Articles by "Culture"

Tampilkan postingan dengan label Culture. Tampilkan semua postingan

     Waktu dhuhur telah berlalu, ketika rombongan kami menapaki gerbang menuju makam salah seorang Kyai besar yang pernah dimiliki pertiwi ini. Kyai Modjo yang lahir di tahun 1764 sebagai kerabat kesultanan Jogja, menghabiskan 20 tahun sisa usianya di bumi Tondano. Beliau menjadi salah satu korban 'pembuangan' oleh kompeni yang menjajah nusantara.
     Siang menjelang sore itu, adalah untuk kedua kalinya saya menjejakkan kaki di kawasan makam Kyai Modjo yang juga merupakan cagar budaya. Beda dengan waktu pertama kali mengunjungi makam ini empat bulan lalu, maka kali ini saya sudah menggenggam canon d30 sebagai bekal untuk jepret-jepret situasi sekitar.
 makam Kyai Modjo yang berwarna coklat keemasan dengan kain putih membebat nisan
      Menyempatkan beberapa saat, duduk menikmati teduhnya suasana sekitar makam sambil menerawang bagaimana sang Kyai bersama 62 orang pengikutnya sebagai orang buangan, bertahan hidup yang kemudian melahirkan generasi baru yang hingga hari ini dikenal sebagai suku Jawa Tondano. Berbaur dengan masyarakat sekitar dan mempertahankan budaya serta keyakinan sebagai muslin di tengah masyarakat non-muslim (ada yang mengatakan masyarakat sekitar beliau masih penganut animisme, ada juga yang mengatakan sudah menjadi penganut Kristen), bukanlah hal yang mudah. Apalagi hingga beranak pinak dengan identitas yang tetap terjaga oleh keturunannya hingga saat ini.
     Maka hari ini di tengah masyarakat Minahasa (Tondano sebagai ibukotanya) yang lebih 90 persen adalah non muslim, ada satu wilayah yang disebut sebagai Kampung Jawa. Wilayah yang didiami oleh orang Jawa Tondano (Jaton) yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan para pengikutnya. Mereka teguh dengan identitas sendiri, menjaga tradisi dari tanah leluhur di Jawa dan tetap istiqamah dalam kepercayaan sebagai muslim.
      rombongan kecil peziarah di siang hari jelang sore 1 maret 2015
      Duduk di kerindangan sekitar makam sore itu, sambil menatap Tondano di kejauhan bawah sana, saya mencoba menyelami pilu hati seorang kyai yang jauh dari tanah kelahirannya. Beliau dengan tegar mengarungi sisa hidupnya menyebarkan ajaran dan keyakinan yang dianutnya hingga akhir hayat.

     Tidak pernah terbayangkan sebelumnya untuk melewatkan pergantian tahun ke 2015 di kota Tomohon. Jauh hari sebelumnya, mumpung sedang di Sulawesi Utara, maka Manado sudah menjadi destinasi idaman. Berbagai tutur yang 'wah' tentang apapun ketika malam pergantian tahun di Manado, sudah membentur-bentur dinding telinga saya.
     Namun angan-angan tinggallah angan-angan, karena akhirnya Tomohon lah yang secara tak sengaja yang menjadi tempat melewatkan 2014. Hujan gerimis mengiringi putaran roda perlahan menyusuri basahnya aspal dari Tondano. Masih sekitar pukul 22, namun suara petasan dan pijar kembang api sudah nampak marak.
     Beberapa kelompok orang, bergerombol di pinggir jalan, dengan bermacam petasan di dalam genggaman. Ada juga yang berkumpul di teras rumah, dengan dentuman musik yang lumayan bising bersaing dengan ledakan petasan. Tentu saja semuanya berwajah ceria, penuh canda di latar nuansa semarak.
     Ketika melintasi pemakaman yang di malam Natal beberapa malam lalu begitu meriahnya, saya melambatkan laju kendaraan. Rupanya masih ada juga yang 'berziarah' di saat jelang pergantian tahun itu. Petasan tentu saja juga terdengar dari gelapnya pemakaman, diselingi pijar kembang api yang berseliweran di gelapnya langit. Namun kemeriahannya tidak seheboh ketika malam Natal itu.
     Saya kemudian sampai di Tomohon. Depan rumah sakit Bethesda saya pilih untuk memarkirkan kendaraan, selanjutnya berjalan menuju panggung yang telah disiapkan oleh pemerintah kota Tomohon untuk hajatan malam itu. Masih sepi, hanya pembawa acara yang hilir mudik mengatur ini dan itu. Saya kemudian melangkah ke arah Pasar Kuliher kota Tomohon.
     Sepanjang jalan menuju bangunan induk pasar, malam itu disesaki oleh pedagang kaki lima yang menawarkan aneka petasan dan kembang api. Bisa dikatakan tiga perempat dari barang dagangan yang terlihat adalah dua macam benda itu, mercon dan kembang api. Terselip diantaranya adalah penjual bunga segar dan juga penjual buah.
     Rupanya bunga segar adalah dagangan yang cukup laris di malam itu.
 suasana pasar Kuliner Tomohon jelang pergantian tahun 2014 ke 2015. Jalanan yang masih basah oleh sisa hujan yang baru saja reda, dengan rinai yang masih membayang di bias sinar lampu. Masyarakat yang ramai lalu lalang ditimpali tawaran aneka mercon dan kembang apai oleh para pedagang kaki lima yang mendominasi sepanjang jalan menuju pasar dan di dalam pasar sendiri.
 Aneka jenis petasan dan kembang api, menyesaki lapak-lapak pedagang. Saling berebut tempat dengan pedagang makanan, pedagang bunga dan pedagang panganan lainnya.
     Setelah berkeliling dan menganbil beberapa gambar di dalam pasar kuliner, saya kembali ke depan panggung. Rupanya acara sudah dimulai. Sambutan-sambutan, lalu do'a-do'a silih berganti dilantunkan, tentu saja oleh para pemimpin agama. Ada pendeta dan juga ada Imam mesjid raya Tomohon.
     Ketika sesi doa selesai, Bupati Tomohon kemudian mengambil alih kendali acara. Dengan menyampaikan harapan-harapan untuk Tomohon yang lebih baik di 2015 nanti, beliau memandu hadirin untuk bersama-sama melewati pergantian tahun. Ketika semua perangkat pemerintahannya telah berkumpul di atas panggung, maka bapak Bupati juga mengajak rakyatnya, untuk turut serta ke atas panggung. Namun hanya tiga orang sebagai simbol, karena keterbatasan luas panggung.
     Jadilah momen itu, mengantarkan saya turut naik ke panggung, karena orang yang memilih 'rakyat' itu menggandeng tangan saya untuk menuju panggung. Ah.. lagi-lagi tidak terbayangkan sebelumnya..
jelang detik-detik pergantian ke tahun 2015, bupati Tomohon bersama perangkat pemerintahannya (lurah, camat dan kepala-kepala dinas), tokoh masyarakat dan masyarakat biasa (termasuk saya -bertopi dengan kemeja kotak-kotak). Doa-doa dan harapan dipanjatkan untuk 2015 yang lebih baik.
gelas di genggaman (berisi anggur merah) diangkat tinggi untuk 'toast' mengakhiri rangkaian doa yang bertepatan dengan saat pergantian tahun ke 2015
gambar atas, masyarakat berjajar di pinggir jalan memandang ke arah panggung, menantikan aneka kembang api yang petasan yang sebentar lagi akan memeriahkan saat pergantian tahun.
gambar bawah, asap yang timbul oleh petasan dan kembang api membentuk kabut asap yang lumayan pekat yang menyelimuti Tomohon hingga menjelang subuh.
     Dan begitulah, 2014 berlalu di kota Tomohon. Di kota kecil, sejuk dan bertabur bunga itu saya mulai 2015 bi asma Allah.

ps: spesial thanks untuk si Panda 'Ahmad' yang berinisiatif mengabadikan moment-moment ketika untuk beberapa saat saya melepaskan kamera dari genggaman untuk turut dalam seremoni bersama para petinggi kota Tomohon.

     Inilah Minahasa yang ibukotanya adalah Tondano. Menyongsong perayaan Natal oleh masyarakat Minahasa yang sejatinya sebahagian terbesar adalah pemeluk agama yang disebarkan oleh Nabi Isa a.s benar-benar merupakan fenomena yang sangat menarik bagiku. Mungkin karena selama ini saya melalui suasana Natal di lingkungan yang mayoritas adalah penganut Islam, sehingga hanya sedikit dari nuansa Natal yang menyerempet ke permukaan keseharianku. Namun sungguh sangat berbeda ketika hari demi hari saya habiskan di Tondano.
     Tiga minggu menjelang hari-H itu, suasananya sudah begitu hangat tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan simbol-simbol Natal. Hiasan lampu kerlap-kerlip dengan pohon berbentuk kerucut, sudah menghiasi hampir setiap rumah di sepanjang jalan-jalan yang saya lalui. Segala macam kreasi tertuang ke sana. Ornamen-ornamen yang menghias teras, halaman, pagar, gapura, bahkan trotoar dan apa saja, semuanya sangat mudah dikenali adalah sesuatu untuk menyambut perayaan kelahiran sang Nabi.
gambar atas adalah tugu 'monas' nya Tondano yang telah penuh dengan lampu aneka warna yang menyemarakkan suasana menyambut hari Natal.
gambar bawah adalah 'jalan Boulevard' nya Tondano. sepanjang kiri kanan jalan dipasang lampu hias berbentuk salib dan pohon natal warna merah dan  hijau. Beruntung kamera di genggaman saya bisa merekam suasana syahdu malam-malam menjelang hari Natal 2014.
     Ada yang menarik dan agak tidak lazim menurut saya, adalah keriuhan di pemakaman di 24 desember malam. Pemakaman yang terletak di jalan poros Tondano-Tomohon sungguh sangat riuh malam itu. Karenanya saya tertarik untuk singgah ketika melintas disana di malam natal itu. Rupanya di saat itu sangat banyak peziarah  yang mengunjungi makam. Lilin-lilin dinyalakan dan dipasang di atas nisan kuburan yang dikunjungi oleh para kerabat. Lalu doa-doa dipanjatkan.
     Yang tidak kalah menarik tentunya, hamburan kembang api disertai suara mercon yang sahut menyahut yang berasal dari area pemakaman. Rupanya sebahagian peziarah mengekspresikan perasaan mereka (yang saya tidak tau bagaimana membahasakannya) di pemakaman itu dengan keriuhan mercon dan kembang api. Jadilah di kegelapan pekuburan yang syahdu oleh nyala lilin-lilin yang mengantar doa-doa, kemeriahan mercon dan sinar aneka warna kembang api, saling berebut kuasa di tangkapan indera-indera kita.
gambar atas adalah suasana kuburan yang terekam lensa di genggamanku.
jalan-jalan yang ramai, disemarakkan oleh aneka kendaraan hias bernuansa Natal. Penumpangnya pun mengenakan kostum beraneka rupa seperti sedang karnaval.
berkeliling kota sambil berkelompok menggunakan sepeda motor, atau bahkan menggunakan 'bendi' menjadi pemandangan yang lazim. Kendaraan roda empat ditumpangi dengan membiarkan pintu belakang terangkat tinggi sehingga penumpang bisa bersantai bergerombol menikmati kendaraan yang melaju perlahan.
tidak ketinggalan bapak polisi lalulintas dengan penutup kepala 'warna merah putih' menggantikan sementara topi standar seragam sehari-harinya.
     Tiga minggu menyongsong hari Natal adalah hari-hari dimana semarak sambung menyambung menghangatkan semangat masyarakat Minahasa. Tak tampak ada lelah karenanya. Bahkan seakan sedang berlari menuju garis finish, keriuhan yang tercipta seakan support yang memacu semangat untuk meraih kemenangan ketika hari yang dinantikan telah tiba.

     Banyak yang kemudian ikut menyandangkan label El-Clasico di dalam pertarungan klub elitnya di masing-masing kompetisi. Beberapa memang mempunyai cerita latar belakang perseteruan panjang diantara kedua klub. Katakan saja misalnya antara Mancester United dengan Liverpool. Namun beberapa lainnya, ada kesan sekadar memaksakan menempel label klasik untuk klub sepakbolanya. Bahkan laga kesebelasan Indonesia dan Malaysia pun, ada yang dengan santai menyebutnya sebagai laga El-Clasico. Mungkin untuk menambah animo penonton yang ujung-ujungnya menambah keran aliran iklan.
     Namun cetusan label El-Clasico sejatinya lahir dari daratan Andalusia. Di negeri itu, El Clasico bukan sekadar pertarungan 90 menit di lapangan antara Real Madrid melawan Barcelona. Ini adalah pertarungan dua bangsa dalam sebuah negara bernama Spanyol.
     Memang, bayangan kudeta, perlawanan, atau pemberontakan akan selalu membayangi El Clasico. Karena itu pula gaungnya akan selalu lebih tinggi, dinanti, dan diikuti ketimbang laga besar lain, atau derbi sekalipun. Sebab yang klasik sudah tentu punya nilai lebih tinggi.
     Kedua klub memang selalu (dan akan senantiasa) berseberangan karena paham-paham klasik. Real klub ibu kota, Barca pinggiran dan lepas pantai. Real asli Spanyol, Barca kebanyakan imigran. Fans Real menganut paham kanan yang nasionalis, fans Barca memilih kiri dengan etno nasionalis. Dan, tentu saja, Los Blancos jadi wakil kerajaan, sementara Blaugrana sang pemberontak.

“Barcelona adalah senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara,” Manuel Vazquez Montalban.

Bangsa Imigran yang Ingin Merdeka

    Kisah pemberontakan biasanya lahir dari tanah kesengsaraan. Tapi tidak dengan cerita dari Katalunya. Daerah yang berada di pesisir pantai ini sebenarnya lebih maju dan kaya.

     Bahkan ketika belum bersatu dalam Kerajaan Spanyol, Katalunya adalah pusat perdagangan, kebudayaan, dan jalur utama masuk ke Spanyol, dengan banyak saudagar dan kapitalis yang berkuasa di Spanyol berasal dari Barcelona. Tak heran jika mereka merasa lebih dulu tahu tentang dunia luar, ketimbang Madrid yang pusat pemerintahannya di tengah-tengah Spanyol.
     Di pantai Katalunya, imigran-imigran yang tersisih dari negaranya masing-masing diterima dengan baik. Mereka dianggap saudara senasib. Dan pembauran inilah yang menjadikan Katalunya merasa berbeda. Mereka berpikir sebagai bangsa yang harus bebas. Apalagi para awak kapal yang bersandar di pelabuhan kerap membawa cerita indah tentang kemerdekaan negara-negara luar.
     Menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan juga membuat Katalunya berpikir bahwa mereka lebih besar dari Spanyol. Apalagi Katalunya selalu berada di bawah pendudukan politik tuan tanah Kastilia yang tinggal di Madrid, meski lebih maju secara ekonomi. Katalunya hanya sapi perah bagi kumpulan orang udik tak berdaya yang duduk-duduk manis di Madrid.

     Keresahan itu lalu dimanfaatkan oleh pengusaha Swiss dan eks kapten FC Basel, Joan Gamper, dengan beberapa ekspatriat Inggris yang doyan sepakbola. Mereka mendoktrin Katalunya bahwa perjuangan mereka bisa disuarakan melalui sepakbola.
     Gamper, yang kemudian meminta dirinya dipanggil “Hans Gamper” agar terasa lebih Spanyol, mendirikan Football Club Barcelona pada 1899. Sang presiden pertama, yang belum move on dari FC Basel itu, lalu memilih warna merah biru klub lamanya untuk dipasang di Barcelona. Berikut pula terkait logo. Gamper menyelipkan logo FC Basel dan logo bendera negara Swiss di dalam logo Barcelona.

     Klub itu kemudian dibalut slogan, “Mes que un club”, atau lebih dari sebuah klub. Tagline itu untuk selalu mengingatkan bahwa Barca bukanlah klub sepak bola biasa dan bahwa Katalunya bukan sekadar daerah biasa. Ada yang diperjuangkan dengan didirikannya klub ini.
     Seorang penulis kontemporer besar di Spanyol, Manuel Vazquez Montalban, dalam novelnya berjudul "Offside", menggambarkan Barca dan Katalunya dengan satu kalimat, "senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara".

     Dengan identitas itulah Barca dan Katalunya terus menunjukkan identitas mereka yang istimewa dan perlahan mengeluarkan hawa memberontak.

     Tapi pemberontakan ini boleh dikatakan setengah-setengah. Sedari dulu Katalunya memang bergaya ingin merdeka dan mengklaim lebih besar ketimbang Spanyol. Namun tak pernah ada usaha serius untuk memberontak, atau katakanlah melakukan perang demi mewujudkan kemerdekaannya sendiri.
     Patut diingat bahwa sebagai kota perdagangan dan industri, selain memiliki buruh, Katalunya juga jadi gudangnya orang kaya yang borjuis. Meski ideologi sosialisme dan anarkisme tumbuh subur disana, Katalunya-pun adalah rumah bersahabat bagi kapitalis yang mengenggam Spanyol.

Pilihan Raja

     Meski hanya setengah-setengah, aura permusuhan dari publik Katalunya tetap sampai pada Kastillia yang menguasai Spanyol. Ditambah lagi saat itu mulai muncul gelagat pemberontakan dari anti monarki. Di bawah kekuasaan Raja Alfonso XIII, para Kastillia juga mencari cara untuk mengatasi para kelompok anti monarki, terutama Katalunya dengan Barcelonanya.
     Mereka mencoba membentuk klub tandingan di Barcelona pada 1900. Klub ini dinamakan Espanyol dengan nama yang diambil dari kata Espana dan Spanyol, demi alasan nasionalisme. Belakangan klub ini malah terlihat jadi blunder. Espanyol yang mewakili Spanyol malah lebih kecil ketimbang Barca yang hanya mewakili Katalunya

     Tak hanya di Barcelona, kerajaan Kastillia juga membentuk klub-klub nasionalis pada beberapa kota. Penggunaan kata Real (Royal, kerajaan), adalah ciri dari klub-klub bentukan mereka.

     Di Madrid yang merupakan kota pusat pemerintahan, kerajaan juga berupaya membuat klub besar untuk menandingi Barcelona. Namun di sana sudah terlanjur berdiri Madrid Football Club yang didirikan Juan Padros pada 1902. Klub ini adalah hasil usaha Padros dalam menyatukan kembali New Foot-Ball de Madrid dan Club Espanol de Madrid yang terpecah dari induknya, Football Club Sky (berdiri 1897).
     Tak perlu berepot-repot lagi mendirikan klub lagi, kerajaan kemudian memilih Madrid FC untuk jadi wakilnya. Tim ini pun diberi subsidi dari kerajaan.
     Selain letaknya di Madrid, Raja Alfonso, memilih klub ini juga karena prestasinya. Salah satunya dengan menjuarai Piala Spanyol 1905. Lebih-lebih mayoritas pemainnya bermain untuk tim nasional kerajaan yang menggunakan nama Royal Spanish Football Federation.

     Raja Alfonso pun lalu memberikan tambahan kata Real (Royal) pada Madrid FC, sehingga namanya berubah menjadi Real Madrid club de Futball pada 1920.

Sempat Di Atas Angin

     Liga pertama di Spanyol pada 1929 kian melecut semangat Katalunya. Saat itu, dari 10 klub peserta, Barcelona dikepung lima klub milik kerajaan. Mereka adalah Real Club Deportivo Espanol, Real Racing Club de Santander, Real Madrid Foot-ball Club Madrid, Real Sociedad de Foot-ball, dan Real Union Club.
     Karena semangat yang tinggi, Barcelona kemudian lolos ujian pertamanya ini. Mereka jadi juara dengan keunggulan dua angka dari Madrid pada akhir musim. Publik Katalunya senang dan bangga, sementara Kastillia gigit jari.
     Setelah merebut dua gelar juara di kompetisi berikutnya, Madrid sempat terpuruk karena berdirinya negara republik demokratis, Segunda Republica Espanola. Kekuasaan King Alfonso pun jatuh, menyusul anti monarki yang memenangkan pemilihan secara mayoritas.

     Sang raja lalu kabur ke luar negeri saat Republik Kedua Spanyol diproklamirkan pada 14 April 1931.

     Pada masa pendudukan Segunda Republica Espanola yang berlangsung hampir delapan tahun ini, Barcelona berada di atas angin. Mereka punya banyak teman senasib untuk benar-benar mewujudkan pemberontakan dan kemerdekaan. Tapi mereka tetap tidak berani menyuarakan kemerdekaan Katalunya sendiri.
     Dengan restu raja, Generalissimo Francisco Franco akhirnya mampu mengembalikan kekuasaan kerajaan pada 1939. Kali ini giliran para pemberontak dibumi-hanguskan. Tak terkecuali Barcelona yang selalu mendengungkan superiotas kebangsaan Katalunya.

Perang saudara di Spanyol pun pecah.

     Sebagai pendukung Real Madrid, Franco juga mengikuti perkembangan sepakbola secara obsesif. Ia juga tahu bahwa Barcelona adalah alat Katalunya. Menurutnya, kesebelasan Barca adalah deretan keempat yang harus disapu bersih dari Spanyol setelah kelompok komunis, anarkis, dan separatis.
     Sebenarnya, Franco bisa saja membunuh semua orang yang berkaitan dengan Barca untuk menyapu bersih segala hal yang berkaitan dengan Katalunya. Namun ia mengurungkan niatnya.

     Alih-alih membumi-hanguskan, Franco lebih berkonsentrasi untuk membunuh semangat perlawanan Barca dan sejarahnya. Seperti saat pengeboman Katalunya pada 16-18 Maret 1938. Yang dihancurkan Franco adalah kantor Barcelona tempat menyimpan piala-piala kesebelasan, bukan Nou Camp.

     Ia tentu saja bisa meratakan Nou Camp, sebagaimana ia bisa melarang publik Katalunya menggunakan bahasa ibunya sendiri. Tapi opsi ini tidak dilakukannya. Franco malah sengaja membuat Nou Camp sebagai tempat publik Katalunya meneriakkan perlawanan. Prinsipnya sederhana. Daripada Katalunya bergerilya di luar, Franco membuat suara-suara pemberontakan itu hanya bergema di dalam stadion.
     Tujuannya jelas, rakyat Katalunya dipaksa hanya menyalurkan kemarahan mereka saat pertandingan berlangsung. Pada tempat yang ditentukan Franco, pada waktu yang disediakan Franco. Perlawanan melalui chant dan bendera khas senyera di dalam stadion, yang merupakan alat pelampiasan amarah penduduk Katalunya, sebenarnya justru alat peredam perlawanan yang paling efektif.

     Dengan dibuat puas bersuara di dalam stadion, penduduk Katalunya justru dibungkam perlawanannya.
     Franco juga tak membubarkan Barcelona. Ia masih bermurah hati dengan hanya meminta klub tersebut mengganti nama dengan menggunakan bahasa Kastillia, Club de Futbal Barcelona.
     Ia juga mengerdilkan sejarah Barca. Pada 1943, dalam semifinal Piala Generalissimo (sekarang Copa Del Rey), ia menebar ancaman hukuman mati kepada Blaugrana. Hasilnya, Real yang menjadi lawan Barca menang fantastis 11-1. Kemenangan yang selalu dijadikan didengungkan Real tentang sejarah.

     Pada akhirnya Franco sukses memadamkan pemberontakan di Spanyol. Segunda Republica Espanola, yang mengungsi ke Meksiko, membubarkan diri pada 1976.
     Namun Franco tak pernah bisa memadamkan semangat perlawanan pendukung Barcelona pada pemerintah dan alatnya, Real Madrid. Sakit hati kepada Real dan Kastillia tetap abadi hingga kini. Tapi, tetap sebatas pertandingan sepakbola dan di dalam Nou Camp.
     Karena sikap yang tak pernah benar-benar mau memberontak itulah, Katalunya paling banter hanya mendapatkan otonomi atau daerah istimewa di Spanyol. Mereka tak pernah benar-benar bebas dan tak pernah benar-benar menuntut. Kemerdekaan dan kebesaran Katalunya hanya ada di dalam stadion.
     Persis seperti yang diinginkan Franco.

     Barcelona pun menjadi semacam Pemberontakan yang Tak Pernah (dibuat) Selesai.

Fajar Rahman - detikSport
Sabtu, 22/03/2014 13:10 WIB

     Semula keberadaan kami berlima di tanah Kajang, hanyalah dalam rangka membantu Wawan untuk merampungkan pengumpulan data lapangan untuk penyelesaian tugas akhirnya. Sebagai mahasiswa geology, maka kewajiban tugas akhir waktu itu adalah melakukan pemetaan di wilayah 81 km persegi. Untuk kepentingan itulah, kami kemudian berkenalan dengan masyarakat Kajang, tempat di mana data-data itu kami kumpulkan. Selama sepuluh hari kami tinggal di rumah Karaeng Liong, salah seorang tokoh Kajang Dalam. Beliau menyandang tugas sebagai Loha Kanang (paha kanan => terjemahan bebas) di dalam struktur kebudayaan masyarakat Kajang Dalam.
     Apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai Loha Kanang, tidak sempat kami kaji lebih jauh. Tidak banyak informasi yang diceritakan oleh Karaeng Liong pada waktu itu. Satu hal yang kami tau pasti, beliau salah satu orang yang mampu melakukan pengobatan dalam tata cara yang unik namun telah mapan di tengah masyarakat Kajang Dalam. Istilah Kajang Dalam sendiri merujuk ke masyarakat Kajang yang masih terisolasi dari pengaruh luar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, waktu itu tahun 1985 tanpa penerangan listrik dan tanpa perlengkapan teknologi sama sekali. Bercocok tanam padi dilakukan sekali dalam setahun, mengikuti ritme musim hujan-kemarau.
Amma Toa di Kajang, Puto Cacong, tahun 1985. Beliau adalah Amma terakhir yang terpilih melalui proses seleksi alam yang rumit penuh nuansa sakral dan mistis. Sepeninggal beliau wafat, sempat terjadi kekosongan posisi Amma Toa (pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang) untuk beberapa waktu. Proses alamiah yang ditunggu masyarakat adat tidak kunjung membuahkan hasil, tidak ada penentuan siapa yang mendapatkan petunjuk wahyu dari langit untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di masyarakat Kajang yang masih original.
 bercengkerama dengan keluarga Karaeng Liong.
     Sementara tempat kami bermalam ini, berada di Kajang Luar. Masyarakat sudah lebih bebas, berpakaian pun sudah tidak terikat harus berwarna hitam. Teknologi dan pendidikan sudah berkembang, terlihat dengan banyaknya anak-anak beraktifikas ke sekolah dan mengerjakan tugar-tugas yang diberikan oleh gurunya. Lalu mengapa Karaeng Liong yang memegang jabatan budaya di Kajang dalam malah tinggal di Kalimporo yang berada di Kajang luar? Menarik fenomena itu, ternyata beliau mau lebih berkembang, bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang semuanya itu tidak bisa dilakukan bila tetap tinggal di Kajang dalam.
     Maka di kemudian hari, di saat sekarang ini, anak-anak beliau sudah bisa mengecap buah pendidikan yang mereka semai dahulu. Kualitas kehidupan, pendidikan dan ekonomi yang mapan telah mereka nikmati sekarang ini.
     Untuk menjangkau lokasi Kajang Dalam waktu itu, dari Kalimporo kami biasanya menempuh hutan larangan. Selama satu setengah jamberjalan kaki untuk sampai ke jantung Kajang Dalam. Hutan larangan yang tentu saja menyiratkan aroma mistis, sekaligus mewariskan kearifan yang begitu luhur. Salah satu pesan terpenting ketika hendak melintasi hutan itu adalah, tidak boleh sembarangan memetik atau menebas pepohonan di dalam hutan. Selain itu harus tetap menjaga hati untuk selalu bersahaja, tidak boleh congkak dan angkuh. Suatu perilaku yang dikemudian hari diketahui sebagai kearifan yang luar biasa di dalam melestarikan hutan yang ada di Kajang.
 beliau masih begitu bugar di tahun 1985.
bersama Yustin Kamah, Sulaeman Kamaruddin, Wawan Said dan saya sendiri Hero Fitrianto 
     Kembali ke masalah kemampuan Karaeng Liong dalam ritual penyembuhan yang yang diyakininya, saya sendiri mempunyai kenangan yang tidak terlupakan. Di waktu itu, saya mengalami sedikit gangguan di jantung. Akibat over training sewaktu masih SMA, jantung saya mengalami sedikit ketidak normalan fungsi. Nyeri kadang muncul tiba-tiba tanpa saya ketahui tanda atau penyebabnya. Dan untuk itulah, beliau bermaksud mengobati penyakit saya itu. Saya hanya diminta mempersiapkan mental menjalani prosesnya. Hari itu masih minggu, dan beliau menjanjikan jumat nanti, seperti ritual yang biasa beliau lakukan, akan membakar linggis hingga merah kemudian akan ditempelkan ke dada saya untuk menghilangkan sakit itu.
     Ngeri sekali membayangkannya. Ritual pengobatan itu sendiri sudah sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi Indonesia.. sebagai informasi saja bila hendak lebih tahu lebih detailnya. Dan untunglah bagi saya, karena rombongan kami jadwalnya hanya sampai hari Rabu, sehingga saya tidak sempat untuk menjalani ritual itu. Suatu keberuntungan menurut saya, karena sampai hari ini, saya belum pernah untuk cukup kuat mental menjalani proses itu.
 Agustus 2013, saya dan Wawan berkesempatan bertemu beliau di Kassi - Kajang. 
Dalam usia yang sudah begitu sepuh (lahir 1922), fisik beliau masih nampak begitu bugar. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, misalnya kemampuan pendengaran beliau yang sudah begitu buruk. Kehadiran kami ternyata tidak sanggup mengusik kemampuan menggali rekaman memori beliau pada 28 tahun yang lalu. Namun bagaimanapun, suatu kesyukuran masih bisa bertemu muka.
     Masih begitu banyak hal yang tetap menjadi mesteri untuk saya, mengenai tanah Kajang itu. Suatu harapan, bisa berkesempatan lagi menelisik lebih detail fenomena kekinian masyarakat Kajang itu.

di puncak-puncak tinggi itu
cinta memahat harap dan kecemasan
menggelitik adrenalin yang lena
berpacu menuju limit

di kabut tipis yang melayang rendah
sebaris, sebait lalu selaksa janji terserak liar
membelai lembut setiap pucuk di ladang bawang
untuk sang kabut atau sang janji
setiap harap dan cemas itu

di sejengkal pijakan yang lebih tinggi itu
tidak ada pilihan untuk menjadi munafik
meski sehembus nafas itu hanya debu kosmik
namun masih terlalu mulia untuk bertahan
demi sekadar sepotong oportunisme
di dalam lakon syahwat egoisme

di sini
dari telapak yang jejaknya hampir selalu samar
hanya sekeping cinta yang selalu menyertai
menyapa alam
untuk metamorfosa menuju gerbang-Nya
adakah cinta itu masih cinta yang layak
untuk dia yang maha tercinta

di tanah lembanna
setiap pucuk di ladang bawang itu
adalah cintaNya

photo : sunrire at Annapurna by Colman Li published National Geographi
 

                                    senja menjemput merah resah
                                    camar cakar-cakar langit bias
                                    terlalu lemah untuk sekadar satu
                                    gurat siluet cakrawala cinta
                                    di ujung kaki langit
                                    semakin merah

                      di dermaga itu cinta
                      air mata telah pupus
                      siluet camar-camar terlalu lemah
                      kaki langit merah duka
                      redup diam
                      menuju malam

                                                  mencumbu bibir senja
                                                  siluet itu
                                                  semakin pudar
                                                  lalu malam menerkam
                                                  hampa

                              hampa yang tersisa di malam
                              hanya gelap
                              untuk setiap detik selanjutnya
                              akankah menuju pagi
                              atau hanya istilah kata-kata
                              di rupa hampa yang lain

                                                                   cakrawala
                                                                           kaki langit
                                                                                  fatamorgana
                                                                                           jauh..
Photography by Jon Nazca - Reuters

     "Angkuh bagaikan gunung-gunungnya, megah bagaikan alamnya, yang sungai­-sungainya di daerah-daerah nan tinggi mengalir cepat, garang tak tertundukkan, terutama pada musim penghujan; air-air terjun tertumpah seakan mendidih, membusa, bergelora; ungkapan semangat kerap menyala hingga amarah yang tak memandang apa-apa dan siapa-siapa. Namun sebagaimana gunung nan garang yang terpancang kokoh dengan sungai yang menggelora, perlahan-lahan akan berakhir tenang semakin ia mendekati pantai. Demikian pulalah orang Bugis dan Makassar, dalam ketenangan dapat menerima apa yang baik dan indah". Begitu tulis John A.F. Schut dalam bukunya "De Volken van Nederlandsch lndie" jilid I yang bahasannya berjudul : De Makassaren en Boegineezen.
     Gambaran yang terasa global untuk mewakili karakter umum Suku Bugis Makassar, apalagi bila hendak fokus ke Makassar saja. Dari berbagai sumber online maupun offline, saya kemudian juga tertarik untuk memposting sedikit kisah bagaimana awal mulanya sehingga daerah kecil yang dahulu di dalam wilayah kerajaan Tallo, kemudian diberi nama Makassar.
     Sumber-sumber Portugis pada permulaan abad ke-16 telah mencatat nama "Makassar". Di abad ke-16 "Makassar” sudah menjadi ibu kota Kerajaan Gowa. Dan pada Abad itu pula, Makassar sebagai ibu kota sudah dikenal oleh bangsa asing.

     Selama tiga malam berturut-turut Baginda Raja Tallo ke-VI Mangkubumi Kerajaan Gowa, I Mallingkaang Daeng Mannyonri KaraEng Katangka yang merangkap Tuma'bicara Butta ri Gowa (lahir tahun 1573), bermimpi melihat cahaya bersinar yang muncul dari tepi pantai wilayah kerajaannya, Tallo. Cahaya kemilau nan indah itu memancar keseluruh Butta Gowa lalu menyebar ke arah negeri sahabat lainnya.
     Bersamaan di malam ketiga Raja bermimpi itu, yakni malam Jum'at tanggal 9 Jumadil Awal 1014 H atau tanggal 22 September 1605 M, di bibir pantai Tallo merapatlah sebuah perahu kecil. Layarnya terbuat dari sorban, yang berkibar kencang dihembus angin laut. Ketika merapat di pantai, nampaklah sesosok lelaki dengan tenang dan tangkas, menambatkan perahunya. Setelah itu, sosok lelaki tersebut melakukan gerakan-gerakan aneh berulang-ulang seperti suatu ritual. Gerakan-gerakan tersebut di kemudian hari dikenal sebagai gerakan orang bersembahyang dalam ajaran agama Islam (shalat).
     Cahaya yang terpancar dari tubuh Ielaki itu menjadikan pemandangan yang menggemparkan penduduk Tallo, yang sontak ramai membicarakannya hingga sampai ke telinga Baginda KaraEng Katangka. Di ujung malam menjelang subuh yang masih begitu gelap, Baginda tidak mampu menahan diri untuk bergegas ke pantai hendak menyaksikan kehebohan yang sudah begitu menggemparkan. Baru saja Baginda hendak melangkah keluar istana, tiba-tiba lelaki itu sudah muncul ‘menghadang’ di gerbang istana. Berjubah putih dengan sorban berwarna hijau. Wajahnya teduh. Seluruh tubuhnya memancarkan cahaya. . (Darwa Rasyid MS., Peristiwa Tahun-tahun Bersejarah Sulawesi Selatan dari Abad ke XIV s/d XIX, hal.36)
     Lelaki itu lalu menjabat tangan Baginda Raja dengan erat, yang terasa kaku lantaran masih takjub oleh situasi yang begitu tiba-tiba. Masih sambil menggenggam tangan itu lalu ‘ia’ menulis kalimat di telapak tangan Baginda. Karena begitu terkesima, Baginda hanya bisa membiarkan semua kejadian itu tanpa mengelak sedikitpun. Setelah selesai menulis, lelaki itu mengangkat wajahnya dan tersenyum hormat kepada Baginda.
     "Perlihatkan tulisan ini pada lelaki yang sebentar lagi akan merapat di pantai,” begitu suara lembut namun tegas dari lelaki itu, yang tiba-tiba hanya dalam sekejap menghilang begitu saja dari hadapan raja. Baginda sangat terperanjat. la meraba-raba matanya untuk memastikan ia tidak sedang bermimpi. Dilihatnya telapak tangannya dan ternyata tulisan yang dibuat lelaki itu masih nampak begitu nyata dan jelas. Tidak menunggu lama, Baginda KaraEng Katangka lalu bergegas ke pantai. Betul saja, seorang lelaki dengan penampilan berbeda dari rakyat kebanyakan,  tampak tengah menambatkan perahu. Sesaat kemudian ia dengan takzim menyampaikan salam dengan begitu hormat memenyambut kedatangan Baginda.
     Singkat cerita, Baginda menceritakan pengalamannya tadi dan menunjukkan tulisan di telapak tangannya pada lelaki itu. Setelah selesai menyimak penuturan Baginda, lelaki itu tersenyum lalu berujar lembut,
     “Berbahagialah Baginda. Tulisan ini adalah dua kalimat syahadat”. Melihat raja mencoba mengerti apa yang dikatakannya, lelaki itu melanjutkan, “Adapun lelaki yang menuliskannya tadi, adalah Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wassallam sendiri. Nabi yang mulia itu telah menampakkan diri di Negeri Baginda.”
     Peristiwa inilah yang kemudian dipercaya sebagai jejak sejarah asal-usul nama "Makassar", berasal dari ungkapan "Akkasaraki Nabbiya", yang artinya ‘Nabi menampakkan diri’.
     Adapun lelaki yang mendarat di pantai Tallo itu adalah Abdul Ma'mur Khatib Tunggal yang kemudian dikenal sebagai Datuk Ri Bandang, berasal dari Kota Tengah (Minangkabau, Sumatera Barat). Sementara Raja yang bertemu dengan ‘orang bercahaya’ itu adalah Baginda Raja Tallo bernama I Mallingkaang Daeng Manyonri KaraEng Katangka, yang setelah memeluk Agama Islam kemudian bergelar 'Sultan Abdullah Awaluddin Awwalul Islam KaraEng Tallo Tumenanga ri Agamana'. Beliau adalah Raja pertama yang memeluk agama Islam di dataran Sulawesi Selatan.

     Selain itu, penelusuran asal nama "Makassar" juga bisa ditinjau dari beberapa sudut analisa yang lain, misalnya:
     Makna. Untuk menjadi manusia yang sempurna, maka manusia perlu "Ampakasaraki", yaitu menjelmakan (menjasmanikan) apa yang terkandung dalam bathin untuk diwujudkan sebagai perbuatan. "Mangkasarak" artinya mewujudkan dirinya sebagai manusia sempurna dalam ajaran Tao atau Tau (ilmu keyakinan bathin). Bukan seperti pemahaman sebagian orang bahwa "Mangkasarak" berarti orang kasar yang mudah tersinggung.
     Bahasa. Dari segi Etimologi (Daeng Ngewa, 1972:1-2), Makassar berasal dari kata "Mangkasarak" yang terdiri atas dua morfem ikat "mang" dan morfem bebas "kasarak".
Morfem ikat "mang" mengandung arti:
          - Memiliki sifat seperti yang terkandung dalam kata dasarnya.
          - Menjadi atau menjelmakan diri seperti yang dinyatakan oleh kata dasarnya. ­
Morfem bebas "kasarak" mengandung arti:
          - Terang, nyata, jelas, tegas.
          - Nampak dari penjelasan.
          - Besar (lawan kata: kecil atau halus).
     Jadi, kata "Mangkasarak" Mengandung arti memiliki sifat besar (mulia) dan berterus terang (Jujur). Sebagai nama, orang yang memiliki sifat atau karakter "Mangkasarak" berarti orang tersebut besar (mulia), berterus terang (Jujur). Sebagaimana di bibir begitu pula di hati.

     Dalam ungkapan "Akkana Mangkasarak", maksudnya berkata terus terang, meski pahit, dengan penuh keberanian dan rasa tanggung jawab. Dengan kata "Mangkasarak" ini dapatlah disimpulkan bahwa kalau dia diperlakukan baik, ia lebih baik. Kalau diperlakukan dengan halus, dia lebih halus, dan kalau dia dihormati, maka dia akan lebih hormat.
Kompleks makam Raja-raja Tallo. Di tempat ini dimakamkan Sultan Mudhafar (Raja Tallo VII), Karaeng Sinrinjala, Syaifuddin (Raja Tallo XI), Siti Saleha (Raja Tallo XII), La Oddang Riu Daeng Mangeppe (Sultan XVI) juga I Malingkaang Daeng Manyonri (Raja Tallo pertama yang memeluk agama Islam) - Raja Daeng Manyori ini juga mendapat julukan sebagai 'Macan Putih dari Tallo' dan Karaeng Tuammalianga ri Timoro (Raja yang berpulang di Timur) (foto : isnuansa.com)

Kapal-kapal kayu Phinisi di pelabuhan Paotere' Makassar (foto : aci.detik.travel)

Pemukiman menuju pelabuhan Paotere' (foto : blog.travelpod.com)

Salah satu sisi kanal yang membelah kota Makassar (foto : faizalramadhan.com)

 Coto Makassar (foto : darimakassar.com)

Sop Konro dengan varian Konro Bakar (foto : mitrasites.com)

Benteng Port Rotterdam (foto : travel.kompas.com)
 
Bandara Sultan Hasanuddin (foto : makassarterkini.com)
Pantai Losari (foto : yaszero.com)

Pantai Losari dari sudut yang lain (foto : suharman-musa.blogspot.com)

 Salah satu bagian kota Makassar

Mesjid Raya Makassar (foto : gallery.makassarkota.go.id)

 Al-Markaz Al Islami Makassar (foto : semuahanyamasalalu.blogspot.com)

 Lapangan Karebosi (foto : Kaskus)

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.