Menjelang 2016 berakhir, saya tiba-tiba dihubungi oleh Ucup, tentang rencana reuni dengan teman-teman semasa sekolah dasar dulu. Sekolah Dasar Negeri Pembangunan I Bawakaraeng dimana Ucup dan saya bersekolah dulu. Sekolah yang masih berdiri tegak hingga saat ini, terletak di jalan G.Bawakaraeng Makassar tepat di hadapan Jalan Terong.
     Niat untuk ngumpul dengan teman-teman semasa SD itu sebenarnya telah lama disampaikan Ucup. Kira-kira sekitar 2012 lalu. Beberapa nama sering disebut-sebutnya, namun di memori saya yang sudah agak rapuh, tidak banyak nama yang mampu muncul dengan segar. Ucup sendiri tidak terlalu detail mendeskripsikan bila ada satu nama yang disebutkannya. Ditambah lagi, aktifitas Ucup yang berpindah dari satu propinsi ke propinsi lain, membuat frekwensi kami bertemu menjadi tidak intensif.
berdiri: Munandar, Muksin, saya, Ucup, Astuti, Khairil dan Muzakkir
duduk: Rosnawati, Rahmawati, Irma, Nuraeni, Marwani, Salma, Vertrani, Maipa dan Fadliah
 
     Sehingga informasi tentang akan segera ngumpulnya kami, yang saya ketahui seminggu sebelumnya, alumni 1977 dari SD Bawakaraeng, menjadi sesuatu yang begitu menggairahkan. Harap-harap cemas tentu saja, jangan sampai tidak mampu segera mengenali teman yang akan ditemui nanti.
     Syukur sekali, di tengah puncak musim penghujan, 12 Desember 2016 kami 16 orang berkumpul di restoran Pualam Makassar. Seperti yang saya kuatirkan sebelumnya, beberapa nama yang sebeanarnya dulu begitu akrab, ketika kami masih sama-sama bocah, sama sekali hilang tertimbun di kedalaman memori saya. Mau bagaimana lagi, saya tidak seberuntung teman-teman lain, yang masih mampu mengingat hampir setiap teman yang ada.
     Sebagai rasa terimakasih, dan rasa-rasa lain yang saling campur aduk di reuni itu, berikut saya dedikasikan sebuah rangkaian gambar sederhana untuk kalian saudara-saudaraku. Banyak kegiatan, kesibukan dan keterbatasan lain yang mungkin saja menghambat kita untuk sering bertemu dan bertemu lagi di masa-masa akan datang. Dan rangkaian gambar-gambar ini semoga bisa menjembatani rasa rindu diantara kita, yang mungkin saja tiba-tiba menyeruak ketika kita berada jauh di rentang jarak dan waktu..
     Very big thanks to all You Guys and Sista.. untuk semua keramahan, keakraban dan kehangatan silaturahmi di saat itu. Saling sabar dalam membantu merajut keping-keping memori yang berserakan entah kemana, diselingi canda segar sedikit usil dan nakal, sungguh merupakan pengalaman yang sangat luar biasa. Sekali lagi terimakasih untuk semuanya, semoga limpahan kesehatan, berkah dan keselamatan selalu menyertaikan kalian.

Updating Extra Notes, April 2017:
     Setelah pertemuan Desember 2016 tersebut, maka pertemuan-pertemuan berikutnya terjadi lagi, antara lain di bulan Februari 2017 yang lalu di Cafe Gigi Jalan Pengayoman Makassar. Berikut rangkaian gambarnya saya buat menjadi video, bisa dilihat di link berikut.
     Beberapa teman yang tidak hadir di Desember 2016, berjumpa di Cafe Gigi tersebut. Mereka antara lain adalah Martini, Ratna Boti, Erna, Maryam, Rohani, Putra, Abdi Rahmat, Makmur, Halwiyah dan Iswati.
belakang: Astuti, Maipa, Rosnawati, Rahmawati, Iswati, Isma, Vetrani, Maryam.
tengah: Ratna, Salmah, Martini, Erna, Marwani, Rohani, Halwiyah
depan: saya, Makmur, Munandar, Abdi dan Putra

     Selanjut di akhir Februari di Clarion Makassar, bertemu lagi, dengan dua wajah baru yaitu Juanda dan Baharuddin. Video berupa rangkaian gambar-gambar ketika bertemu tersebut bisa dilihat di link berikut.
berdiri: Marwani, Maipa, Salmah, Vetrani, Rahwa, Fadliah
depan: Munandar, Baharuddin, Mukhsin, Abdi Rahmat, Juanda, Hero Fitrianto
Afif, Ratna, Vetrani, Maipa, Salmah Hasan, Salmah Syamsuddin, Munandar.
Berkunjung ke kediaman Salmah Hasan bersana new comer dr.Afif.

     Yang paling menarik untukku dalam aktifitas street photography, adalah rasa was-was kalau saja objek yang menjadi fokus saya sampai bereaksi menolak apalagi kalau minta hapus hasil jepretan saya. Begitu juga di Jumat pagi itu, melangkah perlahan di keramaian pasar dusun Kalimporo' saya berkeliling mengamati spot yang sekiranya sesuai dengan ruang imaji di kapala, sambil terus mencoba menguatkan rasa percaya diri untuk mulai mengambil gambar.
      Setelah berasa cukup familiar dengan suasana sekitar, dan orang-orang sudah mulai terbiasa melihat saya lalu lalang, maka saya mulai membidik. Satu demi satu objek saya abadikan, sambil menebar senyum seramah mungkin bisa ada yang tiba-tiba menatap tajam ke benda di genggaman, lalu beralih menatap ke wajah saya. Hampir tidak ada hambatan sama sekali, mungkin karena jauh sebelum saya, sudah banyak yang silih berganti mengabadikan aktifitas mereka.
      Kalimporo adalah dusun yang terletak di Desa Tambangan Kecamatann Kajang Kabupaten Bulukumba. Wilayah yang beraneka warna oleh campur aduk budaya Kajang Dalam dan masyarakat sekitarnya. Wilayah Kajang Dalam sendiri dipimpin oleh seorang Amma Toa, terletak di Dusun Benteng, berjarak sekitar lima kilometer dari Kalimporo. Warga Kajang Dalam pun dengan mudah dikenali, mereka menggunakan pakaian serba hitam.
      Lalu seperti budaya-budaya lain di seluruh dunia, pasar menjadi ajang interaksi melumernya tepi-tepi budaya yang semula tegas menjadi adaptif dan samar. Dan warna kehidupan pun berkembang menjadi sangat bervariasi. Nah, selanjutnya saya tidak berpanjang lebar lagi mengulas tentang Kajang dan sekitarnya, langsung saja kita nikmati beberapa gambar yang terekam di saat jumat pagi Agustus 2016 hari pasar di Kalimporo.
      Berikut beberapa moment yang melintas di sensor kamera saya :
tembakau merupakan komoditi yang banyak diperjual belikan di pasar ini. Duduk berkeliling sambil mencicipinya sebelum bertransaksi menjadi ritual tersendiri.
beberapa perempuan berkeliling berbelanja dengan hanya mengenakan sarung, tanpa baju. Ini adalah simbol kalau mereka sedang dalam suasana berkabung. Salah satu anggota keluarga telah meninggal dunia, dan hingga 40 hari setelahnya mereka tidak memakai baju.
atas: penjual camilan cepat saji. Gorengan, panggangan, fresh langsung dari atas kompor.
bawah: membawa belanjaan untuk pulang
 atas : masih berkeliling atau beristirahat, di tengah hiruk pikuk transaksi
bawah : Penjual panganan kecil, tape singkong, apam, tenteng dan lain-lain.
atas : ikan ukuran besar, diiris tipis lalu diasapi.
bawah :  menyiapkan ikan segar yang dipotong melintang setebal 2-3 cm
perempuan Kajang pembuat sarung, mencelup material ke dalam pewarna tanpa mengenakan sarung tangan, sehingga pewarna tertinggal di tangan.
menunggu transaksi berikutnya

      Magrib sudah berlalu beberapa saat ketika melintasi jalan mendaki berkelok-kelok menuju Sinoa. Dalam bahasa Makassar Sinoa berarti tempat yang sunyi. Kendaraan roda empat itu merayap perlahan mengikuti setiap kelokan yang menanjak kadang teramat curam. Dan seperti biasa, setiap kelokan pastinya menyisakan jerih, di satu sisi adalah punggungan dan sisi lainnya adalah lembah curam.
      Jarak sekitar sepuluh kilometer dari arah pantai sebelum Pantai Marina, elevasi 700 meter Sinoa menjemput rombongan kecil kami. Udara sejuk segera menenangkan saraf setelah melintasi begitu banyak kelokan yang terasa wah, apalagi untuk yang baru pertama kali melaluinya. Beberapa ratus meter sebelum benar-benar sampai di Dusun Sinoa, kita disambut deretan tiga gasebo di sisi kiri jalan. Gasebo yang menghadap persis ke arah kota Bantaeng di bawah sana yang sedang menggeliat dengan pembangunan yang intensif.
     Tepat di hadapan jajaran gasebo-gasebo tersebut, ada cafe yang tentu saja menyajikan pelepas dahaga. Sajiannya sederhana, kental dengan bahan baku alami seperti ubi dan pisang, dan juga minuman berupa sarabba. Pas sekali menemani udara sejuk Sinoa sambil menikmati Kota Bantaeng dari ketinggian. Di malam hari, kelap-kelip lampu kota terlihat begitu indah. Ah, sayang sekali di trip ini saya melakukan kekhilafan yang sangat fatal, karena tripod untuk kamera tidak ikut terbawa. Keindahan malam di Sinoa tidak mampu untuk saya abadikan di kamera yang ada.
     Sinoa yang indah, sejuk dan sangat asri. Sebuah mesjid, terletak persis di sisi lapangan. Ada sekolah menengah, dan kantor desa, lapangan dikelilingi rumah-rumah penduduk yang terhubung oleh jalanan mulus berlapis butas. Di sisi lain hamparan persawahan, perkebunan dan aneka hasil bumi lainnya. Di wilayah sebelah Sinoa adalah Desa Ulu Ere, yang berarti mata air. Dan Sinoa menikmati kucuran air yang melimpah, melalui instalasi pipa-pipa hingga kesetiap dapur rumah tangga.
     Menyempatkan melihat sentra perkebunan strawberry dan apel yang terletak di desa sebelah, dijangkau dari Sinoa sekitar setengah jam. Area perkebunan yang terletak diketinggian sekitar 1500 meter itu menyajikan pemandangan yang begitu indah di pagi yang cerah. Langit yang membiru dihiasi awan yang kadang berbaris indah, menjadi konsumsi tak terelakkan untuk kamera yang saya genggam. Landscape yang begitu indah benar-benar sangat memanjakan mata.
     Akhirnya, terimakasih yang tak terhingga untuk Bapak Nurdin, host kami selama di Sinoa, yang telah mengantar mengitari wilayah-wilayah perkebunan dan sekitar Sinoa. Dan tentu saja tidak lupa hormat dan salut untuk semua keramahan khas Makassar yang begitu membanggakan. Berharap suatu hari nanti, ada kesempatan yang lebih longgar sehingga bisa menelisik Sinoa dengan lebih detail dan mengabadikan semua keindahan yang tidak sempat terekan di kesempatan kemarin itu. Sekali lagi, terimakasih Pak Nurdin.

     Ketika kita lapar dan menahannya, maka tubuh memproduksi horman ghrellin. Hormon yang dianggap memberikan dampak negatif ketika kita mengambil suatu keputusan. Hormon yang meningkatkan selera makan tersebut juga mengurangi kemampuan kita mengendalikan dorongan yang muncul dari dalam diri kita.
    Ada dua pengamatan yang dilakukan oleh ahli di dalam penelitian mengenai efek hormon ghrellin tersebut. Pertama tentang 'tindakan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk mengendalikan atau menahan respon motorik. Yang kedua tentang 'pilihan impulsif' yaitu ketidak mampuan untuk menahan atau menunda kepuasan.
    Kesimpulan yang didapatkan dari eksperimen laboratorium terhadap tikus, hormon ghrellin yang merasuk ke otak (seperti dengan pesan yang dikirim oleh perut ke otak untuk memberitahu kita kapan untuk makan), segera membuat tikus kehilangan kendali pilihan impulsif yang kemudian merespon situasi tersebut dengan tindakan impulsif.
     Kemampuan menunda kepuasan jangka pendek untuk suatu imbalan atau keuntungan jangka panjang adalah tolak ukur kemampuan mengendalikan 'pilihan impulsif'. Namun kegagalan mengendalikan pilihan impulsif membuat kita menyantap camilan dan makanan ringan tambahan lainnya meski mengetahui bahwa jadwal makan malam sebentar lagi tiba. Hormon ghrellin mengurangi kemampuan kita mengambil keputusan yang rasional.
     Dan semakin tinggi kadar hormon ghrellin yang membanjiri otak, maka semakin tidak rasionallah kita di dalam membuat keputusan. Hormon ghrellin yang dihasilkan oleh keadaan lapar. Keadaan tersebut menjadi penjelasan logis mengapa kita sebaiknya tidak membuat keputusan (apalagi yang dampaknya penting) dalam keadaan lapar. Membanjirnya ghrellin di otak kita sangat mempengaruhi rasionalitas.
hormon ghrellin yang timbul karena lapar
gambar dari film kungfu panda

     Tiba-tiba degup di dada sedikit lebih cepat. Ada rasa gugup yang menyeruak ketika bersiap-siap meninggalkan pos-8. Sebentar lagi kita akan bertemu, setalah sekian lama. Iya, setelah sekian lama tidak menyapa di berandamu. Malu hati ini, seakan saya sudah lupa kepadamu membuat rasa gugup itu enggan menguap.
     Namun rasa rindu yang mendera bertubi-tubi belakangan ini membuatku segera bangkit untuk mulai melangkah. Terserah apa katamu nanti setelah aku sampai di sana. Bersama kerabat lainnya, Piyu, Syam, Ikki, Andi dan Nuge, kami mulai bergerak menuju puncak. Hening mengiringi langkah-langkah kecil kami, di pagi yang begitu cerah dan hangat.
      Cuaca yang berubah drastis sejak sore kemarin, benar-benar membuatku hampir hilang kesabaran untuk segera summit. Ini seperti hamparan karpet merah yang sengaja digelar untuk kulalui. Ada 'ge-er' terbersit di benakku untuk semua sajian ini. Bagaimana tidak, hujan yang hampir tanpa jeda, sambung menyambung sejak meninggalkan Makassar hingga camping di hutan pinus Lembanna, seakan menjadi satu rangkaian sajian yang kontras dengan kehangatan yang terpampang sekarang. Ini bukan lagi tentang bermain semacam april mop. Tetapi agar rasa hangat itu bisa lebih terasa greget.
      Tiga minggu sebelumnya, saya menyempatkan ke Lembanna. Menatap puncakmu yang selalu berkabut waktu itu, sebenarnya saya hanya hendak menegaskan tentang rasa yang menggelitikku belakangan ini. Apakah ini hanya rasa yang timbul dari saya sendiri, ataukah selaras getar darimu yang saling menyapa. Dan ya, harus kuakui kalau ternyata kita memang saling merindu. Maka seketika kabut menyapu lembut Lembanna, ditimpali gemericik lembut hulu air tejun yang sudah terlalu akrab itu, aku yakin untuk menemuimu nanti.

Kenampakan wajah Pos 7 di cerahnya sinar matahari pagi dishoot dari arah sebelum pos 9, dengan guratan jejak longsor yang membentuk kurva (bagian tengah gambar di sebelah atas kepalanya Syam)
      Maka rangkaian kegiatan pendidikan dasar Korpala Unhas ke-29 yang direncanakan selesai di akhir Januari 2016 kujadikan jadwal untuk itu. Memilih bersama dengan para titisan darah-K, bersama keluarga di Korpala, telah banyak meninggalkan guratan ingatan yang terpateri tentangmu. Dan kuingin kali inipun kenangan menjumpaimu setelah jeda 23 tahun, turut menjadi bagian kenangan sebagian keluarga itu.
      Menjadi luar biasa dan tidak terduga, beberapa keluarga yang juga sudah lama tidak menjejak berandamu, turut menapak bersama. Canda yang sambung menyambung, kreatif, selalu menjadi bumbu bercita rasa kuat di setiap kesempatan. Aku suka, tidak perlu ada rasa sungkan yang timbul diantara kami karena gap waktu yang relatif lebar dengan mereka.
Sekitar pos 10.
Bawah, kenampakan lembah Sungai Jeneberang terlihat dari pos 9
     Terimakasih untuk jamuan hangatmu. Sungguh, cuaca cerah dengan sinar matahari hangat itu, terasa jauh lebih hangat dibanding seluruh kopi yang disuguhkan di semua tempat di pagi itu. Begitu tersanjung menerima semua sajian itu, sehingga terasa tidak sebanding dengan kunjungan lutut reot berkarat itu, yang tertatih-tatih untuk sampai di berandamu. Tetapi ah.. sudahlah, rindu itu, rindu kita, akan selalu ada..

     Desa Pinabetengan namanya. Sungguh menakjubkan ketika melihat salah satu spot di wilayah itu. Tidak disangka, desa yang rasanya begitu 'jauh' untuk terjangkau, ternyata menyimpan sejumlah rekor yang tercatat di Guinness Book. Bila destinasi Bukit Kasih sudah menggema kemana-mana, maka menuju ke Desa Pinabetengan bukanlah sesuatu yang sulit. Bisa dikatakan Desa ini berada dalam satu kawasan dengan Desa Kanonang dimana Bukit Kasih berada.
     Untuk menemukannya, tentu saja pertama kali harus sampai di kota Tomohon terlebih dahulu. Berkendara sekitar 24 km kita akan tiba di wilayah Kawangkoan. Daerah yang sangat terkenal dengan kacang tanahnya. Karenanya ada patung kacang akan nampak di tepi jalan ketika mamasuki Kawangkoan. Di banyak tempat di Minahasa hampir selalu bisa dijumpai kacang produksi dari Kawangkoan. Dari Kawangkoan ini, Desa Pinabetengan sudah tidak jauh.
     Ada dua spot penting, yaitu prasasti Batu Pinawetengan dan Museum Pinawetengan. Untuk prasasti Batu Pinawetengan akan saya ulas di artikel tersendiri. Sedangkan Museum Pinawetengan dengan assetnya berupa benda-benda dengan rekor dunia akan saya paparkan seperti berikut ini. Dalam bentuk fisik, mulai dari terompet raksasa, kain tenun Minahasa terpanjang di dunia hingga Kolintang terbesar di dunia.
      Kolintang Raksasa terletak di bahagian kiri area kawasan museum. Segera terlihat menonjol label sertifikat World Record lengkap dengan penjelasan teknis dari alat musik Kolintang itu.
      Di tengah-tengah area kawasan museum berdiri menjulang, terompet raksasa. Tentu saja label rekor menggantung megah di bagian bawahnya. Sayang sekali kunjungan saya bukan pada saat ada festival, sehingga terompet hanya berdiri sunyi di terik matahari. Tidak sempat untuk dibunyikan.
      Rekor-rekor dalam bentuk fisik dan masih terpajang adalah terompet, kolintang dan kain tenun yang diletakkan di dalam Galery Kain. Sedangkan rekor nasi jaha pastinya sudah tidak nampak. Tiga rekor lainnya berupa pemain kolintang terbanyak, pemain musik bambu terbanyak dan pemain musik bia terbanyak.
      Beranda Galeri kain Penawetengan sebenarnya terlihat sangat sederhana. Semula saya tidak merasa tertarik untuk masuk ke dalamnya. Namun entah mengapa kemudian saya tetap melangkah ke dalamnya. Ternyata begitu banyak item yang menakjubkan saya. Dan kain dengan label rekor dunia itu memang luar biasa. Ditempatkan di dalam lemari kaca, kain sepanjang 101 meter itu menampakkan corak dengan ekspresi huruf-huruf seperti yang tergurat di atas Batu Pinabetengan. Batu prasejarah yang memuat sebahagian riwayat etnik Minahasa.
      Selain koleksi kain, di dalam galeri ini juga merupakan tempat memproduksi kain dengan beragam corak, namun semuanya tetap dengan pakem dasar huruf-huruf di atas prasasti Pinawetengan. Mesin-mesin tenun berdiri kokoh dengan juntaian benang dan pola untuk corak produksi.
      Beruntung ketika itu, sempat bertemu dengan seorang ibu di dalam galeri yang sementara menyelesaikan desain pola untuk proses penenunan. Di suasana yang lengang di dalam galeri, beliau begitu konsentrasi menyusun mozaik-mozaik kecil di hadapannya.
      Atas dan bawah adalah dua macam corak pola untuk  produksi di mesin tenun galeri.
      Selain pajangan aneka kain di dalam galeri ini, juga di beberapa rak lainnya diletakkan aneka macam produk kerajinan tangan Minahasa. Sebagian besar berupa kayu yang diukir dan dipahat. Bentuk yang paling banyak tentu saja bentuk Burung Manguni. Burung yang menjadi simbol penjaga untuk etnis Minahasa.
      Berminat dengan koleksi yang dipajang, beberapa diantaranya sudah disiapkan untuk bisa dibawa pulang. Begitu juga dengan koleksi kain, sudah disiapkan banyak pilihan untuk bisa menjadi buah tangan bagi orang-orang istimewa. Pengasuh galeri akan dengan senang hati membantu menjelaskan koleksi yang ada sekaligus membantu transaksi bila ada yang menarik hati untuk dibawa pulang.
      Selain manguni, ada juga miniatur rumah adat Minahasa. Ada patung-patung mini laskar Minahasa lengkap dengan pakaian perangnya. Ada sepeda dengan keranjang bambu. Tidak ketinggalan tas jinjing dalam paduan kombinasi kain tenun pinawetengan.
Aneka corak tenun ikat kain Pinawetengan
 
      Kawasan museum yang cukup luas. Selain asset tidak bergerak penghuni museum seperti pada umumnya, juga ada spot untuk aktifitas yang produktif. Satu bangunan khusus untuk tempat pengembangan usaha produktif, teknik dan pengembangan usaha tercakup di dalamnya. Mulai dari teknik budidaya tanaman lokal, hingga pengembangan usaha kuliner bisa didapatkan di sini. Lainnya lagi ada pusat penerangan narkoba, lengkap dengan langkah-langkah antisipasi sehingga tidak terjerumus menjadi konsumennya.
     Dan di beranda luar rumah-rumah adat yang disetting sebagai sentra-sentra kegiatan itu, ramai remaja-remaja sedang berlatih. Ada yang berlatih menari, ada juga yang berlatih bela diri. Ah..museum yang hangat, bukan hanya menyimpan asset berdenyut, tetapi juga menjadi tempat mengembangkan asset masa depan bangsa.
     Akhirnya, bila suatu hari berkesempatan menjejakkan kaki di bumi Minahasa, maka museum ini adalah salah satu tempat yang saya rekomendasikan. Bila kita sudah sampai di Bukit Kasih, maka dengan jarak tempuh sekitar 10 menit berkendaraan bermotor, lokasi museum bisa segera didapatkan.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.