Ketika kita lapar dan menahannya, maka tubuh memproduksi horman ghrellin. Hormon yang dianggap memberikan dampak negatif ketika kita mengambil suatu keputusan. Hormon yang meningkatkan selera makan tersebut juga mengurangi kemampuan kita mengendalikan dorongan yang muncul dari dalam diri kita.
    Ada dua pengamatan yang dilakukan oleh ahli di dalam penelitian mengenai efek hormon ghrellin tersebut. Pertama tentang 'tindakan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk mengendalikan atau menahan respon motorik. Yang kedua tentang 'pilihan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk menahan atau menunda kepuasan.
    Kesimpulan yang didapatkan dari eksperimen laboratorium terhadap tikus, hormon ghrellin yang merasuk ke otak (seperti dengan pesan yang dikirim oleh perut ke otak untuk memberitahu kita kapan untuk makan), segera membuat tikus kehilangan kendali pilihan impulsif yang kemudian merespon situasi tersebut dengan tindakan impulsif.
     Kemampuan menunda kepuasan jangka pendek untuk suatu imbalan atau keuntungan jangka panjang adalah tolak ukur kemampuan mengendalikan 'pilihan impulsif'. Namun kegagalan mengendalikan pilihan impulsif membuat kita menyantap camilan dan makanan ringan tambahan lainnya meski mengetahui bahwa jadwal makan malam sebentar lagi tiba. Hormon ghrellin mengurangi kemampuan kita mengambil keputusan yang rasional.
     Dan semakin tinggi kadar hormon ghrellin yang membanjiri otak, maka semakin tidak rasionallah kita di dalam membuat keputusan. Hormon ghrellin yang dihasilkan oleh keadaan lapar. Keadaan tersebut menjadi penjelasan logis mengapa kita sebaiknya tidak membuat keputusan (apalagi yang dampaknya penting) dalam keadaan lapar. Membanjirnya ghrellin di otak kita sangat mempengaruhi rasionalitas.
hormon ghrellin yang timbul karena lapar
gambar dari film kungfu panda

     Tiba-tiba degup di dada sedikit lebih cepat. Ada rasa gugup yang menyeruak ketika bersiap-siap meninggalkan pos-8. Sebentar lagi kita akan bertemu, setalah sekian lama. Iya, setelah sekian lama tidak menyapa di berandamu. Malu hati ini, seakan saya sudah lupa kepadamu membuat rasa gugup itu enggan menguap.
     Namun rasa rindu yang mendera bertubi-tubi belakangan ini membuatku segera bangkit untuk mulai melangkah. Terserah apa katamu nanti setelah aku sampai di sana. Bersama kerabat lainnya, Piyu, Syam, Ikki, Andi dan Nuge, kami mulai bergerak menuju puncak. Hening mengiringi langkah-langkah kecil kami, di pagi yang begitu cerah dan hangat.
      Cuaca yang berubah drastis sejak sore kemarin, benar-benar membuatku hampir hilang kesabaran untuk segera summit. Ini seperti hamparan karpet merah yang sengaja digelar untuk kulalui. Ada 'ge-er' terbersit di benakku untuk semua sajian ini. Bagaimana tidak, hujan yang hampir tanpa jeda, sambung menyambung sejak meninggalkan Makassar hingga camping di hutan pinus Lembanna, seakan menjadi satu rangkaian sajian yang kontras dengan kehangatan yang terpampang sekarang. Ini bukan lagi tentang bermain semacam april mop. Tetapi agar rasa hangat itu bisa lebih terasa greget.
      Tiga minggu sebelumnya, saya menyempatkan ke Lembanna. Menatap puncakmu yang selalu berkabut waktu itu, sebenarnya saya hanya hendak menegaskan tentang rasa yang menggelitikku belakangan ini. Apakah ini hanya rasa yang timbul dari saya sendiri, ataukah selaras getar darimu yang saling menyapa. Dan ya, harus kuakui kalau ternyata kita memang saling merindu. Maka seketika kabut menyapu lembut Lembanna, ditimpali gemericik lembut hulu air tejun yang sudah terlalu akrab itu, aku yakin untuk menemuimu nanti.

Kenampakan wajah Pos 7 di cerahnya sinar matahari pagi dishoot dari arah sebelum pos 9, dengan guratan jejak longsor yang membentuk kurva (bagian tengah gambar di sebelah atas kepalanya Syam)
      Maka rangkaian kegiatan pendidikan dasar Korpala Unhas ke-29 yang direncanakan selesai di akhir Januari 2016 kujadikan jadwal untuk itu. Memilih bersama dengan para titisan darah-K, bersama keluarga di Korpala, telah banyak meninggalkan guratan ingatan yang terpateri tentangmu. Dan kuingin kali inipun kenangan menjumpaimu setelah jeda 23 tahun, turut menjadi bagian kenangan sebagian keluarga itu.
      Menjadi luar biasa dan tidak terduga, beberapa keluarga yang juga sudah lama tidak menjejak berandamu, turut menapak bersama. Canda yang sambung menyambung, kreatif, selalu menjadi bumbu bercita rasa kuat di setiap kesempatan. Aku suka, tidak perlu ada rasa sungkan yang timbul diantara kami karena gap waktu yang relatif lebar dengan mereka.
Sekitar pos 10.
Bawah, kenampakan lembah Sungai Jeneberang terlihat dari pos 9
     Terimakasih untuk jamuan hangatmu. Sungguh, cuaca cerah dengan sinar matahari hangat itu, terasa jauh lebih hangat dibanding seluruh kopi yang disuguhkan di semua tempat di pagi itu. Begitu tersanjung menerima semua sajian itu, sehingga terasa tidak sebanding dengan kunjungan lutut reot berkarat itu, yang tertatih-tatih untuk sampai di berandamu. Tetapi ah.. sudahlah, rindu itu, rindu kita, akan selalu ada..

     Desa Pinabetengan namanya. Sungguh menakjubkan ketika melihat salah satu spot di wilayah itu. Tidak disangka, desa yang rasanya begitu 'jauh' untuk terjangkau, ternyata menyimpan sejumlah rekor yang tercatat di Guinness Book. Bila destinasi Bukit Kasih sudah menggema kemana-mana, maka menuju ke Desa Pinabetengan bukanlah sesuatu yang sulit. Bisa dikatakan Desa ini berada dalam satu kawasan dengan Desa Kanonang dimana Bukit Kasih berada.
     Untuk menemukannya, tentu saja pertama kali harus sampai di kota Tomohon terlebih dahulu. Berkendara sekitar 24 km kita akan tiba di wilayah Kawangkoan. Daerah yang sangat terkenal dengan kacang tanahnya. Karenanya ada patung kacang akan nampak di tepi jalan ketika mamasuki Kawangkoan. Di banyak tempat di Minahasa hampir selalu bisa dijumpai kacang produksi dari Kawangkoan. Dari Kawangkoan ini, Desa Pinabetengan sudah tidak jauh.
     Ada dua spot penting, yaitu prasasti Batu Pinawetengan dan Museum Pinawetengan. Untuk prasasti Batu Pinawetengan akan saya ulas di artikel tersendiri. Sedangkan Museum Pinawetengan dengan assetnya berupa benda-benda dengan rekor dunia akan saya paparkan seperti berikut ini. Dalam bentuk fisik, mulai dari terompet raksasa, kain tenun Minahasa terpanjang di dunia hingga Kolintang terbesar di dunia.
      Kolintang Raksasa terletak di bahagian kiri area kawasan museum. Segera terlihat menonjol label sertifikat World Record lengkap dengan penjelasan teknis dari alat musik Kolintang itu.
      Di tengah-tengah area kawasan museum berdiri menjulang, terompet raksasa. Tentu saja label rekor menggantung megah di bagian bawahnya. Sayang sekali kunjungan saya bukan pada saat ada festival, sehingga terompet hanya berdiri sunyi di terik matahari. Tidak sempat untuk dibunyikan.
      Rekor-rekor dalam bentuk fisik dan masih terpajang adalah terompet, kolintang dan kain tenun yang diletakkan di dalam Galery Kain. Sedangkan rekor nasi jaha pastinya sudah tidak nampak. Tiga rekor lainnya berupa pemain kolintang terbanyak, pemain musik bambu terbanyak dan pemain musik bia terbanyak.
      Beranda Galeri kain Penawetengan sebenarnya terlihat sangat sederhana. Semula saya tidak merasa tertarik untuk masuk ke dalamnya. Namun entah mengapa kemudian saya tetap melangkah ke dalamnya. Ternyata begitu banyak item yang menakjubkan saya. Dan kain dengan label rekor dunia itu memang luar biasa. Ditempatkan di dalam lemari kaca, kain sepanjang 101 meter itu menampakkan corak dengan ekspresi huruf-huruf seperti yang tergurat di atas Batu Pinabetengan. Batu prasejarah yang memuat sebahagian riwayat etnik Minahasa.
      Selain koleksi kain, di dalam galeri ini juga merupakan tempat memproduksi kain dengan beragam corak, namun semuanya tetap dengan pakem dasar huruf-huruf di atas prasasti Pinawetengan. Mesin-mesin tenun berdiri kokoh dengan juntaian benang dan pola untuk corak produksi.
      Beruntung ketika itu, sempat bertemu dengan seorang ibu di dalam galeri yang sementara menyelesaikan desain pola untuk proses penenunan. Di suasana yang lengang di dalam galeri, beliau begitu konsentrasi menyusun mozaik-mozaik kecil di hadapannya.
      Atas dan bawah adalah dua macam corak pola untuk  produksi di mesin tenun galeri.
      Selain pajangan aneka kain di dalam galeri ini, juga di beberapa rak lainnya diletakkan aneka macam produk kerajinan tangan Minahasa. Sebagian besar berupa kayu yang diukir dan dipahat. Bentuk yang paling banyak tentu saja bentuk Burung Manguni. Burung yang menjadi simbol penjaga untuk etnis Minahasa.
      Berminat dengan koleksi yang dipajang, beberapa diantaranya sudah disiapkan untuk bisa dibawa pulang. Begitu juga dengan koleksi kain, sudah disiapkan banyak pilihan untuk bisa menjadi buah tangan bagi orang-orang istimewa. Pengasuh galeri akan dengan senang hati membantu menjelaskan koleksi yang ada sekaligus membantu transaksi bila ada yang menarik hati untuk dibawa pulang.
      Selain manguni, ada juga miniatur rumah adat Minahasa. Ada patung-patung mini laskar Minahasa lengkap dengan pakaian perangnya. Ada sepeda dengan keranjang bambu. Tidak ketinggalan tas jinjing dalam paduan kombinasi kain tenun pinawetengan.
Aneka corak tenun ikat kain Pinawetengan
 
      Kawasan museum yang cukup luas. Selain asset tidak bergerak penghuni museum seperti pada umumnya, juga ada spot untuk aktifitas yang produktif. Satu bangunan khusus untuk tempat pengembangan usaha produktif, teknik dan pengembangan usaha tercakup di dalamnya. Mulai dari teknik budidaya tanaman lokal, hingga pengembangan usaha kuliner bisa didapatkan di sini. Lainnya lagi ada pusat penerangan narkoba, lengkap dengan langkah-langkah antisipasi sehingga tidak terjerumus menjadi konsumennya.
     Dan di beranda luar rumah-rumah adat yang disetting sebagai sentra-sentra kegiatan itu, ramai remaja-remaja sedang berlatih. Ada yang berlatih menari, ada juga yang berlatih bela diri. Ah..museum yang hangat, bukan hanya menyimpan asset berdenyut, tetapi juga menjadi tempat mengembangkan asset masa depan bangsa.
     Akhirnya, bila suatu hari berkesempatan menjejakkan kaki di bumi Minahasa, maka museum ini adalah salah satu tempat yang saya rekomendasikan. Bila kita sudah sampai di Bukit Kasih, maka dengan jarak tempuh sekitar 10 menit berkendaraan bermotor, lokasi museum bisa segera didapatkan.

     Terletak di salah satu bagian wilayah Tondano. Tentu saja dihuni oleh orang-orang Minahasa keturunan Jawa, yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan pengikut-pengikutnya. Berada di tengah mayoritas suku Minahasa yang mayoritas Kristen, maka kampung Jawa Tondano tampil konsisten dengan warisan nilai-nilai yang telah diletakkan oleh Kyai Modjo dan para pewarisnya.
      Suara adzan terdengar syahdu dari pengeras suara di puncak menara mesjid Al Falah, mesjid terbesar di Tondano. Mesjid yang terletak di jalan poros kampung Jawa Tondano ini menjadi ikon eksistensi 'etnik baru' yang disebut Jaton. Ya, singkatan dari Jawa-Tondano. Ikon sekaligus penanda yang tertinggal tentang bukti sejarah perjuangan  perlawanan penjajahan Belanda di negeri ini.
Tentang Kyai Modjo, bisa dilihat di artikel berikut : Menyapa Kyai Modjo di Tondano
      Keterampilan bertani yang di  menjadi salah satu warisan Kyai Modjo untuk negeri Minahasa, bisa disaksikan dengan begitu bersahaja. Di kampung Jaton sendiri, halaman-halaman yang luas menjadi tempat menjemur padi seperti yang terlihat di gambar berikut ini.
       Satu ikon baru di gerbang kampung Jaton adalah kehadiran Saung Jaton. Bangunan bambu dengan arsitektur tradisional menjadi konsep resto ini. Hanya saja yang menjadi sedikit aneh terasa ketika menikmati sajian di resto ini adalah iringan musik yang mengiringi hampir sepanjang waktu adalah musik daerah Jawa Barat. Sekilas nyaman bersama semilir bayu yang berhembus lembut, namun bila mengingat bahwa ini adalah Jawa Tondano, maka nuansa Sunda sepertinya tidak begitu nyambung. Tetapi bagaimanapun, resto ini menjadi sangat ramai apalagi di saat festival Jaton sedang berlangsung
       Arsitektur rumah Kampung Jawa, tentu saja bersimbiosis dengan arsitektur lokal. Rumah panggung yang terbuat dari kayu lokal pilihan. Namun ada yang membedakan dengan rumah-rumah model Minahasa di tempat lain, karena rumah di Kampung Jawa Tondano diberi tambahan tiang bambu di sisi samping rumah. Tidak ada ketentuan berapa jumlah bambu yang ditambahkan, untuk bambu yang ditegakkan persisi di sisi tiang rumah. Dasar bambu menghunjam ke dalam tanah. ujung atasnya turut menyanggah kuda-kuda atap.
     Meletakkan bambu tersebut rupanya dengan beberapa ritual yang diyakini akan memberi manfaat seperti yang dimaksudkan, yaitu untuk memperkuat rumah, tahan terhadap gempa yang begitu sering mengguncang wilayah Sulawesi Utara, serta membantu rumah tetap tegak menahan hembusan angin yang begitu kencang di waktu-waktu tertentu. Saya sempat merasakan hembusan angin (atau mungkin lebih tepatnya hempasan angin) yang seakan hendak menerbangkan saya yang sedang berjalan. Atap-atap seng yang sudah agak longgar pakunya akan terdengar berderit-derit mempertahankan kedudukannya di atas kuda-kuda.
     Ujung bambu yang digunakan adalah bambu (di Selatan saya mengenalnya sebagai 'petung'). Ketika bambu hendak ditanam, di bagian bawah bambu dilapisi plastik, kemudian dilapisi kain putih di bagian luar. Turut serta berbagai macam benda, disertai doa-doa mengiringi tegaknya bambu penguat rumah tersebut.
     Warga Kampung Jawa Tondano, praktis seratus persen adalah Muslim.Memasuki bulan Ramadhan, nuansa religius begitu terasa. Hampir sama dengan di beberapa tempat lainnya di Nusantara, ada ritual di setiap rumah tangga, berkumpul bersama dengan warga lainnya, bersama-sama melantunkan doa-doa. Asap kemenyan menyebar dengan aroma yang sangat khas. Setelah doa-doa yang khidmat selesai, dilanjutkan dengan menyantap hidangan yang telah disiapkan untuk itu. Beruntung saya sempat mengikuti acara tersebut di rumah Pak Yadi, salah satu warga Kampung Jawa Tondano.
      Sayang sekali, saya tidak sempat menyelesaikan Ramadhan di sana. Dikelilingi masyarakat non Muslim, Kampung Jawa Tondano tetap memancarkan aura religius yang begitu kental selama Ramadhan. Tiga mesjid yang saling bersahutan, saling menyapa menyambut bedug magrib untuk berbuka puasa. Dan ya, ritual buka puasa yang begitu bersahaja. Hanya saja, sedikit berbeda dengan daerah saya di Selatan, bapak-bapak yang menuju mesjid untuk berbuka bersama, menenteng nampan besar terbungkus kain, menuju Mesjid Al Falah (mesjid terbesar di Tondano).
     Ketika pembungkus nampan dihamparkan di atas lantai mesjid, muncullah aneka panganan yang rupanya telah disiapkan dari rumah untuk keperluan buka puasa. Tentu saja panganan menjadi sangat melimpah, melihat hampir setiap orang membawa nampannya (yang lebar dan sarat panganan) masing-masing. Tidak beberapa lama, mereka saling bertukar panganan dari nampan yang dibawa ke nampan bapak-bapak yang lain. Demikian yang terjadi. Tidak ketinggalan teko yang berisi teh maupun kopi dihamparkan, lengkap dengan beberapa gelas yang menyertai.
     Setelah bedug berbuka terdengar, seperti biasa keriuhan dan kebahagian berbuka segera merebak. Panganan yang tentu saja tidak sanggup untuk dihabiskan, dibungkus kembali bersama nampan yang dibawa tadi, dibawa kembali pulang setelah shalat magrib di tunaikan. Ah iya, itulah Jawa Tondano.
     Untuh Idul Fitri sendiri, saya hanya mendapat ceritanya saja, sambil berdoa suatu saat berkesempatan bisa berlebaran di Tondano, bahwa keramaiannya nanti terjadi di hari ketujuh bulan Syawal. Ini hampir sama dengan sebahagian besar wilayah di Jawa. Jadi lebaran satu syawal tidak meriah seperti di Selatan, biasa saja, menunggu hari ketujuh untuk perayaannya. Kerabat dari mana pun akan tumpah ke Tondano, open house tentu saja, merayakan lebaran semeriah yang sanggup dilakukan.

     Salah satu kota di Sulawesi Utara yang geliat perkembangannya tidak seagresif wilayah lain di sekitarnya. Menelisik asal usul keberadaan Tondano, sepertinya tidak berlebihan bila menyebut Tondano sebagai 'the heart of Minahasa'. Bagaimana tidak, di saat daerah lain baru lahir, atau sedang menapak mencari jati diri, kota Tondano sudah eksis sebagai pusat pemerintahan wilayah Minahasa.
     Namun seiring berjalannya waktu, perkembangan Tondono menjadi relatif stagnan. Manado meluncur paling depan menjadi ibukota Sulut. Bitung berkembangan menjadi salah satu kota pelabuhan representatif di tanah air. Tomohon telah berdiri sendiri sebagai kota administratif, mengembangkan sendiri potensi yang ada di wilayahnya. Secara historis, semuanya berada di bawah kendali Tondano, dulunya.
     Tetapi di artikel ini saya tidak menjelaskan lebih jauh lagi tentang hal itu. Fokus ke Tondano, berikut beberapa foto yang bisa menjadi penanda bahwa inilah Tondano. Kota yang selalu sejuk hampir sepanjang hari. Sejuk yang bahkan sangat dingin di bulan-bulan tertentu setiap tahunnya.
     Nama Tondano sendiri, tentu saja merujuk ke sebuah danau yang begitu indah, danau Tondano. Danau yang merupakan kawah besar, berisi air yang menjadi cadangan kebutuhan konsumsi air bersih daerah-daerah yang dilaluinya, terutama kota Manado. Masalah danau sama saja dengan danau-danau lain di wilayah lain Indonesia, bermasalah dengan pendangkalan, sampah dan gulma berupa enceng gondok.
     Namun semua itu tidak bisa menutupi keindahan danau. Maka menjadi jamak bila hampir setengah keliling danau yang terjangkau dari arah Unima, disesaki dengan resto, bungalow, resting house dan sarana lain yang menunjang sebagai destinasi wisata. Icip-icip kuliner khas Minahasa bisa dimulai dari resto di sepanjang danau ini. Hanya saja untuk yang Muslim, harus lebih jeli bertanya menelisik sajian di resto-resto tersebut, mengingat sebahagian terbesar etnis Minahasa di wilayah ini menganut kepercayaan bukan Islam.
senja di danau Tondano
     Aksen lain yang menonjol di Tondano adalah keberadaan Unima, Universitas Negeri Manado. Destinasi yang pasti akan mengantar kita langsung ke Tondano, dari arah manapun di Sulawesi Utara. Angkot maupun angkutan antar provinsi akan membawa kita ke sana dengan mudah, lancar dan pasti.
     Di sekitar Unima, yang menurut saya juga menjadi penciri khas Tondano adalah banyaknya sumber air panas alam. Oleh masyarakat kemudian dibentuk menjadi kolam renang, ataupun kolam berendam untuk menikmati kehangatan air hangat yang keluar dari perut bumi. Berendam di kehangatan air itu dipercaya mampu meredakan ketegangan-ketegangan, merelaksasi stress oleh tekanan kerja sehari-hari.
salah satu kolam renang air panas di tondano
     Asset lain Tondano adalah satu jalan yang disebut sebagai 'Boulevard'. Pertama kali mendengar sebutan itu, bermacam imaji seketika muncul di kapala saya. Dan yah, sepertinya inilah jalan yang paling 'lebar' yang ada di Tondano. Kiri kanan jalan ada trotoar, yang di sisi luarnya dibatasi dengan tanggul beton, pas untuk duduk bersantai menikmati suasana boulevard. Lalu, sawah yang membentang luas menjadi pemandangan kiri kanan Boulevard. Di ujung batas pandang ada Unima di sisi Timur, nampak menghias bentang alam yang menonjol lebih tinggi. Sementara di arah Barat akan nampak Gunung Klabat di kejauhan bila cuaca sedang cerah.
     Di ujung jalannya di utara ada patung, yang bila kita dari arah selatan, maka berbelok ke kiri kita akan ke arah pusat kota, alun-alun Sam Ratulangi dan kantor bupati Tondano. Sedangkan kalau berbelok ke kanan akan mengantarkan kita ke arah benteng Morano, Unima dan danau Tondano.
     Hanya ada dua hotel yang jelas nampak di Tondano. Satu terletak persis di depan patung yang saya maksud di atas, satunya lagi juga terletak di jalan yang sama, hampir bersebelahan dengan alun-alun Sam Ratulangi. Hanya itu.!! Namun yang eksotis menurut saya adalah keberadaan andong (bendi.?) atau apalah sebutannya.. kendaraan yang ditarik oleh seekor kuda. Suka melihatnya, kendaraan yang tidak tergusur oleh keberadaan angkot modern. Setiap orang menggunakannya, mulai dari anak-anak sampai oma opa. Dari remaja muda mudi necis atau biasa, hingga om tante perlente menggunakan angkutan ini dengan sukacita.
     Dengan satu pengemudi andong, kereta itu masih bisa menampung hingga lima nona-noni atau bahkan lebih bila mau saling menumpuk. Kadang tubuh andong seakan hendak meledak oleh sesaknya penumpang. Pintu belakang sudah tidak bisa tertutup, sebahagian kaki dan anggota tubuh yang lain sudah menjuntai keluar. Tapi di situlah eksotiknya memandang moda transportasi itu.
     Kota yang menyapa kita dengan ramah. Namun begitu magrib menjelang dan matahari mulai benar-benar tenggelam, denyut aktifitas langsung berkurang drastis. Sebahagian terbesar warga memilih berada di rumah ketimbang melanjutkan aktifitas di luar. Ada kesan memilih diam beristirahat, ketimbang menyeruput aroma malam yang menyembunyikan rasa tidak aman oleh laku kriminal yang tidak terduga. Namun untuk saya, sangat beruntung karena tidak sempat terserempet oleh hal-hal yang dikuatirkan itu, meski mondar-mandir dengan berjalan kaki lewat tengah malam hingga dinihari..
      Dan cerita tentang Tondano tentu saja tidak akan terlepas dengan keberadaan Kampung Jawa, dimana etnis 'Jawa Tondano' disingkat Jaton, berada. Etnis yang terbentuk oleh kehadiran Kyai Modjo dan 62 pengikutnya yang diasingkan oleh Belanda di tahun 1829. Beranak pinak, mengembangkan lahan dan mengajarkan cara bercocok tanam padi kepada penduduk asli Minahasa. Jaton adalah sebahagian dari wajah Tondano, kontras dengan budaya dan keyakinan agama yang relatif berbeda dengan etnis Minahasa umumnya.
      Untuk menemukan Kampung Jawa bukanlah hal yang sulit. Wilayah Tondano yang relatif tidak luas, sangat mudah untuk dieksplorasi untuk setiap ikon di dalamnya. Mulai dari Mesjid Raya Al-Falah hingga makam Kyai Modjo berada di satu jalur yang bisa dicapai dalam sekali jalan. Jejak dan warisan Kyai Modjo sangat mudah untuk diakses. Dan untuk itu semua, sudah saya ulas di artikel berbeda.




      Hal yang tentu saja sangat menarik untuk saya adalah pawai keliling kota. Pawai panjang, berjalan kaki melintasi jalan-jalan protokol menjadi rutinitas untuk hampir setiap hari raya, baik hari raya nasional maupun keagamaan. Misalnya di hari pahlawan, hari pendidikan nasional, hari Paskah ataupun satu Muharram, hingga Festival Jaton. Ah, setidaknya inilah salah satu sarana eksistensi mozaik elemen-elemen yang menyusun keragaman masyarakat Tondano.
      Tentu saja pawai menjadi suguhan hiburan gratis bagi warga di sepanjang jalan yang dilalui. Saya tiba-tiba terkenang masa kecil dahulu, ketika Makassar belum berkembang sepesat sekarang ini. Murid sekolah atau elemen masyarakat mana saja, bisa memanfaatkan jalan-jalan utama kota untuk pawai. Belum ada ketergesaan seperti sekarang ini. Belum ada istilah macet untuk kebenaran dan pembenaran warga kota. Maka jalan yang tersendat sekali-sekali oleh pawai menjadi bumbu tersendiri di keseharian kehidupan kota. Dan pawai-pawai yang berlangsung di Tondano menyegarkan kembali kenangan itu.
      Di Tondano juga ada stadion sepak bola, Stadion Klabat. Sayang sekali saya tidak sempat membuat gambar yang bagus untuk stadion tersebut. Area stadion yang saya kunjungi ketika ada pameran pembangunan yang diselenggarakan oleh pemda. Gelaran pameran yang tentu saja hiruk pikuk. Mulai dari suguhan musik yang begitu menggelegar hingga aneka kuliner dan produk lokal ditemui di sana. Kreatifitas warga Tondano bisa ditemui di event tersebut. Komidi putar, spot-spot adu ketangkasan hingga game catur tiga langkah menjadi penyemarak untuk disuguhkan ke pengunjung.
      Dan di sisi lain, adalah Pasar Tondano. Pasar yang bersebelahan dengan Terminal. Pasar tradisional yang begitu eksotik di mata saya. Sedikit kumuh, tentu saja seperti dengan pasar-pasar tradisional lainnya. Hanya saja, yang agak lain di mata saya adalah apa yang dijajakan di sepanjang jalan sekitar menuju pasar. Pedagang kaki lima, dengan jualan basah maupun kering, seperti biasa merebut sebahagian akses jalan. Lalu andong, angkot, ojek dan kendaraan lain seperti biasa berebut melintasi spasi jalan yang tersisa.
      Tetapi bukan itu fokusnya. Bila di daerah saya begitu mudah menemukan penjual daging ayam, maka tidak seperti itu di Tondano. Yang sangat mudah ditemukan adalah jualan daging babi. Seketika saya menjadi maklum, mayoritas warga Tondano adalah non muslim, berbeda dengan daerah saya selama ini. Suguhan lain yang juga unik adalah ikan asap. Iya, ikan yang telah diawetkan dengan pengasapan sangat mudah ditemui. Ikan asap yang telah 'kering' dipajang dalam jepitan bambu. Begitu menggiurkan, bersanding dijajakan dengan ikan air tawar dari Danau Tondano.
       Namun yang cukup menarik untuk saya adalah dua menara yang hampir berhadapan, terletak di dekat pasar. Satunya adalah menara gereja, satu lainnya adalah menara mesjid. Letak kedua tempat ibadah itu memang tidak terpisah jarak yang jauh. Hampir saling berhadapan. Dan dua menaranya nampak dari kejauhan, saling berhadapan mesra. Harapan klasik di benak saya segera melangit, semoga harmoni antar umat beragama di wilayah ini juga tetap terjaga, saling mesra seperti menara yang berhadapan itu.
       Rasanya sangat banyak hal unik lain yang hendak saya tuliskan, namun untuk tidak melelahkan membaca artikel yang terlalu panjang, maka penggalan-penggalan artikel tentang Tondano lainnya bisa dilihat di kategori Tondano di sepanjang blog ini.
      Mengakhiri tulisan ini, maka mari kita ke Tondano..

     Rasanya tidak cukup afdal bila berkunjung ke ujung K pulau Sulawesi namun tidak menyempatkan diri untuk mampir ke Bukit Kasih. Setidaknya begitulah kesimpulan sementara saya. Untuk warga Minahasa sendiri, mengunjungi Bukit Kasih bukan hanya sekadar mengisi waktu liburan tetapi juga sebagai sarana ibadah.
     Mendaki sekian ratus anak tangga untuk mencapai puncak bukit, menjadi ujian tersendiri bagi peziarah religi. Beberapa spot tertentu menjadi kewajiban untuk disinggahi sebelum mencapai puncak. Dan perjalanan itu menjadi terasa sebagai ujian keteguhan niat, bila bilangan umur sudah banyak, ditambah berat badan yang juga berlebih. Sepanjang jalan akan ditemui relief-relief yang menggambarkan pengorbanan Yesus di jalan salib. Maka lengkaplah. Perjalanan menuju puncak bukit akan menjadi bukti tentang iman dan keteguhan niat itu.
     Di gerbang selamat datang, ada pos informasi. Setiap pengunjung diimbau untuk meluangkan waktu mengisi buku tamu. Petugas yang ramah akan memberi ballpoint yang bagus, sekaligus mengingatkan jangan sampai melewatkan kolom donasi untuk pembangunan tempat ibadah. Mungkin ini kompensasi tiket masuk yang sangat murah, sepuluh ribu rupiah untuk satu mobil bermuatan tujuh orang.
     Begitu pandangan mengarah ke bukit, di puncak nampak samar beberapa bangunan. Itu adalah bangunan tempat ibadah agama-agama resmi di Indonesia. Konon itu adalah perlambang tentang toleransi beragama yang ada.
     Di puncak bukit itu memang rumah ibadah saling berdampingan. Namun kesan toleransi apalagi kesetaraan hampir tidak terlihat sama sekali. Dominasi simbol-simbol agama tertentu sangat menonjol di mana-mana. Mulai dari jalan pintu masuk kawasan hingga sekitar puncak bukit kasih. 
     Tiga kali mengunjungi tempat ini, sambil berharap menemukan aura religi dari masing-masing agama. Namun saya gagal menemukannya. Hanya kepercayaan yang mayoritas saja yang menampakkan auranya. Sayapun menjajaki tempat ibadah yang sesuai dengan keyakinan saya. 
     Pintu yang sulit terbuka karena daunnya menghunjam lantai, membutuhkan tenaga ekstra untuk membukanya. Untung saja air untuk berwudhu mengalir dengan lancar. Di dalam bangunan yang di puncaknya ada kubah yang sudah hilang sepotong itu, saya haturkan sujud empat kali.
       Namun bagaimana pun, apresiasi yang tinggi tetap layak untuk obyek wisata ini. Usaha menampilkan simbol-simbol toleransi bukanlah sesuatu yang sepele. Kemudahan menjangkau lokasi, disertai tiket yang bisa dikatakan sangat murah, menjadi daya tarik untuk memudahkan menyampaikan pesan toleransi yang dimaksudkan.
setapak demi setapak, anak-anak tangga harus dilangkahi untuk mencapai puncak Bukit Kasih
 
      Cerita rakyat tentang asal usul etnis Minahasa, juga digambarkan di lintasan menuju puncak Bukit Kasih. Toar dan Lumimuut beserta karena dikreasi dalam bentuk patung yang indah. Bahkan wajah Toar dan Lumimuut dipahat di tebing yang mendukung jajaran rumah ibadah di puncak sana.
  di bagian belakang jajaran rumah ibadah di puncak bukit, ada patung Bunda Maria. Terletak di kerimbunan pohon sekitarnya, menimbulkan kesan syahdu
 bila nafas sudah saling berkejaran, maka banyak tempat untuk dijadikan alasan menikmati pemandangan sambil foto-foto - pura-pura menikmati pemandangan padahal nafas sudah sangat ngos-ngosan

 banyak tukang foto keliling yang siap mengabadikan moment-moment ketika kita menikmati setiap spot di sekitar bukit kasih - bila hanya bermodal kamera ponsel dan menghendaki kualitas gambar yang lebih baik.
beberapa diantara mereka lengkap denan printer portabel, sehingga bisa langsung membawa pulang cetak gambar yang dihasilkan.
namun bila hanya menginginkan filenya saja, tidak masalah. semua bisa dinegosiasikan.
      Kawasan Bukit Kasih yang terletak di ketinggian, juga memberikan kesan sejuk bahkan dingin, apalagi ketika sore sudah menjelang. Namun tidask perlu kuatir, di dasar lembah banyak tersedia  hidangan yang siap menghangatkan. Kopi, teh, minuman botol bisa dihidangkan dengan pisang goreng goroho, jagung bakar ataupun kacang tanah rebus atau sangrai.
     Bila ingin yang lebih berat, mi instan dan telur, ataupun hidangan lokal lain, bisa dengan mudah ditemukan.
      Dan untuk meredakan pegalnya kaki setelah naik dan turun dari Bukit Kasih, di sekitar kedai-kedai makanan tadi juga tersedia bak-bak air panas untuk merendam kaki yang penat. Tidak ketinggalan jasa pijat terlatih, mengenakan seragam khusus, siap melancarkan kembali aliran darah yang menumpuk di kaki, tentu saja sambil tetap merendam kaki di hangatnya air belerang dari bukit.
 jangan lupa sebelum meninggalkan kawasan Bukit Kasih, beberapa macam souvenir bisa diperoleh dari tangan penjaja yang banyak berkeliaran di sekitar entry dan tugu lima sisi.
 atau bila ingin berendam air hangat, ada kolam di dasar lembah yang siap menyambut para pengunjung

 tugu segi lima di masing-masing sisinya memuat pesan dari lima agama yang rumah ibadahnya ada di puncak bukit.
 gambar atas adalah entry gate dengan loket kecil di sisinya
 senja yang baru saja tersiram gerimis. gumpalan uap belerang dari dasar lembah bukit kasih terasa sendu ditimpali bau tanah basah. udara yang semakin dingin mengantar lelah setelah naik turun bukit untuk sebentar lagi menjemput magrib.
Bukit Kasih
     Dengan satu optimisme, semoga semangat toleransi dari Bukit Kasih, menjadi salah satu rangkaian jembatan yang menghubungkan silaturahmi diantara aneka ragam sara di negeri tercinta ini.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.