Menyibak Setapak Kambuna Yang Perawan

     Hujan dan kabut bulan Februari 1990 ini begitu setia mengiringi langkah kami untuk menemukan puncak Gunung Kambuna. Sudah sekitar 2 jam mencoba setiap arah yang memungkinkan, namun tidak memberikan hasil. Akhirnya tim memuutuskan untuk kembali ke bivak tempat berteduh semalam.
     Bivak yang letaknya di 'pos 8'. Pos-pos itu adalah penanda yang baru dipasang oleh tim Korpala sepanjang perjalanan ini. Tujuannya sederhana saja, pertama sebagai penanda rute yang ditempuh oleh tim yang terdiri dari empat putri dan empat putra, sekaligus sebagai jejak awal perintisan jalur tracking menuju puncak Kambuna.
     Pos sembilan sudah disematkan di tempat terakhir siang tadi, sebelum memutuskan kembali ke pos 8 ini. Sedangkan rambu untuk pos 10 masih ikut terbawa, yang rencananya untuk diletakkan di puncak nanti. Namun apa yang terjadi hari ini di luar rencana. Cadangan logistik hanya tersisa untuk satu hari perjalanan kembali menuju kaki gunung di Desa Padang Raya.
     Keputusan selanjutnya, tim akan kembali mencari puncak Kambuna keesokan harinya.
      Cuaca menuju puncak ternyata tidak seperti kemarin. Begitu cerah. Tidak sampai dua jam dari pos 8, puncak Kambuna ditemukan. Masih ada sisa-sisa tugu triangulasi, yang dulunya dibongkar oleh penduduk karena dikira ada harta karun di bawahnya.
      Satu-satunya alat komunikasi yang dimiliki waktu itu adalah radio Handy Talky 2 meter band. Teriak sana, teriak sini, hanya suara sayup-sayup yang termonitor, yang juga tidak jelas apakah menjawab teriakan dari puncak Kambuna, ataukah mereka hanya sekadar teriak-teriak dengan rekan mojoknya.
      Berfoto ria tentu saja menjadi satu-satunya hiburan, yang bahkan benar-benar membuat lupa sesaat bagaimana terseok-seoknya tim selama satu minggu berjalan dari Sa'bang menuju desa Padang Raya di kaki Kambuna ini. Tentu saja juga membuat lupa sesaat bahwa cadangan logistik terakhir akan segera habis di saat tengah hari nanti.
      Dalam perjalanan pulang, dari rencana semula tim bisa bermalam di pos dua, namun mengingat sudah tidak ada makanan sama sekali, kembali diputuskan tim melanjutkan berjalan di malam hari tanpa beristirahat, agar bisa secepatnya mencapai base camp di Padang Raya.
      Menjelang pukul 12 tengah malam, tim sudah tiba di tepi sungai Lodang. Kondisi sungai tidak sama dengan beberapa hari yang lalu, yang airnya hanya setengah betis, tapi malam ini airnya sudah setinggi dada. Hujan beberapa hari ini membuat debit airnya bertambah.
      Percobaan menyeberangi sungai ternyata gagal, bahkan hampir menghanyutkan salah seorang anggota tim yang menjadi leader 'penyeberangan basah' malam itu. Sekitar setengah dua dini hari, tim memutuskan untuk memutari bukit yang lebih ke hulu sungai agar bisa mendapatkan bagian sungai yang lebih dangkal.
Phiphi, Hero, Nona, Ammy, Wida, Hilda, Adi dan Welly

      Sambil terkantuk-kantuk dan juga begitu lapar, menjelang pukul 3 dinihari tim sampai di sebuah gubuk ladang. Diputuskan beristirahat di tempat itu, apalagi di dalam gubuk ada tungku dengan beberapa potong kayu kering. Dan aha.. di sekitar gubuk itu adalah ladang jagung dengan buah yang sudah ranum menjelang dipanen.
      Diskusipun terjadi, apakah mengambil jagung untuk mengganjal perut yang sudah begitu lapar.? Kesimpulannya adalah 'tidak'!! Tim masih kuat untuk bertahan hingga pagi, kemudian melanjutkan perjalanan sekitar 3 jam lagi menuju basecamp, sehingga tidak perlu mengambil jagung-jagung itu. Terjadilah, malam itu tim menghangatkan badan dengan air yang berhasil didihkan dari tungku di dalam gubuk, ditambah beberapa sachet bumbu mi instan yang masih tersisa di dalam carrier.
      Itulah kuah mi instan yang ternikmat yang pernah saya rasakan selama ini.
Hamparan dataran yang begitu luas, menjadi inspirasi untuk nama desa 'Padang Raya'. Di tahun 1991 itu, kami bahkan ditawari untuk tinggal di desa itu, membantu pertanian penduduk di sana. Lahan pertanian masih begitu luas sementara kemampuan penduduk hanya bisa menggarap sekitar sepertiganya saja. Dan bila kami berdelapan mau tinggal, tinggal tunjuk saja tanah sebelah mana yang hendak dipatok, seberapapun luas yang mampu untuk kami garap.

     Dan alangkah konyolnya kejadian dinihari itu. Ketika sudah sampai di Desa dan menceritakan bahwa kami kelaparan namun tidak 'berani' mengambil jagung itu, oh.. kami menjadi bahan tertawaan orang desa. Mereka sama sekali tidak tahu, kalau kami selalu dibayangi mitos tentang kekuatan supra natural orang-orang menertawakan itu, salah satunya adalah bahwa akan mengalami gejala fisik yang aneh yang 'segera' akan terasa bila berani mengambil barang mereka tanpa izin.
     Jamuan bubur jagung dengan kombinasi gurihnya ayam kampung yang mereka sajikan benar-benar mampu memulihkan kondisi yang sudah drop kemarin. Pesta kecil yang mereka sudah siapkan, tentu saja dengan begitu sukacita setelah melihat kami bisa kembali dengan selamat meski terlambat sehari dari jadwal. Keterlambatan yang sempat membuat mereka was-was menunggu.
Lampu badai, rantang di atas kompor parafin adalah perangkat jadul untuk ukuran sekarang ini. Belum lagi jas hujan kelelawar dipadu dengan sepatu kets yang mestinya lebih cocok untuk sekadar lari sore. Juga ada carrier dengan frame luar, yang ujungnya mencuat tinggi seperti sepasang antena dipadu dengan senter besar yang akan menghabiskan tenaga baterainya hanya dalam semalam.

     Beberapa kerat daging rusa juga ikut meramaikan acara makan-makan itu. Empuk dan gurihnya, benar-benar jauh berbeda dengan daging anoa yang kami cicipi di perjalanan menuju puncak beberapa hari yang lalu. Daging anoa yang begitu alot, kenyal dan baunya itu.. benar-benar tidak terlupakan.
     Sebagai cendera mata yang diberikan oleh salah seorang penduduk, saya mendapat potongan tengkorak dan tanduk anoa yang telah diawetkan dengan mengasapinya di atas perapian dalam waktu yang lama. Tengkorak yang masih tersimpan hingga sekarang.
Base camp selama di desa Padang Raya.

     Rangkaian foto-foto lainnya saya rangkum dalam bentuk film sederhana dengan latar belakang lagu Iwan Fals berjudul 'Rinduku'. Rinduku yang selalu mengusik saat-saat sepi untuk bersama-sama kalian saudara-saudaraku, mengukir jejak langkah baru di puncak-puncak yang lain. Masih terlalu sedikit jejak yang telah kita tinggalkan bersama, untuk menggapai puncak-puncak yang masih begitu banyak.
     Rinduku untuk kalian...
File videonya bisa di download di sini. Ukuran 5,8 Mb, format file: .wmv.

     Jejak kecil yang ditinggalkan Korpala menuju Kambuna di saat itu hanyalah seperti semilir yang berhembus setiap waktu di lebat hutannya. Sama sekali tidak mengusik virginitas Kambuna dengan ekosistimnya yang belum tersentuh keserakahan. Hanya ada tertinggal sekadar penanda psikologis dari  interaksi para pencinta alam itu.

ps : tambahan kisah dari kalian untuk memori yang tidak terangkum di tulisan ini,
saya tunggu untuk mengisi komentar di bawah. Terimakasih.. miss U all..

menemukan puncak Gunung Kambuna. Sudah sekitar 2 jam mencoba setiap arah yang memungkinkan, namun tidak memberikan hasil.

Posting Komentar

  1. Wow mantap. Videonya juga asik. Thanks Kak Hero. Sayangnya yang pegang kamera saat itu rada pelit motret jadinya fotonya tidak banyak terus banyak juga foto yang kelihatan lg kepayahan dan rada culun ha..ha..ha..ha....
    Tetapi it's ok syukur ada juga fotonya. Hem this is my first expedition. Untung sebelumnya sdh baca buku tanaman obat so bisa kasi penyuluhan di jalan.Kenangan yang tak terlupakan. Viva KORPALA

    Hilda Putong

    BalasHapus
  2. Hal lain yang menarik sekitar kehidupan sosial masyarakat pada saat itu adalah sistem perekonomian yang masih bersifat barter yang membuat team dengan mudahnya mendapatkan hasil lelang buat mesjid, gereja, LKMD dll. pada acara syukuran orang desa Lodang ataupun lelang di gerja oleh karena kami memiliki uang cash baru yang masih licin & mengkilat, alhasil kita pulang dengan membawa berbagai hasil pangan yang dilelangkan yaitu kopi, beras pulut, juga telur ayam dan tentu saja daging sapi/kerbau? or rusa :)
    Hal ini juga membuat berat badan saya agak bertambah setelah kembali dari ekspedisi padahal perjalanan ekspedisi sangat melelahkan pada waktu itu tetapi makan tetap lancar apalagi lauknya daging rusa :)

    Saya ingat juga bahwa satu-satunya warung yang menjual snack di kampung itu habis diborong oleh team. Selama perjalanan buah-buahan yang dijual depan rumah orang kampung dengan entengnya dibeli oleh team mengingat harganya yang sangat murah, beli pisang or cempedak Rp. 500/1.000? bisa dimakan buat satu team (8 orang) dengan kenyang.

    Hilda Putong

    BalasHapus
  3. Sayang sekali, tidak kepikiran waktu itu untuk memotret satu-satunya 'supermarket' yang ada di sana. Salah satu jualan utamanya adalah tembakau.. hahaha..

    oh iya, urusan tembakau itu juga cukup seru, waktu masih di Sa'bang kita beli beberapa lempeng tembakau untuk 'penangkal lintah', ternyata di perjalanan tim kehabisa rokok, jadilah tembakau untuk lintah itu dikonsumsi sendiri. Tembakau digulung pakai kertas dari buku tulis, jadilah lintingannya panjang..

    BalasHapus

...

[blogger][facebook]

Author Name

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.