Tujuan semula menuju Bitung adalah untuk melihat sejenis primata yang oleh temanku begitu hebohnya. Heboh apanya juga tidak jelas-jelas amat. Lalu rombongan kami memasuki kota Bitung, tanya sana sini tentang Tangkoko dan mendapat informasi bahwa tempat itu masih jauh. Ah iya, google map saya utak atik. Lalu muncul 'Taman Nasional Tangkoko'.. beberapa detik kemudian di layar muncul 47 kilometer dari posisi sekarang. Masih jauh rupanya.
     Setelah melaju beberapa menit, rombongan kembali bertanya, tapi kali ini tentang perimata yang dimaksud. Arah kami sudah benar. Dan kejutannya untukku, ternyata tempat yang dimaksud tidak jauh-jauh amat, masih di dalam kota Bitung. Tidak perlu sampai harus menempuh sekian kilometer seperti info dari google map. Ternyata yang kami tuju sebenarnya adalah tempat penangkaran perimata, yang juga menampung beberapa macam hewan lainnya. Jadi menjadi mirip kebun binatang mini.
     Begitu memasuki halaman, di bawah pohon beringin terpampang plang 'Taman Margasatwa Tandurusa'.
Oh rupanya, sekarang menjadi jelas. Bahwa tujuan 'membesuk' sang primata adalah yang terletak di dalam taman margasatwa ini.
Taman Margasatwa Tandurusa
      Setelah jepret-jepret di halaman depan, kami kemudian langsung menuju kandang si primata. Semuanya ada lima ekor, tiga jantan dan dua betina. Pemandu di tempat ini menjelaskan bahwa primata mempunyai watak monogami di dalam kehidupannya. Itu menjadi salah satu sebab mengapa keberadaannya kemudian menjadi langka. Perkembang biakannya lambat. Butuh tujuh bulan mengandung, untuk kemudian melahirkan satu bayi primata. Anak-anak primata yang lahir dari tempat ini, kemudian akan dilepaskan kembali ke dalam taman nasional Tangkoko. Yang disisakan di dalam taman ini hanya seperti yang kami saksikan saat itu.
 atas adalah monyet ekor merah
bawah adalah Primata Spectrum 
 atas adalah iguana
bawah adalah rusa dan burung unta
     Setelah beberapa kali menjepret sang primata, kami kemudian melangkah ke sangkar dan kandang lainnya. Ada banyak macam burung termasuk burung unta, ular, monyet pantat merah, buaya dan lain-lain. Lumayan seru jepret-jepret hewan yang ada, hingga tanpa sengaja sampai di bagian ujung belakang taman.
     Ternyata di sinilah pemandangan yang indah itu. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa pantai di belakang taman itu begitu mempesona. Tidak berlama-lama termangu, saya mencoba mengambil gambar dari beberapa sudut yang berbeda.
     Di benak saya langsung terpatri Pantai Aertembaga. Terus terang, saya tidak tau nama pantai ini. Namun untuk memudahkan memori saya, maka saya menyebutnya begitu saja. Pantai Aertembaga, sesuai dengan nama wilayah dimana saya berdiri saat itu.
     Suatu kebetulan dan keberuntungan bertemu tempat yang indah seperti ini dimana kesempatan mengabadikannya juga begitu mendukung.

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Tersebutlah seorang gadis Minahasa yang cantik jelita yang sangat gemar pada berbagai macam kesenian. Di wilayah Tonsea, dia dikenal bernama Lintang, bunga diantara bunga yang ada di sana. Setiap hari ia bersenandung sambil mamainkan alat musik yang ada di masanya.
     Kecantikan Lintang yang begitu luar biasa, tentu saja menarik minat pemuda-pemuda Minahasa untuk mempersuntingnya menjadi istri. Sayembara pun digelar. Barang siapa yang bisa menghibur hati Lintang dengan memainkan alat musik yang indah, apalagi yang belum pernah terlihat oleh Lintang, maka dialah yang akan mendapatkan Lintang untuk dijadikan istri.
Alat musik tradisional

melody kolintang ~ pic: kolintang[dot]co[dot]id
     Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda yang ada di Minahasa, pamer kemampuan di hadapan Lintang. Namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Keriuhan berakhir, semuanya kembali dengan kecewa karena tidak satupun yang berhasil mendapatkan hati Lintang.
     Salah satu dari antaranya, karena begitu kecewa, melampiaskan kekecewaannya ke gunung Klabat. Ia mendaki menembus lebatnya belantara Klabat. Ko, begitu pemuda itu disapa. Sesampai di puncak, ia merenung, bagaimana caranya bisa mendapatkan hati Lintang. Namun semakin lama berpikir, otaknya terasa semakin mampet saja.
     Karena kesal tidak menemukan ide, Ko membanting tongkatnya yang terbuat dari kayu Wenang. Tongkat Ko membentur batu, terpental ke sana sini dengan suara nyaring. Sesaat Ko tertegun. Suara yang timbul dari tongkatnya terdengar indah berirama. 
     Ko bergegas pulang, sambil membawa beberapa potongan kayu Wenang yang lain. Ia kemudian menyusun beberapa potong kayu Wenang, lalu diketuk-ketuknya dengan batu. Suara denting yang indah terdengar oleh ketukan-ketukannya. Setelah melalui beberapa purnama, Ko sudah mahir memainkan melodi ciptaannya dari susunan kayu Wenang tersebut.
     Ia kemudian menemui Lintang di Tonsea. Ko memperdengarkan irama ciptaannya sambil mengetuk potongan-potongan kayunya. Seketika itu juga Lintang jatuh hati dan kemudian dipersunting menjadi istri Ko. Beberapa waktu kemudian, mereka menjadi terkenal karena alat musik ciptaan Ko yang mereka mainkan berdua. Orang-orang mengenal dan menyebut pasangan suami istri itu dengan menyatukan mana mereka, Ko Lintang.
kolintang raksasa, tercatat di guinness book of record. Kolintang ini terdapat di desa Pinabetengan Tomohon.
     Alat musik kolintang kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal selama ini.
~terimakasih yang khusus untuk bapak Venty yang telah menuturkan folklore tentang Kolintang tersebut.

     Waktu baru saja bergeser meninggalkan ashar ketika kami tiba di pelataran depan makam. Bentuk yang khas Sumatera Barat, menjadi unik sendiri di tengah negeri nyiur melambai ini. Bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol nampak asri ketika memasuki halaman depannya. Taman yang teratur rapi terasa sejuk sehingga mengimbangi gerahnya kota Manado.
     Makam yang sebenarnya tidak terletak di pusat kota, tetapi di jalur tepi ring road menuju kota Tomohon. Jalan yang lengang menuju makam, di kiri kanan masih bersemak belukar seperti tepi hutan. Ah, langsung terbayang bagaimana sepinya suasana di tahun-tahun pengasingan sang Imam dulu. Di saat sekarang saja, suasana sekitar makam masih begitu sepi.
Makam Imam Bonjol
lukisan di dinding bangunan yang menaungi makam Imam Bonjol
     Sejenak menyalami yang empunya makam, selanjutnya saya melanjutkan ke arah belakang bangunan. Di sana ada jalan kecil menuju kali di bawah sana. Kali yang di tepinya ada sebongkah batu yang konon adalah batu tempat Imam Bonjol melakukan ritual shalatnya sehari-hari.
     Gemuruh air sungai terdengar indah mengiringi belaian sepoi yang menyelusup di sela-sela pohon bambu di sepanjang jalan kecil yang telah dibentuk menjadi anak tangga. Dari atas, nampak ada kubah kecil berwarna perak mengkilat di tepi sungai sana. Saya mempercepat langkah, setengah berlari karena tidak sabar ingin segera tiba.
     di dalam bangunan sederhana itu, terletak batu yang menjadi tempat Imam Bonjol melakukan shalat sehari-hari
celah kecil berupa mata air di samping batu itu, untuk berwudhu sebelum shalat
     Luar biasa sekali rasanya berkesempatan bersujud di atas batu itu. Saya merasakan kekuatan auranya yang menenangkan suasana hati dan pikiran. Khusyuk tentu saja karenanya. Sungguh rasa yang saya rasakan menggelitik kerinduan untuk kembali dan kembali bersujud di atas batu itu.
     Di pintu makam, saya sempat bertemu dengan seseorang, Ibu Salindri. Beliau berceritera tentang Imam Bonjol dan seorang pengikutnya bernama Apolos, satu-satunya orang yang mengikuti sang Imam di tanah pengasingan. Apolos kemudian menikah dengan seorang putri Minahasa bernama Katrintje. Sedangkan Imam Bonjol sendiri tidak menikah di tanah Minahasa ini hingga akhir hayatnya.
     Ibu Salindri adalah generasi keenam dari Apolos. Di sekitar makam Imam Bonjol sekarang ini selain didiami oleh keluarga Ibu Salindri, juga oleh sekitar 50 orang lainnya sebagai kerabat keturunan Apolos, si pengikut sang Imam.
     Mengakhiri ziarah di sore hari penghujung bulan Maret 2015 itu, saya sampaikan terimakasih yang tak terhingga untuk Bapak Raymond J.Liaw yang telah menunjukkan jalan sekaligus mengantarkan hingga saya berkesempatan mampir di makam salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Kebaikan hati beliau yang tulus yang membuat saya merasa tidak pernah cukup bila hanya sekadar menyampaikan ucapan untuk rasa terimakasih yang tak terhingga. Semoga semua kebaikan beliau dibalas oleh-Nya dengan limpahan kesehatan dan kebaikan di perjalanan hidup beliau selanjutnya.

     Salah satu destinasi wisata yang terletak di kota Tomohon adalah Danau Linow. Lokasinya yang sangat dekat dengan pusat kota Tomohon menjadikannya sebagai destinasi yang paling mudah untuk dicapai. Keberadaan tepatnya kita bisa langsung googling saja, dengan mengetik 'danau linow'.
     Konon danau ini bisa memunculkan tiga warna di permukaan airnya. Biru, hijau dan kemerahan. Sayang sekali, dari dua kali mengunjungi kawasan danau ini, saya hanya bisa mendapati dua warna saja, hijau dan biru. Untuk mendapatkan warna yang merah kecoklatan maka saya disarankan untuk mampir lagi di waktu yang lebih pagi.
     Ada dua entry untuk masuk menikmati keindahan danau ini. Entry sebelah kiri dengan tebusan tiket yang lebih mahal, sebagai kompensasi untuk biaya parkir dan biaya segelas kopi di cafe. Sedangkan di entry sebelah kanan hanya memungut biaya pas masuk pintu seharga lima ribu rupiah.
     Indah tentu saja ketika sudah berada di bibir air danau. Apalagi bila bermaksud untuk mengabadikan spot-spot menarik untuk menjadi gambar foto. Rasanya sepanjang hari tidak cukup untuk menikmati semua moment yang disajikan danau ini. Mata benar-benar dimanjakan oleh alam yang indah. Kopi hitam dan pisang goroho menjadi camilan yang pas sambil bersenda menikmati suasana danau.
 hampir setiap hal di tepian danau Linow adalah inspirasi untuk foto-foto indah.
 bahkan wajah-wajah pas-pasan pun menjadi indah oleh aura teduh danau Linow
 hoping someday you'll join us..
for more lough, more friend, more sincerity..
     Danau Linow masih menyisakan sedikit penasaran, karena sampai saat ini belum berkesempatan menikmati warna kemerahan airnya. Semoga, suatu hari nanti.. :)

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Pertama menjejak bumi Tondano, tidak terlintas sama sekali untuk melakukan penghitungan apalagi pendataan tentang mesjid yang ada di Tondano. Namun setelah beberapa waktu, saya menyadari bahwa pengunjung mesjid untuk beribadah adalah minoritas di tengah masyarakat Minahasa. Lalu tergelitiklah inisiatif reportase tentang keberadaan mesjid-mesjid tersebut, yang setidaknya bisa menjadi panduan untuk yang bermaksud mengunjungi Tondano agar mudah mengakses tempat ibadah tersebut.
     Total ada lima mesjid di kawasan Tondano. Tiga diantaranya saling berdekatan, dua buah di Kampung Jawa dan satu lagi di Tonsea Lama. Ketiganya hanya terpisah jarak beberapa ratus meter. Satu mesjid lagi berada di Kampung Gorontalo yang berlokasi di samping pasar Tondano. Lalu satu mesjid lainnya berada di daerah Sumalangka, kawasan pengembangan masa depan Tondano.
     Untuk wisata religi dengan mengunjungi semua mesjid tersebut, tidak sulit sama sekali. Kota Tondano yang tidak terlalu besar kalau tidak mau dikatakan kecil, dapat dikelilingi bahkan dengan berjalan kaki. Dengan menggenggam google map, maka semua mesjid yang saya maksudkan itu bisa dicapai dengan sangat mudah.

     Berikut, deskripsi masing-masing mesjid yang terletak di wilayah Tondano.
1. Mesjid Nurul Falah Kyai Modjo
     Inilah mesjid kedua yang hadir di Tondano, dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya. Mesjid termegah yang ada di Tondano itu terletak di Jalan Kampung Jawa, jalan yang sekaligus menjadi akses bila hendak berziarah ke makam Kyai Modjo.

2. Mesjid Nurul Yaqin Kampung Gorontalo
     Mesjid termegah kedua setelah mesjid Kyai Modjo adalah mesjid di Kampung Gorontalo ini. Letak yang strategis tentu saja, karena terletak persis di tepi pasar induk Tondano. Meskipun jalan depan mesjid tidak luas, namun menara yang tinggi memudahkan untuk menemukan mesjid ini meski dari jarak yang jauh.
     Mesjid ini lahir oleh banyaknya pedagang yang berasal dari Gorontalo yang beraktifitas di pasar Tondano.

3. Mesjid Al-Hikmah Sumalangka
     Sepertinya mesjid ini adalah mesjid yang termuda dari lima mesjid yang ada. Sengaja dibangun di area masa depan kota Tondano, sementara menjadi akses ibadah untuk karyawan dan pns yang berkantor di sepanjang jalan utama Sumalangka.

4. Mesjid Diponegoro Tonsea Lama
      Mesjid pertama di Minahasa? Yang pasti, inilah tempat ibadah pertama yang dibangun oleh Kyai Modjo dan pengikutnya bersama Pangeran Diponegoro. Kawasan Tonsea Lama yang oleh Kyai Modjo dan kawan-kawan diberi nama Tegajredjo, menjadi tempat berdirinya mesjid ini.
     Jejak Diponegoro yang adalah sepupu dari Kyai Modjo diabadikan dengan keberadaan mesjid ini. Diponegoro menyusul sebagai orang yang diasingkan oleh Belanda, setahun kemudian setelah Kyai Modjo mendahului di Minahasa tahun 1829. Saat ini mesjid Diponegoro sedang menggeliat untuk merenovasi bangunannya yang sudah tua.

5. Mesjid Jami Kampung Jawa
     Kampung Jawa yang seluruh penghuninya adalah Muslim, memiliki satu mesjid lagi yang kecil, di tepi perkampungan mereka. Mesjid yang diperuntukkan bagi pekerja di sawah dan kebun untuk bisa segera menunaikan ibadah, karena letaknya dekat dengan persawahan.

if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Waktu dhuhur telah berlalu, ketika rombongan kami menapaki gerbang menuju makam salah seorang Kyai besar yang pernah dimiliki pertiwi ini. Kyai Modjo yang lahir di tahun 1764 sebagai kerabat kesultanan Jogja, menghabiskan 20 tahun sisa usianya di bumi Tondano. Beliau menjadi salah satu korban 'pembuangan' oleh kompeni yang menjajah nusantara.
     Siang menjelang sore itu, adalah untuk kedua kalinya saya menjejakkan kaki di kawasan makam Kyai Modjo yang juga merupakan cagar budaya. Beda dengan waktu pertama kali mengunjungi makam ini empat bulan lalu, maka kali ini saya sudah menggenggam canon d30 sebagai bekal untuk jepret-jepret situasi sekitar.
 makam Kyai Modjo yang berwarna coklat keemasan dengan kain putih membebat nisan
      Menyempatkan beberapa saat, duduk menikmati teduhnya suasana sekitar makam sambil menerawang bagaimana sang Kyai bersama 62 orang pengikutnya sebagai orang buangan, bertahan hidup yang kemudian melahirkan generasi baru yang hingga hari ini dikenal sebagai suku Jawa Tondano. Berbaur dengan masyarakat sekitar dan mempertahankan budaya serta keyakinan sebagai muslin di tengah masyarakat non-muslim (ada yang mengatakan masyarakat sekitar beliau masih penganut animisme, ada juga yang mengatakan sudah menjadi penganut Kristen), bukanlah hal yang mudah. Apalagi hingga beranak pinak dengan identitas yang tetap terjaga oleh keturunannya hingga saat ini.
     Maka hari ini di tengah masyarakat Minahasa (Tondano sebagai ibukotanya) yang lebih 90 persen adalah non muslim, ada satu wilayah yang disebut sebagai Kampung Jawa. Wilayah yang didiami oleh orang Jawa Tondano (Jaton) yang merupakan keturunan Kyai Modjo dan para pengikutnya. Mereka teguh dengan identitas sendiri, menjaga tradisi dari tanah leluhur di Jawa dan tetap istiqamah dalam kepercayaan sebagai muslim.
      rombongan kecil peziarah di siang hari jelang sore 1 maret 2015
      Duduk di kerindangan sekitar makam sore itu, sambil menatap Tondano di kejauhan bawah sana, saya mencoba menyelami pilu hati seorang kyai yang jauh dari tanah kelahirannya. Beliau dengan tegar mengarungi sisa hidupnya menyebarkan ajaran dan keyakinan yang dianutnya hingga akhir hayat.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.