Rasanya tidak cukup afdal bila berkunjung ke ujung K pulau Sulawesi namun tidak menyempatkan diri untuk mampir ke Bukit Kasih. Setidaknya begitulah kesimpulan sementara saya. Untuk warga Minahasa sendiri, mengunjungi Bukit Kasih bukan hanya sekadar mengisi waktu liburan tetapi juga sebagai sarana ibadah.
     Mendaki sekian ratus anak tangga untuk mencapai puncak bukit, menjadi ujian tersendiri bagi peziarah religi. Beberapa spot tertentu menjadi kewajiban untuk disinggahi sebelum mencapai puncak. Dan perjalanan itu menjadi terasa sebagai ujian keteguhan niat, bila bilangan umur sudah banyak, ditambah berat badan yang juga berlebih. Sepanjang jalan akan ditemui relief-relief yang menggambarkan pengorbanan Yesus di jalan salib. Maka lengkaplah. Perjalanan menuju puncak bukit akan menjadi bukti tentang iman dan keteguhan niat itu.
     Di gerbang selamat datang, ada pos informasi. Setiap pengunjung diimbau untuk meluangkan waktu mengisi buku tamu. Petugas yang ramah akan memberi ballpoint yang bagus, sekaligus mengingatkan jangan sampai melewatkan kolom donasi untuk pembangunan tempat ibadah. Mungkin ini kompensasi tiket masuk yang sangat murah, sepuluh ribu rupiah untuk satu mobil bermuatan tujuh orang.
     Begitu pandangan mengarah ke bukit, di puncak nampak samar beberapa bangunan. Itu adalah bangunan tempat ibadah agama-agama resmi di Indonesia. Konon itu adalah perlambang tentang toleransi beragama yang ada.
     Di puncak bukit itu memang rumah ibadah saling berdampingan. Namun kesan toleransi apalagi kesetaraan hampir tidak terlihat sama sekali. Dominasi simbol-simbol agama tertentu sangat menonjol di mana-mana. Mulai dari jalan pintu masuk kawasan hingga sekitar puncak bukit kasih. 
     Tiga kali mengunjungi tempat ini, sambil berharap menemukan aura religi dari masing-masing agama. Namun saya gagal menemukannya. Hanya kepercayaan yang mayoritas saja yang menampakkan auranya. Sayapun menjajaki tempat ibadah yang sesuai dengan keyakinan saya. 
     Pintu yang sulit terbuka karena daunnya menghunjam lantai, membutuhkan tenaga ekstra untuk membukanya. Untung saja air untuk berwudhu mengalir dengan lancar. Di dalam bangunan yang di puncaknya ada kubah yang sudah hilang sepotong itu, saya haturkan sujud empat kali.
       Namun bagaimana pun, apresiasi yang tinggi tetap layak untuk obyek wisata ini. Usaha menampilkan simbol-simbol toleransi bukanlah sesuatu yang sepele. Kemudahan menjangkau lokasi, disertai tiket yang bisa dikatakan sangat murah, menjadi daya tarik untuk memudahkan menyampaikan pesan toleransi yang dimaksudkan.
setapak demi setapak, anak-anak tangga harus dilangkahi untuk mencapai puncak Bukit Kasih
 
      Cerita rakyat tentang asal usul etnis Minahasa, juga digambarkan di lintasan menuju puncak Bukit Kasih. Toar dan Lumimuut beserta karena dikreasi dalam bentuk patung yang indah. Bahkan wajah Toar dan Lumimuut dipahat di tebing yang mendukung jajaran rumah ibadah di puncak sana.
  di bagian belakang jajaran rumah ibadah di puncak bukit, ada patung Bunda Maria. Terletak di kerimbunan pohon sekitarnya, menimbulkan kesan syahdu
 bila nafas sudah saling berkejaran, maka banyak tempat untuk dijadikan alasan menikmati pemandangan sambil foto-foto - pura-pura menikmati pemandangan padahal nafas sudah sangat ngos-ngosan

 banyak tukang foto keliling yang siap mengabadikan moment-moment ketika kita menikmati setiap spot di sekitar bukit kasih - bila hanya bermodal kamera ponsel dan menghendaki kualitas gambar yang lebih baik.
beberapa diantara mereka lengkap denan printer portabel, sehingga bisa langsung membawa pulang cetak gambar yang dihasilkan.
namun bila hanya menginginkan filenya saja, tidak masalah. semua bisa dinegosiasikan.
      Kawasan Bukit Kasih yang terletak di ketinggian, juga memberikan kesan sejuk bahkan dingin, apalagi ketika sore sudah menjelang. Namun tidask perlu kuatir, di dasar lembah banyak tersedia  hidangan yang siap menghangatkan. Kopi, teh, minuman botol bisa dihidangkan dengan pisang goreng goroho, jagung bakar ataupun kacang tanah rebus atau sangrai.
     Bila ingin yang lebih berat, mi instan dan telur, ataupun hidangan lokal lain, bisa dengan mudah ditemukan.
      Dan untuk meredakan pegalnya kaki setelah naik dan turun dari Bukit Kasih, di sekitar kedai-kedai makanan tadi juga tersedia bak-bak air panas untuk merendam kaki yang penat. Tidak ketinggalan jasa pijat terlatih, mengenakan seragam khusus, siap melancarkan kembali aliran darah yang menumpuk di kaki, tentu saja sambil tetap merendam kaki di hangatnya air belerang dari bukit.
 jangan lupa sebelum meninggalkan kawasan Bukit Kasih, beberapa macam souvenir bisa diperoleh dari tangan penjaja yang banyak berkeliaran di sekitar entry dan tugu lima sisi.
 atau bila ingin berendam air hangat, ada kolam di dasar lembah yang siap menyambut para pengunjung

 tugu segi lima di masing-masing sisinya memuat pesan dari lima agama yang rumah ibadahnya ada di puncak bukit.
 gambar atas adalah entry gate dengan loket kecil di sisinya
 senja yang baru saja tersiram gerimis. gumpalan uap belerang dari dasar lembah bukit kasih terasa sendu ditimpali bau tanah basah. udara yang semakin dingin mengantar lelah setelah naik turun bukit untuk sebentar lagi menjemput magrib.
Bukit Kasih
     Dengan satu optimisme, semoga semangat toleransi dari Bukit Kasih, menjadi salah satu rangkaian jembatan yang menghubungkan silaturahmi diantara aneka ragam sara di negeri tercinta ini.

     Tersebutlah seorang putri raja Mongol, bernama Lumimu'ut terdampar di bumi Minahasa. Dia diasingkan dari tanah asal kelahirannya Mongol, karena satu kekhilafan. Ayah Lumimu'ut yang adalah raja Mongol tidak bisa menerima kenyataan bahwa putri yang sangat disayanginya itu ternyata telah hamil sementara Lumimu'ut belum pernah menikah.
     Karena rasa malu yang begitu besar, maka raja Mongol memutuskan untuk mengasingkan Lumimu'ut. Disiapkanlah perahu yang menjadi tumpangan Lumimu'ut mengarungi kehidupannya selanjutnya. Dan tanah Minahasa menjadi tempat berlabuhnya perahu itu, bersama Lumimu'ut yang sedang hamil.
     Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua. Mereka kemudian tinggal bersama, saling membantu hingga Lumimu'ut melahirkan seorang bayi laki-laki.
Toal Lumimuut.  Seorang diri, Lumimu'ut mempertahankan hidupnya di tanah asing itu. Hingga suatu hari, bertemulah ia dengan Karema, seorang perempuan tua yang iba melihat Lumimu'ut yang sedang hamil tua.
 patung Toar - Lumimu'ut di bukit Kasih desa Kanonang Tomohon
Sulawesi Utara
     Anak laki-laki itu diberi nama Toar.
     Beberapa minggu setelah melahirkan Toar, kondisi kesehatan Lumimu'ut sudah pulih. Ia memutuskan kembali ke pantai, berharap bisa kembali ke tanah leluhurnya di Mongol. Toar ditinggalkan di dalam pengasuhan Karema.
     Karema yang arif kemudian membuat dua buah tongkat dari tanaman Tu'us. Tongkat yang sama panjangnya, satu diberikan kepada Lumimu'ut, dan satu lagi disiapkan untuk Toar bila sudah dewasa kelak. Tongkat yang akan menjadi penanda hubungan antara Lumimu'ut dan Toar adalah ibu dan anak. 
     Ketika Lumimu'ut sampai di pantai, perahunya sudah tidak ada. Ia pun menjelajah, mengikuti arah kata hatinya. Langkah kakinya membawanya mengembara menelusuri bumi Minahasa yang permai.
 patung Karema, Toar dan Lumimu'ut
di Bukit Kasih
     Ketika Toar sudah dewasa dan hendak mengembara menjelajah bumi Minahasa, Karema memberikan tongkat untuk Toar dengan satu amanah. Bila bertemu dengan wanita yang membawa tongkat yang sama panjangnya dengan yang ada di tangan Toar, maka dia adalah ibu dari Toar. Toar harus menjaga dan merawatnya karena dialah yang telah melahirkan Toar. 
     Singkat cerita, di dalam pengembaraan, Toar kemudian berjumpa dengan Lumimu'ut. Tongkat di genggaman disamakan panjangnya. Namun mungkin karena tongkat masing-masing telah digunakan di dalam pengembaraan selama ini, maka tongkat itu tidak sama panjang. Toar kemudian menjadikan Lumimu'ut sebagai istrinya yang melahirkan sembilan anak.
     Kesembilan anak tersebut yang kemudian membentuk sembilan sub-etnis Minahasa yaitu:
          1. Babontehu > mendiami pulau Manado Tua.
          2. Bantik > tersebar di Malalayang, Kalasei, Talawaan Bantik, Ratahan dan Mangondow.
          3. Pasan Ratahan (Tounpakewa) > tersebar di kecamatan Pasan, Towuntu, Liwutung, Tolambukan dan Watulinei.
          4. Ponosakan > tesebar di kecamatan Belang dan Ratatotok, mendiami kampung Belang, Basaan, Ratatotok dan Tumbak serta sebagian di kampung Watulinei.
          5. Tonsea > mendiami semenanjung Sulawesi Utara mulai dari Bitung, Airmadidi, Kauditan, Kema, Tatelu, Talawaan dan Likupang Timur.
          6. Tontemboan > mendiami daerah Langowan, Tompaso, Kawangkoan, Sonder, Tareran, Tumpaan, Amurang, sepanjang kuala (sungai) Ranoyapo yaitu Motoling, Kumelembuai, Ranoyapo, Tompaso Baru, Madoinding, Tenga dan Sinonsayang.
          7. Toulour > mendiami sekeliling danau Tondano hingga ke pantai timur Minahasa (Tondano Pante) meliputi Tondano, Kombi, Eris, Lembean Timur, Kakas, Remboken.
          8. Tonsawang > berdiam di wilayah kecamatan Tombatu dan Touluaan.
          9. Tombulu > tersebar di kota Tomohon, Pineleng, Wori, Likupang Barat dan Manado.
     Mitos ini menjelaskan mengapa suku Minahasa mempunyai rupa yang mirip dengan bangsa Mongolia. Berkulit putih dan bermata sipit. Namun mitos ini tentu saja berbeda dengan dengan temuan ilmiah yang dijabarkan oleh para sejarawan yang telah meneliti secara mendalam tentang Minahasa dan sub etnis yang ada. Bahkan masing-masing sub etnis mempunyai mitos sendiri-sendiri tentang asal usunya.
     Kesembilan sub etnis Minahasa itu membaiat kesatuan mereka di sebuah batu yang disebut Watu Pinabetengan. Tentang Watu Pinabetengan sendiri  akan saya paparkan di artikel yang lain.

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Tujuan semula menuju Bitung adalah untuk melihat sejenis primata yang oleh temanku begitu hebohnya. Heboh apanya juga tidak jelas-jelas amat. Lalu rombongan kami memasuki kota Bitung, tanya sana sini tentang Tangkoko dan mendapat informasi bahwa tempat itu masih jauh. Ah iya, google map saya utak atik. Lalu muncul 'Taman Nasional Tangkoko'.. beberapa detik kemudian di layar muncul 47 kilometer dari posisi sekarang. Masih jauh rupanya.
     Setelah melaju beberapa menit, rombongan kembali bertanya, tapi kali ini tentang perimata yang dimaksud. Arah kami sudah benar. Dan kejutannya untukku, ternyata tempat yang dimaksud tidak jauh-jauh amat, masih di dalam kota Bitung. Tidak perlu sampai harus menempuh sekian kilometer seperti info dari google map. Ternyata yang kami tuju sebenarnya adalah tempat penangkaran perimata, yang juga menampung beberapa macam hewan lainnya. Jadi menjadi mirip kebun binatang mini.
     Begitu memasuki halaman, di bawah pohon beringin terpampang plang 'Taman Margasatwa Tandurusa'.
Oh rupanya, sekarang menjadi jelas. Bahwa tujuan 'membesuk' sang primata adalah yang terletak di dalam taman margasatwa ini.
Taman Margasatwa Tandurusa
      Setelah jepret-jepret di halaman depan, kami kemudian langsung menuju kandang si primata. Semuanya ada lima ekor, tiga jantan dan dua betina. Pemandu di tempat ini menjelaskan bahwa primata mempunyai watak monogami di dalam kehidupannya. Itu menjadi salah satu sebab mengapa keberadaannya kemudian menjadi langka. Perkembang biakannya lambat. Butuh tujuh bulan mengandung, untuk kemudian melahirkan satu bayi primata. Anak-anak primata yang lahir dari tempat ini, kemudian akan dilepaskan kembali ke dalam taman nasional Tangkoko. Yang disisakan di dalam taman ini hanya seperti yang kami saksikan saat itu.
 atas adalah monyet ekor merah
bawah adalah Primata Spectrum 
 atas adalah iguana
bawah adalah rusa dan burung unta
     Setelah beberapa kali menjepret sang primata, kami kemudian melangkah ke sangkar dan kandang lainnya. Ada banyak macam burung termasuk burung unta, ular, monyet pantat merah, buaya dan lain-lain. Lumayan seru jepret-jepret hewan yang ada, hingga tanpa sengaja sampai di bagian ujung belakang taman.
     Ternyata di sinilah pemandangan yang indah itu. Tidak terbayangkan sebelumnya bahwa pantai di belakang taman itu begitu mempesona. Tidak berlama-lama termangu, saya mencoba mengambil gambar dari beberapa sudut yang berbeda.
     Di benak saya langsung terpatri Pantai Aertembaga. Terus terang, saya tidak tau nama pantai ini. Namun untuk memudahkan memori saya, maka saya menyebutnya begitu saja. Pantai Aertembaga, sesuai dengan nama wilayah dimana saya berdiri saat itu.
     Suatu kebetulan dan keberuntungan bertemu tempat yang indah seperti ini dimana kesempatan mengabadikannya juga begitu mendukung.

 if You think this article is utilitarian
You may donate little cents for next more exploration

     Tersebutlah seorang gadis Minahasa yang cantik jelita yang sangat gemar pada berbagai macam kesenian. Di wilayah Tonsea, dia dikenal bernama Lintang, bunga diantara bunga yang ada di sana. Setiap hari ia bersenandung sambil mamainkan alat musik yang ada di masanya.
     Kecantikan Lintang yang begitu luar biasa, tentu saja menarik minat pemuda-pemuda Minahasa untuk mempersuntingnya menjadi istri. Sayembara pun digelar. Barang siapa yang bisa menghibur hati Lintang dengan memainkan alat musik yang indah, apalagi yang belum pernah terlihat oleh Lintang, maka dialah yang akan mendapatkan Lintang untuk dijadikan istri.
Alat musik tradisional

melody kolintang ~ pic: kolintang[dot]co[dot]id
     Maka berbondong-bondonglah pemuda-pemuda yang ada di Minahasa, pamer kemampuan di hadapan Lintang. Namun tidak satupun yang berhasil memikat hatinya. Keriuhan berakhir, semuanya kembali dengan kecewa karena tidak satupun yang berhasil mendapatkan hati Lintang.
     Salah satu dari antaranya, karena begitu kecewa, melampiaskan kekecewaannya ke gunung Klabat. Ia mendaki menembus lebatnya belantara Klabat. Ko, begitu pemuda itu disapa. Sesampai di puncak, ia merenung, bagaimana caranya bisa mendapatkan hati Lintang. Namun semakin lama berpikir, otaknya terasa semakin mampet saja.
     Karena kesal tidak menemukan ide, Ko membanting tongkatnya yang terbuat dari kayu Wenang. Tongkat Ko membentur batu, terpental ke sana sini dengan suara nyaring. Sesaat Ko tertegun. Suara yang timbul dari tongkatnya terdengar indah berirama. 
     Ko bergegas pulang, sambil membawa beberapa potongan kayu Wenang yang lain. Ia kemudian menyusun beberapa potong kayu Wenang, lalu diketuk-ketuknya dengan batu. Suara denting yang indah terdengar oleh ketukan-ketukannya. Setelah melalui beberapa purnama, Ko sudah mahir memainkan melodi ciptaannya dari susunan kayu Wenang tersebut.
     Ia kemudian menemui Lintang di Tonsea. Ko memperdengarkan irama ciptaannya sambil mengetuk potongan-potongan kayunya. Seketika itu juga Lintang jatuh hati dan kemudian dipersunting menjadi istri Ko. Beberapa waktu kemudian, mereka menjadi terkenal karena alat musik ciptaan Ko yang mereka mainkan berdua. Orang-orang mengenal dan menyebut pasangan suami istri itu dengan menyatukan mana mereka, Ko Lintang.
kolintang raksasa, tercatat di guinness book of record. Kolintang ini terdapat di desa Pinabetengan Tomohon.
     Alat musik kolintang kemudian berkembang menjadi seperti yang kita kenal selama ini.
~terimakasih yang khusus untuk bapak Venty yang telah menuturkan folklore tentang Kolintang tersebut.

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.