Cerita Klasik El-Clasico

     Banyak yang kemudian ikut menyandangkan label El-Clasico di dalam pertarungan klub elitnya di masing-masing kompetisi. Beberapa memang mempunyai cerita latar belakang perseteruan panjang diantara kedua klub. Katakan saja misalnya antara Mancester United dengan Liverpool. Namun beberapa lainnya, ada kesan sekadar memaksakan menempel label klasik untuk klub sepakbolanya. Bahkan laga kesebelasan Indonesia dan Malaysia pun, ada yang dengan santai menyebutnya sebagai laga El-Clasico. Mungkin untuk menambah animo penonton yang ujung-ujungnya menambah keran aliran iklan.
     Namun cetusan label El-Clasico sejatinya lahir dari daratan Andalusia. Di negeri itu, El Clasico bukan sekadar pertarungan 90 menit di lapangan antara Real Madrid melawan Barcelona. Ini adalah pertarungan dua bangsa dalam sebuah negara bernama Spanyol.
     Memang, bayangan kudeta, perlawanan, atau pemberontakan akan selalu membayangi El Clasico. Karena itu pula gaungnya akan selalu lebih tinggi, dinanti, dan diikuti ketimbang laga besar lain, atau derbi sekalipun. Sebab yang klasik sudah tentu punya nilai lebih tinggi.
     Kedua klub memang selalu (dan akan senantiasa) berseberangan karena paham-paham klasik. Real klub ibu kota, Barca pinggiran dan lepas pantai. Real asli Spanyol, Barca kebanyakan imigran. Fans Real menganut paham kanan yang nasionalis, fans Barca memilih kiri dengan etno nasionalis. Dan, tentu saja, Los Blancos jadi wakil kerajaan, sementara Blaugrana sang pemberontak.

“Barcelona adalah senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara,” Manuel Vazquez Montalban.

Bangsa Imigran yang Ingin Merdeka

    Kisah pemberontakan biasanya lahir dari tanah kesengsaraan. Tapi tidak dengan cerita dari Katalunya. Daerah yang berada di pesisir pantai ini sebenarnya lebih maju dan kaya.

     Bahkan ketika belum bersatu dalam Kerajaan Spanyol, Katalunya adalah pusat perdagangan, kebudayaan, dan jalur utama masuk ke Spanyol, dengan banyak saudagar dan kapitalis yang berkuasa di Spanyol berasal dari Barcelona. Tak heran jika mereka merasa lebih dulu tahu tentang dunia luar, ketimbang Madrid yang pusat pemerintahannya di tengah-tengah Spanyol.
     Di pantai Katalunya, imigran-imigran yang tersisih dari negaranya masing-masing diterima dengan baik. Mereka dianggap saudara senasib. Dan pembauran inilah yang menjadikan Katalunya merasa berbeda. Mereka berpikir sebagai bangsa yang harus bebas. Apalagi para awak kapal yang bersandar di pelabuhan kerap membawa cerita indah tentang kemerdekaan negara-negara luar.
     Menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan juga membuat Katalunya berpikir bahwa mereka lebih besar dari Spanyol. Apalagi Katalunya selalu berada di bawah pendudukan politik tuan tanah Kastilia yang tinggal di Madrid, meski lebih maju secara ekonomi. Katalunya hanya sapi perah bagi kumpulan orang udik tak berdaya yang duduk-duduk manis di Madrid.

     Keresahan itu lalu dimanfaatkan oleh pengusaha Swiss dan eks kapten FC Basel, Joan Gamper, dengan beberapa ekspatriat Inggris yang doyan sepakbola. Mereka mendoktrin Katalunya bahwa perjuangan mereka bisa disuarakan melalui sepakbola.
     Gamper, yang kemudian meminta dirinya dipanggil “Hans Gamper” agar terasa lebih Spanyol, mendirikan Football Club Barcelona pada 1899. Sang presiden pertama, yang belum move on dari FC Basel itu, lalu memilih warna merah biru klub lamanya untuk dipasang di Barcelona. Berikut pula terkait logo. Gamper menyelipkan logo FC Basel dan logo bendera negara Swiss di dalam logo Barcelona.

     Klub itu kemudian dibalut slogan, “Mes que un club”, atau lebih dari sebuah klub. Tagline itu untuk selalu mengingatkan bahwa Barca bukanlah klub sepak bola biasa dan bahwa Katalunya bukan sekadar daerah biasa. Ada yang diperjuangkan dengan didirikannya klub ini.
     Seorang penulis kontemporer besar di Spanyol, Manuel Vazquez Montalban, dalam novelnya berjudul "Offside", menggambarkan Barca dan Katalunya dengan satu kalimat, "senjata dahsyat dari sebuah bangsa tanpa negara".

     Dengan identitas itulah Barca dan Katalunya terus menunjukkan identitas mereka yang istimewa dan perlahan mengeluarkan hawa memberontak.

     Tapi pemberontakan ini boleh dikatakan setengah-setengah. Sedari dulu Katalunya memang bergaya ingin merdeka dan mengklaim lebih besar ketimbang Spanyol. Namun tak pernah ada usaha serius untuk memberontak, atau katakanlah melakukan perang demi mewujudkan kemerdekaannya sendiri.
     Patut diingat bahwa sebagai kota perdagangan dan industri, selain memiliki buruh, Katalunya juga jadi gudangnya orang kaya yang borjuis. Meski ideologi sosialisme dan anarkisme tumbuh subur disana, Katalunya-pun adalah rumah bersahabat bagi kapitalis yang mengenggam Spanyol.

Pilihan Raja

     Meski hanya setengah-setengah, aura permusuhan dari publik Katalunya tetap sampai pada Kastillia yang menguasai Spanyol. Ditambah lagi saat itu mulai muncul gelagat pemberontakan dari anti monarki. Di bawah kekuasaan Raja Alfonso XIII, para Kastillia juga mencari cara untuk mengatasi para kelompok anti monarki, terutama Katalunya dengan Barcelonanya.
     Mereka mencoba membentuk klub tandingan di Barcelona pada 1900. Klub ini dinamakan Espanyol dengan nama yang diambil dari kata Espana dan Spanyol, demi alasan nasionalisme. Belakangan klub ini malah terlihat jadi blunder. Espanyol yang mewakili Spanyol malah lebih kecil ketimbang Barca yang hanya mewakili Katalunya

     Tak hanya di Barcelona, kerajaan Kastillia juga membentuk klub-klub nasionalis pada beberapa kota. Penggunaan kata Real (Royal, kerajaan), adalah ciri dari klub-klub bentukan mereka.

     Di Madrid yang merupakan kota pusat pemerintahan, kerajaan juga berupaya membuat klub besar untuk menandingi Barcelona. Namun di sana sudah terlanjur berdiri Madrid Football Club yang didirikan Juan Padros pada 1902. Klub ini adalah hasil usaha Padros dalam menyatukan kembali New Foot-Ball de Madrid dan Club Espanol de Madrid yang terpecah dari induknya, Football Club Sky (berdiri 1897).
     Tak perlu berepot-repot lagi mendirikan klub lagi, kerajaan kemudian memilih Madrid FC untuk jadi wakilnya. Tim ini pun diberi subsidi dari kerajaan.
     Selain letaknya di Madrid, Raja Alfonso, memilih klub ini juga karena prestasinya. Salah satunya dengan menjuarai Piala Spanyol 1905. Lebih-lebih mayoritas pemainnya bermain untuk tim nasional kerajaan yang menggunakan nama Royal Spanish Football Federation.

     Raja Alfonso pun lalu memberikan tambahan kata Real (Royal) pada Madrid FC, sehingga namanya berubah menjadi Real Madrid club de Futball pada 1920.

Sempat Di Atas Angin

     Liga pertama di Spanyol pada 1929 kian melecut semangat Katalunya. Saat itu, dari 10 klub peserta, Barcelona dikepung lima klub milik kerajaan. Mereka adalah Real Club Deportivo Espanol, Real Racing Club de Santander, Real Madrid Foot-ball Club Madrid, Real Sociedad de Foot-ball, dan Real Union Club.
     Karena semangat yang tinggi, Barcelona kemudian lolos ujian pertamanya ini. Mereka jadi juara dengan keunggulan dua angka dari Madrid pada akhir musim. Publik Katalunya senang dan bangga, sementara Kastillia gigit jari.
     Setelah merebut dua gelar juara di kompetisi berikutnya, Madrid sempat terpuruk karena berdirinya negara republik demokratis, Segunda Republica Espanola. Kekuasaan King Alfonso pun jatuh, menyusul anti monarki yang memenangkan pemilihan secara mayoritas.

     Sang raja lalu kabur ke luar negeri saat Republik Kedua Spanyol diproklamirkan pada 14 April 1931.

     Pada masa pendudukan Segunda Republica Espanola yang berlangsung hampir delapan tahun ini, Barcelona berada di atas angin. Mereka punya banyak teman senasib untuk benar-benar mewujudkan pemberontakan dan kemerdekaan. Tapi mereka tetap tidak berani menyuarakan kemerdekaan Katalunya sendiri.
     Dengan restu raja, Generalissimo Francisco Franco akhirnya mampu mengembalikan kekuasaan kerajaan pada 1939. Kali ini giliran para pemberontak dibumi-hanguskan. Tak terkecuali Barcelona yang selalu mendengungkan superiotas kebangsaan Katalunya.

Perang saudara di Spanyol pun pecah.

     Sebagai pendukung Real Madrid, Franco juga mengikuti perkembangan sepakbola secara obsesif. Ia juga tahu bahwa Barcelona adalah alat Katalunya. Menurutnya, kesebelasan Barca adalah deretan keempat yang harus disapu bersih dari Spanyol setelah kelompok komunis, anarkis, dan separatis.
     Sebenarnya, Franco bisa saja membunuh semua orang yang berkaitan dengan Barca untuk menyapu bersih segala hal yang berkaitan dengan Katalunya. Namun ia mengurungkan niatnya.

     Alih-alih membumi-hanguskan, Franco lebih berkonsentrasi untuk membunuh semangat perlawanan Barca dan sejarahnya. Seperti saat pengeboman Katalunya pada 16-18 Maret 1938. Yang dihancurkan Franco adalah kantor Barcelona tempat menyimpan piala-piala kesebelasan, bukan Nou Camp.

     Ia tentu saja bisa meratakan Nou Camp, sebagaimana ia bisa melarang publik Katalunya menggunakan bahasa ibunya sendiri. Tapi opsi ini tidak dilakukannya. Franco malah sengaja membuat Nou Camp sebagai tempat publik Katalunya meneriakkan perlawanan. Prinsipnya sederhana. Daripada Katalunya bergerilya di luar, Franco membuat suara-suara pemberontakan itu hanya bergema di dalam stadion.
     Tujuannya jelas, rakyat Katalunya dipaksa hanya menyalurkan kemarahan mereka saat pertandingan berlangsung. Pada tempat yang ditentukan Franco, pada waktu yang disediakan Franco. Perlawanan melalui chant dan bendera khas senyera di dalam stadion, yang merupakan alat pelampiasan amarah penduduk Katalunya, sebenarnya justru alat peredam perlawanan yang paling efektif.

     Dengan dibuat puas bersuara di dalam stadion, penduduk Katalunya justru dibungkam perlawanannya.
     Franco juga tak membubarkan Barcelona. Ia masih bermurah hati dengan hanya meminta klub tersebut mengganti nama dengan menggunakan bahasa Kastillia, Club de Futbal Barcelona.
     Ia juga mengerdilkan sejarah Barca. Pada 1943, dalam semifinal Piala Generalissimo (sekarang Copa Del Rey), ia menebar ancaman hukuman mati kepada Blaugrana. Hasilnya, Real yang menjadi lawan Barca menang fantastis 11-1. Kemenangan yang selalu dijadikan didengungkan Real tentang sejarah.

     Pada akhirnya Franco sukses memadamkan pemberontakan di Spanyol. Segunda Republica Espanola, yang mengungsi ke Meksiko, membubarkan diri pada 1976.
     Namun Franco tak pernah bisa memadamkan semangat perlawanan pendukung Barcelona pada pemerintah dan alatnya, Real Madrid. Sakit hati kepada Real dan Kastillia tetap abadi hingga kini. Tapi, tetap sebatas pertandingan sepakbola dan di dalam Nou Camp.
     Karena sikap yang tak pernah benar-benar mau memberontak itulah, Katalunya paling banter hanya mendapatkan otonomi atau daerah istimewa di Spanyol. Mereka tak pernah benar-benar bebas dan tak pernah benar-benar menuntut. Kemerdekaan dan kebesaran Katalunya hanya ada di dalam stadion.
     Persis seperti yang diinginkan Franco.

     Barcelona pun menjadi semacam Pemberontakan yang Tak Pernah (dibuat) Selesai.

Fajar Rahman - detikSport
Sabtu, 22/03/2014 13:10 WIB

Banyak yang kemudian ikut menyandangkan label El-Clasico di dalam pertarungan klub elitnya di masing-masing kompetisi. Beberapa memang mempunyai cerita latar belakang perseteruan panjang diantara kedua klub. Katakan saja misalnya antara Mancester United dengan Liverpool. Namun beberapa lainnya, ada kesan sekadar memaksakan menempel label klasik untuk klub sepakbolanya. Bahkan laga kesebelasan Indonesia dan Malaysia pun, ada yang dengan santai menyebutnya sebagai laga El-Clasico. Mungkin untuk menambah animo penonton yang ujung-ujungnya menambah keran aliran iklan.

Label: ,

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.