Articles by "Semilir Bayu"

Tampilkan postingan dengan label Semilir Bayu. Tampilkan semua postingan

     Tidak banyak yang muncul ke permukaan memoriku ketika berjumpa dengan salah seorang sahabat semasa sekolah menengah atas dulu. Namun kenangan yang tertinggal melekat kuat itu menjadi begitu nyata ketika kami saling menyapa dan berjabat tangan. Begitu panjang waktu dan lebar jarak yang terasa selama ini, seketika menjadi luluh oleh keharuan.
     Ada warisan nasehat dari orang tua sahabatku itu, yang diceritakannya kepadaku ketika kami sama-sama dinyatakan naik ke kelas dua waktu itu. Dengan semangat dan keyakinan yang begitu kokoh, ia bercerita, bahwa ketika ia pulang ke kampung di liburan kemarin, ayahnya menitipkan satu petuah yang mesti ia pegang aplikasikan dengan penuh istiqamah di hari-hari mendatang. Sangat sederhana sehingga mudah untuk diingat. Itulah mungkin, mengapa saya masih tetap mengingatnya hingga hari ini.
     Pertama, 'ingatlah' selalu dua hal, yaitu kebaikan orang lain kepadamu dan keburukan kamu kepada orang lain. Kedua, 'lupakanlah' selalu dua hal, yaitu keburukan orang lain kepada kamu dan kebaikan kemu terhadap orang lain.
     Waktu itu saya hanya mengingat-ingatnya saja, sambil turut berusaha mengaplikasikannya di setiap kesempatan. Saya belum tahu sama sekali kemana arah nasehat itu. Namun berangkat dengan prasangka baik, bahwa para orang tua pastinya menitipkan nasehat-nasehat berharga kepada anak-anaknya, maka apa salahnya bila saya turut menerapkannya. Siapa tahu nantinya membawa kebaikan yang banyak untuk saya, begitu pikiran saya untuk membenarkan tindakan saya yang karena secara diam-diam turut merasa pantas untuk nasehat itu.
     Bertahun-tahun kemudian barulah saya mulai bisa merasakan orang-orang yang begitu menuntut pamrih di dalam melakukan sesuatu hal. Ternyata orang-orang itu bukan hanya 'sangat mengingat' kebaikan apapun yang telah diberikannya kepada orang lain, namun juga menuntut imbal balik yang kadang tidak masuk akal. Di kesempatan lain, saya bertemu dengan orang-orang yang maunya menang sendiri. Ternyata mereka hanya bisa mengenal hal-hal baik yang mereka lakukan disertai hal-hal buruk yang orang lain lakukan.
     Begitulah, semakin hari semakin beragam model manusia yang bertemu denganku. Sambil mencoba tetap menganalisa di dalam penerapan nasehat itu, yang rupanya semakin sulit untuk diaplikasikan di tengah kondisi masyarakat yang begitu egois dan pragmatis. Tidak hanya sampai di situ, ganasnya watak keserakahan telah menyihir hampir setiap orang untuk mampu 'tega' menggilas hingga ke hak paling dasar dari manusia lainnya.
     Hingga kemudian saya sampai di kesimpulan, bahwa ternyata nasehat itu begutu mudahnya untuk diterapkan, di kondisi apapun. Ikhlas telah mengubah setiap jalan menjadi lapang dan lancar, menampakkan tujuan yang jauh seakan telah terpampang di depan mata.
     Sahabat, sampaikan terimakasihku kepada ayahmu yang telah mewariskan nasehat itu kepadamu, sekaligus maafku karena telah lancang telah turut merasa berhak memiliki warisan untukmu itu.
Baso Darwisah

     Pemuda itu meletakkan kayu bakar yang terikat rapi dari pundaknya. Peluhnya membasahi tubuh dan meleleh di lekuk-lekuk wajahnya yang polos. Di sebelahnya seorang lelaki tua juga baru saja meletakkan beban kayu dari punggungnya. Mereka adalah ayah dan anak yang baru keluar hutan mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari.
     Sambil beristirahat di bawah rimbunnya pohon, si anak bertanya mengapa tadi ayahnya kembali melarang ia untuk mengambil potongan-potongan kayu yang bersandar di pohon besar yang mereka lalui di hutan tadi. Rupanya si anak sudah begitu penasaran, karena bukan sekali itu saja ayahnya melarang melakukan hal itu. Dan hari ini rasa ingin tahu itu sudah tidak tertahan lagi.
     Dengan senyum karena menahan geli, si ayah menjelaskan.
     "Nak, kayu yang tersandar di pohon tadi itu, juga yang kemarin-kemarin kita lihat di pohon yang lainnya, sudah dimiliki oleh orang lain, hanya saja mereka belum sempat untuk membawanya keluar hutan." tutur sang ayah dengan lembut.
     "Tapi kita kan bisa mengambilnya tanpa diketahui oleh orang yang menurut ayah sudah memilikinya" sanggah si anak dengan semangat.
     "Nah di situlah tata krama kita sebagai warga masyarakat sekitar hutan ini. Kita akan menghormati orang yang telah bersusah payah mengumpulkan dan merapikan kayu-kayu tersebut lalu menegakkannya di batang pohon, meski kita tidak pernah bertemu dengan siapa orangnya. Penghormatan kita adalah dengan tidak mengganggu apalagi mengambilnya. Hal yang sama akan dilakukan oleh orang lain bila kita melakukan hal yang sama, meninggalkan kayu yang telah tersusun rapi di batang pohon. Begitulah pesan yang diwariskan kakekmu kepadaku, dan sekarang ini aku wariskan pula kepadamu".
     Penjelasan sang ayah yang panjang lebar itu rupanya belum cukup untuk menuntaskan ganjalan-ganjalan yang ada di benak si anak. Hal itu tergambar jelas di wajahnya yang masih kusut.
     "Tetapi ayah, saya pernah bertemu dengan orang kota yang sudah bersekolah sangat tinggi, menjelaskan hal ihwal tentang kepemilikan sesuatu barang. Ada bukti-bukti yang tertera di atas kertas yang menjadi jaminannya.. Nah dengan penjelasan ayah tadi itu, saya menjadi bingung untuk bisa mengerti. Apakah ayah juga pernah sekolah labih tinggi dan lebih pandai dibanding orang yang kutemui itu?."
     Sang ayah hanya tersenyum kecil, menyandarkan punggung lebih santai ke belakang, lalu melanjutkan penjelasannya.
     Sekarang cobalah bayangkan apa yang saya gambarkan ini.
     Bila Engkau memaksakan diri untuk mengambil kayu-kayu yang sudah ditegakkan itu, maka Engkau dipastikan akan menghadapi tiga kemungkinan. Pertama adalah, bila orang yang memiliki kayu itu ternyata mempunyai kemampuan lebih dari dirimu, maka Engkau bisa saja digilasnya. Tindakanmu akan dianggapnya sebagai upaya untuk menghinanya sehingga ia akan menghancurkanmu dengan segala daya yang dipunyainya.
     Kedua, bila ternyata pemiliknya mempunyai kemampuan yang setara denganmu, maka kemungkinan kalian akan saling berhadap-hadapan untuk mempertahankan eksistensi atas keberdayaan kalian. Bila Engkau kalah, maka akan ada luka di hatimu sebagai penanda atas kekalahanmu. Di pihak seterumu akan membanggakan pencapaiannya sekaligus meneguhkan doninasinya atas dirimu.
     Kemungkinan ketiga adalah bila pemiliknya mempunyai kemampuan lebih rendah darimu. Kemungkinannya ia akan menerima kondisi yang terjadi dengan 'tidak ikhlas'. Pemaksaan menerima keseweng-wenangan yang Engkau lakukan akan menjadi bibit dendam yang bisa saja membesar di suatu hari nanti. Hubungan yang harmonis diantara sesama penghuni sekitar hutan ini menjadi tidak seimbang, menjadi kehilangan rasa harga menghargai diantara sesamanya.
     Nah, dari ketiga kemungkinan itu, tidak satupun yang menjadi pilihan pantas untukmu, juga untuk penghuni-penghuni lainnya. Tetap konsisten dalam menghormati semua tatanan nilai yang telah dibangun di dalam konunitas kita adalah sesuatu yang mutlak, sehingga kita bisa mengembangkan kemuliaan-kemuliaan lainnya di dalam peradaban kita. Dan ingatlah baik-baik, semuanya itu tidak dituliskan di atas kertas seperti yang dibangga-banggakan oleh orang pintar yeng sudah engkau temui itu.
     Tidak ada dokumen ataupun akte yang menjadi bukti otentik tentang kepemilikan kayu itu. Kalaupun engkau memaksa untuk mencarinya maka engkau tidak tidak akan menemukannya. Dan engkau akan memenangkan perdebatan atas alasan 'tulis menulis' itu.
     Semuanya hanyalah pewarisan nilai yang disampaikan turun temurun seperti yang aku lakukan kepadamu sekarang ini. Tulisan-tulisan di kertas itu hanyalah bahan untuk  'si tukang silat lidah' untuk terlihat hebat dalam membela paham 'opurtunis' yang dianutnya. Paham yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok kecilnya yang didorong kuat oleh nafsu egoisme. Semua dikembangkan atas nama logika yang dikembangkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan huruf-huruf yang ada di atas kertas. Sementara nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi utamanya tidak bisa dimasukkan menjadi parameter, karena sama sekali tidak tertulis di atas kertas.
     Pahami semua nilai yang ada ini. Bila engkau merasa nilai-nilai yang berlaku di sini tidak sesuai dengan jalan pikiranmu, maka berbesar hatilah untuk menghormati nilai yang telah dianut sejak lama itu. Jangan engkau recoki apalagi sampai meninggalkan jejak buram di lintasan sejarahnya. Toh engkau yang masih muda, bisa mencari 'hutan' yang lain, untuk mengembangkan komunitasmu sendiri yang sesuai dengan apa yang engkau pikirkan. Engkau bisa mengembangkan nilai-nilai yang engkau anggap baik, di dalam komunitas barumu itu.
     Hari menjelang senja, semilir bayu yang lembut mengantarkan langkah mereka pulang.

     Saya melangkah dengan sedikit terseok untuk kemudian memutuskan untuk beristirahat sejenak di tepi sawah. Matahari sedikit lagi terbenam sementara tujuan saya masih sekitar tiga kilometer dari tempat sekarang. Dengan perlahan ransel yang berat saya letakkan di samping lalu saya gunakan sebagai sandaran sambil meluruskan kaki yang penat.
      Tidak lama berselang seseorang menghampiri saya. Dengan keramahan khas penduduk desa, dia menyapa. Kami ngobrol kesana kemari, juga menanyakan mengapa saya hanya sendiri dengan beban yang kelihatan berat. Rupanya si Bapak ini sudah mengamati saya sejak tadi. Dengan singkat saya jelaskan bahwa saya sedang merampungkan tugas mengumpulkan sampel batu dari daerah sekitar ini. Saya tunjukkan bukit di depan, Bulu' Paria dimana tadi menjadi tujuan saya dan mendapatkan sampel-sampel batuan yang ada di dalam ransel. Bulu Paria yang mengerucut khas bentuk gunung api, tepat di depan Gunung Bulusaraung bila dipandang dari arah Leang-leang.
      Benar, saya sedang di daerah Leang-leang. Si Bapak masih dengan ramah ngobrol dan bercerita apa saja. Apa lagi ketika saya menunjuk ke Bulu Paria yang mana telunjuk saya sekligus menunjuk Bulusaraung di belakangnya, beliau menjadi semakin bersemangat. Satu kalimat yang begitu terkesan, ketika beliau berkata '..itu Bulusaraung..lihat mi.. itu mi gunung paling tinggi di dunia..coba lihat keliling, tidak ada mi yang lebih tinggi..'
      Begitu polos, begitu tulus tanpa keangkuhan sedikitpun, begitu sederhana dan yakin dengan apa yang diucapkannya. Saya hanya mengangguk-angguk mendengarkan. Penggalan percakapan itu yang kemudian selalu tersimpan di dalam ingatan saya, untuk selalu mengusik keingintahuan saya sehingga si Bapak bisa berkesimpulan demikian.
      Kami berpisah setelah saling bersalaman, si Bapak melangkah menjauh, sayapun melanjutkan langkah ke tujuan semula. Banyak tanya dan jawab yang silih berganti selama bertahun-tahun melintasi benak saya. Juga tak kalah banyaknya wawasan yang terlontar, ketika cerita ini saya sampaikan di kala senda gurau. Namun saya juga yakin masih banyak wawasan lainnya yang belum sempat terlontar untuk dicerna bersama. Wawasan yang terpendam bersama senyap di dalam tafakur.
      Adakah jawab yang lain.?
artikel saya ini
sudah pernah diterbitkan di buletin lembanna online
edisi Januari 2011 dalam label contour
tulisan didedikasikan untuk my great brother Yani Abidin
mengenang saat-saat latihan bersama menggunakan peta kompas
di daerah Leang-Leang dan sekitarnya

     Suatu ketika seorang manusia diberi kesempatan untuk berkomunikasi dengan Tuhannya dan berkata, "Tuhan ijinkan saya untuk dapat melihat seperti apakah Neraka dan Surga itu".
     Kemudian Tuhan membimbing manusia itu menuju ke dua buah pintu dan kemudian membiarkannya melihat ke dalam.
     Membuka pintu pertama, nampak di tengah ruangan terdapat sebuah meja bundar yang sangat besar, dan ditengahnya terdapat semangkok besar sup yang beraroma sangat lezat dan begitu menggugah selera sehingga membuat air liur menetes. Meja tersebut dikelilingi oleh orang-orang yang kurus yang tampak sangat kelaparan.
     Setiap orang memegang sebuah sendok yang terikat pada tangan masing-masing. Sendok tersebut cukup panjang untuk mencapai mangkok di tengah meja dan mengambil sup yang lezat tadi.
     Namun karena sendoknya terlalu panjang, mereka tidak dapat mencapai mulutnya dengan sendok tadi untuk memakan sup yang terambil.
     Si Manusia tadi merinding melihat penderitaan dan kesengsaraan yang dilihatnya dalam ruangan itu.
     Tuhan berkata, "Kamu sudah melihat NERAKA"
     Lalu mereka menuju ke pintu kedua. Di dalamnya ternyata berisi meja beserta sup dan orang-orang yang kondisinya sama persis dengan ruangan yang pertama tadi. Hanya saja, di dalam ruangan ini orang-orangnya nampak berbadan sehat, berotot dan mereka sangat bergembira mengelilingi meja tersebut.
     Melihat keadaan ini si Manusia menjadi bingung dan berkata "Apa yang terjadi? Mengapa di ruangan ini mereka terlihat begitu bergembira?"
     Tuhan kemudian menjelaskan, "Sebenarnya sangat sederhana untuk bisa menjadi penduduk Surga. Yang dibutuhkan hanyalah satu sifat baik, yaitu keikhlasan"
     "Perhatikan bahwa orang-orang ini dengan ikhlas menyuapi orang lain yang dapat dicapainya dengan sendok bergagang panjang, sedangkan di ruangan lain orang-orang yang serakah hanyalah memikirkan kepentingan dan kebutuhan dirinya sendiri"

tulisan berasal dari
surat berantai yang saya terima
beberapa waktu lalu.
maaf, saya tidak sempat menjejak
penulisnya

     Seorang pemuda mendatangi seorang Sufi bernama Zun-Nun dan bertanya, "Guru, saya tak mengerti mengapa orang seperti Anda mesti berpakaian apa adanya, amat sangat sederhana. Bukankah di masa seperti ini berpakaian sebaik-baiknya amat perlu. Bukan hanya untuk penampilan melainkan juga untuk banyak tujuan lain."
     Sang sufi hanya tersenyum. la lalu melepaskan cincin dari salah satu jarinya, lalu berkata. "Sobat muda, akan kujawab pertanyaanmu, tetapi Iebih dahulu lakukan satu hal untukku. Ambillah cincin ini dan bawalah ke pasar di seberang sana. Bisakah kamu menjualnya seharga satu keping emas?"
     Melihat cincin Zun-Nun yang kotor, pemuda tadi merasa ragu. "Satu keping emas? Saya tidak yakin cincin ini bisa dijual seharga itu."
     "Cobalah dulu, sobat muda. Siapa tahu kamu berhasil."
      Pemuda itu pun bergegas ke pasar. la menawarkan cincin itu kepada pedagang kain, pedagang sayur, penjual daging dan ikan, serta kepada yang lainnya. Ternyata, tak seorang pun yang mau membelinya seharga satu keping emas. Mereka menawarnya hanya satu keping perak. Tentu saja pemuda itu tak berani menjualnya dengan harga begitu.
     la pun kembali ke padepokan Zun-Nun dan melapor. "Guru, tak seorang pun berani menawar Iebih dari satu keping perak"
     Zun-Nun. sambil tetap tersenyum arif. berkata. "Sekarang pergilah kamu ke toko emas di belakang jalan ini. Coba perlihatkan kepada pemilik toko atau tukang emas di sana. Jangan buka harga. dengarkan saja bagaimana ia memberikan penilaian."
     Pemuda itu pun pergi ke toko emas yang dimaksud. Tidak lama kemudian la sudah kernbali kepada Zun-Nun dengan raut wajah yang lain sama sekali. la kemudian melapor. "Guru, ternyata para pedagang emas itu tidak tahu dengan pasti berapa nilai sesungguhnya dari cincin ini. Mereka menawarnya dengan harga seribu keping emas.
     "Rupanya nilai cincin ini seribu kali Iebih tinggi daripada yang ditawar oleh para pedagang di pasar."
Zun-Nun tersenyum simpul sambil berujar lirih. "Itulah jawaban atas pertanyaanmu tadi sobat muda. Seseorang tak bisa dinilai hanya dari pakaiannya saja. Perhatikan bagaimana "para pedagang sayur. ikan dan daging di pasar" yang menilai cincin ini seharga satu perak, namun bagi "pedagang emas" harganya seribu kali lipat.
     "Emas dan permata yang ada dalam diri seseorang. hanya bisa dilihat dan dinilai jika kita mampu melihat ke kedalaman jiwanya. Diperlukan kearifan untuk menjenguknya. Dan itu butuh proses, wahai sobat mudaku. Kita tak bisa menilainya hanya dengan tutur kata dan sikap yang kita dengar dan lihat sekilas. Seringkali yang disangka emas ternyata tembaga dan yang kita lihat sebagai tembaga ternyata adalah emas."

     Hari keempat di setiap pekan, pasar itu selalu ramai. Rutinitas yang acak, interaksi penjual dan pembeli, dengan semua harap dan kegembiraan berbaur. Adalah di salah satu sudut pasar yang ramai, seorang perempuan yang kehilangan kemampuan melihat, duduk dengan tangan menengadah. Menanti kerelaan belas kasih dari hiruk pikuk aktifitas pasar.
     Diantara orang-orang tersebut, ada seorang laki-laki yang begitu rutin memberikan sedekah kepada perempuan tersebut. Setelah beberapa kali menerima pemberian laki-laki tersebut, ia sudah bisa mengenali kehadiran laki-laki tersebut dari sentuhan tangannya yang meletakkan koin ke tangannya, ataupun dari dehem kecilnya. Mereka bertukar sapa sekadarnya..
      Karena begitu rutinnya laki-laki tersebut memberinya sedekah, bahkan tidak pernah alpa sekalipun, maka ia merasa perlu membalas jasa. Tetapi apa, dan bagaimana? Setelah lama dipikirkan, ia memutuskan memberi nasihat kepada lelaki tersebut, sehubungan desas desus akhir-akhir ini, mengenai kehadiran seseorang yang menggemparkan negeri Mekah.
      "Nak, terimakasih.. saya tahu engkau pasti selalu datang memberiku sedekah.." ujar perempuan buta itu.
      "Terimakasih bu, semoga bisa selalu bermanfaat.." balas lelaki tersebut, lalu berbalik hendak pergi.
      "Tunggu Nak," suara perempuan buta itu sedikit tigggi. "Ada rahasia yang hendak kusampaikan, yang semoga juga bisa bermanfaat untukmu."
      "Apa itu Bu?"
      "Sudah lama saya pendam, dan hari ini engkau harus mengetahuinya. Bahwa berhati-hatilah bila engkau bertemu dengan Muhammad. Orang yang belakangan ini begitu ramai dibicarakan di Mekah ini.. Dia itu adalah seorang pembohong tulen.. Saya tidak rela orang sebaik engkau ini kalau sampai terpengaruh apalagi terseret dalam kebohongan yang dia sebarkan."  perempuan itu berapi-api menjelaskan.
      "Baik Bu, saya akan selalu memperhatikan nasihatmu. Sekarang izinkan saya pamit." Lelaki itu melangkah pergi.
      Waktu terus bergulir, selama bertahun-tahun, perempuan buta itu menerima sedekah dari lelaki tersebut, setiap pekan tanpa pernah alpa sekalipun. Dan selama bertahun-tahun itu juga, setiap pekan dia memperingatkan lelaki tersebut dengan nasihat yang sama, sementara lelaki itu juga menerima nasihat tersebut dengan santun dan ramah.
      Hingga pada suatu pekan, lelaki itu tidak muncul mengantarkan sedekah. Ada gelisah di dalam hati wanita buta tersebut. Di pekan berikutnya, dia menunggu, namun yang ditunggu tetap tidak muncul. "Oh.. semoga tidak ada hal buruk yang menimpa orang baik itu." gumamnya di dalam hati.
      Di pekan berikutnya, muncullah seorang lelaki lain, yang mengantarkan sedekah ke perempuan tersebut. Namun, dia segera mengenali, bahwa orang itu bukanlah lelaki yang dia kenal selama bertahun-tahun ini. Perempuan itupun bertanya, kemana gerangan hingga dua minggu ini orang yang selama ini memberi sedekah tidak muncul.?
      "Dia telah meniggal dunia." jawab orang itu singkat.
      Bagai di sambar petir, perempuan itu terpekik, memegang dan mengguncang-guncang tangan orang di hadapannya. Ia meracau tidak karuan.. hatinya begitu sedih dan terpukul.. Setelah ia agak tenang, ia menanyakan sesuatu ke orang yang masih ia pegang tangannya sejak tadi itu.
      "Orang baik itu begitu cepat pergi. Maukah engkau memberi tahukanku, siapa namanya? Saya telah menereima sedekahnya selama bertahun-tahun, namun tidak pernah sempat menanyakan siapa namanya. Saya ingin mengenangnya di sisa hidupku yang tidak banyak berharga ini." perempuan itu memelas.
      "Jadi engkau belum mengenalnya?" sahut orang itu sedikit heran. "Dia adalah Muhammad, Pesuruh yang menyempurnakan agama untuk umat manusia."
      Kali ini perempuan buta itu hampir pingsan mendengar penjelasan orang di hadapannya.. Ia tidak sanggup membayangkan bagaimana nasihat yang telah diberikannya selama ini, bagaimana perasaan orang yang dinasehatinya setelah mengetahui kenyataan yang sebenarnya sekarang di hari itu. Perempuan itu terus menggeleng.. air matanya mengucur deras, seluruh persendiannya seakan lumpuh..
      Dengan sisa tenaga yang ada, dalam guncangan perasaan yang tidak terlukiskan, perempuan itu menggenggam tangan orang di hadapannya, yang ternyata bernama Abu Bakar, menyampaikan nasihatnya.. "Jangan pernah engkau ragu tentang siapa Muhammad itu. Hari ini saya bersaksi bahwa Ia adalah benar-benar utusan Tuhan.. Tolong antarkan saya ke makamnya, saya hendak menyampaikan kesaksian ini di hadapannya dan mengakui kalau saya telah keliru selama ini."
       Abu Bakar membantu perempuan buta itu beranjak dari tempat duduknya, namun belum berapa langkah mereka berjalan, entah karena usainya yang sudah lanjut ditambah guncangan batin yang begitu dahsyat yang baru saja dialaminya, perempuan itu jatuh terjerembab dan menghembuskan nafas terakhirnya.

also posted at KOMPASIANA

     Setiap pagi, begitu banyak ekspresi entah dalam bentuk sebaris ungkapan, atau beberapa baris puisi, atau bahkan yang paling sering dalam bentuk segenggam semangat kala menyambut hangatnya sang surya. Sementara di hari yang lalu saat senja menjelang atau ketika hari mendekati ujung, setumpuk evaluasi bersama sederet harap untuk menemui tetes embun pertama esok hari. Siklus? Rutinitas? Atau istilah lainnya?
     Sekarang mari kita anggap semua istilah itu tidak ada, sambil melupakan segala teori dan fakta tentang astronomi. Kita mencoba menjadi selugu-lugunya, sehingga menjadi sangat geli sehingga mudah tersulut tawa pada diri sendiri. Ini akan membantu kita untuk mengintip sedikit rahasia yang akan saya gambarkan di balik senja menuju pagi.
     Sebagai manusia lugu, mari kita amati apa yang bergerak di dalam batin kita ketika menyusun rencana setelah evaluasi rampung.? Untuk yang tidak pernah evaluasi dan tidak pernah bikin rencana untuk esok hari juga tidak apa-apa, bisa memulai dengan apa yang ada di benak kita ketika di senja ini kita menyongsong fajar esok? Nah.. ada keyakinan yang tidak kita sadari, mungkin karena sudah terlalu seringnya, adalah besok di waktu pagi matahari akan terbit mengiringi pagi..terbitnya di sebelah timur pula.
      Belum sekalipun kita meragukan, jangan-jangan besok matahari tidak jadi terbit.. atau jangan-jangan terbitnya nanti jam 10 pagi (ukuran jam Indonesia).. atau siapa tau nanti terbitnya di selatan, bukan di timur.. Setiap kita berangkat dengan suatu keyakinan yang sama. Lalu mengapa demikian?
      Karena kita sepakat melupakan ilmu astronomy, maka menjadi sulit menjawab mengapa demikian. Mari kita lihat saja dari sudut keluguan kita, bahwa ini adalah salah satu pelajaran yang terpahat di salah satu bagian alam yang luas ini. Inilah salah satu tuntunan dari Sang Pencipta, untuk kita.
      Pernahkah terbayangkan, untuk selanjutnya kita praktekkan, didalam menjalani kehidupan ini kita bisa seperti kondisi pagi dengan matahari di timur? Entah. Namun dengan sederhana kita bisa bertanya kepada diri sendiri, apakah orang bisa memandang kita seperti kondisi tersebut? Ketika kita berjanji, ketika kita mengatakan sesuatu, ketika kita bersikap terhadap kehidupan ini, orang akan yakin kepada kita seperti keyakinan akan terbitnya matahari esok hari di timur?
      Di sinilah letak rahasianya. Tahukah kita, bahwa di dalam usaha untuk selalu konsisten dalam 'siklus matahari terbit pagi di timur' itu selalu diiringi banyak hambatan, namun bukan berarti hal tersebut mustahil.
Apa yang terucap sama dengan apa yang dilakukan. Setiap janji yang terlontar adalah tanggungjawab yang hanya bisa dihalangi oleh maut. Karenanya ketika orang berurusan dengan kita, maka orang akan merasakan keyakinan yang sama ketika dia yakin akan besok pagi matahari terbit di timur.
      Bila kita telah memilih jalan mencontoh perilaku tersebut dengan konsisten dan yakin, maka bersiaplah untuk menghadapi begitu banyak keajaiban di dalam kehidupan. Bila suatu saat kita terlanjur berucap sesuatu yang kemudian menjadi sulit untuk kita realisasikan, maka Tuhan akan turun tangan untuk merealisasikannya. Tuhan tidak akan rela melihat kita terpeleset menjadi orang yang tidak bisa dipercaya.
      Itulah mengapa, melalui Pesuruh-Nya, Dia memperingatkan kita untuk 'takut' pada kata-kata mereka yang selama ini selalu konsisten menjaga kesesuaian ucapan, janji dan perbuatannya.

also posted at KOMPASIANA

      Suatu ketika, ada seorang anak laki-laki yang bertanya kepada ibunya. "Ibu, mengapa Ibu menangis?". Ibunya menjawab, "Sebab, Ibu adalah seorang wanita, Nak". "Aku tak mengerti" kata si anak lagi. Ibunya hanya tersenyum dan memeluknya erat. "Nak, kamu memang tak akan pernah mengerti...."
     Kemudian, anak itu bertanya juga kepada ayahnya. "Ayah, mengapa Ibu menangis? Sepertinya Ibu menangis tanpa ada sebab yang jelas.." Sang ayah pun menjawab, "Semua wanita memang menangis, bahkan tanpa ada alasan sekalipun".  Hanya itu jawaban yang bisa diberikan oleh ayahnya. 
      Seiring berjalannya waktu, si anak  tumbuh menjadi remaja dan tetap memendam tanya di dalam hatinya, mengapa ibunya sering menangis.
 
     Pada suatu malam, ia bermimpi bertemu Tuhan dan bertanya tentang ganjalan pertanyaan yang dipendamnya selama ini. "Ya Allah, mengapa ibunya mudah sekali menangis?"
     Dalam mimpinya, Tuhan menjawab, "Saat Kuciptakan wanita, Aku membuatnya menjadi sangat utama. Salah satu keutamaan terbesarnya adalah memikul tanggung jawab untuk menjadi seorang ibu. Sebagai bekal menjalani tanggung jawab itu, maka Kusiapkan kemampuan-kemampuan khusus untuknya.

     Kuciptakan bahunya agar mampu menahan seluruh beban dunia dan isinya. Meskipun begitu, bahu tersebut harus cukup nyaman dan lembut untuk menahan kepala bayi yang sedang terlelap, terbuai di dalam tidur.
     Kuberikan wanita kekuatan untuk dapat melahirkan dan mengeluarkan bayi dari rahimnya, walau di kemudian hari ia kerap kali menerima cerca dari anaknya itu.  Kuberikan keperkasaan yang akan membuatnya tetap bertahan pantang menyerah saat semua orang sudah putus asa. Pada wanita, Kuberikan kesabaran untuk merawat keluarganya, meski lelah letih dan sakit, tetapi ia tidak berkeluh kesah.
     Kuberikan wanita perasaan peka dan kasih sayang untuk mencintai semua anaknya dalam kondisi apapun.  Meski tak jarang bahkan hampir selalu, anak-anaknya itu melukai perasaannya, melukai hatinya. Perasaan ini pula yang akan memberikan kehangatan pada bayi-bayi yang terbuai di dalam lelap. Sentuhan inilah yang akan memberikan kenyamanan saat didekap dengan lembut olehnya.
     Kuberikan wanita kekuatan untuk membimbing suaminya. Melalui masa-masa sulit. dan menjadi pelindung baginya. Sebab, bukankah tulang rusuklah yang melindungi setiap hati dan jantung agar tak terkoyak? Kuberikan kepadanya kebijaksanaan dan kemampuan untuk memberikan pengertian yang menyadarkan, bahwa suami yang baik adalah yang tak pernah melukai istrinya. Namun begitu, seringkali pula kebijaksanaan itu akan menjadi ujian untuk setiap kesetiaan yang diberikan kepada suami, agar tetap mampu berdiri sejajar saling melengkapi - saling menyayangi.
     Dan akhirnya, Kuberikan ia air mata sebagai media untuk dapat mencurahkan perasaannya. Inilah anugerah yang khusus Kuberikan kepada wanita, agar dapat digunakan kapanpun ia inginkan. Hanya itulah yang nampak sebagai 'sedikit' kelemahan yang dimiliki wanita. Namun sebenarnya, air mata itu adalah air mata yang menghangatkan kehidupan".

adapted from
soul and wisdom collection 

Nun jauh di sana ketika jiwa-jiwa sedang menanti peradilan terakhir, ada episode perjalanan dimana setiap jiwa diantar oleh malaikat untuk 'pesiar' di suatu tempat..

Ketika mereka tiba di tempat tujuan, mereka hanya menemui tiga benda dalam hamparan ruang tak terbatas. Dengan sedikit canggung, sang jiwa bertanya kepada malaikat, "benda-benda apakah di hadapan kita ini?" Dengan ramah malaikat mengajak sang jiwa untuk mengamati saja secara langsung dari dekat.

"Ini adalah tiga lemari milikmu. Lemari yang telah engkau bangun selama perjalanan hidup di dunia fana itu. Sekarang, mari kita lihat apa isinya." Dengan tenang, malaikat membuka lemari pertama. Dan ketika lemari itu  terbuka, maka seketika itu juga memancarlah aroma harum disertai sinar yang sangat terang menyilaukan, sehingga sang jiwa menutupi wajahnya karena silau. "Inilah semua perbuatan dan amal-amal saleh yang telah engkau perbuat dulu. Semuanya ada di dalam lemari ini". Oh..alangkah gembiranya sang jiwa pada saat itu. Setelah puas melihat-lihat isinya, malaikatpun mengajak untuk mengamati lemari yang sebelahnya lagi, sambil menutup lemari pertama tadi.

Dengan sangat berhati-hati, malaikat lalu mengajak sang jiwa menuju ke lemari yang sebelahnya lagi. Ukurannya hampir sama besar dengan lemari pertama  tadi. Sulit membandingkan apakah lebih besar, atau lebih kecil. Sambil tetap' berhati-hati, lemari kedua pun terbuka...dan luar biasa, dari dalamnya memancar bau busuk yang amat menyengat dengan warna hitam pekat dan bunyi- bunyian aneh..."Oh..apakah ini malaikat.?" tanya sang jiwa dengan gusar. "Inilah semua keburukan, keculasan dan kedurhakaan yang engkau lakukan selama di dunia". Sang jiwa memalingkan wajah, tidak sanggup berlama-lama menatap isi lemari kedua. Ia pun dengan sedikit tidak sabar mendesak agar malaikat segera manutup lemari tersebut dan bergegas menuju lemari ketiga.

Sesampai di depan lemari ketiga, sang jiwa yang baru saja terguncang melihat isi lemari kedua, kemudian terpana menyaksikan sebuah lemari yang besar.. Ukurannya sekitar tiga atau empat kali lebih besar dibandingkan bila  lemari pertama dan lemari kedua digabungkan. Sang jiwa masih sibuk dengan
penasaran, malaikat perlahan-lahan membuka pintu lemari. Ketika sang jiwa menyadari bahwa pintu lemari telah terbuka, ia dengan tidak sabar segera ingin mengetahui ada apa di dalamnya.

Sesaat kemudian, sang jiwa bertanya kepada malaikat. "Mengapa lemari ini tidak ada isinya? Tidak ada cahaya, tidak juga gelap. Tidak ada bau harum, tidak juga bau busuk. Hanya ada kesunyian, yang saya rasa sangat mencekam, terasa angker menyeramkan. Saya merasakan kesia-siaan bila memandang ke dalamnya".

"Itulah semua waktu yang telah engkau sia-siakan. Waktu yang tidak engkau pergunakan, entah untuk berbuat kebaikan atau untuk melakukan kedurhakaan. Sangat besar memang..bahkan terlalu besar bila dibandingkan dengan dua lemari lainnya..."

Sang jiwa tertegun, menyesal, dan merasakan kerugian yang sangat mendalam..

Lalu sayup-sayup di antara lipatan waktu dan ruang suara qari melantunkan firman Tuhan...Dan demi waktu..sesungguhnya manusia berada dalam kerugian kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, teguh di dalam kebenaran dan teguh dalam kesabaran... Shadakallahu Al Adzim.

Alkisah dahulu kala ada sebuah desa di kaki gunung yang dilanda banjir. Saat para penduduk desa sedang terlelap tidur, perlahan air mulai menggenangi wilayah tersebut. Begitu mengetahui kedatangan banjir, para penduduk mulai bergegas mengungsi ke daerah yang lebih aman. Hampir semua warga desa mengungsi, kecuali satu pria tua yang memilih bertahan.

Pria ini kemudian memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa: "Ya Tuhanku, Engkau yang Maha Perkasa, Engkau Maha Penolong dan Pengampun.... Hamba mohon pertolongan Mu wahai Tuhanku.... Hamba telah ampuni orang-orang yang menyakiti hamba, karenanya hamba mohon ampunanMU, tolonglah hambaMu yang tua renta ini.."

Karena air mulai meninggi si pria tua ini naik ke atap rumah. Tak lama kemudian datang orang dengan sampan kecil, dan bermaksud menolong pak tua ini. Namun pak tua menolak permintaan orang itu. Tak lama datang lagi perahu penyelamat dari tim SAR, lagi-lagi pak tua menolaknya. Hingga pada akhirnya datang helikopter untuk menyelamatkannya, tetap saja pak tua menolaknya karena beliau yakin Tuhan akan datang menolongnya. Air makin meninggi dan tak lama kemudian pak tua mati tenggelam.

Di akhirat pak tua ini berjumpa dengan Tuhan dan bertanya: "Wahai Tuhanku, aku telah berdoa agar engkau menyelamatkan ku, namun mengapa Engkau tidak menjawab permohonanku?" Tuhan menjawab: "Aku terenyuh mendengar doa mu, karenanya Aku kirimkan orang dalam sampan untuk menolongmu, tapi engkau abaikan. Aku kirimkan lagi pasukan lebih besar dengan perahu SAR, karena mungkin engkau ingin yang lebih aman, lagi-lagi engkau abaikan. Terakhir Aku kirimkan helikopter karena mungkin engkau takut dengan perahu, sayangnya masih engkau abaikan. Bukannya Aku tidak menolongmu, tapi engkau tidak membantu dirimu sendiri"

Adakah doa-doa kita tercermin dari satire di atas.? Seberapa banyak pertolongan Tuhan yang telah kita abaikan yang diakibatkan oleh 'kedunguan' dan mungkin juga oleh 'kesombongan' kita? Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un..

tersebutlah kisah ketika Sulaiman a.s belum mendapatkan seorang pun 'istri' yang sangat diidamkannya diantara seribu istri-istrinya. Ia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya dan ternyata ia tidak menemukannya.

adalah seorang bijak yang memperkirakan bahwa istri idaman yang dicari oleh Sulaeman mungkin yang seperti Khadijah. namun mungkinkah Sulaeman mendapatkan Khadijah seandainya Khadijah hidup di zaman Sulaeman?

tidak mudah untuk menjawabnya, tetapi ada hal yang begitu penting untuk dimengerti bahwa untuk mendapatkan Khadijah, seseorang terlebih dahulu harus menjadi Muhammad. dan Sulaeman bukanlah Muhammad.

dan Sulaeman bukanlah Muhammad, itulah yang sering dikatakan sebagai takdir. menemukan pasangan idaman mungkin sesuatu yang sulit, namun juga mungkin sebagai sesuatu yang mudah. sederhananya adalah dari titik mana kita berangkat.

di dalam kitab suci jelas dituliskan, pasangan untuk lelaki yang baik adalah perempuan yang baik, demikian pula sebaliknya. ada penegasan untuk suatu kesetaraan mutu. mutu yang saling berpasangan itu adalah seimbang.

meskipun ketika Sulaeman masih hidup dan ada Khadijah hadir di sekitarnya, Sulaeman pun tidak akan mendapatkannya. kualitas yang akan mendapatkan Khadijah adalah kualitas Muhammad. sehingga "untuk mendapatkan Khadijah, orang terlebih dahulu harus menjadi Muhammad".

yang kemudian sangat di sayangkan, ketika kita berharap menemukan pasangan yang seperti di dalam angan-angan kita, tetapi kita lupa menakar seberapa jauh kualitas kita untuk setara dengan yang kita idamkan itu? menggapai bintang di langit tidak bisa dilakukan bila kita hanya berpijak di bumi. kita harus terbang tinggi ke langit. terbang tinggi ke langit berarti meningkatkan "mutu" kepribadian kita.

bila Khadijah yang kuidamkan, sudahkah saya menjadi Muhammad?

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.