Kayu Yang Tertinggal di Hutan

     Pemuda itu meletakkan kayu bakar yang terikat rapi dari pundaknya. Peluhnya membasahi tubuh dan meleleh di lekuk-lekuk wajahnya yang polos. Di sebelahnya seorang lelaki tua juga baru saja meletakkan beban kayu dari punggungnya. Mereka adalah ayah dan anak yang baru keluar hutan mengumpulkan kayu bakar untuk kebutuhan sehari-hari.
     Sambil beristirahat di bawah rimbunnya pohon, si anak bertanya mengapa tadi ayahnya kembali melarang ia untuk mengambil potongan-potongan kayu yang bersandar di pohon besar yang mereka lalui di hutan tadi. Rupanya si anak sudah begitu penasaran, karena bukan sekali itu saja ayahnya melarang melakukan hal itu. Dan hari ini rasa ingin tahu itu sudah tidak tertahan lagi.
     Dengan senyum karena menahan geli, si ayah menjelaskan.
     "Nak, kayu yang tersandar di pohon tadi itu, juga yang kemarin-kemarin kita lihat di pohon yang lainnya, sudah dimiliki oleh orang lain, hanya saja mereka belum sempat untuk membawanya keluar hutan." tutur sang ayah dengan lembut.
     "Tapi kita kan bisa mengambilnya tanpa diketahui oleh orang yang menurut ayah sudah memilikinya" sanggah si anak dengan semangat.
     "Nah di situlah tata krama kita sebagai warga masyarakat sekitar hutan ini. Kita akan menghormati orang yang telah bersusah payah mengumpulkan dan merapikan kayu-kayu tersebut lalu menegakkannya di batang pohon, meski kita tidak pernah bertemu dengan siapa orangnya. Penghormatan kita adalah dengan tidak mengganggu apalagi mengambilnya. Hal yang sama akan dilakukan oleh orang lain bila kita melakukan hal yang sama, meninggalkan kayu yang telah tersusun rapi di batang pohon. Begitulah pesan yang diwariskan kakekmu kepadaku, dan sekarang ini aku wariskan pula kepadamu".
     Penjelasan sang ayah yang panjang lebar itu rupanya belum cukup untuk menuntaskan ganjalan-ganjalan yang ada di benak si anak. Hal itu tergambar jelas di wajahnya yang masih kusut.
     "Tetapi ayah, saya pernah bertemu dengan orang kota yang sudah bersekolah sangat tinggi, menjelaskan hal ihwal tentang kepemilikan sesuatu barang. Ada bukti-bukti yang tertera di atas kertas yang menjadi jaminannya.. Nah dengan penjelasan ayah tadi itu, saya menjadi bingung untuk bisa mengerti. Apakah ayah juga pernah sekolah labih tinggi dan lebih pandai dibanding orang yang kutemui itu?."
     Sang ayah hanya tersenyum kecil, menyandarkan punggung lebih santai ke belakang, lalu melanjutkan penjelasannya.
     Sekarang cobalah bayangkan apa yang saya gambarkan ini.
     Bila Engkau memaksakan diri untuk mengambil kayu-kayu yang sudah ditegakkan itu, maka Engkau dipastikan akan menghadapi tiga kemungkinan. Pertama adalah, bila orang yang memiliki kayu itu ternyata mempunyai kemampuan lebih dari dirimu, maka Engkau bisa saja digilasnya. Tindakanmu akan dianggapnya sebagai upaya untuk menghinanya sehingga ia akan menghancurkanmu dengan segala daya yang dipunyainya.
     Kedua, bila ternyata pemiliknya mempunyai kemampuan yang setara denganmu, maka kemungkinan kalian akan saling berhadap-hadapan untuk mempertahankan eksistensi atas keberdayaan kalian. Bila Engkau kalah, maka akan ada luka di hatimu sebagai penanda atas kekalahanmu. Di pihak seterumu akan membanggakan pencapaiannya sekaligus meneguhkan doninasinya atas dirimu.
     Kemungkinan ketiga adalah bila pemiliknya mempunyai kemampuan lebih rendah darimu. Kemungkinannya ia akan menerima kondisi yang terjadi dengan 'tidak ikhlas'. Pemaksaan menerima keseweng-wenangan yang Engkau lakukan akan menjadi bibit dendam yang bisa saja membesar di suatu hari nanti. Hubungan yang harmonis diantara sesama penghuni sekitar hutan ini menjadi tidak seimbang, menjadi kehilangan rasa harga menghargai diantara sesamanya.
     Nah, dari ketiga kemungkinan itu, tidak satupun yang menjadi pilihan pantas untukmu, juga untuk penghuni-penghuni lainnya. Tetap konsisten dalam menghormati semua tatanan nilai yang telah dibangun di dalam konunitas kita adalah sesuatu yang mutlak, sehingga kita bisa mengembangkan kemuliaan-kemuliaan lainnya di dalam peradaban kita. Dan ingatlah baik-baik, semuanya itu tidak dituliskan di atas kertas seperti yang dibangga-banggakan oleh orang pintar yeng sudah engkau temui itu.
     Tidak ada dokumen ataupun akte yang menjadi bukti otentik tentang kepemilikan kayu itu. Kalaupun engkau memaksa untuk mencarinya maka engkau tidak tidak akan menemukannya. Dan engkau akan memenangkan perdebatan atas alasan 'tulis menulis' itu.
     Semuanya hanyalah pewarisan nilai yang disampaikan turun temurun seperti yang aku lakukan kepadamu sekarang ini. Tulisan-tulisan di kertas itu hanyalah bahan untuk  'si tukang silat lidah' untuk terlihat hebat dalam membela paham 'opurtunis' yang dianutnya. Paham yang hanya menguntungkan diri sendiri atau kelompok kecilnya yang didorong kuat oleh nafsu egoisme. Semua dikembangkan atas nama logika yang dikembangkan atas kelemahan-kelemahan dan kekurangan huruf-huruf yang ada di atas kertas. Sementara nilai-nilai luhur yang menjadi fondasi utamanya tidak bisa dimasukkan menjadi parameter, karena sama sekali tidak tertulis di atas kertas.
     Pahami semua nilai yang ada ini. Bila engkau merasa nilai-nilai yang berlaku di sini tidak sesuai dengan jalan pikiranmu, maka berbesar hatilah untuk menghormati nilai yang telah dianut sejak lama itu. Jangan engkau recoki apalagi sampai meninggalkan jejak buram di lintasan sejarahnya. Toh engkau yang masih muda, bisa mencari 'hutan' yang lain, untuk mengembangkan komunitasmu sendiri yang sesuai dengan apa yang engkau pikirkan. Engkau bisa mengembangkan nilai-nilai yang engkau anggap baik, di dalam komunitas barumu itu.
     Hari menjelang senja, semilir bayu yang lembut mengantarkan langkah mereka pulang.

ayahnya kembali melarang ia untuk mengambil potongan-potongan kayu yang bersandar di pohon besar yang mereka lalui di hutan tadi.

Posting Komentar

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.