Articles by "Cerpen/Indonesia/Cinta"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Indonesia/Cinta. Tampilkan semua postingan

     Rumah sakit ini tidak biasanya sepi seperti ini pada bulan Januari malam. Suasana lengang dan diam seperti keadaan cuaca sebelum datangnya badai. Aku menengok jam dinding di ruang jaga perawat. Pukul sembilan. Kukenakan stetoskop melingkari leherku, lalu berjalan menuju kamar No. 712.
     Ketika aku memasuki kamar itu, Tuan Mills sedang memandang ke arah pintu dengan pandangan yang tidak sabar. Tetapi ketika dia tahu yang datang adalah aku, perawatnya, ia segera mengalihkan pandangannya. Aku langsung menekankan stetoskop ke dadanya dan mendengarkan.
     Keras, pelan . . . bahkan berdebar-debar. Ada petunjuk bahwa dia baru saja mengalami serangan jantung ringan beberapa saat yang lalu.
     Dia memandang ke 'langit-langit, air mata menggenangi kedua pelupuk matanya, berkaca-kaca. Kusentuh tangannya, dan aku menunggu.
     "Maukah Anda memanggilkan anak perempuanku?" akhirnya dia berkata, "Anda tahu, aku ini hidup sendiri dan dia, dia adalah satu-satunya keluargaku yang kumiliki," pernapasanku tiba-tiba menjadi cepat.
     Aku menambah persediaan oksigennya. "Tentu, Tuan Mills. Aku akan memanggilnya," jawabku.
     Tuan Mills mencengkeram ujung selimutnya untuk membetulkan letak selimut itu di atas badannya. "Maukah Anda memanggilkan anakku sesegera mungkin?" napasnya cepat, terlalu cepat.
     "Aku akan memanggilnya sesegera mungkin," kataku seraya menepuk-nepuk pundaknya. "Sekarang Tuan beristirahatlah dahulu."
     Dia menutup kedua matanya. Rasa enggan aku untuk pergi meninggalkan kamar ini. Lalu melangkah menuju ke jendela kaca yang suram dan beku. Kaca terasa dingin. Di bawah, kabut tebal bergulung-gulung melintasi tempat parkir rumah sakit. Malam ini awan tebal menyelimuti langit.
     "Perawat," dia memanggil, "tolong carikan aku kertas dan pensil," katanya.
     Aku mengambil secarik kertas berwarna kuning dan pulpen dari saku bajuku, lalu menaruhnya di meja kecil di samping tempat tidurnya..
     "Terima kasih," katanya.
     Aku tersenyum kepadanya dan terus pergi berlalu.
     Di dalam catatan, anak Tuan Mills itu tertulis sebagai keluarganya yang paling dekat. Dan aku memperoleh nomor teleponnya dari bagian penerangan.
     "Hallo . . . Nona Jennie Mills, di sini Sundari, juru rawat rumah sakit. Sebagaimana pesan ayah Anda, Anda diminta segera datang ke rumah sakit. Beliau mengakui bahwa malam ini beliau mendapat serangan jantung dan dia..
     "Tidak!" dia memekik di pesawat teleponnya, mengejutkan aku. "Dia tidak kritis, kan?" kata-katanya itu terdengar lebih merupakan suatu tuntutan daripada pertanyaan.
     "Keadaannya stabil saat ini," kataku, yang berusaha untuk bersuara meyakinkan.
     "Anda tidak boleh membiarkan dia meninggal," katanya. Suaranya begitu memaksakan sehingga tanganku yang memegang tangkai telepon gemetar.
     "Beliau sekarang sedang mendapatkan perawatan yang terbaik”.
     "Tetapi Anda kan tidak mengerti," katanya. "Ayah dan aku menyimpan dendam percekcokan sudah hampir setahun ini. Aku . aku tidak pernah mengunjungi beliau sejak itu. Tetapi beberapa bulan belakangan ini aku ingin menemuinya, menghadapnya untuk mohon ampun. Aku masih ingat, kata-kata terakhir yang kuucapkan kepada ayah sebelum aku pergi waktu itu ialah 'Aku benci kepadamu, Ayah!"
     Suaranya pecah dan terdengar gelombang tangis kesedihan yang dalam. Aku terharu sehingga air mata menghangati pelupuk mataku. Seorang ayah dan seorang anak perempuan, masing-masing menganggap dirinya begitu benar, yang akhirnya mengakibatkan perpisahan yang tidak wajar. Yah, inilah gambaran bentuk hati manusia yang tidak terisi dengan iman dan budi pekerti. Hati yang tidak mendapat petunjuk-Nya yang telah disampaikan oleh Muhammad utusan-Nya. Dan memang begitulah hati manusia yang mempertuhankan nafsu. Kemudian aku teringat kepada ayahku sendiri yang kini berada ribuan mil jauhnya di tanah air. Kembali terngiang di telingaku pesan beliau kepadaku sebelum aku berangkat untuk melanjutkan studiku di Amerika ini. "Anakku, ingatlah selalu akan Tuhanmu. Dirikanlah sholat pada waktunya dan seringlah membaca Al-Quran dengan memahami maknanya. Amalkan apa yang diperintah dan tinggalkan apa yang dilarang-Nya. Insya Allah engkau akan merasa aman dan bahagia di mana pun engkau berada.”
     "Aku akan segera datang! Aku akan sampai dalam waktu tiga puluh menit," Jennie berkata, dan menaruh tangkai telepon pada tempatnya.
     Aku menyibukkan diriku dengan kertas-kertas catatan yang menumpuk di meja, tetapi aku tidak dapat mengonsentrasikan pikiranku. Kamar No. 712! Aku merasa aku harus kembali ke kamar itu. Aku bergegas pergi setengah berlari. Tuan Mills berbaring tenang tanpa bergerak. Aku memegang nadinya, tidak ada denyutan.
     "Kode 99. Kamar No. 712. Kode 99. Kamar No. 712." Sinyal itu disampaikan ke segala penjuru rumah sakit setelah operator telepon diberi tahu.
     Tuan Mills telah mengalami perhentian jantung. Aku membenahi tempat tidur dan membungkuk di atas mulutnya, mencoba untuk membuat pernapasan buatan. Kuletakkan kedua tanganku di atas dadanya dan menekankannya. Satu, dua, tiga. Pada hitungan ke lima belas aku mulai membuat pernapasan buatan dengan meniup mulutnya sekuat aku mampu, dan sekali lagi kuulangi.
     "Ya Allah, aku memohon. Anaknya akan datang. Janganlah Engkau panggil hambamu ini pada saat ini.”
     Pintu terbuka keras. Dokter-dokter dan perawat lain datang dan segera mengatur peralatan darurat. Seorang dokter mengambil alat penekan jantung. Sebuah selang dimasukkan ke dalam mulut pasien sebagai jalan udara. Para perawat memasang semprotan obat ke dalam tabung pembuluh darah.
     Aku memperhatikan pesawat monitor jantung. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada denyutan sekali pun. "Mundur!" teriak, seorang dokter. Aku menyerahkan kepadanya alat pengejut jantung, dan dia menaruhnya di atas dada Tuan Mills. Berkali-kali kami coba alat itu, namun sia-sia. Tidak ada reaksinya. Seorang perawat menutup tabung persediaan oksigen, degukan pun berhenti. Satu demi satu orang-orang itu pergi, muram dan diam. Aku berdiri di samping tempat tidurnya, terpana. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Angin menyentak-nyentak jendela kaca, melempari kaca itu dengan salju. Bagaimanakah aku akan menghadapi anak perempuannya'?
     Ketika aku meninggalkan kamar itu, aku melihat Jennie. Seorang dokter yang tadi memasuki kamar No. 712 hanya sebentar saja berdiri dan berbicara dengannya sambil memegangi siku Jennie. Begitu dokter itu berlalu, Jennie yang ditinggalkan merosot ke dinding. Ada semacam kesedihan yang dalam meronai wajahnya, begitu pula yang terhunjam di kedua matanya.
     Aku memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke dalam ruang duduk perawat. Kami duduk, tidak ada di antara kami yang mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan, wajahnya kaku, dan pandangannya kosong.
     "Jennie, maafkanlah aku," aku mulai berkata. Tetapi tidak tega rasanya aku untuk melanjutkannya.
     "Aku tidak pernah membencinya, Anda tahu? Aku mencintainya," dia berkata. Kemudian berpaling kepadaku. "Aku ingin melihatnya.”
     Apa yang pertama-tama terlintas di kepalaku ialah, 'mengapa engkau ingin membuat dirimu sendiri semakin sedih, Jennie?' Tetapi aku bangkit juga dan mengantarnya. Kami berjalan melewati koridor menuju ke kamar No. 712. Dia mendorong pintu, melangkah menuju ke tempat tidur, lalu membenamkan muka¬nya ke dalam selimut.

     Aku berusaha untuk tidak menyaksikan adegan perpisahan yang menyedihkan ini. Aku melangkah ke meja kecil di samping tempat tidur sebagaimana yang biasa kulakukan. Tiba-tiba tanganku menyentuh secarik kertas berwarna kuning. Aku memungut dan membacanya.
     "Jennie anakku tersayang, aku maaf
     kan segala kesalahanmu. Aku berdoa
     semoga engkau pun sudah memaafkan
     aku. Aku tahu bahwa engkau mencintai
     ku. Dan aku pun sangat mencintaimu".
     Ayah

     Catatan itu bergetar di tanganku ketika aku menyampaikannya kepada Jennie. Dia langsung membacanya, dan diulanginya sekali lagi. Kedamaian mulai membayang di kedua matanya. Didekapnya catatan itu di dadanya.
     "Alhamdulillahi robbil 'alamin', aku mendesis sambil memandang ke jendela kaca. Beberapa bintang telah tampak bersinar di langit malam. Sekeping salju dilemparkan angin mengenai jendela kaca dan remuk, hilang untuk selama¬nya.
     Segala puji bagi-Mu, ya Allah. Dan sesungguhnya hubungan kekeluargaan itu kadang-kadang serapuh kepingan salju itu, walau dapat disambung lagi tetapi kesempatannya sangatlah singkat.
     Aku berjalan pelan-pelan meninggalkan kamar itu untuk menuju ke ruang tunggu perawat. Tiba-tiba aku merasa didesak rindu kepada ayah di tanah air. Ingin menulis surat kepada beliau dan mengatakan, "Aku mencintaimu, Ayah. Ananda mohon doa restu"
cerita : M.Nasir

     Kamar kost berukuran 4 x 6
     “Kamu yakin mau pulang Luv? sudahkah kau pikirkan matang-maang keputusanmu?” Sambil memperhatikan Luvita membereskan pakaiannya ke dalam koper besar.
     “Entahlah Lin, aku juga tak tahu apa keputusan yang aku ambil ini sudah benar.”
     “Lalu bagaimana dengan Fadil?”
     “Dia sudah pasrah Lin, dia sangat kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Tapi mau apa lagi? Dia tidak punya kuasa atas hidupku kan? Lin tolong ambilkan tas di almari!”
     “Iya Luv, tapi dia sangat mencintaimu. Dua tahun sudah kamu bersamanya melewati setiap kepingan hidupmu di sini. Nih tasnya!” Linta memberikan tas yang diambil di almari kepada Luvita namun masih mencoba untuk tetap mencegah sahabatnya untuk pergi.
     “Terima kasih. Iya aku tahu Lin, tapi aku pun tak punya kuasa atas hidupku saat ini. Aku benar-benar tak punya kuasa Lin.” terus beberes pakaian dan peralatan make upnya.
     “Aku pun juga tak kuasa untuk terus menahanmu disini Luv, aku hanya bisa berdoa atas kebahagiaanmu.  Semoga keputusan yang kau ambil memang benar-benar keputusan terbaik untuk hidupmu.” air mata Linta jatuh mengaliri pipinya yang putih mulus, meresap ditiap pori-pori halusnya.
     “Kau akan tetap menjadi sahabat terbaikku Linta, hapus air matamu! Aku akan terus mengabari perkembanganku nanti. Kita bisa terus telponan, YMan, FBan. Iya kan?” sembari memeluk sahabatnya.
Keduanya beruraian air mata, hembusan angin menjelang senja menyapu kesenduan mereka. Pelukan yang semakin erat membuat mereka semakin tak mampu menahan air mata yang tumpah ruah dalam kepengapan ruangan kost berukuran 4 x 6 itu. Suara deru kendaraan diluar sana sama sekali tak mengurangi keharuan dua sahabat yang enggan berpisah itu. Tiga tahun lamanya mereka bersama, tidur dalam satu ranjang, makan selalu berdua, pulang berangkat kerja senantiasa bersama dan tak jarang mereka kerap bergantian pakaian ataupun aksesoris yang melengkapi kecantikan tubuhnya. Banyak orang yang mengira mereka adalah saudara kembar lantaran keakraban mereka. Kini mereka harus berpisah entah untuk berapa lama.
     Terdengar suara motor honda berhenti di pelataran kost mereka. Sosok pria tinggi tegap tengah turun dari motornya, berjalan gontai menuju kamar kostan Luvita dan Linta. Dia berhenti tepat di depan pintu saat melihat dua gadis itu sedang berpelukan dan air mata mereka pun masih membasahi pipi-pipinya. Luvita dan Linta tidak menyadari bahwa mereka tengah diperhatikan seorang lelaki di depan pintu kamarnya.
     “Luvita, kau yakin mau pulang sekarang?” suara serak yang terdengar berat itu meluncur juga dari mulutnya.
     “Eh, Fadil kau sudah lama di situ?” spontan Luvita melepas pelukan sahabatnya sambil menghapus air matanya. Yang diikuti pula oleh Linta.
     “Belum begitu lama, hanya saja aku tidak mau mengganggu kalian. Kalian terlihat begitu asik.” kata Fadil sembari terlukis segurat senyum yang dipaksakan. Luvita dan Linta hanya senyum-senyum simpul saja mendengar kata-kata Fadil.
     “Iya Dil, aku jadi pulang sekarang. Maafkan aku Dil, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk hubungan kita. Maafkan aku.” air mata Luvita kembali mengalir mengingat hubungannya dengan Fadil akan segera kandas. Bukan karena ada pengkhianatan, bukan karena tak ada cinta lagi diantara mereka, namun keadaanlah yang menuntut mereka untuk berpisah. Fadil menatap wajah kekasihnya, dia maju selangkah dan mendaratkan kecupan di kening Luvita. Entahlah, mungkin itu adalah kecupan sayang yang terakhir kalinya yang akan dia berikan kepada Luvita. Gadis yang dua tahun ini telah dicintainya.
     Tanpa dikomandoi, Linta melangkah keluar kamar dan beralasan ingin membuatkan Fadil minuman. Dan itu hanya akal-akalan Linta agar sahabatnya bisa bersua dengan kekasihnya.
     “Fadil, jika kau tidak tega melepasku, biarkan aku pergi sendiri. Lupakan saja aku jika mengingatku hanya membuat lara hatimu, carilah bahagiamu, aku tak memaksamu untuk terus menyayangiku. Kau juga butuh seseorang yang bisa terus mencintaimu.” kata Luvita yang sebenarnya sangat enggan mengucapkan kata-kata itu. Tapi dia sadar, dia tak bisa terus memaksa keeogisannya. Dia memang mencintai Fadil, bahkan sangat mencintainya, namun tak lama lagi dia mau tak mau harus bisa melupakan Fadil dan harus terus belajar agar mampu mencintai orang lain. Orang yang akan mendampingi hidupnya, yang saat ini sama sekali belum dikenalnya.
     “Aku tak yakin apa aku bisa melupakanmu, Luvita. Aku begitu mencintaimu, begitu banyak pula kenangan-kenangan yang kita lewati bersama. Tak pernah sebelumnya aku mencintai wanita selayaknya aku mencintaimu, harapan untuk membangun bahtera rumah tangga bersamamu pun sudah kuukir manis dalam impianku. Tapi jika akhirnya itu hanya mimpi belaka, aku tak kuasa,” Meski kini nada suaranya terdengar tegar, namun tatapan matanya tak mampu menutupi segala keresahan, kekecewaan dan kerapuhan hatinya.
     “Maafkan aku Dil, aku tidak bisa memenuhi harapanmu!” kata-kata Luvita yang tenggelam dalam isakan tangis di dada Fadil.
     “Sudah, jangan menangis lagi! Kau harus membuktikan padaku bahwa kau bahagia meski tak bersamaku.” sembari mengusap air mata di pipi Luvita.
***

     Karangrejo, desa asal Luvita
     “Tenang saja Le, Luvita pasti mau menikah dengan kamu! Orang tadi dia telpon kok, kalau dia mau pulang malam ini!” kata Pak Atmo kepada Susna.
     “Biar nanti saya saja yang jemput Luvita nggih Bapak’e!”
     “Ndak usah, biarkan Kakange Luvita saja yang jemput. Kamu kesinilah besok siang.”

Karangrejo -
     “Tenang saja Le, Luvita pasti mau menikah dengan kamu! Orang tadi dia telpon kok, kalau dia mau pulang malam ini!” kata Pak Atmo kepada Susna.
“Biar nanti saya saja yang jemput Luvita nggih Bapak’e!”
“Ndak usah, biarkan Kakange Luvita saja yang jemput. Kamu kesinilah besok siang.”
     “Kalau begitu saya pamit pulang Bapak’e, besok siang saya akan kembali kesini untuk bertemu dengan Luvita”
     Lelaki yang bertubuh kekar, tinggi tegap itu pun beranjak dari tempat duduknya. Menarik tangan Pak Atmo dan menciumnya seraya pamit pulang. Pak Atmo memandang bangga akan calon menantunya yang sopan itu. Calon menantu yang sempurna, sopan, gagah, dan yang terpenting dia adalah anak dari orang terkaya di desa tetangga. Meskipun Susna belum mempunyai pekerjaan yang pasti, namun Pak Atmo mengganggap itu bukanlah masalah besar. Toh Pak Dirja, ayah Susna adalah orang kaya, pasti nanti Susna akan mendapatkan warisan yang banyak dari Ayahnya. Mulai dari areal persawahan yang luas, hewan ternak yang banyak mulai dari sapi sampai bebek. Tak sedikit pula beberapa petak sawahnya digarap oleh para tetangganya dengan sistem bagi hasil. Biasanya yang menggarap sawah Pak Dirja adalah para tetangga yang tidak mempunyai sawah sendiri. Sepertiga dari hasil panen diberikan pada si penggarap dan duapertiganya lagi untuk yang punya sawah. Begitu juga dengan hewan ternaknya. Beberapa rumah besar yang dimiliki Pak Dirja juga menyilaukan mata Pak Atmo untuk menerima pinangan Susna. Track record Susna yang kelam semuanya tenggelam dengan kekayaan yang dimiliki Pak Dirja, dimata Pak Atmo.
     Pak Atmo memiliki seorang putra bernama Hasan dan seorang putri bernama Luvita. Hasan sudah menikah dengan Sinta dan dikaruniai seorang bidadari kecil yang cantik jelita. Sedang Luvita, selepas SMA dia lebih memilih hijrah ke Surabaya dan bekerja sebagai karyawan di salah satu pabrik sepatu di Surabaya daripada memenuhi keinginan Bapaknya untuk membantunya menjadi tukang Ngoyang (tengkulak) gabah.
     “San, coba kamu hubungi Vita! Pastikan kalau dia benar-benar pulang malam ini. Nggak mau aku malu sama keluarga Pak Dirja lagi! Sudah berapa kali Vita janji mau pulang tapi nggak pulang-pulang.” kata Pak Atmo pada Hasan.
     “Injeh Pak.” Hasan pun langsung mencari nama Luvita di daftar buku telponnya dan langsung menekan tombol panggil. Sesaat kemudian suara Luvita terdengar lirih dari ponsel Hasan.
     “Assalamu’alikum Dek, kamu jadi pulang malam ini?”
     “Waalaikumsalam, Iya Mas. Nanti kalau sudah dekat saya telpon, sekarang masih di jalan.”
***
     Luvita seketika bangun dari lamunannya tatkala ponselnya berdering, setelah menutup pembicaraan singkat dengan kakaknya, Luvita kembali memandang jauh ke luar jendela kaca bus yang membawanya keluar dari kota Surabaya. Sekelabat bayangan Fadil kembali mengisi pikirannya. Ingat saat pertama bertemu dengan Fadil di warung makan Cak Sura. Saat itu Fadil yang duduk sendiri di meja paling pojok sesekali mencuri pandang ke arah Luvita yang sedang makan lontong kupang bersama Linta. Luvita dan Linta hanya cengengesan saja melihat Fadil yang salah tingkah saat matanya beradu dengan mata Luvita.
     Fadil segera beranjak dari tempat duduknya karena memang lontong kupang dan teh manis di depannya sudah habis. Dan Fadil semakin salah tingkah saat akan membayar ternyata dompetnya ketinggalan.Keadaan ini benar-benar bertolak belakang dengan adegan di sinetron-sinetron Indonesia. Biasanya si gadislah yang sering kali lupa bawa dompetnya namun di sini, si gadis yang harus berbesar hati menjadi dewa penyelamat Fadil dari jerat hutang makan lontong kupang dan segelas teh manis seharga Rp. 7.000,-
     “Maaf merepotkan Mba…….” kalimat Fadil terpotong karena memang dia belum mengetahui siapa gadis manis yang baik hati itu.
     “Luvita.” kata Luvita dengan cepat sambil mengulurkan tangannya.
     “Maaf merepotkan Mba Luvita, tadi saya anu terburu-buru, sampai-sampai lupa bawa dompet hehehe” kata Fadil yang terlihat lebih seperti orang bodoh. Tatapan matanya tidak fokus pada Luvita dan berdirinya pun terlihat tidak tenang, yah dia gugup. Luvita hanya tersenyum melihat lelaki tampan didepannya dan menarik tangannya yang masih dijabat oleh Fadil.
     “Eh maaf Mba, maaf.. saya Fadil” dia semakin terlihat gugup.
     “Mas, enggak lebaran kok dari tadi minta maaf mulu?” sahut Linta yang memang suka celometan. Seketika suasana menjadi cair dan mengalir.
     Luvita tersenyum tipis mengingat kejadian itu, tapi tiba-tiba saja Luvita ingat perkataan ayahnya beberapa hari yang lalu. “Nduk, kamu harus segera pulang! Susna putra Pak Dirja telah datang meminangmu, kamu jangan kecewakan Bapak karena Bapak nggak mau ngecewakan Pak Dirja!” kata tegas bapaknya kembali terngiang diingatannya. Luvita sangat sedih bahwa Ayahnya lebih mementingkan kekecewaan Pak Dirja daripada kebahagiaan dirinya. Luvita sempat menolak permintaan Ayahnya dengan alasan dia sudah mempunyai calon yang dicintainya. Tapi Ayahnya bersikeras meminta Luvita menerima pinangan Susna karena sang Ayah sudah kadung janji sama keluarga Dirja. Jika Luvita masih tetep monolaknya, maka
     Ayahnya akan mengecap dia sebagai anak durhaka, yang melawan perintah orang tuanya.
Keadaan ini membuat Luvita bagai makan buah simalakama. Di satu sisi Luvita tak mau dianggap sebagai anak durhaka, karena bagaimanapun tanpa ayah ibunya, Luvita tak akan hadir di dunia ini. Tanpa kerja keras dan keringat Ayahnya, dia tidak bisa hidup selayaknya, tanpa kasih dan doa ibunya hidup Luvita akan gelap tanpa lentera. Namun disisi yang lain Luvita sangat mencintai Fadil, impian dan harapan hidup bersama Fadil sudah terajut manis di benaknya.
***
     Yakinkan aku Tuhan…dia bukan milikku…
     Biarkan waktu….waktu hapus aku…
     Ponsel Fadil bernyanyi lagu Nidji sebagai tanda ada panggilan yang menantinya. “My Ladies calling” kalimat yang tertera dalam layar ponsel itu. Hatinya berdebar, tangannya terasa kebas untuk sekedar menekan tombol OK di ponselnya.
     “Ha..halo…Luv, kamu baik-baik saja?”
     “Fadil…. aku ingin kembali!” tut..tut..tut…..
     “Luv….Luvita…halo Luv….!! Luvitaa!!” Fadil memandang lesu layar ponselnya yang tertera tulisan panggilan berakhir : 00:00:10 . Fadil terlihat bingung dengan panggilan singkat tadi, otaknya berfikir keras tentang apa yang dimaksud Luvita.
     “Apa maksudnya dia ingin kembali? Apa dia berubah pikiran dan ingin kembali padaku? kembali menjalin cinta yang sempat terusik?” desah Fadil dalam tatapan yang berubah bergairah. Pundi-pundi semangat hidupnya kini tumbuh kembali, bahkan binar matanya yang tadi sendu sudah terlihat terang. Kenangan-kenangan indah bersama Luvita berloncatan di depan matanya. Tanpa menunggu dia langsung mencoba untuk menghubungi balik nomer Luvita.
     Dalam nada tunggu yang terdengar dari ponselnya, Fadil mendesah lirih,”Luvita, kau adalah cinta pertamaku, meski aku tahu aku bukanlah cinta pertamamu. Namun atas nama cinta akan kuperjuangkan kisah cinta ini sampai mereka menyadari bahwa cinta kita adalah suci. Dan ada seribu kekuatan di dalamnya. True love never die, my love!” tekadnya semakin membara.
     Namun tak ada suara lembut Luvita yang menyapanya, hanya nada tunggu yang terus memenuhi gendang telinganya. Dia kembali risau dengan keadaan Luvita, dia takut sesuatu terjadi pada kekasihnya. Ponsel yang ada ditangannya langsung ia masukkan saku celananya. Sedikit terburu dia menyahut kunci sepeda motor di meja samping ranjang dan langsung pergi menuju kostan Linta, sahabat Luvita.
***
     Luvita mengalihkan panggilan Fadil karena ada nomor masuk yang menghubunginya. Dan itu adalah Hasan, kakak Luvita. Entah kenapa panggilannya ke Fadil langsung terputus begitu saja saat pengalihan panggilan itu ia lakukan.
     “Vita kamu sampai mana? Aku sudah menunggumu di terminal Maospati!”
     “Hmm… aku..aku baru sampai Terminal Jombang Mas, tadi aku sudah bilang kalau aku akan telp kalau sudah dekat!”
     “Bapak yang menyuruhku segera menjemputmu dek, beliau gak mau sampai kamu menunggu. Tau sendirikan apa yang dikehendaki Bapak tak pernah bisa ditawar?”
     “Baiklah, tunggu saja di depot Bu Sri Mas, nanti kalau aku sudah sampai Maospati, aku bisa langsung menemuimu!”
     “Oke, kamu hati-hati ya dek!”
     “Iya Mas!”
     Batin Luvita semakin tak mampu menahan asanya, dia bingung karena tadi sudah sempat bilang ke Fadil kalau dia ingin kembali. Tapi saat ini kakaknya sudah menunggunya di depot Bu Sri. Keadaan ini sungguh membuatnya tak berdaya. Luvita mencoba menghubungi ponsel Fadil, namun beberapa kali telpnya tak pernah ada jawaban. Akhirnya dia pasrah saja pada bus yang membawanya.
     Senja di kota Jombang sungguh melukiskan perasaannya, gerimis membasahi sepanjang jalan kota santri itu. Pedagang asongan keluar masuk bus mencoba mengais keberuntungan dari barang yang mereka dagangkan. Tak peduli dengan udara dingin, mereka masih saja ada yang berjualan es kelapa muda. Beberapa pemuda dekil menawarkan suaranya melalui melodi tak beraturan. Not-not tanpa si menggema dalam bus kelas ekonomi itu, hanya bermodalkan tutup botol, paku dan bungkus ciki mereka mencoba mengumpulkan koin-koin dari penumpang yang masih mempunyai hati. Tak jarang mereka hanya mendapatkan seribu tujuh ratus rupiah dalam satu lagu, satu bus, dan dari dua puluh satu penumpang.
     Tak lama setelah pemuda itu turun, ada gadis kecil tak beralas kali, baju compang camping, rambutnya bau matahari, tubuhnya cungkring seperti tak pernah diimunisasi menengadahkan tangan mungilnya pada para penumpang. “Maasss…..Mbaaa….Buuu buat makan!!” lirihnya terdengar mengiris hati yang memang tlah terluka. Entah berapa rupiah yang mampu dia kumpulkan dalam kesehariannya. Luvita menatap gadis itu lama, dalam hatinya dia bersyukur bahwa hidupnya tak senista gadis kecil itu. Hidup dari belas kasian orang yang memandangnya.
     “Mba….mba….” gadis kecil itu mengulurkan tangannya kearah Luvita dan menatap Luvita sayu.
     “Duduk sini dek!” Luvita menyuruh gadis kecil itu duduk di kursi sebelahnya yang memang kosong.
     “Namamu siapa?” tanya Luvita, meski ia sendiri tahu gadis kecil itu tak butuhkan ditanyai nama. Ia hanya inginkan rupiah saja.
     “Nana Mba!”
     “Nana rumhanya mana? sekarang sudah kelas berapa?” tanya Luvita lembut.
     “Rumahku di Nganjuk, aku sudah kelas 2 sekarang!”
     “Kok bisa sampai Jombang? orang tua Nana kemana?”
     “Iya, kadang juga sampai Mojokerto Mba, Bapakku sudah mati dan ibuku tak tahu ada dimana. Aku ikut Nenek!”
     “Ya Allah, kamu ngapain sampai Mojokerto dek?” ini adalah pertanyaan terbodoh yang ia buat.
     “Nenek bilang, aku harus bantu cari duit buat sekolah Mba! Duit yang didapat nenek dari minta-minta hanya cukup buat makan!”
     “Ya sudah, kamu duduk disini saja, tak usah ganti bus lagi ya!”
     “Tapi mba, nanti cuma dapet duit sedikit!”
     “Sudah duduk sini saja ya, temani mba sampai Nganjuk!”
     Gadis itu pun hanya bisa pasrah dengan Luvita. Beberapa saat kemudian ada pedagang asongan yang menawarkan nasi kuning, tak seperti biasanya yang selalu acuh dengan seliweran pedagang asongan, kini Luvita membeli nasi itu tanpa menawar. Begitu juga saat ada penjual kacang goreng dan permen jahe, Luvita langsung membeli dan memakannya bersama Nana, gadis malang itu.
     Perjalanan Jombang - Nganjuk begitu tak terasa karena ada Nana di sebelahnya, tawa-tawa kecil terlihat dari bibir Luvita saat mendengar Nana glegek’en. “Haaeekk….kenyang Mba,” kata Nana dengan polosnya.
Luvita harus berpisah dengan Nana di terminal Nganjuk, dan meminta Nana untuk langsung pulang setelah memberinya lima puluh ribuan pada Nana.
     Nganjuk - Madiun - Maospati, sebenarnya Luvita tak inginkan jarum jam berjalan. Malah jika dia mampu, ingin sekali ia memutar waktu kembali. Memutarnya kebelakang sejauh 4 jam, dimana dia ada dalam pelukan Fadil.
     Setelah memasuki terminal Nganjuk, bus kembali meluncur kearah Madiun seiring tergelincirnya matahari dalam pelukan sang malam. Rinai hujan tak lagi menemani perjalanannya di luar jendela kaca. Kepulan asap rokok yang menerpa wajah manisnya menambah sembab matanya. Melewati hutan jati di Caruban hawa berubah menjadi hangat, sesekali terdengar cuitan para makhluk penunggu hutan. Beberapa kali Luvita melihat jam tangan di pergelangan tangannya, dan tak lebih dari 1 jam dia kan sampai di rumahnya. Yang sebenarnya ia rindukan namun tak ia inginkan untuk saat ini.

     “Assalamu’alaikum…”
     “Waalaikumsalam, sinten?” jawab Bu Atmo dari dalam rumah.
     “Kula Ibuk’e, Susna!” jawab lelaki yang berdiri di depan pintu itu.
     “Mangga…mangga…masuk!”
     “Pak….! ada Nak Susna ni!” teriak Bu Atmo pada suaminya.
     “Loh, kok kesini lagi? Kan sudah saya bilang agar kesini besok siang saja!”
     “Maaf Bapak’e, aku sudah gak tahan ingin melihat kecantikan calon istriku. Masa suruh lihat potonya saja?”
     “Kamu ini Na…Na… gak sabaran amat?!” jawab Pak Atmo menimpali perkataan Susna yang terlihat nafsu.
     Pak Atmo mempersilahkan Susna masuk, tapi Susna menolak dan ingin menunggu Luvita di teras sambil rokokan. Bu Atmo menyiapkan dua cangkir kopi panas untuk tamu sekaligus calon mantunya dan untuk Pak Atmo.
     “Mangga dipun unjuk, buat teman rokoknya!” kata bu Atmo sembari menaruh baki berisi dua cangkir kopi itu.
     “Terima kasih Buk’e, kok repot-repot!” ucap Susna berbasa-basi.
     Bintang yang bertaburan di langit Karangrejo seakan menambah indah hati Susna yang diarungi rindu. Angin pun berhembus lembut menyentuh hatinya yang seakan membawanya terbang memetik bintang yang paling terang. Dibungkusnya bintang paling terang itu dengan kain sutra bertalikan rajutan emas serta berhiaskan mutiara terindah dari kerang di dasar laut Jawa. Sungguh indahnya bingkisan itu, dia persembahkan untuk bidadari tercantik di hatinya, Luvita. Hawa dingin malam semakin melambungkan lamunannya, dipeluknya bidadari itu dan dia kecup bibir mungilnya.
     “Aduh….” Susna mengaduh.
     “Kenapa Le?” tanya Pak Atmo kaget.
     “Kopinya panas!” Susna cengar-cengir.
     “Sudah tahu kopi panas main disruput saja!” kata Pak Atmo sembari terkekeh.
Dari kejauhan di kegelapan malam sorot lampu sepeda motor milik Hasan terlihat benderang. Sayup-sayup nafas Susna  seakan terhenti saat itu juga. Kini bidadari yang dinantinya beberapa menit lagi, bukan, bukan menit melainkan detik akan berada dihadapannya. Akan dia cium aroma nafasnya, akan dia nikmati lenggok tubuhnya. Dan entahlah, dia tak mampu melanjutkan pikiran nakalnya melihat Luvita sudah berdiri beberapa meter dihadapannya.
     “Assalamu’alakum….” salam Luvita pada Ayahnya sembari mencuim tangan Pak Atmo.
     “Waalaikumsalam…” sahut Pak Atmo yang tak diikuti oleh Susna.
Susna hanya terperanggah melihat gadis manis dihadapannya, ah tubuhnya terasa kebas, lemas.
     “Aji…??!! Ngapain kamu disini?” ucap Luvita yang tak kalah kagetnya.
Sesaat suasana hening, bahkan sayup-sayup dedaunan pun seakan tahu apa yang harus mereka lakukan. Yah, hanya diam.
     “Loh, kalian sudah saling kenal?” pertanyaan Pak Atmo memecah keheningan.
     “Jelas kami sudah saling kenal Pak, dulu sewaktu Vita masih sekolah di SMA…..”
     “Iya, kami sudah kenal pas Vita masih di SMA Bapak’e. iya kan Vita?!” cepat-cepat Susna memotong perkataan Vita yang mulai naik pitam.
     “Bapak’e, apa yang dilakukan pria ini di rumah kita?” tanya Luvita pada Ayahnya.
     “Lho, dia ini kan Susna, calon suamimu!” jelas Pak Atmo.
Mendengar perkataan Ayahnya, Luvita merasa bumi yang dipijaknya berhenti berputar, darahnya berhenti mengalir, keringat dingin membasahi tubuhnya, dan nafasnya memburu. “Aku tidak ingin bersuamikan pemerkosa!!” desah Luvita yang tak lagi berdaya berdiri.
Bruukkk……
     “Luvita….!!!!” pekik Pak Atmo dan Hasan bersamaan.

     “Enek apa iki?!” Bu Atmo langsung berhambur keluar sesaat setelah mendengar pekikan suami dan anaknya.
     “Vita kenapa Pak’e?? Ta……kenapa Ta??” dia semakin terlihat panik melihat sosok Luvita sudah ambruk di pangkuan suaminya.
     “Cepat-cepat bawa masuk!”
Dengan kelembutan kasih seorang ibu, Bu Atmo mengoleskan minyak kayu putih di perut, kening, dan hidung putrinya. Dibelainya rambut Luvita dengan sayang. Beberapa kali kecupan lembut pun mendarat di kening dan pipi Luvita. Kerinduan seorang ibu kepada putrinya tak terkalahkan oleh rindu seorang kekasih.
     “Susna, katakan padaku apa yang dimaksud Vita bahwa kau pemerkosa?” teriak Hasan pada calon iparnya.
     “Aku juga tak mengerti Mas, mungkin Vita pas dijalan tadi diperkosa perampok, lalu pikirannya menjadi kacau!” jelas Susna dengan sangat gugup.
     “Lancang kamu! Plakk…..” Hasan tak terima dengan ocehan Susna dan menggampar pipi kanannya.
Susna nampak tak terima dengan perlakuan Hasan dan mencoba membalas. Hasan yang memang berbadan lebih kecil terkapar oleh satu pukulan Susna. Hasan berusaha bangun dan kembali memasang kepalan tangan di depan hidung Susna. Namun Pak Atmo segera menghambur dan memisah keduanya.
     “Apa-apaan ini? sudah tua-tua sama-sama tak tau diri!”
     “Mas Hasan yang mulai Bapak’e!”
     “Diam kamu Susna!! Apa yang kau lakukan pada putriku hah??”
     “Apa maksudmu Pak? Aku tak melakukan apapun pada Vita!”
     “Lalu kenapa dia menyebutmu pemerkosa?? mbuuk…” sambil mendaratkan pukulan ke wajah Susna.
     “Aku juga tak tahu maksud anakmu, Pak Tua bangka!” perkataan Susna mulai kasar mendapat perlakuan dari Pak Atmo.
     Hasan yang tak terima dengan sikap Susna, langsung beranjak berusaha membela Ayahnya. Namun apa daya, tubuh Susna yang mirip Ade Rai lebih dulu memegang pundak Hasan dan mendorongnya kuat. Kembali Hasan terkapar tanpa daya, sedang Susna melenggang pergi tanpa pamit.
     “Pak’e, aku tak rela Adikku menikah dengan pria jahanam macam dia!” lirih Hasan sembari sempoyongan untuk berdiri.
***
     Malam yang bertaburan bintang dan angin yang bergerak bak putri mahkota melambaikan tanggan lentiknya tak jua mampu membuat Fadil memejamkan matanya barang sejenak. Beribu slide kenangannya bersama Luvita berseliweran tanpa jeda. Kenangan tentang senyum Luvita yang begitu mempesona, tentang hangat kasihnya, tentang tawanya yang renyah, tentang tutur katanya yang lembut. Ah Luvita tampak sempurna saat dia merindukannya.
     Malam terasa tak segera berjalan menjemput pagi saat pikirannya terpaku dalam satu keadaan yang membingungkan. Dia tak tahu apa yang hendak dia lakukan jika nanti sudah bertemu dengan orang tua Luvita. Apa dia akan berkata bahwa dia sangat mencintai Luvita dan berjanji membahagiakannya? Ah alasan itu terdengar sangat klasik, meskipun apa yang diucapkannya benar adanya. Pikirannya terus melayang membayangkan saat pertemuannya dengan kedua orang tua Luvita dan mungkin juga pria yang dijodohkan dengan kekasihnya. Tapi segala kegundahannya segera sirna mengingat apa yang dia bicarakan dengan Linta senja tadi.
     “Linta benar, tanpa perjuangan aku tak akan mampu mengerti jika ada kekuatan di dalam cinta!” desahnya lirih hampir tak terdengar.

     Luvita tergelatak diantara ruas jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Pergelangan tanggannya dipenuhi darah yang telah menghitam, beberapa orang mengerumini tubuhnya namun tak seorang pun berinisiatif menolongnya. Mereka hanya saling tanya dan pandang, sampai sosok hitam datang membawa tubuhnya terbang tinggi hampir menembus awan-awan hitam yang bergelanyut di pundak langit malam. Luvita berontak namun tak berdaya, tiba-tiba sosok itu melepaskan tubuhnya begitu saja dan kini tubuh ringkih itu terombang-ambing oleh terpaan angin. Dia merasa tubuhnya sangat dingin, dan…..
     “Aaaaauuuuuuuuuuu………….” keringat dingin membanjiri tubuh Luvita bersamaan dengan jeritannya yang lantang.
     “Nduuk…….kenapa Nduk?!” Bu Atmo segera berlari ke kamar Luvita setelah mendengar jeritan putrinya.
     Dilihatnya Luvita yang tampak lelah, pucat, air mata meleleh mengaliri pori-pori pipinya. Bu Atmo mendekat dan mendekap tubuh Luvita dengan penuh kehangatan, dibelai rambutnya yang panjang, dan diusapnya air mata Luvita dengan telapak tangannya.
     “Kamu mimpi Nduk?” lembut suara Bu Atmo menyadarkan Luvita yang masih tampak shock.
     “Buk’e, lebih baik Vita mati daripada harus menikah dengan Aji, Buk’e!” keluh Luvita.
     “Jangan ngomong begitu Nduk, kalau kamu tidak mau ya sudah!”
     “Tapi Buk’e,..”
     “Sudahlah, kamu istirahat dulu! Buk’e siapkan sarapan ya!”
     Luvita mengangguk pasrah dengan perkataan lembut Ibunya. Segera diambilnya kertas di laci dan mulailah dia menulis. Menulis adalah cara dia mengungkap kekesalannya.
***
     Fadil sudah berdiri di depan pintu rumah Luvita, diketuknya pintu di depannya sembari menguruk salam. Namun tak ada yang menjawab, hatinya semakin ketar-ketir membayangkan perbincangannya dengan orang tua kekasihnya. Kembali tangannya yang bergetar mengetuk pintu dan diikuti salam yang terdengar pelan.
     “Assalamu’alaikum…”
     “Wa’alikumsalam,…”
     Hati Fadil semakin ciut, namun kekuatan cinta yang dimiliki Fadil mampu menumbuhkan percaya dirinya.
     “Maaf, sinten geh?” Tatapan Pak Atmo memandang curiga.
     “Saya,…saya Fadil temannya Luvita dari Surabaya Pak!”
     “Maksudnya, pacar Vita?” Ayah dua anak itu langsung meluncurkan pertanyaan yang menohok ulu hati Fadil.
     “Hmm…… injeh!” jawab Fadil pasrah.
     “Masuk!”
     Fadil memasuki rumah Luvita yang tak begitu besar namun tertata rapi segala perabotannya, beberapa foto Luvita saat menjadi domas di beberapa acara mantenan tertata rapi di dinding dan bipet ruang tamu. Di luar jendela tampak asri oleh pohon mangga dan jambu biji yang sedang berbuah lebat. Sangkar sepasang burung merpati digantung di ranting pohon mangga yang tak begitu tinggi. Sepasang merpati itu tampak bahagia meski sarangnya tak luas, mungkin karena mereka bisa memadu kasih kapan saja tanpa ada yang mengganggunya.
     “Hmm,… ada apa kamu kemari nak Fadil?” suara Pak Atmo segera membuyarkan lamunan Fadil tentang merpati. Namun panggilan “nak” padanya semakin menumbuhkan rasa percaya dirinya.
     “Begini Pak, saya hmm….saya sangat mencintai putri Bapak dan saya akan membahagiakannya Pak, tolong berikan saya kesempatan untuk bisa membahagiakan putri Bapak!” kata-kata Fadil terdengar berat, namun sangat tulus. Sorot matanya ikut bicara tentang cinta Fadil pada Luvita.
     “Maafkan saya nak!”
     “Hmm, saja janji bisa bahagiakan putri Bapak! Saya janji!” Kalimat Fadil memotong kata-kata Pak Atmo.
     “Biarkan saya selesai bicara nak Fadil!”
     “Maaf Pak” Fadil menyesal telah menunjukkan sikap tak sopannya.
     “Sekarang saya sadar, bahwa pria yang akan saya jodohkan dengan Luvita bukanlah pria yang baik! Saya akan serahkan semua pada Vita, saya hanya ingin Vita bahagia, tak lebih.” sorot mata Pak Atmo nampak redup, seperti menyesal.
     “Terima kasih Pak, boleh saya bertemu dengan Luvita?”
     “Tentu saja boleh nak, biar buk’ne yang panggilin Vita. Kamu tunggu sini!”
     “Iya Pak, terima kasih!”
     “Buk…. tolong panggilkan Vita, bilang kalau temannya dari Surabaya datang kemari!”
     “Injeh Pak” sahut Bu Atmo.
***

     “Vitaaaaa……….aduh Nduuk, kenapa jadi begini!!! Pak’ne………….” Bu Atmo teriak histeris melihat Luvita.
     “Ada apa Buk’ne??!” Pak Atmo segera berlari menuju kamar Luvita dan Fadil pun mengikuti.
     “Masya Allah Nduuuk, apa yang kamu lakukan??” Pak Atmo pun juga histeris melihat istrinya menangis sesenggukan disamping tubuh Luvita yang tergeletak di lantai, pergelangan tangannya berlumuran darah.
     “Luvitaaaaa!!!!” Fadil ikut berteriak dan segera berhambur menuju tubuh yang sudah tak berdaya itu.
     “Luv, bangun sayang. Aku sudah ada di sini, kamu jangan pergi Luv!” Fadil menggoncang-goncangkan tubuh kekasihnya.
     Bu Atmo terpaku melihat apa yang ada di hadapannya, sekujur tubuhnya terasa kebas, pandangan matanya tampak buram dan tubuhnya pun ambruk bebarengan dengan kehadiran para tetangga yang mendengar jeritan dari dalam rumah tersebut. Para tetangga segera melarikan tubuh Luvita ke rumah sakit, dan yang lainnya memberikan pertolongan pada Bu Atmo.
     Fadil melihat kertas berserak di meja rias Luvita, diambilnya kertas itu. Air matanya mengalir deras membasahi rangakaian tulisan tangan Luvita di sana.

Teruntuk  Ayah dan Ibuku tercinta
Beribu baktiku untukmu Ayah Ibu, aku sangat menghormati engkau, cintaku padamu tak pernah terkikis oleh usiaku yang semakin menginjak dewasa. Aku tahu, tak ada cinta kasih setulus cinta kasih engkau berdua. Bersamaan dengan hembusan nafasmu, Ibu aku terlahir di dunia, bersamaan dengan keringatmu, Ayah aku beranjak dewasa.
Jika setelah dewasa aku hanya bisa mengecewakanmu, ampuni aku. Sungguh tak ada niatan dari hatiku terdalam untuk mengecewakan dan menyakiti hati engkau berdua. Bukan juga aku menyangsikan niatan Ayah Ibu untuk selalu memberikan yang terbaik untukku, untuk membahagiakan aku. Bukan, bukan itu maksudku. Ayah, kini usiaku sudah terus bertambah. Aku juga mempunyai hak atas pilihan terhadap hidupku. Aku tahu mana yang membuatku merasa nyaman dan bahagia, mana yang membuatku sakit dan merana.
Ayah, jika Aji adalah pilihanmu untuk kau jadikan menantu, seyogyanya engkau tahu, siapa yang akan engkau nikahkan denganku itu. Aji adalah pacar temanku semasa SMA, 4 bulan sebelum lulus temanku bercerita bahwa dia akan menikah dengan Aji. Aku ikut senang mendengarnya,. Tiga bulan kemudian temanku hamil, namun Aji justru menghilang. Saat ditanya ke rumahnya, Ayah Aji justru mengusir temanku dan menyuruh temanku menggugurkan kandungannya. Dan sekarang dirinya menjadi orang tua tunggal, membesarkan anaknya sendiri tanpa suami.
Beberapa saat kemudian, terdengar kabar bahwa Aji kembali berulah dan menghamili gadis SMA. Hobinya yang mabuk-mabukan dan tawuran menambah lengkap list kejahatan yang dia lakukan. Ayah, aku tak inginkan bersuami seorang penjahat.
Untuk itu biarkan aku pergi dari pada harus mengecewakan Ayah dan Ibu, maafkan Vita Ayah, Ibu. Vita mencintai Ayah dan Ibu.
 

Teruntuk Fadil
Cinta,.. tak ada kata lain selain kata maaf untukmu! Aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri, dalam setiap detak jantungku selalu berirama rindu untukmu. Maafkan aku yang tak mampu mewujudkan impian kita untuk menjelajah dunia berdua. Menikmati masa senja berdua dalam rumah sederhana bersama cucu-cucu kita.
Seperti kataku beberapa waktu lalu, carilah bahagiamu karena aku tak mamu lagi bahagiakanmu. Lepaskan aku pergi bersama mimpi-mimpi kita, aku janji untuk menjaga setiap mimpi ini sampai kita bertemu lagi. Nanti jika kita bertemu lagi di dunia yang tak lagi fana, aku tak akan mengulangi menjadi pecundang sejati. Yang tak mampu perjuangkan cinta kita, hingga aku tak merasakan kekuatan cinta di dalamnya.
Fadil, Linta gadis yang baik untukmu.

***

     Tiga tahun kemudian,..
     “Luvita, apa kau masih menyimpan rindumu untukku, sayang?” tanya Fadil dalam mata sembab.
     “Kau benar, Linta adalah gadis yang baik untukku. Meskipun senyumnya tak semanis senyummu, meski tutur katanya tak selembut tutur katamu, aku akan berusaha menerima dia apa adanya!” sambung Fadil
     “Luvita, aku tak akan mengambil Fadil darimu. Aku hanya ingin menjaganya. Jadi jangan kau cemburu berlebih padaku ya!” kegenitan Linta sebagai seorang sahabat tak pernah berubah.
     “Kita akan berkumpul lagi di dunia yang tak lagi fana, Luv! Tunggu kami disana, tetap peluk mimpi-mimpimu!” kata Fadil dan Linta bersamaan sembari mencium sebuah batu nisan bertuliskan “LUVITA ANDINI BINTI ATMAJA”

~Selesai~
cerita oleh
Fawaizzah Watie
diterbitkan di kompasiana secara bersambung 

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.