Loha Kanang ri Kajang

     Semula keberadaan kami berlima di tanah Kajang, hanyalah dalam rangka membantu Wawan untuk merampungkan pengumpulan data lapangan untuk penyelesaian tugas akhirnya. Sebagai mahasiswa geology, maka kewajiban tugas akhir waktu itu adalah melakukan pemetaan di wilayah 81 km persegi. Untuk kepentingan itulah, kami kemudian berkenalan dengan masyarakat Kajang, tempat di mana data-data itu kami kumpulkan. Selama sepuluh hari kami tinggal di rumah Karaeng Liong, salah seorang tokoh Kajang Dalam. Beliau menyandang tugas sebagai Loha Kanang (paha kanan => terjemahan bebas) di dalam struktur kebudayaan masyarakat Kajang Dalam.
     Apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai Loha Kanang, tidak sempat kami kaji lebih jauh. Tidak banyak informasi yang diceritakan oleh Karaeng Liong pada waktu itu. Satu hal yang kami tau pasti, beliau salah satu orang yang mampu melakukan pengobatan dalam tata cara yang unik namun telah mapan di tengah masyarakat Kajang Dalam. Istilah Kajang Dalam sendiri merujuk ke masyarakat Kajang yang masih terisolasi dari pengaruh luar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, waktu itu tahun 1985 tanpa penerangan listrik dan tanpa perlengkapan teknologi sama sekali. Bercocok tanam padi dilakukan sekali dalam setahun, mengikuti ritme musim hujan-kemarau.
Amma Toa di Kajang, Puto Cacong, tahun 1985. Beliau adalah Amma terakhir yang terpilih melalui proses seleksi alam yang rumit penuh nuansa sakral dan mistis. Sepeninggal beliau wafat, sempat terjadi kekosongan posisi Amma Toa (pemimpin tertinggi masyarakat adat Kajang) untuk beberapa waktu. Proses alamiah yang ditunggu masyarakat adat tidak kunjung membuahkan hasil, tidak ada penentuan siapa yang mendapatkan petunjuk wahyu dari langit untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan di masyarakat Kajang yang masih original.
 bercengkerama dengan keluarga Karaeng Liong.
     Sementara tempat kami bermalam ini, berada di Kajang Luar. Masyarakat sudah lebih bebas, berpakaian pun sudah tidak terikat harus berwarna hitam. Teknologi dan pendidikan sudah berkembang, terlihat dengan banyaknya anak-anak beraktifikas ke sekolah dan mengerjakan tugar-tugas yang diberikan oleh gurunya. Lalu mengapa Karaeng Liong yang memegang jabatan budaya di Kajang dalam malah tinggal di Kalimporo yang berada di Kajang luar? Menarik fenomena itu, ternyata beliau mau lebih berkembang, bisa menyekolahkan anak-anaknya, yang semuanya itu tidak bisa dilakukan bila tetap tinggal di Kajang dalam.
     Maka di kemudian hari, di saat sekarang ini, anak-anak beliau sudah bisa mengecap buah pendidikan yang mereka semai dahulu. Kualitas kehidupan, pendidikan dan ekonomi yang mapan telah mereka nikmati sekarang ini.
     Untuk menjangkau lokasi Kajang Dalam waktu itu, dari Kalimporo kami biasanya menempuh hutan larangan. Selama satu setengah jamberjalan kaki untuk sampai ke jantung Kajang Dalam. Hutan larangan yang tentu saja menyiratkan aroma mistis, sekaligus mewariskan kearifan yang begitu luhur. Salah satu pesan terpenting ketika hendak melintasi hutan itu adalah, tidak boleh sembarangan memetik atau menebas pepohonan di dalam hutan. Selain itu harus tetap menjaga hati untuk selalu bersahaja, tidak boleh congkak dan angkuh. Suatu perilaku yang dikemudian hari diketahui sebagai kearifan yang luar biasa di dalam melestarikan hutan yang ada di Kajang.
 beliau masih begitu bugar di tahun 1985.
bersama Yustin Kamah, Sulaeman Kamaruddin, Wawan Said dan saya sendiri Hero Fitrianto 
     Kembali ke masalah kemampuan Karaeng Liong dalam ritual penyembuhan yang yang diyakininya, saya sendiri mempunyai kenangan yang tidak terlupakan. Di waktu itu, saya mengalami sedikit gangguan di jantung. Akibat over training sewaktu masih SMA, jantung saya mengalami sedikit ketidak normalan fungsi. Nyeri kadang muncul tiba-tiba tanpa saya ketahui tanda atau penyebabnya. Dan untuk itulah, beliau bermaksud mengobati penyakit saya itu. Saya hanya diminta mempersiapkan mental menjalani prosesnya. Hari itu masih minggu, dan beliau menjanjikan jumat nanti, seperti ritual yang biasa beliau lakukan, akan membakar linggis hingga merah kemudian akan ditempelkan ke dada saya untuk menghilangkan sakit itu.
     Ngeri sekali membayangkannya. Ritual pengobatan itu sendiri sudah sering ditayangkan di berbagai stasiun televisi Indonesia.. sebagai informasi saja bila hendak lebih tahu lebih detailnya. Dan untunglah bagi saya, karena rombongan kami jadwalnya hanya sampai hari Rabu, sehingga saya tidak sempat untuk menjalani ritual itu. Suatu keberuntungan menurut saya, karena sampai hari ini, saya belum pernah untuk cukup kuat mental menjalani proses itu.
 Agustus 2013, saya dan Wawan berkesempatan bertemu beliau di Kassi - Kajang. 
Dalam usia yang sudah begitu sepuh (lahir 1922), fisik beliau masih nampak begitu bugar. Tentu saja dengan beberapa pengecualian, misalnya kemampuan pendengaran beliau yang sudah begitu buruk. Kehadiran kami ternyata tidak sanggup mengusik kemampuan menggali rekaman memori beliau pada 28 tahun yang lalu. Namun bagaimanapun, suatu kesyukuran masih bisa bertemu muka.
     Masih begitu banyak hal yang tetap menjadi mesteri untuk saya, mengenai tanah Kajang itu. Suatu harapan, bisa berkesempatan lagi menelisik lebih detail fenomena kekinian masyarakat Kajang itu.

Apa dan bagaimana tugas dan tanggung jawab sebagai Loha Kanang, tidak sempat kami kaji lebih jauh. Tidak banyak informasi yang diceritakan oleh Karaeng Liong pada waktu itu. Satu hal yang kami tau pasti, beliau salah satu orang yang mampu melakukan pengobatan dalam tata cara yang unik namun telah mapan di tengah masyarakat Kajang Dalam. Istilah Kajang Dalam sendiri merujuk ke masyarakat Kajang yang masih terisolasi dari pengaruh luar. Mereka mengenakan pakaian serba hitam, waktu itu tahun 1985 tanpa penerangan listrik dan tanpa perlengkapan teknologi sama sekali. Bercocok tanam padi dilakukan sekali dalam setahun, mengikuti ritme musim hujan-kemarau.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.