Articles by "Cerpen/Indonesia"

Tampilkan postingan dengan label Cerpen/Indonesia. Tampilkan semua postingan

     Rumah sakit ini tidak biasanya sepi seperti ini pada bulan Januari malam. Suasana lengang dan diam seperti keadaan cuaca sebelum datangnya badai. Aku menengok jam dinding di ruang jaga perawat. Pukul sembilan. Kukenakan stetoskop melingkari leherku, lalu berjalan menuju kamar No. 712.
     Ketika aku memasuki kamar itu, Tuan Mills sedang memandang ke arah pintu dengan pandangan yang tidak sabar. Tetapi ketika dia tahu yang datang adalah aku, perawatnya, ia segera mengalihkan pandangannya. Aku langsung menekankan stetoskop ke dadanya dan mendengarkan.
     Keras, pelan . . . bahkan berdebar-debar. Ada petunjuk bahwa dia baru saja mengalami serangan jantung ringan beberapa saat yang lalu.
     Dia memandang ke 'langit-langit, air mata menggenangi kedua pelupuk matanya, berkaca-kaca. Kusentuh tangannya, dan aku menunggu.
     "Maukah Anda memanggilkan anak perempuanku?" akhirnya dia berkata, "Anda tahu, aku ini hidup sendiri dan dia, dia adalah satu-satunya keluargaku yang kumiliki," pernapasanku tiba-tiba menjadi cepat.
     Aku menambah persediaan oksigennya. "Tentu, Tuan Mills. Aku akan memanggilnya," jawabku.
     Tuan Mills mencengkeram ujung selimutnya untuk membetulkan letak selimut itu di atas badannya. "Maukah Anda memanggilkan anakku sesegera mungkin?" napasnya cepat, terlalu cepat.
     "Aku akan memanggilnya sesegera mungkin," kataku seraya menepuk-nepuk pundaknya. "Sekarang Tuan beristirahatlah dahulu."
     Dia menutup kedua matanya. Rasa enggan aku untuk pergi meninggalkan kamar ini. Lalu melangkah menuju ke jendela kaca yang suram dan beku. Kaca terasa dingin. Di bawah, kabut tebal bergulung-gulung melintasi tempat parkir rumah sakit. Malam ini awan tebal menyelimuti langit.
     "Perawat," dia memanggil, "tolong carikan aku kertas dan pensil," katanya.
     Aku mengambil secarik kertas berwarna kuning dan pulpen dari saku bajuku, lalu menaruhnya di meja kecil di samping tempat tidurnya..
     "Terima kasih," katanya.
     Aku tersenyum kepadanya dan terus pergi berlalu.
     Di dalam catatan, anak Tuan Mills itu tertulis sebagai keluarganya yang paling dekat. Dan aku memperoleh nomor teleponnya dari bagian penerangan.
     "Hallo . . . Nona Jennie Mills, di sini Sundari, juru rawat rumah sakit. Sebagaimana pesan ayah Anda, Anda diminta segera datang ke rumah sakit. Beliau mengakui bahwa malam ini beliau mendapat serangan jantung dan dia..
     "Tidak!" dia memekik di pesawat teleponnya, mengejutkan aku. "Dia tidak kritis, kan?" kata-katanya itu terdengar lebih merupakan suatu tuntutan daripada pertanyaan.
     "Keadaannya stabil saat ini," kataku, yang berusaha untuk bersuara meyakinkan.
     "Anda tidak boleh membiarkan dia meninggal," katanya. Suaranya begitu memaksakan sehingga tanganku yang memegang tangkai telepon gemetar.
     "Beliau sekarang sedang mendapatkan perawatan yang terbaik”.
     "Tetapi Anda kan tidak mengerti," katanya. "Ayah dan aku menyimpan dendam percekcokan sudah hampir setahun ini. Aku . aku tidak pernah mengunjungi beliau sejak itu. Tetapi beberapa bulan belakangan ini aku ingin menemuinya, menghadapnya untuk mohon ampun. Aku masih ingat, kata-kata terakhir yang kuucapkan kepada ayah sebelum aku pergi waktu itu ialah 'Aku benci kepadamu, Ayah!"
     Suaranya pecah dan terdengar gelombang tangis kesedihan yang dalam. Aku terharu sehingga air mata menghangati pelupuk mataku. Seorang ayah dan seorang anak perempuan, masing-masing menganggap dirinya begitu benar, yang akhirnya mengakibatkan perpisahan yang tidak wajar. Yah, inilah gambaran bentuk hati manusia yang tidak terisi dengan iman dan budi pekerti. Hati yang tidak mendapat petunjuk-Nya yang telah disampaikan oleh Muhammad utusan-Nya. Dan memang begitulah hati manusia yang mempertuhankan nafsu. Kemudian aku teringat kepada ayahku sendiri yang kini berada ribuan mil jauhnya di tanah air. Kembali terngiang di telingaku pesan beliau kepadaku sebelum aku berangkat untuk melanjutkan studiku di Amerika ini. "Anakku, ingatlah selalu akan Tuhanmu. Dirikanlah sholat pada waktunya dan seringlah membaca Al-Quran dengan memahami maknanya. Amalkan apa yang diperintah dan tinggalkan apa yang dilarang-Nya. Insya Allah engkau akan merasa aman dan bahagia di mana pun engkau berada.”
     "Aku akan segera datang! Aku akan sampai dalam waktu tiga puluh menit," Jennie berkata, dan menaruh tangkai telepon pada tempatnya.
     Aku menyibukkan diriku dengan kertas-kertas catatan yang menumpuk di meja, tetapi aku tidak dapat mengonsentrasikan pikiranku. Kamar No. 712! Aku merasa aku harus kembali ke kamar itu. Aku bergegas pergi setengah berlari. Tuan Mills berbaring tenang tanpa bergerak. Aku memegang nadinya, tidak ada denyutan.
     "Kode 99. Kamar No. 712. Kode 99. Kamar No. 712." Sinyal itu disampaikan ke segala penjuru rumah sakit setelah operator telepon diberi tahu.
     Tuan Mills telah mengalami perhentian jantung. Aku membenahi tempat tidur dan membungkuk di atas mulutnya, mencoba untuk membuat pernapasan buatan. Kuletakkan kedua tanganku di atas dadanya dan menekankannya. Satu, dua, tiga. Pada hitungan ke lima belas aku mulai membuat pernapasan buatan dengan meniup mulutnya sekuat aku mampu, dan sekali lagi kuulangi.
     "Ya Allah, aku memohon. Anaknya akan datang. Janganlah Engkau panggil hambamu ini pada saat ini.”
     Pintu terbuka keras. Dokter-dokter dan perawat lain datang dan segera mengatur peralatan darurat. Seorang dokter mengambil alat penekan jantung. Sebuah selang dimasukkan ke dalam mulut pasien sebagai jalan udara. Para perawat memasang semprotan obat ke dalam tabung pembuluh darah.
     Aku memperhatikan pesawat monitor jantung. Tidak terjadi apa-apa. Tidak ada denyutan sekali pun. "Mundur!" teriak, seorang dokter. Aku menyerahkan kepadanya alat pengejut jantung, dan dia menaruhnya di atas dada Tuan Mills. Berkali-kali kami coba alat itu, namun sia-sia. Tidak ada reaksinya. Seorang perawat menutup tabung persediaan oksigen, degukan pun berhenti. Satu demi satu orang-orang itu pergi, muram dan diam. Aku berdiri di samping tempat tidurnya, terpana. Innalillahi wa inna ilaihi rooji'uun. Angin menyentak-nyentak jendela kaca, melempari kaca itu dengan salju. Bagaimanakah aku akan menghadapi anak perempuannya'?
     Ketika aku meninggalkan kamar itu, aku melihat Jennie. Seorang dokter yang tadi memasuki kamar No. 712 hanya sebentar saja berdiri dan berbicara dengannya sambil memegangi siku Jennie. Begitu dokter itu berlalu, Jennie yang ditinggalkan merosot ke dinding. Ada semacam kesedihan yang dalam meronai wajahnya, begitu pula yang terhunjam di kedua matanya.
     Aku memegang tangannya dan membimbingnya masuk ke dalam ruang duduk perawat. Kami duduk, tidak ada di antara kami yang mengeluarkan sepatah kata pun. Dia memandang lurus ke depan, wajahnya kaku, dan pandangannya kosong.
     "Jennie, maafkanlah aku," aku mulai berkata. Tetapi tidak tega rasanya aku untuk melanjutkannya.
     "Aku tidak pernah membencinya, Anda tahu? Aku mencintainya," dia berkata. Kemudian berpaling kepadaku. "Aku ingin melihatnya.”
     Apa yang pertama-tama terlintas di kepalaku ialah, 'mengapa engkau ingin membuat dirimu sendiri semakin sedih, Jennie?' Tetapi aku bangkit juga dan mengantarnya. Kami berjalan melewati koridor menuju ke kamar No. 712. Dia mendorong pintu, melangkah menuju ke tempat tidur, lalu membenamkan muka¬nya ke dalam selimut.

     Aku berusaha untuk tidak menyaksikan adegan perpisahan yang menyedihkan ini. Aku melangkah ke meja kecil di samping tempat tidur sebagaimana yang biasa kulakukan. Tiba-tiba tanganku menyentuh secarik kertas berwarna kuning. Aku memungut dan membacanya.
     "Jennie anakku tersayang, aku maaf
     kan segala kesalahanmu. Aku berdoa
     semoga engkau pun sudah memaafkan
     aku. Aku tahu bahwa engkau mencintai
     ku. Dan aku pun sangat mencintaimu".
     Ayah

     Catatan itu bergetar di tanganku ketika aku menyampaikannya kepada Jennie. Dia langsung membacanya, dan diulanginya sekali lagi. Kedamaian mulai membayang di kedua matanya. Didekapnya catatan itu di dadanya.
     "Alhamdulillahi robbil 'alamin', aku mendesis sambil memandang ke jendela kaca. Beberapa bintang telah tampak bersinar di langit malam. Sekeping salju dilemparkan angin mengenai jendela kaca dan remuk, hilang untuk selama¬nya.
     Segala puji bagi-Mu, ya Allah. Dan sesungguhnya hubungan kekeluargaan itu kadang-kadang serapuh kepingan salju itu, walau dapat disambung lagi tetapi kesempatannya sangatlah singkat.
     Aku berjalan pelan-pelan meninggalkan kamar itu untuk menuju ke ruang tunggu perawat. Tiba-tiba aku merasa didesak rindu kepada ayah di tanah air. Ingin menulis surat kepada beliau dan mengatakan, "Aku mencintaimu, Ayah. Ananda mohon doa restu"
cerita : M.Nasir

     Segalanya bermula tatkala seorang penggembala domba Tibet menunjukkan jalan kepadanya ke arah gua yang dihuni seorang pertapa.
     "Di sana Anda akan dapat menginap dan akan mendapat sambutan hangat," ujar penggembala itu. Jenderal George Pereira bernapas lega. Selama hidupnya belum pernah dia merasa Iebih seperti sekarang dan dengan berjalan terhuyung-huyung dia menempuh jalan ke tempat peristirahatan yang terdekat itu.
     Jenderal Pereira, seorang tentara lnggris yang sudah pensiun, sedang melakukan perjalanan kaki secara maraton dari Shanghai, menjelajah negeri Cina dan Tibet menuju ke Laut Kaspia. Sebelum itu tak ada orang yang berani melakukannya dan Pereira sendirian menempuhnya. Dia bertolak pada bulan Maret 1920 dan kini, beberapa bulan kemudian, dia sudah berada di daerah Tibet.
     Setengah jam setelah bertemu dengan penggembala domba itu, akhirnya dia tiba di gua dan disambut oleh pertapa Tibet itu dalam bahasa Italia yang fasih, kendati dengan gaya lama. Hal ini membuat Pereira tertegun heran, setelah dia mengetahui bahwa pertapa itu tidak pernah meninggalkan guanya sejak dia masih kanak-kanak dan bahwa Pereira adalah orang Eropa pertama yang dijumpainya.
     Ini pun bukan satu-satunya hal menakjubkannya di tempat itu. Manakala mereka memperbincangkan perjalanan Pereira yang luar biasa itu sang pertapa kemudian mengutarakan kepadanya tentang adanya sebuah gunung yang diberi nama Amne Machen. Gunung itu terletak ratusan mil lebih jauh. di pedalaman Tibet, dan merupakan gunung yang tertinggi di seluruh dunia. Tidaklah mengherankan jika Pereira sukar untuk mempercayainya, walaupun dia sendiri sudah menyaksikan pundak Everest di Pergunungan Himalaya, gunung tertinggi di dunia itu. Namun pertapa itu pun tahu juga tentang puncak Everest. Dan dia tetap berpegang pada pendiriannya, bahwa Amne Machen itu masih lebih tinggi ribuan kaki lagi.
     Sampai larut malam mereka mempercakapkan gunung itu, sebuah gunung yang agaknya dilindungi oleh penduduk pribumi yang masih liar dan juga oleh suatu kutukan. Sekiranya ada orang asing yang berhasil menghindari orang-orang Ngolok yang galak itu, yang sudah selama generasi demi generasi menjaga gunung itu, maka kutuk Anne Machen masih akan dapat menimpanya, demikian tutur pertapa itu.
     Menurut pertapa itu, kemungkinan besar daya kutuk itu tidak akan segera memperlihatkan keampuhannya. Tetapi tidak akan ada orang asing yang dapat hidup lebih panjang lagi setelah menyaksikan Gunung Amne Machen. Misteri itu segera saja membangkitkan rasa ingin tahu Pereira dan dia sudah bertekad bahwa jika benar bukit Amne Machen itu ada, maka betapapun risikonya, dia harus dapat melihatnya. Sebuah gunung yang lebih tinggi lagi daripada Mount Everest, kedengarannya mustahil juga.
     Setahun lebih Pereira berkelana di Tibet dan Cina, mengikuti petunjuk-petunjuk yang paling remeh sekalipun, dan tak henti-hentinya mencari Amne Machen. Penduduk pribumi yang diajaknya bicara mengenai hal ini tidak seperti biasanya suka tutup mulut saja. Mereka memperingatkan agar dia menjauhi bukit itu. Suatu tempat yang terkutuk, kata mereka, lebih-lebih bagi orang asing.
     Pada akhirnya impiannya itu menjadi kenyataan juga. Pada suatu hari tatkala sedang berdiri di salah satu puncak bukit, dia dapat melihat Amne Machen di kejauhan pada jarak beberapa ratus mil. Ribuan kaki di atas gumpalan awan menjulang gugusan gunung raksasa itu. Sedemikian tinggi gunung itu sehingga dalam memandangnya saja Pereira merasa sesak napas.
     Pereira pernah melawat ke berbagai tempat di dunia ini. Dia sudah menyaksikan Pergunungan Canadian Rockies, pernah mendaki puncak-puncak Pergunungan Himalaya dan menjelajah Pergunungan Andes di Amerika Selatan. Namun tak ada yang sampai membuat¬nya terpana seperti pada waktu memandang Amne Machen ini. Dia sudah merasa pasti bahwa dia sudah menyaksikan gunung yang paling hebat di dunia dan serta-merta dia sudah memutuskan untuk pulang ke Inggris kemudian mempersiapkan suatu ekspedisi untuk mendaki gunung itu.
     Semangatnya sudah meluap-luap dalam harapan akan termasyhur sebagai orang yang menemukan sesuatu yang terbesar dalam abad itu, sehingga dia sama sekali sudah melupakan peringatan sang pertapa mengenai adanya kutukan pada bukit itu.
Tatkala Pereira tiba di sebuah dusun yang terletak di perbatasan Tibet dan Cina, dia berjumpa dengan Joseph Rock, orang Amerika pelanglang buana tersohor. Diutarakannya tentang penemuannya itu namun orang Amerika itu tak mau mempercayainya. Namun semakin lama mereka memperbicangkannya, Rock pun semakin dapat mempercayai bahwa Pereira sudah menemukan sesuatu yang hebat.
     Keesokan paginya Pereira bertolak menuju ke arah pantai dalam perjalanan pulang, namun ketika itulah maut menyergapnya, Beberapa jam setelah dia bersama suatu rombongan pedagang meninggalkan wilayah Tibet masuk negeri Cina. Pereira tiba-tiba jatuh dari atas kudanya lalu kedua belah tangannya menekap dada di arah jantungnya. Sekonyong-konyong dia berpaling memandang ke arah Tibet, setelah itu dia meregang nyawa dan tersungkur mati!
     Apakah kutuk Amne Machen yang menumbangkannya? Orang-orang Tibet dan Cina memang berpendapat begitu. Para pedagang yang sudah tahu bahwa Pereira pernah menyaksikan gunung itu, tidak ada yang mau menjamah mayatnya. Mereka meninggalkannya begitu saja dan pada hari berikutnya baru melaporkan kematian Pereira kepada seorang misionaris Inggris, yang selanjutnya menguburkan jenazah orang yang malang itu.
     Semua orang yang pernah mengenal pensiunan jenderal Inggris ini merasa heran mengenai kematiannya yang kiranya disebabkan oleh serangan penyakit jantung itu, sebab dia selalu tampak sehat dan penuh semangat. Tatkala dia memulai perjalanannya itu umurnya baru saja melampaui 40 tahun. Merekapun tidak percaya ada suatu kutukan yang telah membunuhnya.
     Tak ada yang percaya pada kisah tentang adanya gunung itu.... sampai kemudian pada masa perang dunia kedua beberapa orang penerbang tentara Sekutu melaporkan, bahwa mereka nyaris celaka kalau tidak tepat pada waktunya dapat menghindari sebuah gunung yang secara misterius berada di daerah perbatasan Cina dan Tibet.
     Penerbang-penerbang ini sangat heran, sebab alat penunjuk ketinggian memperlihatkan ketinggian-ketinggian terbang lebih dari 10.000 meter  hampir seribu kaki lebih tinggi daripada Mount Everest.
     Beberapa tahun seusai perang dunia. seorang wartawan Amerika yang tertarik sekali oleh cerita dan peristiwa yang menimpa diri mendiang Pereira, mencoba mencari gunung yang misterius itu dan selanjutnya menyatakan, bahwa dia sudah berhasil menyaksikan Amne Machen.
     Sayangnya peralatan ilmiah untuk mengukur ketinggian gunung itu telah rusak akibat perlakuan kasar orang-orang pribumi yang membawanya dan pengangkutan dengan kuda melalui daerah-daerah yang alamnya masih liar.
     Terdapat tiga orang kulit putih dalam rombongan itu. Salah seorang di antaranya tewas tertimpa tanah longsor beberapa hari setelah mereka berhasil menyaksikan Amne Machen. Orang kulit putih yang kedua meninggal di Peking karena serangan penyakit tifus, sedangkan wartawan itu sendiri tewas tenggelam beberapa bulan kemudian. Benarkah kutuk Amne Machen yang menewaskan orang-orang ini? Dikatakan orang, bahwa yang pasti, tidak ada orang asing yang mengaku telah berrhasil melihat Amne Machen, dapat hidup lebih lama.

     Suatu tradisi, walau bagaimanapun jeleknya, tetap dipertahankan. Demikianlah yang terjadi di tanah air ini. Terutama yang kuketahui, di desa tempat aku berdomisili. Tradisi itu tidaklah selamanya ada sangkut-pautnya dengan adat, begitu juga dengan agama. Tetapi hanya merupakan kebiasaan yang terus berjalan sejak beberapa generasi sebelumnya. Tradisi yang satu ini adalah tradisi duduk di kedai kopi. Berada di kedai kopi, tak ubahnya  bagai  suatu keharusan untuk kelengkapan hidup seorang laki-laki. Rasanya belumlah lengkap menjadi seorang laki-laki tanpa duduk berleha-leha di kedai kopi.
     Sejak datangnya Subuh, sebagian dari laki-laki di desaku bukannya memenuhi panggilan azan dari masjid dan langgar tetapi berubah merupakan panggilan untuk hadir di kedai kopi. Karena dengan terdengarnya azan Subuh, suatu pertanda juga bahwa kedai-kedai kopi telah mulai dibuka, siap menyuguhkan kopi panas.
     MEMANG suatu kenikmatan di desa yang berhawa sejuk, jika dapat meneguk segelas kopi panas. Biasanya, entah ini juga suatu tradisi, mereka mendatangi kedai kopi tanpa terlebih dahulu mandi. Cukup berkumur-kumur saja, kemudian mengusap wajah dengan air dan kain sarong yang dikelumunkan ke tubuh berfungsi juga sebagai handuk untuk mengelap wajah yang telah diusapi air itu. Kemudian jongkok di balai-balai yang tersedia di kedai kopi itu. Hal ini juga merupakan pelengkap kenikmatan daripada duduk di kursi menghadapi meja. Kurang leluasa rasanya.
     Sambil menghirup kopi panas, lalu mulailah bercerita. Pertama cerita tentang sekitar desa dengan segala tetek bengeknya. Dan cerita ini meningkat ke soal politik. Mulai dari politik di desa sampai negara bahkan dunia. Dari mulai balairung cerita itu akan beruntun terus sampai cerita ke Gedung Putih di Amerika.
     Inilah tradisi buruk di kalangan masyarakat desaku. Aku yang pernah sedikit menginjak bangku sekolah dapat menilai bahwa tradisi itu adalah tradisi yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Tetapi apakah aku dapat menghapus tradisi itu? Pasti beribu makian akan menyerangku kalau aku berani menjelekkan tradisi itu. Bisa saja aku dicap sebagai orang yang tidak beradat, tidak menghargai tradisi yang diwariskan oleh nenek moyang kita. Padahal tradisi itu harus dipertahankan, agar tidak tergilas oleh modernisasi dunia saat ini.
     Jangan Anda heran, jika saat itu - pada masa dasawarsa enam puluhan - melihat warga desaku baru melangkahkan kaki ke sawah setelah beberapa saat lagi waktunya makan siang. Baru beberapa kali mengayunkan cangkul maka keluarganya telah datang untuk datangnya makan siang, tentunya harus dimanfaatkan. Siap makan, beristirahat lagi sambil menggulung rokok daun enau.
     Rasanya aku sudah terlalu banyak menceritakan kejelekan yang ada dalam masyarakat desaku. Sebenarnya tindakanku itu tak ubahnya menepuk air di dulang, yang terciprat mukaku sendiri. Apa boleh buat. Rasanya tanpa menceritakan tradisi ini, maka tidaklah lengkap kisah yang akan kuceritakan kepada Anda.
     Kisah ini dimulai ketika aku sedang berada kedai kopi bersama laki-laki lain di desaku. Walaupun tradisi jelek itu tidak kusukai; namun aku merasa kurang enak bila tidak termasuk ke dalam kelompok laki-laki di desaku. Apa boleh buat, terpaksa aku jadi munafik. Tetapi bedanya aku datang ke kedai kopi setelah selesai menunaikan kewajibanku sebagai hamba Tuhan. Pulang dari masjid barulah aku menuju kedai kopi. Di sana aku menjadi pendengar yang baik. Apalagi karena aku tidak punya pengetahuan banyak tentang politik, sebab aku hanya bersekolah di Mualimin. Di sana tidak diajarkan masalah politik kecuali agama saja.
     Kulihat gelas kopi beberapa pengunjung sudah tidak berbentuk kopi lagi, karena telah berkali-kali ditambah dengan air panas, sehingga airnya telah menjadi bening dengan ampas kopi di dasar gelas.
     Kira-kira pukul sepuluh, ketika aku merasa telah tiba saatnya untuk berangkat ke kebun pala peninggalan mendiang kakekku, aku beranjak meninggalkan kedai kopi. Baru saja aku berdiri di ambang pintu kedai kopi untuk melangkah ke luar, kulihat benda merah yang melayang di udara. Benda yang merah seperti api itu hampir menyerupai burung yang terbang. Tidak begitu besar, sekitar sebesar burung merpati. Benda merah itu melintas dengan cepat sekali ke arah selatan. Aku tertegun melihatnya. Seseorang di sampingku berdiri mendesis setengah berbisik, "Sigulambai
     "Apa itu, Pak?" tanyaku tak mengerti, karena nama itu baru pertama kali kudengar.
     "Sigulambai, api kiriman. Akan ada rumah orang terbakar."
     "Oleh sigulambai itu?"
     "Ya!"
     "Apakah sigulambai itu burung, Pak?"
     "Bukan! Itu adalah induk api yang dikiirim orang untuk membakar rumah orang yang ditujunya. Kau melihat di arah mana sigulambai tadi turun?"
     "Tidak. Apakah Bapak melihatnya?"
     "Tidak. Hanya arah ke selatan. Kita tunggu saja, rumah siapa yang akan terbakar," ujarnya.
     Orang-orang dari dalam kedai kopi meneriaki kami menanyakan apa yang kami lihat, karena aku dan Pak Salam lama berdiri di ambang pintu.
     "Sigulambai!" jawab Pak Salam dengan berseru.
     "Apa? Sigulambai?"
Maka ramailah orang berkumpul di depan kedai kopi.
     "Ke mana arahnya?" tanya salah seorang.
     "Ke selatan!"
     "Kenapa kita bengong saja berdiri di sini? Mari kita ke selatan biar kita ketahui rumah siapa yang akan terbakar."
Rupanya kini Pak Maruhun pun ti­dak waspada. Buntalan itu tepat mengenai wajahnya dan langsung berubah menjadi gumpalan api.
Tanpa menunggu komando lebih lanjut, kami, aku dan beberapa orang lainnya, bergerak menuju ke arah perginya sigulambai itu.
     "Lihat!" seru seseorang lagi. "Lihat itu asap, sudah ada kebakaran. Betapa cepatnya sigulambai itu menemukan mangsanya."
     Kami sama-sama melihat asap hitam yang mengepul ke udara. Dengan berlari kami menuju ke arah asap itu mengepul. Sambil berlari kami terus berteriak-teriak, "Api! Api!"
     Rombongan semakin ramai menuju ke arah tempat kebakaran itu. Asap yang mengepul hitam mengingatkanku kepada asap cerobong kereta api di Bukittinggi. Ketika aku dan para penduduk telah sampai di tempat kebakaran itu, kusaksikan betapa ganasnya api melalap rumah Pak Radain yang terbuat kayu kecuali atapnya.
     Suara seng atap itu berderak-derak dan meliuk-liuk karena terbakar. Beberapa orang telah mulai sibuk menyiramkan air yang ada pada tebat tidak jauh dari rumah yang terbakar itu. Dan yang lainnya memagari rumah di sekitar rumah itu dengan batang pisang sebagai pengalang agar jangan sampai disambar api.
     "Kurasa sigulambai itu belum lagi kembali!" seru Pak Salam mengatasi keriuhan suara orang yang sibuk melawan amukan api itu.
     "Apa? Sigulambai?" tanya orang dengan heran.
     "Ya! Aku sendiri menyaksikan ada sigulambai terbang ke arah sini tadi."
     "Tolong Pak Salam mungkin dapat menangkapnya," kata Engku Palo, panggilan untuk kepala desa, yang juga telah hadir di tempat itu.
     "Akan kuusahakan, Engku," jawab Pak Salam.
     "Kita harus mengetahui siapa biangnya. Kalau orang itu dibiarkan saja mungkin tidak hanya rumah Pak Radain yang akan jadi sasaran."
     "Ya, Engku."
Kemudian Pak Salam melihat ke arahku. "Hei anak muda, siapa namamu?" "Tan Baro, Pak."
     "Coba kaucarikan sebuah tempurung yang tidak bermata," katanya kepadaku.
    "Ya, Pak," jawabku sambil terus bergerak untuk mencari tempurung yang dimaksud Pak Salam itu. Setelah kudapat, langsung kuserahkan kepadanya. Secepat kilat tempurung itu disambarnya. Kemudian kulihat mulutnya berkomat-kamit entah apa yang dibacanya. Setelah itu tempurung itu dilem¬parkannya ke arah amukan api yang melalap rumah itu.
     "Biasanya sebelum dia pergi, api ini tidak akan dapat dipadamkan. Apakah ada keluarga Pak Radain yang terjebak di dalam api?" tanya Pak Salam.
     "Tidak, kebetulan seluruh keluarganya pergi ke ladang untuk mencabuti kacang tanah di Pulai."
     "Syukurlah. Mudah-mudahan kita dapat menangkap pelakunya agar dia dapat tertangkap," ujar Pak Salam sambil dengan cepat mengambil buntalan berbungkus kain merah itu.
     "Nah mari lebih giat menyiramnya, mudah-mudahan api ini dapat padam karena biangnya telah tertangkap," ujar Pak Salam lagi.
Kemudian dia menoleh kepada Engku Palo. "Bagaimana kalau benda ini kita bawa ke balairung saja, Engku?" tanyanya.
     "Kenapa harus ke Balairung, Pak Salam?"
     "Itu lebih baik saya rasa, Engku. Sebab jika benda ini tidak kembali, tentu si pengirimnya akan datang menjemput. Sebab jika tidak didapatnya kembali, maka yang menjadi setan sigulambai ini akan menghancurkan dirinya sendiri. Jika saja orangnya datang ke tempat ini, tentunya kita tidak dapat mempertanggungjawabkan amukan penduduk. Lagi pula tentu kita tidak akan dapat memperoleh keterangan lebih banyak dari dia. Jadi saya rasa lebih baik kalau kita menunggunya di balairung saja. Dan Engku perintahkan agar tidak ada yang mengikuti kita ke sana kecuali saya dengan anak muda itu," katanya sambil menunjukku.
     Hanya kami bertiga berada di balairung. Aku, Pak Salam dan Kepala Desa, Engku Palo. Dan kami bertiga pula menunggu kehadiran orang yang akan menjemput buntalan yang berbungkus kain merah yang berfungsi sebagai sigulambai atau api kiriman itu.
     Memang di dunia ini banyak hal-hal aneh yang terkadang tidak masuk akal. Seperti halnya buntalan yang ada di tangan Pak Salam sekarang ini. Bagaimana mungkin sebuah buntalan yang terbungkus oleh kain dapat berfungsi sebagai api yang dapat membakar rumah sedangkan kain yang menjadi pembungkusnya tidak cidera sedikit pun oleh api? Aku tidak mengerti, dari mana manusia memiliki kepandaian yang dapat mengubah kain menjadi api yang dapat membakar, malah sangat dahsyat sekali.
     Aku yakin pada zaman sekarang ini, jika saja Anda mendengar cerita mengenai benda seperti itu, tentunya Anda akan menganggap suatu omong kosong yang konyol. Itu terserah Anda, karena Anda tidak menyaksikan seperti yang kusaksikan. Begitu juga bagaimana sebuah tempurung kering yang dilemparkan ke dalam amukan api tidak terbakar sama sekali, malah dapat berfungsi sebagai penangkap benda yang menjadi musabab datangnya api itu? Benar-benar tidak akan masuk akal. Namun masuk akal atau tidak, demikianlah yang kusaksikan.
     Kini aku menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Menunggu seperti yang dikatakan Pak Salam, bahwa si pengirim sigulambai itu akan menjemput benda kirimannya jika tidak kembali dalam waktu yang telah tertentu. Jika tidak, dia yang akan dimusnahkan oleh si pemilik benda itu. Yang tentu saja adalah makhluk gaib entah dari jenis apa.
     Hampir setengah jam kami duduk menunggu di balairung. Tanpa bicara. Rasanya seperti saat-saat yang menegangkan. Sesekali aku melirik ke luar melalui jendela, kalau-kalau orang yang dimaksud Pak Salam telah datang. Secara sekilas aku melihat ada orang lewat di jalan di depan balairung. Tidak begitu jelas orangnya. Ah, mungkin orang yang hanya kebetulan lewat, pikirku. Aku masih tetap tenang. Karena dalam kasus ini aku tak lebih sebagai orang yang memperoleh kehormatan sebagai peninjau suatu kejadian. Mungkin hanya karena aku yang melihatnya pertama maka Pak Salam begitu bermurah hati memberi kehormatan itu kepadaku.
     Sekali lagi aku melihat orang lewat. Kini lebih jelas. Rupanya orang itu Pak Maruhun. Memang hampir seluruh penduduk desa ini kukenal. Maklumlah desaku tidaklah terlalu luas sehingga tidak begitu sulit mengenali orang. Kulihat Pak Maruhun berjalan seperti orang bimbang. Dalam hatiku segera timbul kecurigaan, tetapi tidak kuutarakan baik kepada Pak Salam maupun Kepala Desa. Kecurigaan itu kupendam sendiri. Aku yakin, bahwa Pak Maruhunlah yang untuk kedua kalinya lewat di jalan itu, melihat warna pakaian yang dikenakannya. Memang wajah orang tidak mudah dikenali secara sepintas, tetapi aku ingat sekali dengan warna pakaiannya.
     Setelah untuk ketiga kalinya Pak Maruhun lewat baru aku berani berkata, "Pak Maruhun, dia sudah tiga kali bulak-balik lewat di depan," ujarku setengah berbisik.
     "Biarkan saja," kata Pak Salam. "Kalau benar dia, tentunya dia akan datang ke sini."
     Dalam jarak sekitar lima puluh meter dari balairung, kulihat Pak Maruhun berdiri. Memandang ke arah balairung. Di wajahnya tercermin perasaan bimbang yang bergejolak dalam hatinya. Langkahnya bagai mundur maju untuk menuju ke balairung.
     Ketika aku lengah beberapa saat, tiba-tiba Pak Maruhun telah berada di ruangan balairung. Matanya nanar memandang Pak Salam.
     "Ada kesulitan, Pak Maruhun?" tanya Kepala Desa.
Pak Maruhun tidak mengacuhkan pertanyaan Kepala Desa. Jangankan menjawab , menoleh pun dia tidak.
     "Ada perlu denganku, Pak Maruhun?" tegur Pak Salam.
Mata Pak Maruhun tidak berkedip memandang Pak Salam. Kulihat Pak Maruhun bagai menelan ludah, jakunnya bergerak turun naik.
     "Salam!" ujarnya bagai suara yang tertekan ke dalam. "Kembalikanlah dengan damai," katanya lagi.
     "Duduklah dulu Pak Maruhun. Kita bicara lebih tenang. Saya tidak mengerti apa yang Pak Maruhun maksudkan," kata Pak Salam dengan tenang.
     "Kau lancang, Salam," kata Pak Maruhun lagi.
Kusaksikan ketegangan semakin mencekam dengan suara menggeram yang keluar dari mulut Pak Maruhun.
     "Terimalah balasan atas kelancanganmu itu, Salam," geramnya sekali lagi. Dan entah bagaimana sebuah badik telah menembus lambung Pak Salam. Mungkin dia tidak awas, sehingga Pak Maruhun dengan mudah dapat menikamnya. Baik aku maupun Engku Palo bagai terpukau melihat kejadian yang begitu cepatnya.
     "Biadab kau, Maruhun," lenguh Pak Salam kesakitan sambil melemparkan bungkusan sigulambai yang ada di tangannya ke wajah Pak Maruhun. Rupanya kini Pak Maruhun pun tidak waspada. Buntalan itu tepat mengenai wajahnya dan langsung berubah menjadi gumpalan api. Bagaikan jerami kering, dengan cepatnya api itu membakar wajah Pak Maruhun. Aku yang menyaksikan menjadi gelagapan tak tahu apa yang harus kulakukan. Untung Engku Palo dapat bertindak cepat. Dibukanya baju Pak Salam lalu dijadikannya perban untuk menutup lukanya agar darah dapat berkurang ke luar. Sedangkan Pak Maruhun menggelepar dengan wajah terbakar api menyala. Benar-benar sangat mengerikan.
     "Tan Baro, cepat kaugendong Pak Salam, bawa ke rumah Dukun Labai," kata Engku Palo kepadaku. Tanpa bertanya lagi aku segera menggendong tubuh Pak Salam menuju rumah Dukun Labai yang terkenal pandai mengobati luka dan patah tulang. Dalam perjalanan orang-orang keheranan melihat aku menggendong tubuh Pak Salam yang penuh darah.
     "Kenapa Pak Salam, Tan Baro?" tanya mereka.
     "Ditikam Pak Maruhun," jawabku. "Di mana?"
     "Di balairung."
    "Apa sigulambai itu punya Pak Maruhun?"
     "Ya!"
     Tanpa berusaha menolongku menggendong tubuh Pak Salam, mereka berbondong-bondong menuju ke balairung. Dan aku bersyukur, ketika sampai di rumah Dukun Labai kebetulan dukun itu berada di rumah, hingga Pak Salam dapat segera ditolong. Rasanya ingin aku segera kembali ke balairung untuk menyaksikan apa yang terjadi selanjutnya atas diri Pak Maruhun. Tetapi tidak mungkin aku meninggalkan Pak Salam begitu saja di rumah Dukun Labai. Mau tidak mau aku terpaksa menungguinya.
     "Hmm, beracun juga badik si Maruhun itu," gumam Dukun Labai.
     Aku hanya mengangguk saja untuk mengiyakan, karena sebenarnya pikiranku tidak berada di rumah itu, tetapi bagai berusaha untuk membayangkan apa yang kini sedang terjadi di balairung. Mungkin saja Pak Maruhun menjadi sasaran amukan kemarahan penduduk dengan ilmu yang dipunyai. Atau mungkin saja dia telah mati oleh sigulambai yang dipeliharanya. Senjata makan tuan.
     Memikirkan itu aku jadi bergidik. Ngeri rasanya menuntut suatu ilmu mistik karena risikonya terlalu besar dibanding dengan hasil yang dapat dipetik.  
(Cerita oleh Tan Baro)

     Manakala Kakek meninggal, umurku telah mencapai dua puluh tiga tahun. Pada umur yang kesekian itu teman-teman sebayaku di desa ada di antaranya yang sudah beranak tiga, bahkan ada pula rumah tangganya yang sudah berantakan. Tetapi walaupun begitu aku belum berniat untuk mengakhiri masa bujangku.
     Kebetulan pula aku memiliki seorang kakek istimewa, yang tidak cengeng. Sampai ke akhir hayatnya ia tak pernah menuntut seorang cucu. Setelah satu tahun Kakek diperabukan barulah tebersit pikiranku untuk mencari seorang teman hidup, seorang istri untuk mendampingi diriku.
     Memang aku agak terlambat berumah tangga. Hal ini karena kejadian lampau yang menimpa orang tuaku. Menurut cerita Kakek, Nenek meninggal dunia setelah tiga hari ayahku diupacarai turun tanah. Kemudian ibuku meninggal ketika melahirkanku. Menyusul kemudian ayahku tenggelam sewaktu beliau berlayar menyeberangi Selat Lombok. Sampai sekarang jasadnya belum ditemukan.
     Dengan kejadian berturut-turut seperti ini aku agak ciut untuk berumah tangga. Jangan-jangan aku akan menyusul Ayah pula. Sekarang karena kematian Kakek dan alam kesunyian yang menyengat, menggugah niatku untuk melepaskan predikat sebagai seorang lajang.
     Bayangkan aku sendiri menunggui rumah berukir Kosala-Kosali yang begitu besarnya serta mengurusi tanah tegalan hingga tiga hektar luasnya. Akan tetapi sebelum menentukan pilihan seorang calon ratu aku penasaran untuk dapat menemui apa yang kucari-cari selama ini.
     Kendatipun takdir dan nasib katanya di tangan Tuhan dan hidup ini menderita, biarlah. Aku ingin hidup lebih lama lagi. Jangan sampai seperti leluhurku berpulang rata-rata dalam usia muda. Dengan demikian niat bertualang semakin merangsang diriku. Untuk pertama kali aku akan belajar bagaimana rasanya menjadi seorang manusia leak.
     Dari Pekak-Balian, seorang dukun yang berumah di Tanjung Benoa, aku mendapatkan sebuah destar kain kasa berajah. Dilukis dengan tinta Cina berbentuk seekor makhluk mengerikan. Pada keempat sudutnya terlukis pula empat ekor binatang. Mata keempat binatang itu memancarkan keganasan, raut mukanya begitu garang mengerikan. Sedang kakinya dengan kuku panjang, kokoh mencengkeram tengkorak manusia.
     Di empat sudutnya, di batik rajahan tadi, ada tertulis huruf-huruf Jawa kuno, bentuknya aneh bersusun menjadi satu. Walaupun aku tergolong pandai memahami aksara Jawa kuno, tetapi membaca ini amat sulit bagiku.
     Mengenai destar ini tak boleh dipergunakan sebagaimana mengenakan destar biasa, dililitkan di sekitar kepala. Melainkan kalau hendak kupakai harus menutupi seluruh kepalaku seperti mcmpergunakan selembar tudung. Apabila tidak digunakan, destar itu harus diletakkan di bawah bantal dan melipatnya pun ada caranya tersendiri. Saat memakainya hanya pada waktu malam hari saja, itu pun kalau malam telah larut.
     Pada suatu hari nafsu tidurku hilang sama sekali. Kian kucoba tidur kian gelisah aku jadinya. Malam semakin larut. Walau tubuhku sampai meliuk-liuk berputar ke sana-kemari setan kantuk itu tak juga kunjung tiba. Miring ke kanan juga entah sampai beberapa kali, mataku tetap terbuka. Putar ke kiri sudah tak terhitung banyaknya. Tengadah, tengkurap hasilnya sama saja.
     Sejak tadi lolongan anjing terdengar bersenandung. Lolongan berkepanjangan itu laksana menyemarakkan hamparan cahaya bulan di hari ketiga belas, menyelimuti seluruh muka bumi. Tiba-tiba seperti ada naluri gaib aku rersentak di antara sadar dan tidak. Aku mendadak bergerak. Tanganku refleks meraih destar yang tersimpan di bawah bantal. Begitu saja destar itu langsung kukenakan sehingga menutupi seluruh kepalaku.
     Setelahnya timbullah suatu keanehan. Terasa badanku begitu ringannya. Langkahku begitu gesit. Dan pandangan mataku dapat menembus celah-celah kegelapan. Tenagaku berlipat ganda, seperti ada pihak lain yang memberi kekuatan dan mengendalikan diriku.
     Kemudian aku beranjak meninggalkan rumah. Langkah kakiku bagaikan setengah terbang, tanpa menyentuh tanah. Gerakan yang hebat luar biasa. Hanya sekejap saja aku telah berada di hamparan sawah dengan batang-batang padi tumbuh subur meng hijau.
     Sungguh amat ajaib di tempat yang sesunyi ini aku menemukan kenikmatan. Luar biasa nikmat, nikmat sungguh, nikmat tiada tara. Bak seorang Pangeran aku mandi sinar rembulan. Dielus terpaan angin semilir dengan bunyi-bunyi batang padi mendesah. Terdengar irama syahdu suara aliran air menerobos di celah pematang sawah.
     Antara ada dan tiada aku bagai jatuh terpukau menemukan impian nikmat seperti ini. Kegairahan hidup semakin merangsang. Sambil bersenandung kecil aku bergerak lincah. Dengan gesit terbang ke sana-kemari.
     Ah, nikmat.... apa ini yang disebut arti hidup? Kalau memang inilah kehidupan ku, tentulah apa yang kucari kini telah kudapati. Aku tidak perlu susah-susah. Kalau lapar, makanan lezat telah tersedia melimpah-ruah, begitu pula minuman tinggal mengambil saja. Segalanya tersedia tinggal menikmari saja.
     Subuh buta, di kala bintang Kartika mulai tersembul di kaki langit sebelah timur, baru teringat olehku untuk kembali pulang. Sebelum aku beranjak meninggalkan keindahan ini tanganku meraih sebuah nangka ranum serta beberapa buah kacang panjang. Lumayan untuk persediaan makan esok hari, pikirku.
     Esok paginya aku terlambat bangun. Kiranya matahari telah jauh merangkak meninggalkan ufuk timur. Aku menggeliat merentangkan otot-otot tangan dan kaki. Seketika terasa seluruh badanku begitu lelahnya. Pelan kelopak mataku mulai terbuka kemudian sorot mataku mengitari seluruh ruangan.
     Tiba-tiba aku terkejut begitu hidungku mencium bau tak sedap. Baunya busuk luar biasa, seperti bau bangkai yang memenuhi seisi ruangan. Tak ayal lagi serta-merta aku meloncat dari tempat tidur. Mataku liar menyelusuri seluruh ruangan dan tak begitu lama kutemui dari arah mana datangnya bau busuk itu.
     Seekor bangkai anjing yang telah membengkak menjadi penyebabnya. Bangkai anjing itu tampak kebiru-biruan dengan tetesan darah busuk berserakan di lantai. Di sebelahnya menumpuk bangkai cacing sedang dikeroyok beramai-ramai oleh gerombolan lalat.
     Menyaksikan itu perutku langsung mual. Kepalaku pusing, pandangan mataku berputar-putar. Aku berusaha lari ke luar, terbirit-birit. Di halaman rumah seluruh isi perutku tumpah. Aku muntah sampai seluruh isi perutku rasanya terkuras tandas. Entah sampai beberapa lama, akhirnya otakku pelan-pelan jernih kembali. Aku bisa mengingat kembali apa yang telah terjadi.
     Hah.. waktu semalam aku berkelana di tengah sawah menikmati keindahan. Aku telah menyikat berbagai makanan dengan lahapnya. Kiranya makanan yang kutelan itu adalah makanan yang luar biasa berupa bangkai segala jenis binatang yang telah membusuk. Ngeri, jijik, mengapa bangkai anjing berubah menjadi sebuah nangka masak ranum dengan baunya mengundang selera? Bangkai cacing berubah bentuk menjadi kacang panjang? Dan bangkai entah apa lagi yang seketika berubah menjadi makanan lezat mengundang selera begitu saja secara tiba-tiba?
     Sekarang tobat, tobatlah aku. Sejak kejadian itu kutinggalkan dunia malam dunia leak, karena yang kucari bukannya yang semacam ini. Dengan perasaan gemas langsung kubakar hangus destar celaka itu, destar yang membawa diriku ke dunia hitam, dunia leak.  Ah, rupanya beginilah rasanya kalau kita menjelma menjadi manusia leak. (cerpen oleh Iwan S)

     Kamar kost berukuran 4 x 6
     “Kamu yakin mau pulang Luv? sudahkah kau pikirkan matang-maang keputusanmu?” Sambil memperhatikan Luvita membereskan pakaiannya ke dalam koper besar.
     “Entahlah Lin, aku juga tak tahu apa keputusan yang aku ambil ini sudah benar.”
     “Lalu bagaimana dengan Fadil?”
     “Dia sudah pasrah Lin, dia sangat kecewa dengan keputusan yang aku ambil. Tapi mau apa lagi? Dia tidak punya kuasa atas hidupku kan? Lin tolong ambilkan tas di almari!”
     “Iya Luv, tapi dia sangat mencintaimu. Dua tahun sudah kamu bersamanya melewati setiap kepingan hidupmu di sini. Nih tasnya!” Linta memberikan tas yang diambil di almari kepada Luvita namun masih mencoba untuk tetap mencegah sahabatnya untuk pergi.
     “Terima kasih. Iya aku tahu Lin, tapi aku pun tak punya kuasa atas hidupku saat ini. Aku benar-benar tak punya kuasa Lin.” terus beberes pakaian dan peralatan make upnya.
     “Aku pun juga tak kuasa untuk terus menahanmu disini Luv, aku hanya bisa berdoa atas kebahagiaanmu.  Semoga keputusan yang kau ambil memang benar-benar keputusan terbaik untuk hidupmu.” air mata Linta jatuh mengaliri pipinya yang putih mulus, meresap ditiap pori-pori halusnya.
     “Kau akan tetap menjadi sahabat terbaikku Linta, hapus air matamu! Aku akan terus mengabari perkembanganku nanti. Kita bisa terus telponan, YMan, FBan. Iya kan?” sembari memeluk sahabatnya.
Keduanya beruraian air mata, hembusan angin menjelang senja menyapu kesenduan mereka. Pelukan yang semakin erat membuat mereka semakin tak mampu menahan air mata yang tumpah ruah dalam kepengapan ruangan kost berukuran 4 x 6 itu. Suara deru kendaraan diluar sana sama sekali tak mengurangi keharuan dua sahabat yang enggan berpisah itu. Tiga tahun lamanya mereka bersama, tidur dalam satu ranjang, makan selalu berdua, pulang berangkat kerja senantiasa bersama dan tak jarang mereka kerap bergantian pakaian ataupun aksesoris yang melengkapi kecantikan tubuhnya. Banyak orang yang mengira mereka adalah saudara kembar lantaran keakraban mereka. Kini mereka harus berpisah entah untuk berapa lama.
     Terdengar suara motor honda berhenti di pelataran kost mereka. Sosok pria tinggi tegap tengah turun dari motornya, berjalan gontai menuju kamar kostan Luvita dan Linta. Dia berhenti tepat di depan pintu saat melihat dua gadis itu sedang berpelukan dan air mata mereka pun masih membasahi pipi-pipinya. Luvita dan Linta tidak menyadari bahwa mereka tengah diperhatikan seorang lelaki di depan pintu kamarnya.
     “Luvita, kau yakin mau pulang sekarang?” suara serak yang terdengar berat itu meluncur juga dari mulutnya.
     “Eh, Fadil kau sudah lama di situ?” spontan Luvita melepas pelukan sahabatnya sambil menghapus air matanya. Yang diikuti pula oleh Linta.
     “Belum begitu lama, hanya saja aku tidak mau mengganggu kalian. Kalian terlihat begitu asik.” kata Fadil sembari terlukis segurat senyum yang dipaksakan. Luvita dan Linta hanya senyum-senyum simpul saja mendengar kata-kata Fadil.
     “Iya Dil, aku jadi pulang sekarang. Maafkan aku Dil, aku tak bisa berbuat apa-apa untuk hubungan kita. Maafkan aku.” air mata Luvita kembali mengalir mengingat hubungannya dengan Fadil akan segera kandas. Bukan karena ada pengkhianatan, bukan karena tak ada cinta lagi diantara mereka, namun keadaanlah yang menuntut mereka untuk berpisah. Fadil menatap wajah kekasihnya, dia maju selangkah dan mendaratkan kecupan di kening Luvita. Entahlah, mungkin itu adalah kecupan sayang yang terakhir kalinya yang akan dia berikan kepada Luvita. Gadis yang dua tahun ini telah dicintainya.
     Tanpa dikomandoi, Linta melangkah keluar kamar dan beralasan ingin membuatkan Fadil minuman. Dan itu hanya akal-akalan Linta agar sahabatnya bisa bersua dengan kekasihnya.
     “Fadil, jika kau tidak tega melepasku, biarkan aku pergi sendiri. Lupakan saja aku jika mengingatku hanya membuat lara hatimu, carilah bahagiamu, aku tak memaksamu untuk terus menyayangiku. Kau juga butuh seseorang yang bisa terus mencintaimu.” kata Luvita yang sebenarnya sangat enggan mengucapkan kata-kata itu. Tapi dia sadar, dia tak bisa terus memaksa keeogisannya. Dia memang mencintai Fadil, bahkan sangat mencintainya, namun tak lama lagi dia mau tak mau harus bisa melupakan Fadil dan harus terus belajar agar mampu mencintai orang lain. Orang yang akan mendampingi hidupnya, yang saat ini sama sekali belum dikenalnya.
     “Aku tak yakin apa aku bisa melupakanmu, Luvita. Aku begitu mencintaimu, begitu banyak pula kenangan-kenangan yang kita lewati bersama. Tak pernah sebelumnya aku mencintai wanita selayaknya aku mencintaimu, harapan untuk membangun bahtera rumah tangga bersamamu pun sudah kuukir manis dalam impianku. Tapi jika akhirnya itu hanya mimpi belaka, aku tak kuasa,” Meski kini nada suaranya terdengar tegar, namun tatapan matanya tak mampu menutupi segala keresahan, kekecewaan dan kerapuhan hatinya.
     “Maafkan aku Dil, aku tidak bisa memenuhi harapanmu!” kata-kata Luvita yang tenggelam dalam isakan tangis di dada Fadil.
     “Sudah, jangan menangis lagi! Kau harus membuktikan padaku bahwa kau bahagia meski tak bersamaku.” sembari mengusap air mata di pipi Luvita.
***

     Karangrejo, desa asal Luvita
     “Tenang saja Le, Luvita pasti mau menikah dengan kamu! Orang tadi dia telpon kok, kalau dia mau pulang malam ini!” kata Pak Atmo kepada Susna.
     “Biar nanti saya saja yang jemput Luvita nggih Bapak’e!”
     “Ndak usah, biarkan Kakange Luvita saja yang jemput. Kamu kesinilah besok siang.”

Karangrejo -
     “Tenang saja Le, Luvita pasti mau menikah dengan kamu! Orang tadi dia telpon kok, kalau dia mau pulang malam ini!” kata Pak Atmo kepada Susna.
“Biar nanti saya saja yang jemput Luvita nggih Bapak’e!”
“Ndak usah, biarkan Kakange Luvita saja yang jemput. Kamu kesinilah besok siang.”
     “Kalau begitu saya pamit pulang Bapak’e, besok siang saya akan kembali kesini untuk bertemu dengan Luvita”
     Lelaki yang bertubuh kekar, tinggi tegap itu pun beranjak dari tempat duduknya. Menarik tangan Pak Atmo dan menciumnya seraya pamit pulang. Pak Atmo memandang bangga akan calon menantunya yang sopan itu. Calon menantu yang sempurna, sopan, gagah, dan yang terpenting dia adalah anak dari orang terkaya di desa tetangga. Meskipun Susna belum mempunyai pekerjaan yang pasti, namun Pak Atmo mengganggap itu bukanlah masalah besar. Toh Pak Dirja, ayah Susna adalah orang kaya, pasti nanti Susna akan mendapatkan warisan yang banyak dari Ayahnya. Mulai dari areal persawahan yang luas, hewan ternak yang banyak mulai dari sapi sampai bebek. Tak sedikit pula beberapa petak sawahnya digarap oleh para tetangganya dengan sistem bagi hasil. Biasanya yang menggarap sawah Pak Dirja adalah para tetangga yang tidak mempunyai sawah sendiri. Sepertiga dari hasil panen diberikan pada si penggarap dan duapertiganya lagi untuk yang punya sawah. Begitu juga dengan hewan ternaknya. Beberapa rumah besar yang dimiliki Pak Dirja juga menyilaukan mata Pak Atmo untuk menerima pinangan Susna. Track record Susna yang kelam semuanya tenggelam dengan kekayaan yang dimiliki Pak Dirja, dimata Pak Atmo.
     Pak Atmo memiliki seorang putra bernama Hasan dan seorang putri bernama Luvita. Hasan sudah menikah dengan Sinta dan dikaruniai seorang bidadari kecil yang cantik jelita. Sedang Luvita, selepas SMA dia lebih memilih hijrah ke Surabaya dan bekerja sebagai karyawan di salah satu pabrik sepatu di Surabaya daripada memenuhi keinginan Bapaknya untuk membantunya menjadi tukang Ngoyang (tengkulak) gabah.
     “San, coba kamu hubungi Vita! Pastikan kalau dia benar-benar pulang malam ini. Nggak mau aku malu sama keluarga Pak Dirja lagi! Sudah berapa kali Vita janji mau pulang tapi nggak pulang-pulang.” kata Pak Atmo pada Hasan.
     “Injeh Pak.” Hasan pun langsung mencari nama Luvita di daftar buku telponnya dan langsung menekan tombol panggil. Sesaat kemudian suara Luvita terdengar lirih dari ponsel Hasan.
     “Assalamu’alikum Dek, kamu jadi pulang malam ini?”
     “Waalaikumsalam, Iya Mas. Nanti kalau sudah dekat saya telpon, sekarang masih di jalan.”
***
     Luvita seketika bangun dari lamunannya tatkala ponselnya berdering, setelah menutup pembicaraan singkat dengan kakaknya, Luvita kembali memandang jauh ke luar jendela kaca bus yang membawanya keluar dari kota Surabaya. Sekelabat bayangan Fadil kembali mengisi pikirannya. Ingat saat pertama bertemu dengan Fadil di warung makan Cak Sura. Saat itu Fadil yang duduk sendiri di meja paling pojok sesekali mencuri pandang ke arah Luvita yang sedang makan lontong kupang bersama Linta. Luvita dan Linta hanya cengengesan saja melihat Fadil yang salah tingkah saat matanya beradu dengan mata Luvita.
     Fadil segera beranjak dari tempat duduknya karena memang lontong kupang dan teh manis di depannya sudah habis. Dan Fadil semakin salah tingkah saat akan membayar ternyata dompetnya ketinggalan.Keadaan ini benar-benar bertolak belakang dengan adegan di sinetron-sinetron Indonesia. Biasanya si gadislah yang sering kali lupa bawa dompetnya namun di sini, si gadis yang harus berbesar hati menjadi dewa penyelamat Fadil dari jerat hutang makan lontong kupang dan segelas teh manis seharga Rp. 7.000,-
     “Maaf merepotkan Mba…….” kalimat Fadil terpotong karena memang dia belum mengetahui siapa gadis manis yang baik hati itu.
     “Luvita.” kata Luvita dengan cepat sambil mengulurkan tangannya.
     “Maaf merepotkan Mba Luvita, tadi saya anu terburu-buru, sampai-sampai lupa bawa dompet hehehe” kata Fadil yang terlihat lebih seperti orang bodoh. Tatapan matanya tidak fokus pada Luvita dan berdirinya pun terlihat tidak tenang, yah dia gugup. Luvita hanya tersenyum melihat lelaki tampan didepannya dan menarik tangannya yang masih dijabat oleh Fadil.
     “Eh maaf Mba, maaf.. saya Fadil” dia semakin terlihat gugup.
     “Mas, enggak lebaran kok dari tadi minta maaf mulu?” sahut Linta yang memang suka celometan. Seketika suasana menjadi cair dan mengalir.
     Luvita tersenyum tipis mengingat kejadian itu, tapi tiba-tiba saja Luvita ingat perkataan ayahnya beberapa hari yang lalu. “Nduk, kamu harus segera pulang! Susna putra Pak Dirja telah datang meminangmu, kamu jangan kecewakan Bapak karena Bapak nggak mau ngecewakan Pak Dirja!” kata tegas bapaknya kembali terngiang diingatannya. Luvita sangat sedih bahwa Ayahnya lebih mementingkan kekecewaan Pak Dirja daripada kebahagiaan dirinya. Luvita sempat menolak permintaan Ayahnya dengan alasan dia sudah mempunyai calon yang dicintainya. Tapi Ayahnya bersikeras meminta Luvita menerima pinangan Susna karena sang Ayah sudah kadung janji sama keluarga Dirja. Jika Luvita masih tetep monolaknya, maka
     Ayahnya akan mengecap dia sebagai anak durhaka, yang melawan perintah orang tuanya.
Keadaan ini membuat Luvita bagai makan buah simalakama. Di satu sisi Luvita tak mau dianggap sebagai anak durhaka, karena bagaimanapun tanpa ayah ibunya, Luvita tak akan hadir di dunia ini. Tanpa kerja keras dan keringat Ayahnya, dia tidak bisa hidup selayaknya, tanpa kasih dan doa ibunya hidup Luvita akan gelap tanpa lentera. Namun disisi yang lain Luvita sangat mencintai Fadil, impian dan harapan hidup bersama Fadil sudah terajut manis di benaknya.
***
     Yakinkan aku Tuhan…dia bukan milikku…
     Biarkan waktu….waktu hapus aku…
     Ponsel Fadil bernyanyi lagu Nidji sebagai tanda ada panggilan yang menantinya. “My Ladies calling” kalimat yang tertera dalam layar ponsel itu. Hatinya berdebar, tangannya terasa kebas untuk sekedar menekan tombol OK di ponselnya.
     “Ha..halo…Luv, kamu baik-baik saja?”
     “Fadil…. aku ingin kembali!” tut..tut..tut…..
     “Luv….Luvita…halo Luv….!! Luvitaa!!” Fadil memandang lesu layar ponselnya yang tertera tulisan panggilan berakhir : 00:00:10 . Fadil terlihat bingung dengan panggilan singkat tadi, otaknya berfikir keras tentang apa yang dimaksud Luvita.
     “Apa maksudnya dia ingin kembali? Apa dia berubah pikiran dan ingin kembali padaku? kembali menjalin cinta yang sempat terusik?” desah Fadil dalam tatapan yang berubah bergairah. Pundi-pundi semangat hidupnya kini tumbuh kembali, bahkan binar matanya yang tadi sendu sudah terlihat terang. Kenangan-kenangan indah bersama Luvita berloncatan di depan matanya. Tanpa menunggu dia langsung mencoba untuk menghubungi balik nomer Luvita.
     Dalam nada tunggu yang terdengar dari ponselnya, Fadil mendesah lirih,”Luvita, kau adalah cinta pertamaku, meski aku tahu aku bukanlah cinta pertamamu. Namun atas nama cinta akan kuperjuangkan kisah cinta ini sampai mereka menyadari bahwa cinta kita adalah suci. Dan ada seribu kekuatan di dalamnya. True love never die, my love!” tekadnya semakin membara.
     Namun tak ada suara lembut Luvita yang menyapanya, hanya nada tunggu yang terus memenuhi gendang telinganya. Dia kembali risau dengan keadaan Luvita, dia takut sesuatu terjadi pada kekasihnya. Ponsel yang ada ditangannya langsung ia masukkan saku celananya. Sedikit terburu dia menyahut kunci sepeda motor di meja samping ranjang dan langsung pergi menuju kostan Linta, sahabat Luvita.
***
     Luvita mengalihkan panggilan Fadil karena ada nomor masuk yang menghubunginya. Dan itu adalah Hasan, kakak Luvita. Entah kenapa panggilannya ke Fadil langsung terputus begitu saja saat pengalihan panggilan itu ia lakukan.
     “Vita kamu sampai mana? Aku sudah menunggumu di terminal Maospati!”
     “Hmm… aku..aku baru sampai Terminal Jombang Mas, tadi aku sudah bilang kalau aku akan telp kalau sudah dekat!”
     “Bapak yang menyuruhku segera menjemputmu dek, beliau gak mau sampai kamu menunggu. Tau sendirikan apa yang dikehendaki Bapak tak pernah bisa ditawar?”
     “Baiklah, tunggu saja di depot Bu Sri Mas, nanti kalau aku sudah sampai Maospati, aku bisa langsung menemuimu!”
     “Oke, kamu hati-hati ya dek!”
     “Iya Mas!”
     Batin Luvita semakin tak mampu menahan asanya, dia bingung karena tadi sudah sempat bilang ke Fadil kalau dia ingin kembali. Tapi saat ini kakaknya sudah menunggunya di depot Bu Sri. Keadaan ini sungguh membuatnya tak berdaya. Luvita mencoba menghubungi ponsel Fadil, namun beberapa kali telpnya tak pernah ada jawaban. Akhirnya dia pasrah saja pada bus yang membawanya.
     Senja di kota Jombang sungguh melukiskan perasaannya, gerimis membasahi sepanjang jalan kota santri itu. Pedagang asongan keluar masuk bus mencoba mengais keberuntungan dari barang yang mereka dagangkan. Tak peduli dengan udara dingin, mereka masih saja ada yang berjualan es kelapa muda. Beberapa pemuda dekil menawarkan suaranya melalui melodi tak beraturan. Not-not tanpa si menggema dalam bus kelas ekonomi itu, hanya bermodalkan tutup botol, paku dan bungkus ciki mereka mencoba mengumpulkan koin-koin dari penumpang yang masih mempunyai hati. Tak jarang mereka hanya mendapatkan seribu tujuh ratus rupiah dalam satu lagu, satu bus, dan dari dua puluh satu penumpang.
     Tak lama setelah pemuda itu turun, ada gadis kecil tak beralas kali, baju compang camping, rambutnya bau matahari, tubuhnya cungkring seperti tak pernah diimunisasi menengadahkan tangan mungilnya pada para penumpang. “Maasss…..Mbaaa….Buuu buat makan!!” lirihnya terdengar mengiris hati yang memang tlah terluka. Entah berapa rupiah yang mampu dia kumpulkan dalam kesehariannya. Luvita menatap gadis itu lama, dalam hatinya dia bersyukur bahwa hidupnya tak senista gadis kecil itu. Hidup dari belas kasian orang yang memandangnya.
     “Mba….mba….” gadis kecil itu mengulurkan tangannya kearah Luvita dan menatap Luvita sayu.
     “Duduk sini dek!” Luvita menyuruh gadis kecil itu duduk di kursi sebelahnya yang memang kosong.
     “Namamu siapa?” tanya Luvita, meski ia sendiri tahu gadis kecil itu tak butuhkan ditanyai nama. Ia hanya inginkan rupiah saja.
     “Nana Mba!”
     “Nana rumhanya mana? sekarang sudah kelas berapa?” tanya Luvita lembut.
     “Rumahku di Nganjuk, aku sudah kelas 2 sekarang!”
     “Kok bisa sampai Jombang? orang tua Nana kemana?”
     “Iya, kadang juga sampai Mojokerto Mba, Bapakku sudah mati dan ibuku tak tahu ada dimana. Aku ikut Nenek!”
     “Ya Allah, kamu ngapain sampai Mojokerto dek?” ini adalah pertanyaan terbodoh yang ia buat.
     “Nenek bilang, aku harus bantu cari duit buat sekolah Mba! Duit yang didapat nenek dari minta-minta hanya cukup buat makan!”
     “Ya sudah, kamu duduk disini saja, tak usah ganti bus lagi ya!”
     “Tapi mba, nanti cuma dapet duit sedikit!”
     “Sudah duduk sini saja ya, temani mba sampai Nganjuk!”
     Gadis itu pun hanya bisa pasrah dengan Luvita. Beberapa saat kemudian ada pedagang asongan yang menawarkan nasi kuning, tak seperti biasanya yang selalu acuh dengan seliweran pedagang asongan, kini Luvita membeli nasi itu tanpa menawar. Begitu juga saat ada penjual kacang goreng dan permen jahe, Luvita langsung membeli dan memakannya bersama Nana, gadis malang itu.
     Perjalanan Jombang - Nganjuk begitu tak terasa karena ada Nana di sebelahnya, tawa-tawa kecil terlihat dari bibir Luvita saat mendengar Nana glegek’en. “Haaeekk….kenyang Mba,” kata Nana dengan polosnya.
Luvita harus berpisah dengan Nana di terminal Nganjuk, dan meminta Nana untuk langsung pulang setelah memberinya lima puluh ribuan pada Nana.
     Nganjuk - Madiun - Maospati, sebenarnya Luvita tak inginkan jarum jam berjalan. Malah jika dia mampu, ingin sekali ia memutar waktu kembali. Memutarnya kebelakang sejauh 4 jam, dimana dia ada dalam pelukan Fadil.
     Setelah memasuki terminal Nganjuk, bus kembali meluncur kearah Madiun seiring tergelincirnya matahari dalam pelukan sang malam. Rinai hujan tak lagi menemani perjalanannya di luar jendela kaca. Kepulan asap rokok yang menerpa wajah manisnya menambah sembab matanya. Melewati hutan jati di Caruban hawa berubah menjadi hangat, sesekali terdengar cuitan para makhluk penunggu hutan. Beberapa kali Luvita melihat jam tangan di pergelangan tangannya, dan tak lebih dari 1 jam dia kan sampai di rumahnya. Yang sebenarnya ia rindukan namun tak ia inginkan untuk saat ini.

     “Assalamu’alaikum…”
     “Waalaikumsalam, sinten?” jawab Bu Atmo dari dalam rumah.
     “Kula Ibuk’e, Susna!” jawab lelaki yang berdiri di depan pintu itu.
     “Mangga…mangga…masuk!”
     “Pak….! ada Nak Susna ni!” teriak Bu Atmo pada suaminya.
     “Loh, kok kesini lagi? Kan sudah saya bilang agar kesini besok siang saja!”
     “Maaf Bapak’e, aku sudah gak tahan ingin melihat kecantikan calon istriku. Masa suruh lihat potonya saja?”
     “Kamu ini Na…Na… gak sabaran amat?!” jawab Pak Atmo menimpali perkataan Susna yang terlihat nafsu.
     Pak Atmo mempersilahkan Susna masuk, tapi Susna menolak dan ingin menunggu Luvita di teras sambil rokokan. Bu Atmo menyiapkan dua cangkir kopi panas untuk tamu sekaligus calon mantunya dan untuk Pak Atmo.
     “Mangga dipun unjuk, buat teman rokoknya!” kata bu Atmo sembari menaruh baki berisi dua cangkir kopi itu.
     “Terima kasih Buk’e, kok repot-repot!” ucap Susna berbasa-basi.
     Bintang yang bertaburan di langit Karangrejo seakan menambah indah hati Susna yang diarungi rindu. Angin pun berhembus lembut menyentuh hatinya yang seakan membawanya terbang memetik bintang yang paling terang. Dibungkusnya bintang paling terang itu dengan kain sutra bertalikan rajutan emas serta berhiaskan mutiara terindah dari kerang di dasar laut Jawa. Sungguh indahnya bingkisan itu, dia persembahkan untuk bidadari tercantik di hatinya, Luvita. Hawa dingin malam semakin melambungkan lamunannya, dipeluknya bidadari itu dan dia kecup bibir mungilnya.
     “Aduh….” Susna mengaduh.
     “Kenapa Le?” tanya Pak Atmo kaget.
     “Kopinya panas!” Susna cengar-cengir.
     “Sudah tahu kopi panas main disruput saja!” kata Pak Atmo sembari terkekeh.
Dari kejauhan di kegelapan malam sorot lampu sepeda motor milik Hasan terlihat benderang. Sayup-sayup nafas Susna  seakan terhenti saat itu juga. Kini bidadari yang dinantinya beberapa menit lagi, bukan, bukan menit melainkan detik akan berada dihadapannya. Akan dia cium aroma nafasnya, akan dia nikmati lenggok tubuhnya. Dan entahlah, dia tak mampu melanjutkan pikiran nakalnya melihat Luvita sudah berdiri beberapa meter dihadapannya.
     “Assalamu’alakum….” salam Luvita pada Ayahnya sembari mencuim tangan Pak Atmo.
     “Waalaikumsalam…” sahut Pak Atmo yang tak diikuti oleh Susna.
Susna hanya terperanggah melihat gadis manis dihadapannya, ah tubuhnya terasa kebas, lemas.
     “Aji…??!! Ngapain kamu disini?” ucap Luvita yang tak kalah kagetnya.
Sesaat suasana hening, bahkan sayup-sayup dedaunan pun seakan tahu apa yang harus mereka lakukan. Yah, hanya diam.
     “Loh, kalian sudah saling kenal?” pertanyaan Pak Atmo memecah keheningan.
     “Jelas kami sudah saling kenal Pak, dulu sewaktu Vita masih sekolah di SMA…..”
     “Iya, kami sudah kenal pas Vita masih di SMA Bapak’e. iya kan Vita?!” cepat-cepat Susna memotong perkataan Vita yang mulai naik pitam.
     “Bapak’e, apa yang dilakukan pria ini di rumah kita?” tanya Luvita pada Ayahnya.
     “Lho, dia ini kan Susna, calon suamimu!” jelas Pak Atmo.
Mendengar perkataan Ayahnya, Luvita merasa bumi yang dipijaknya berhenti berputar, darahnya berhenti mengalir, keringat dingin membasahi tubuhnya, dan nafasnya memburu. “Aku tidak ingin bersuamikan pemerkosa!!” desah Luvita yang tak lagi berdaya berdiri.
Bruukkk……
     “Luvita….!!!!” pekik Pak Atmo dan Hasan bersamaan.

     “Enek apa iki?!” Bu Atmo langsung berhambur keluar sesaat setelah mendengar pekikan suami dan anaknya.
     “Vita kenapa Pak’e?? Ta……kenapa Ta??” dia semakin terlihat panik melihat sosok Luvita sudah ambruk di pangkuan suaminya.
     “Cepat-cepat bawa masuk!”
Dengan kelembutan kasih seorang ibu, Bu Atmo mengoleskan minyak kayu putih di perut, kening, dan hidung putrinya. Dibelainya rambut Luvita dengan sayang. Beberapa kali kecupan lembut pun mendarat di kening dan pipi Luvita. Kerinduan seorang ibu kepada putrinya tak terkalahkan oleh rindu seorang kekasih.
     “Susna, katakan padaku apa yang dimaksud Vita bahwa kau pemerkosa?” teriak Hasan pada calon iparnya.
     “Aku juga tak mengerti Mas, mungkin Vita pas dijalan tadi diperkosa perampok, lalu pikirannya menjadi kacau!” jelas Susna dengan sangat gugup.
     “Lancang kamu! Plakk…..” Hasan tak terima dengan ocehan Susna dan menggampar pipi kanannya.
Susna nampak tak terima dengan perlakuan Hasan dan mencoba membalas. Hasan yang memang berbadan lebih kecil terkapar oleh satu pukulan Susna. Hasan berusaha bangun dan kembali memasang kepalan tangan di depan hidung Susna. Namun Pak Atmo segera menghambur dan memisah keduanya.
     “Apa-apaan ini? sudah tua-tua sama-sama tak tau diri!”
     “Mas Hasan yang mulai Bapak’e!”
     “Diam kamu Susna!! Apa yang kau lakukan pada putriku hah??”
     “Apa maksudmu Pak? Aku tak melakukan apapun pada Vita!”
     “Lalu kenapa dia menyebutmu pemerkosa?? mbuuk…” sambil mendaratkan pukulan ke wajah Susna.
     “Aku juga tak tahu maksud anakmu, Pak Tua bangka!” perkataan Susna mulai kasar mendapat perlakuan dari Pak Atmo.
     Hasan yang tak terima dengan sikap Susna, langsung beranjak berusaha membela Ayahnya. Namun apa daya, tubuh Susna yang mirip Ade Rai lebih dulu memegang pundak Hasan dan mendorongnya kuat. Kembali Hasan terkapar tanpa daya, sedang Susna melenggang pergi tanpa pamit.
     “Pak’e, aku tak rela Adikku menikah dengan pria jahanam macam dia!” lirih Hasan sembari sempoyongan untuk berdiri.
***
     Malam yang bertaburan bintang dan angin yang bergerak bak putri mahkota melambaikan tanggan lentiknya tak jua mampu membuat Fadil memejamkan matanya barang sejenak. Beribu slide kenangannya bersama Luvita berseliweran tanpa jeda. Kenangan tentang senyum Luvita yang begitu mempesona, tentang hangat kasihnya, tentang tawanya yang renyah, tentang tutur katanya yang lembut. Ah Luvita tampak sempurna saat dia merindukannya.
     Malam terasa tak segera berjalan menjemput pagi saat pikirannya terpaku dalam satu keadaan yang membingungkan. Dia tak tahu apa yang hendak dia lakukan jika nanti sudah bertemu dengan orang tua Luvita. Apa dia akan berkata bahwa dia sangat mencintai Luvita dan berjanji membahagiakannya? Ah alasan itu terdengar sangat klasik, meskipun apa yang diucapkannya benar adanya. Pikirannya terus melayang membayangkan saat pertemuannya dengan kedua orang tua Luvita dan mungkin juga pria yang dijodohkan dengan kekasihnya. Tapi segala kegundahannya segera sirna mengingat apa yang dia bicarakan dengan Linta senja tadi.
     “Linta benar, tanpa perjuangan aku tak akan mampu mengerti jika ada kekuatan di dalam cinta!” desahnya lirih hampir tak terdengar.

     Luvita tergelatak diantara ruas jalan yang ramai oleh lalu lalang kendaraan. Pergelangan tanggannya dipenuhi darah yang telah menghitam, beberapa orang mengerumini tubuhnya namun tak seorang pun berinisiatif menolongnya. Mereka hanya saling tanya dan pandang, sampai sosok hitam datang membawa tubuhnya terbang tinggi hampir menembus awan-awan hitam yang bergelanyut di pundak langit malam. Luvita berontak namun tak berdaya, tiba-tiba sosok itu melepaskan tubuhnya begitu saja dan kini tubuh ringkih itu terombang-ambing oleh terpaan angin. Dia merasa tubuhnya sangat dingin, dan…..
     “Aaaaauuuuuuuuuuu………….” keringat dingin membanjiri tubuh Luvita bersamaan dengan jeritannya yang lantang.
     “Nduuk…….kenapa Nduk?!” Bu Atmo segera berlari ke kamar Luvita setelah mendengar jeritan putrinya.
     Dilihatnya Luvita yang tampak lelah, pucat, air mata meleleh mengaliri pori-pori pipinya. Bu Atmo mendekat dan mendekap tubuh Luvita dengan penuh kehangatan, dibelai rambutnya yang panjang, dan diusapnya air mata Luvita dengan telapak tangannya.
     “Kamu mimpi Nduk?” lembut suara Bu Atmo menyadarkan Luvita yang masih tampak shock.
     “Buk’e, lebih baik Vita mati daripada harus menikah dengan Aji, Buk’e!” keluh Luvita.
     “Jangan ngomong begitu Nduk, kalau kamu tidak mau ya sudah!”
     “Tapi Buk’e,..”
     “Sudahlah, kamu istirahat dulu! Buk’e siapkan sarapan ya!”
     Luvita mengangguk pasrah dengan perkataan lembut Ibunya. Segera diambilnya kertas di laci dan mulailah dia menulis. Menulis adalah cara dia mengungkap kekesalannya.
***
     Fadil sudah berdiri di depan pintu rumah Luvita, diketuknya pintu di depannya sembari menguruk salam. Namun tak ada yang menjawab, hatinya semakin ketar-ketir membayangkan perbincangannya dengan orang tua kekasihnya. Kembali tangannya yang bergetar mengetuk pintu dan diikuti salam yang terdengar pelan.
     “Assalamu’alaikum…”
     “Wa’alikumsalam,…”
     Hati Fadil semakin ciut, namun kekuatan cinta yang dimiliki Fadil mampu menumbuhkan percaya dirinya.
     “Maaf, sinten geh?” Tatapan Pak Atmo memandang curiga.
     “Saya,…saya Fadil temannya Luvita dari Surabaya Pak!”
     “Maksudnya, pacar Vita?” Ayah dua anak itu langsung meluncurkan pertanyaan yang menohok ulu hati Fadil.
     “Hmm…… injeh!” jawab Fadil pasrah.
     “Masuk!”
     Fadil memasuki rumah Luvita yang tak begitu besar namun tertata rapi segala perabotannya, beberapa foto Luvita saat menjadi domas di beberapa acara mantenan tertata rapi di dinding dan bipet ruang tamu. Di luar jendela tampak asri oleh pohon mangga dan jambu biji yang sedang berbuah lebat. Sangkar sepasang burung merpati digantung di ranting pohon mangga yang tak begitu tinggi. Sepasang merpati itu tampak bahagia meski sarangnya tak luas, mungkin karena mereka bisa memadu kasih kapan saja tanpa ada yang mengganggunya.
     “Hmm,… ada apa kamu kemari nak Fadil?” suara Pak Atmo segera membuyarkan lamunan Fadil tentang merpati. Namun panggilan “nak” padanya semakin menumbuhkan rasa percaya dirinya.
     “Begini Pak, saya hmm….saya sangat mencintai putri Bapak dan saya akan membahagiakannya Pak, tolong berikan saya kesempatan untuk bisa membahagiakan putri Bapak!” kata-kata Fadil terdengar berat, namun sangat tulus. Sorot matanya ikut bicara tentang cinta Fadil pada Luvita.
     “Maafkan saya nak!”
     “Hmm, saja janji bisa bahagiakan putri Bapak! Saya janji!” Kalimat Fadil memotong kata-kata Pak Atmo.
     “Biarkan saya selesai bicara nak Fadil!”
     “Maaf Pak” Fadil menyesal telah menunjukkan sikap tak sopannya.
     “Sekarang saya sadar, bahwa pria yang akan saya jodohkan dengan Luvita bukanlah pria yang baik! Saya akan serahkan semua pada Vita, saya hanya ingin Vita bahagia, tak lebih.” sorot mata Pak Atmo nampak redup, seperti menyesal.
     “Terima kasih Pak, boleh saya bertemu dengan Luvita?”
     “Tentu saja boleh nak, biar buk’ne yang panggilin Vita. Kamu tunggu sini!”
     “Iya Pak, terima kasih!”
     “Buk…. tolong panggilkan Vita, bilang kalau temannya dari Surabaya datang kemari!”
     “Injeh Pak” sahut Bu Atmo.
***

     “Vitaaaaa……….aduh Nduuk, kenapa jadi begini!!! Pak’ne………….” Bu Atmo teriak histeris melihat Luvita.
     “Ada apa Buk’ne??!” Pak Atmo segera berlari menuju kamar Luvita dan Fadil pun mengikuti.
     “Masya Allah Nduuuk, apa yang kamu lakukan??” Pak Atmo pun juga histeris melihat istrinya menangis sesenggukan disamping tubuh Luvita yang tergeletak di lantai, pergelangan tangannya berlumuran darah.
     “Luvitaaaaa!!!!” Fadil ikut berteriak dan segera berhambur menuju tubuh yang sudah tak berdaya itu.
     “Luv, bangun sayang. Aku sudah ada di sini, kamu jangan pergi Luv!” Fadil menggoncang-goncangkan tubuh kekasihnya.
     Bu Atmo terpaku melihat apa yang ada di hadapannya, sekujur tubuhnya terasa kebas, pandangan matanya tampak buram dan tubuhnya pun ambruk bebarengan dengan kehadiran para tetangga yang mendengar jeritan dari dalam rumah tersebut. Para tetangga segera melarikan tubuh Luvita ke rumah sakit, dan yang lainnya memberikan pertolongan pada Bu Atmo.
     Fadil melihat kertas berserak di meja rias Luvita, diambilnya kertas itu. Air matanya mengalir deras membasahi rangakaian tulisan tangan Luvita di sana.

Teruntuk  Ayah dan Ibuku tercinta
Beribu baktiku untukmu Ayah Ibu, aku sangat menghormati engkau, cintaku padamu tak pernah terkikis oleh usiaku yang semakin menginjak dewasa. Aku tahu, tak ada cinta kasih setulus cinta kasih engkau berdua. Bersamaan dengan hembusan nafasmu, Ibu aku terlahir di dunia, bersamaan dengan keringatmu, Ayah aku beranjak dewasa.
Jika setelah dewasa aku hanya bisa mengecewakanmu, ampuni aku. Sungguh tak ada niatan dari hatiku terdalam untuk mengecewakan dan menyakiti hati engkau berdua. Bukan juga aku menyangsikan niatan Ayah Ibu untuk selalu memberikan yang terbaik untukku, untuk membahagiakan aku. Bukan, bukan itu maksudku. Ayah, kini usiaku sudah terus bertambah. Aku juga mempunyai hak atas pilihan terhadap hidupku. Aku tahu mana yang membuatku merasa nyaman dan bahagia, mana yang membuatku sakit dan merana.
Ayah, jika Aji adalah pilihanmu untuk kau jadikan menantu, seyogyanya engkau tahu, siapa yang akan engkau nikahkan denganku itu. Aji adalah pacar temanku semasa SMA, 4 bulan sebelum lulus temanku bercerita bahwa dia akan menikah dengan Aji. Aku ikut senang mendengarnya,. Tiga bulan kemudian temanku hamil, namun Aji justru menghilang. Saat ditanya ke rumahnya, Ayah Aji justru mengusir temanku dan menyuruh temanku menggugurkan kandungannya. Dan sekarang dirinya menjadi orang tua tunggal, membesarkan anaknya sendiri tanpa suami.
Beberapa saat kemudian, terdengar kabar bahwa Aji kembali berulah dan menghamili gadis SMA. Hobinya yang mabuk-mabukan dan tawuran menambah lengkap list kejahatan yang dia lakukan. Ayah, aku tak inginkan bersuami seorang penjahat.
Untuk itu biarkan aku pergi dari pada harus mengecewakan Ayah dan Ibu, maafkan Vita Ayah, Ibu. Vita mencintai Ayah dan Ibu.
 

Teruntuk Fadil
Cinta,.. tak ada kata lain selain kata maaf untukmu! Aku mencintaimu melebihi cintaku pada diriku sendiri, dalam setiap detak jantungku selalu berirama rindu untukmu. Maafkan aku yang tak mampu mewujudkan impian kita untuk menjelajah dunia berdua. Menikmati masa senja berdua dalam rumah sederhana bersama cucu-cucu kita.
Seperti kataku beberapa waktu lalu, carilah bahagiamu karena aku tak mamu lagi bahagiakanmu. Lepaskan aku pergi bersama mimpi-mimpi kita, aku janji untuk menjaga setiap mimpi ini sampai kita bertemu lagi. Nanti jika kita bertemu lagi di dunia yang tak lagi fana, aku tak akan mengulangi menjadi pecundang sejati. Yang tak mampu perjuangkan cinta kita, hingga aku tak merasakan kekuatan cinta di dalamnya.
Fadil, Linta gadis yang baik untukmu.

***

     Tiga tahun kemudian,..
     “Luvita, apa kau masih menyimpan rindumu untukku, sayang?” tanya Fadil dalam mata sembab.
     “Kau benar, Linta adalah gadis yang baik untukku. Meskipun senyumnya tak semanis senyummu, meski tutur katanya tak selembut tutur katamu, aku akan berusaha menerima dia apa adanya!” sambung Fadil
     “Luvita, aku tak akan mengambil Fadil darimu. Aku hanya ingin menjaganya. Jadi jangan kau cemburu berlebih padaku ya!” kegenitan Linta sebagai seorang sahabat tak pernah berubah.
     “Kita akan berkumpul lagi di dunia yang tak lagi fana, Luv! Tunggu kami disana, tetap peluk mimpi-mimpimu!” kata Fadil dan Linta bersamaan sembari mencium sebuah batu nisan bertuliskan “LUVITA ANDINI BINTI ATMAJA”

~Selesai~
cerita oleh
Fawaizzah Watie
diterbitkan di kompasiana secara bersambung 

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.