Articles by "Minahasa"

Tampilkan postingan dengan label Minahasa. Tampilkan semua postingan

     Desa Pinabetengan namanya. Sungguh menakjubkan ketika melihat salah satu spot di wilayah itu. Tidak disangka, desa yang rasanya begitu 'jauh' untuk terjangkau, ternyata menyimpan sejumlah rekor yang tercatat di Guinness Book. Bila destinasi Bukit Kasih sudah menggema kemana-mana, maka menuju ke Desa Pinabetengan bukanlah sesuatu yang sulit. Bisa dikatakan Desa ini berada dalam satu kawasan dengan Desa Kanonang dimana Bukit Kasih berada.
     Untuk menemukannya, tentu saja pertama kali harus sampai di kota Tomohon terlebih dahulu. Berkendara sekitar 24 km kita akan tiba di wilayah Kawangkoan. Daerah yang sangat terkenal dengan kacang tanahnya. Karenanya ada patung kacang akan nampak di tepi jalan ketika mamasuki Kawangkoan. Di banyak tempat di Minahasa hampir selalu bisa dijumpai kacang produksi dari Kawangkoan. Dari Kawangkoan ini, Desa Pinabetengan sudah tidak jauh.
     Ada dua spot penting, yaitu prasasti Batu Pinawetengan dan Museum Pinawetengan. Untuk prasasti Batu Pinawetengan akan saya ulas di artikel tersendiri. Sedangkan Museum Pinawetengan dengan assetnya berupa benda-benda dengan rekor dunia akan saya paparkan seperti berikut ini. Dalam bentuk fisik, mulai dari terompet raksasa, kain tenun Minahasa terpanjang di dunia hingga Kolintang terbesar di dunia.
      Kolintang Raksasa terletak di bahagian kiri area kawasan museum. Segera terlihat menonjol label sertifikat World Record lengkap dengan penjelasan teknis dari alat musik Kolintang itu.
      Di tengah-tengah area kawasan museum berdiri menjulang, terompet raksasa. Tentu saja label rekor menggantung megah di bagian bawahnya. Sayang sekali kunjungan saya bukan pada saat ada festival, sehingga terompet hanya berdiri sunyi di terik matahari. Tidak sempat untuk dibunyikan.
      Rekor-rekor dalam bentuk fisik dan masih terpajang adalah terompet, kolintang dan kain tenun yang diletakkan di dalam Galery Kain. Sedangkan rekor nasi jaha pastinya sudah tidak nampak. Tiga rekor lainnya berupa pemain kolintang terbanyak, pemain musik bambu terbanyak dan pemain musik bia terbanyak.
      Beranda Galeri kain Penawetengan sebenarnya terlihat sangat sederhana. Semula saya tidak merasa tertarik untuk masuk ke dalamnya. Namun entah mengapa kemudian saya tetap melangkah ke dalamnya. Ternyata begitu banyak item yang menakjubkan saya. Dan kain dengan label rekor dunia itu memang luar biasa. Ditempatkan di dalam lemari kaca, kain sepanjang 101 meter itu menampakkan corak dengan ekspresi huruf-huruf seperti yang tergurat di atas Batu Pinabetengan. Batu prasejarah yang memuat sebahagian riwayat etnik Minahasa.
      Selain koleksi kain, di dalam galeri ini juga merupakan tempat memproduksi kain dengan beragam corak, namun semuanya tetap dengan pakem dasar huruf-huruf di atas prasasti Pinawetengan. Mesin-mesin tenun berdiri kokoh dengan juntaian benang dan pola untuk corak produksi.
      Beruntung ketika itu, sempat bertemu dengan seorang ibu di dalam galeri yang sementara menyelesaikan desain pola untuk proses penenunan. Di suasana yang lengang di dalam galeri, beliau begitu konsentrasi menyusun mozaik-mozaik kecil di hadapannya.
      Atas dan bawah adalah dua macam corak pola untuk  produksi di mesin tenun galeri.
      Selain pajangan aneka kain di dalam galeri ini, juga di beberapa rak lainnya diletakkan aneka macam produk kerajinan tangan Minahasa. Sebagian besar berupa kayu yang diukir dan dipahat. Bentuk yang paling banyak tentu saja bentuk Burung Manguni. Burung yang menjadi simbol penjaga untuk etnis Minahasa.
      Berminat dengan koleksi yang dipajang, beberapa diantaranya sudah disiapkan untuk bisa dibawa pulang. Begitu juga dengan koleksi kain, sudah disiapkan banyak pilihan untuk bisa menjadi buah tangan bagi orang-orang istimewa. Pengasuh galeri akan dengan senang hati membantu menjelaskan koleksi yang ada sekaligus membantu transaksi bila ada yang menarik hati untuk dibawa pulang.
      Selain manguni, ada juga miniatur rumah adat Minahasa. Ada patung-patung mini laskar Minahasa lengkap dengan pakaian perangnya. Ada sepeda dengan keranjang bambu. Tidak ketinggalan tas jinjing dalam paduan kombinasi kain tenun pinawetengan.
Aneka corak tenun ikat kain Pinawetengan
 
      Kawasan museum yang cukup luas. Selain asset tidak bergerak penghuni museum seperti pada umumnya, juga ada spot untuk aktifitas yang produktif. Satu bangunan khusus untuk tempat pengembangan usaha produktif, teknik dan pengembangan usaha tercakup di dalamnya. Mulai dari teknik budidaya tanaman lokal, hingga pengembangan usaha kuliner bisa didapatkan di sini. Lainnya lagi ada pusat penerangan narkoba, lengkap dengan langkah-langkah antisipasi sehingga tidak terjerumus menjadi konsumennya.
     Dan di beranda luar rumah-rumah adat yang disetting sebagai sentra-sentra kegiatan itu, ramai remaja-remaja sedang berlatih. Ada yang berlatih menari, ada juga yang berlatih bela diri. Ah..museum yang hangat, bukan hanya menyimpan asset berdenyut, tetapi juga menjadi tempat mengembangkan asset masa depan bangsa.
     Akhirnya, bila suatu hari berkesempatan menjejakkan kaki di bumi Minahasa, maka museum ini adalah salah satu tempat yang saya rekomendasikan. Bila kita sudah sampai di Bukit Kasih, maka dengan jarak tempuh sekitar 10 menit berkendaraan bermotor, lokasi museum bisa segera didapatkan.

     Tersebutlah seorang putri raja Mongol, bernama Lumimu'ut terdampar di bumi Minahasa. Dia diasingkan dari tanah asal kelahirannya Mongol, karena satu kekhilafan. Ayah Lumimu'ut yang adalah raja Mongol tidak bisa menerima kenyataan bahwa putri yang sangat disayanginya itu ternyata telah hamil sementara Lumimu'ut belum pernah menikah.
     Karena rasa malu yang begitu besar, maka raja Mongol memutuskan untuk mengasingkan Lumimu'ut. Disiapkanlah perahu yang menjadi tumpangan Lumimu'ut mengarungi kehidupannya selanjutnya. Dan tanah Minahasa menjadi tempat berlabuhnya perahu itu, bersama Lumimu'ut yang sedang hamil.
     Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua. Mereka kemudian tinggal bersama, saling membantu hingga Lumimu'ut melahirkan seorang bayi laki-laki.
Toal Lumimuut.  Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua.
 patung Toar - Lumimu'ut di bukit Kasih desa Kanonang Tomohon
Sulawesi Utara
     Anak laki-laki itu diberi nama Toar.
     Beberapa minggu setelah melahirkan Toar, kondisi kesehatan Lumimu'ut sudah pulih. Ia memutuskan kembali ke pantai, berharap bisa kembali ke tanah leluhurnya di Mongol. Toar ditinggalkan di dalam pengasuhan Karema.
     Karema yang arif kemudian membuat dua buah tongkat dari tanaman Tu'us. Tongkat yang sama panjangnya, satu diberikan kepada Lumimu'ut, dan satu lagi disiapkan untuk Toar bila sudah dewasa kelak. Tongkat yang akan menjadi penanda hubungan antara Lumimu'ut dan Toar adalah ibu dan anak. 
     Ketika Lumimu'ut sampai di pantai, perahunya sudah tidak ada. Ia pun menjelajah, mengikuti arah kata hatinya. Langkah kakinya membawanya mengembara menelusuri bumi Minahasa yang permai.
 patung Karema, Toar dan Lumimu'ut
di Bukit Kasih
     Ketika Toar sudah dewasa dan hendak mengembara menjelajah bumi Minahasa, Karema memberikan tongkat untuk Toar dengan satu amanah. Bila bertemu dengan wanita yang membawa tongkat yang sama panjangnya dengan yang ada di tangan Toar, maka dia adalah ibu dari Toar. Toar harus menjaga dan merawatnya karena dialah yang telah melahirkan Toar. 
     Singkat cerita, di dalam pengembaraan, Toar kemudian berjumpa dengan Lumimu'ut. Tongkat di genggaman disamakan panjangnya. Namun mungkin karena tongkat masing-masing telah digunakan di dalam pengembaraan selama ini, maka tongkat itu tidak sama panjang. Toar kemudian menjadikan Lumimu'ut sebagai istrinya yang melahirkan sembilan anak.
     Kesembilan anak tersebut yang kemudian membentuk sembilan sub-etnis Minahasa yaitu:
          1. Babontehu > mendiami pulau Manado Tua.
          2. Bantik > tersebar di Malalayang, Kalasei, Talawaan Bantik, Ratahan dan Mangondow.
          3. Pasan Ratahan (Tounpakewa) > tersebar di kecamatan Pasan, Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.
          4. Ponosakan > tesebar di kecamatan Belang dan Ratatotok, mendiami kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian di kampung Watulinei.
          5. Tonsea > mendiami semenanjung Sulawesi Utara mulai dari Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur.
          6. Tontemboan > mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, sepanjang kuala (sungai) Ranoyapo yaitu Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Madoinding, Tenga dan Sinonsayang.
          7. Toulour > mendiami sekeliling danau Tondano hingga ke pantai timur Minahasa (Tondano Pante) meliputi Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken.
          8. Tonsawang > berdiam di wilayah kecamatan Tombatu dan Touluaan.
          9. Tombulu > tersebar di kota Tomohon, Pineleng, Wori, Likupang Barat dan Manado.
     Mitos ini menjelaskan mengapa suku Minahasa mempunyai rupa yang mirip dengan bangsa Mongolia. Berkulit putih dan bermata sipit. Namun mitos ini tentu saja berbeda dengan dengan temuan ilmiah yang dijabarkan oleh para sejarawan yang telah meneliti secara mendalam tentang Minahasa dan sub etnis yang ada. Bahkan masing-masing sub etnis mempunyai mitos sendiri-sendiri tentang asal usunya.
     Kesembilan sub etnis Minahasa itu membaiat kesatuan mereka di sebuah batu yang disebut Watu Pinabetengan. Tentang Watu Pinabetengan sendiri  akan saya paparkan di artikel yang lain.

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Tersebutlah seorang gadis Minahasa yang cantik jelita yang sangat gemar pada berbagai macam kesenian. Di wilayah Tonsea, dia dikenal bernama Lintang, bunga diantara bunga yang ada di sana. Setiap hari ia bersenandung sambil mamainkan alat musik yang ada di masanya.
     Kecantikan Lintang yang begitu luar biasa, tentu saja menarik minat pemuda-pemuda Minahasa untuk mempersuntingnya menjadi istri. Sayembara pun digelar. Barang siapa yang bisa menghibur hati Lintang dengan memainkan alat musik yang indah, apalagi yang belum pernah terlihat oleh Lintang, maka dialah yang akan mendapatkan Lintang untuk dijadikan istri.
Alat musik tradisional

melody kolintang ~ pic: kolintang[dot]co[dot]id
     Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda yang ada di Minahasa, pamer kemampuan di hadapan Lintang. Namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Keriuhan berakhir, semuanya kembali dengan kecewa karena tidak satupun yang berhasil mendapatkan hati Lintang.
     Salah satu dari antaranya, karena begitu kecewa, melampiaskan kekecewaannya ke gunung Klabat. Ia mendaki menembus lebatnya belantara Klabat. Ko, begitu pemuda itu disapa. Sesampai di puncak, ia merenung, bagaimana caranya bisa mendapatkan hati Lintang. Namun semakin lama berpikir, otaknya terasa semakin mampet saja.
     Karena kesal tidak menemukan ide, Ko membanting tongkatnya yang terbuat dari kayu Wenang. Tongkat Ko membentur batu, terpental ke sana sini dengan suara nyaring. Sesaat Ko tertegun. Suara yang timbul dari tongkatnya terdengar indah berirama. 
     Ko bergegas pulang, sambil membawa beberapa potongan kayu Wenang yang lain. Ia kemudian menyusun beberapa potong kayu Wenang, lalu diketuk-ketuknya dengan batu. Suara denting yang indah terdengar oleh ketukan-ketukannya. Setelah melalui beberapa purnama, Ko sudah mahir memainkan melodi ciptaannya dari susunan kayu Wenang tersebut.
     Ia kemudian menemui Lintang di Tonsea. Ko memperdengarkan irama ciptaannya sambil mengetuk potongan-potongan kayunya. Seketika itu juga Lintang jatuh hati dan kemudian dipersunting menjadi istri Ko. Beberapa waktu kemudian, mereka menjadi terkenal karena alat musik ciptaan Ko yang mereka mainkan berdua. Orang-orang mengenal dan menyebut pasangan suami istri itu dengan menyatukan mana mereka, Ko Lintang.
kolintang raksasa, tercatat di guinness book of record. Kolintang ini terdapat di desa Pinabetengan Tomohon.
     Alat musik kolintang kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal selama ini.
~terimakasih yang khusus untuk bapak Venty yang telah menuturkan folklore tentang Kolintang tersebut.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.