masih hidup. Malah ada yang diturunkan menjadi binatang. Bahkan binatang yang paling hina seperti cacing, ulat, dan lain-lainnya." Keduanya berjalan melihat-lihat isi neraka.
     Pada suatu tempat Siauw Liong melihat seseorang yang terikat kaki tangannya. Kakinya terikat pada ujung sebuah batang bambu tunggal. Kepalanya berada di bawah, sedang di bawah menyala api yang panas dan mahaluas. Di pangkal pohon bambu tampak seekor tikus sedang mengerat batang bambu itu.
     "Siapa dia?" tanya Siauw Liong. "Tanyalah sendiri," jawab Malaikat Penjaga Langit.
     "Siapakah Anda?" Dan mengapa tergantung di tempat itu?" tanya Siauw Liong.
     "Aku kakek moyangmu. Aku tergantung di tempat ini karena menerima hukuman sebab keturunanku tidak mau menikah sehingga putuslah keturunanku. Tidak ada orang yang bakal bersembahyang di kuburku. Tidak ada yang meneruskan garis hidupku," jawab orang itu.
     "Anda kakek moyang saya?" tanya Siauw Liong heran.
     "Ya. Bukankah kau Siauw Liong, anak Han Siang dari dusun Li-kuo-cung. Engkau anak tunggal. Seharusnya engkau secepatnya menikah, memberikan cucu bagi ayah-ibumu, menjadi kepala keluarga dan memimpin upacara sembahyang di waktu Sin-cia."
     "Bagaimana agar Anda dapat terlepas dari hukuman itu? Soalnya tidak lama lagi tikus itu akan menumbangkan batang bambu tempat Anda tergantung."
     "Apakah kau berniat melepaskan aku dari siksaan ini?"
     "Ya. Apa pun syaratnya saya bersedia, asal Anda terlepas dari sengsara itu."
     "Kembalilah ke dunia dan menikahlah!"
     Tertegun Siauw Liong mendengar ucapan kakek moyangnya. Ia tidak dapat berpikir terlalu lama dan harus segera bertindak  demi keselamatan kakek moyangnya. Ia akan segera mengambil keputusan, maka ia minta diantar pulang ke dunia. Oleh Malaikat Penjaga Langit ia diperintahkan memejamkan matanya. Begitu ia membuka mata, ia sudah berada di kamarnya lagi. Hari sudah pagi. Ayam jantan sudah mulai berkokok. Tetapi ia belum dapat mengambil keputusan. Haruskah ia menanggalkan jubahnya dan kembali menjadi orang awam? Ataukah ia akan membiarkan kakek moyangnya tergantung di ujung batang bambu dengan nyala api di bawahnya, padahal suatu saat batang bambu itu akan tumbang sehingga kakek moyangnya terjatuh ke dalam api neraka?
     Siauw Liong belum dapat mengambil keputusan. Dapatkah Anda membantunya?
Anonim

     Segalanya bermula tatkala seorang penggembala domba Tibet menunjukkan jalan kepadanya ke arah gua yang dihuni seorang pertapa.
     "Di sana Anda akan dapat menginap dan akan mendapat sambutan hangat," ujar penggembala itu. Jenderal George Pereira bernapas lega. Selama hidupnya belum pernah dia merasa Iebih seperti sekarang dan dengan berjalan terhuyung-huyung dia menempuh jalan ke tempat peristirahatan yang terdekat itu.
     Jenderal Pereira, seorang tentara lnggris yang sudah pensiun, sedang melakukan perjalanan kaki secara maraton dari Shanghai, menjelajah negeri Cina dan Tibet menuju ke Laut Kaspia. Sebelum itu tak ada orang yang berani melakukannya dan Pereira sendirian menempuhnya. Dia bertolak pada bulan Maret 1920 dan kini, beberapa bulan kemudian, dia sudah berada di daerah Tibet.
     Setengah jam setelah bertemu dengan penggembala domba itu, akhirnya dia tiba di gua dan disambut oleh pertapa Tibet itu dalam bahasa Italia yang fasih, kendati dengan gaya lama. Hal ini membuat Pereira tertegun heran, setelah dia mengetahui bahwa pertapa itu tidak pernah meninggalkan guanya sejak dia masih kanak-kanak dan bahwa Pereira adalah orang Eropa pertama yang dijumpainya.
     Ini pun bukan satu-satunya hal menakjubkannya di tempat itu. Manakala mereka memperbincangkan perjalanan Pereira yang luar biasa itu sang pertapa kemudian mengutarakan kepadanya tentang adanya sebuah gunung yang diberi nama Amne Machen. Gunung itu terletak ratusan mil lebih jauh. di pedalaman Tibet, dan merupakan gunung yang tertinggi di seluruh dunia. Tidaklah mengherankan jika Pereira sukar untuk mempercayainya, walaupun dia sendiri sudah menyaksikan pundak Everest di Pergunungan Himalaya, gunung tertinggi di dunia itu. Namun pertapa itu pun tahu juga tentang puncak Everest. Dan dia tetap berpegang pada pendiriannya, bahwa Amne Machen itu masih lebih tinggi ribuan kaki lagi.
     Sampai larut malam mereka mempercakapkan gunung itu, sebuah gunung yang agaknya dilindungi oleh penduduk pribumi yang masih liar dan juga oleh suatu kutukan. Sekiranya ada orang asing yang berhasil menghindari orang-orang Ngolok yang galak itu, yang sudah selama generasi demi generasi menjaga gunung itu, maka kutuk Anne Machen masih akan dapat menimpanya, demikian tutur pertapa itu.
     Menurut pertapa itu, kemungkinan besar daya kutuk itu tidak akan segera memperlihatkan keampuhannya. Tetapi tidak akan ada orang asing yang dapat hidup lebih panjang lagi setelah menyaksikan Gunung Amne Machen. Misteri itu segera saja membangkitkan rasa ingin tahu Pereira dan dia sudah bertekad bahwa jika benar bukit Amne Machen itu ada, maka betapapun risikonya, dia harus dapat melihatnya. Sebuah gunung yang lebih tinggi lagi daripada Mount Everest, kedengarannya mustahil juga.
     Setahun lebih Pereira berkelana di Tibet dan Cina, mengikuti petunjuk-petunjuk yang paling remeh sekalipun, dan tak henti-hentinya mencari Amne Machen. Penduduk pribumi yang diajaknya bicara mengenai hal ini tidak seperti biasanya suka tutup mulut saja. Mereka memperingatkan agar dia menjauhi bukit itu. Suatu tempat yang terkutuk, kata mereka, lebih-lebih bagi orang asing.
     Pada akhirnya impiannya itu menjadi kenyataan juga. Pada suatu hari tatkala sedang berdiri di salah satu puncak bukit, dia dapat melihat Amne Machen di kejauhan pada jarak beberapa ratus mil. Ribuan kaki di atas gumpalan awan menjulang gugusan gunung raksasa itu. Sedemikian tinggi gunung itu sehingga dalam memandangnya saja Pereira merasa sesak napas.
     Pereira pernah melawat ke berbagai tempat di dunia ini. Dia sudah menyaksikan Pergunungan Canadian Rockies, pernah mendaki puncak-puncak Pergunungan Himalaya dan menjelajah Pergunungan Andes di Amerika Selatan. Namun tak ada yang sampai membuat¬nya terpana seperti pada waktu memandang Amne Machen ini. Dia sudah merasa pasti bahwa dia sudah menyaksikan gunung yang paling hebat di dunia dan serta-merta dia sudah memutuskan untuk pulang ke Inggris kemudian mempersiapkan suatu ekspedisi untuk mendaki gunung itu.
     Semangatnya sudah meluap-luap dalam harapan akan termasyhur sebagai orang yang menemukan sesuatu yang terbesar dalam abad itu, sehingga dia sama sekali sudah melupakan peringatan sang pertapa mengenai adanya kutukan pada bukit itu.
Tatkala Pereira tiba di sebuah dusun yang terletak di perbatasan Tibet dan Cina, dia berjumpa dengan Joseph Rock, orang Amerika pelanglang buana tersohor. Diutarakannya tentang penemuannya itu namun orang Amerika itu tak mau mempercayainya. Namun semakin lama mereka memperbicangkannya, Rock pun semakin dapat mempercayai bahwa Pereira sudah menemukan sesuatu yang hebat.
     Keesokan paginya Pereira bertolak menuju ke arah pantai dalam perjalanan pulang, namun ketika itulah maut menyergapnya, Beberapa jam setelah dia bersama suatu rombongan pedagang meninggalkan wilayah Tibet masuk negeri Cina. Pereira tiba-tiba jatuh dari atas kudanya lalu kedua belah tangannya menekap dada di arah jantungnya. Sekonyong-konyong dia berpaling memandang ke arah Tibet, setelah itu dia meregang nyawa dan tersungkur mati!
     Apakah kutuk Amne Machen yang menumbangkannya? Orang-orang Tibet dan Cina memang berpendapat begitu. Para pedagang yang sudah tahu bahwa Pereira pernah menyaksikan gunung itu, tidak ada yang mau menjamah mayatnya. Mereka meninggalkannya begitu saja dan pada hari berikutnya baru melaporkan kematian Pereira kepada seorang misionaris Inggris, yang selanjutnya menguburkan jenazah orang yang malang itu.
     Semua orang yang pernah mengenal pensiunan jenderal Inggris ini merasa heran mengenai kematiannya yang kiranya disebabkan oleh serangan penyakit jantung itu, sebab dia selalu tampak sehat dan penuh semangat. Tatkala dia memulai perjalanannya itu umurnya baru saja melampaui 40 tahun. Merekapun tidak percaya ada suatu kutukan yang telah membunuhnya.
     Tak ada yang percaya pada kisah tentang adanya gunung itu.... sampai kemudian pada masa perang dunia kedua beberapa orang penerbang tentara Sekutu melaporkan, bahwa mereka nyaris celaka kalau tidak tepat pada waktunya dapat menghindari sebuah gunung yang secara misterius berada di daerah perbatasan Cina dan Tibet.
     Penerbang-penerbang ini sangat heran, sebab alat penunjuk ketinggian memperlihatkan ketinggian-ketinggian terbang lebih dari 10.000 meter  hampir seribu kaki lebih tinggi daripada Mount Everest.
     Beberapa tahun seusai perang dunia. seorang wartawan Amerika yang tertarik sekali oleh cerita dan peristiwa yang menimpa diri mendiang Pereira, mencoba mencari gunung yang misterius itu dan selanjutnya menyatakan, bahwa dia sudah berhasil menyaksikan Amne Machen.
     Sayangnya peralatan ilmiah untuk mengukur ketinggian gunung itu telah rusak akibat perlakuan kasar orang-orang pribumi yang membawanya dan pengangkutan dengan kuda melalui daerah-daerah yang alamnya masih liar.
     Terdapat tiga orang kulit putih dalam rombongan itu. Salah seorang di antaranya tewas tertimpa tanah longsor beberapa hari setelah mereka berhasil menyaksikan Amne Machen. Orang kulit putih yang kedua meninggal di Peking karena serangan penyakit tifus, sedangkan wartawan itu sendiri tewas tenggelam beberapa bulan kemudian. Benarkah kutuk Amne Machen yang menewaskan orang-orang ini? Dikatakan orang, bahwa yang pasti, tidak ada orang asing yang mengaku telah berrhasil melihat Amne Machen, dapat hidup lebih lama.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.